Minggu, 03 Juli 2011

Menunggu Pagi

       Aku masih terjaga, di saat Ria, teman sekamarku kulihat sudah tertidur pulas lengkap dengan selimut tebalnya. Ternyata kota yang panas ini tak berpengaruh untuknya. Kucoba membuka-buka lembaran resume yang sudah kubuat dalam satu semester ini, kubaca-baca, tetapi aku tak mengerti sama sekali dengan yang kubaca. Jadi kuhentikan saja membacanya. Kubuka buku tebal di bawah meja, lembaran demi lembaran yang kubuka tanpa kubaca akhirnya sampai pada halaman terakhir, aku tetap tak temukan sesuatu. Ngapain lagi ya? Gumamku dalam hati.
            Malam ini adalah malam di mana Lusi mencoba sesuatu yang sangat sukar dilakukannya dia hendak menunggu pagi dengan tidak memejamkan matanya sedikitpun.hanya demi menunjukkan pada teman-teman yang selalu mengoloknya situkang tidur kalau dia bisa untuk tidak tidur semalaman. Tak ada yang bisa dilakukannya malam-malam begini, jadi dia hanya bengong, dan sesekali menatap iseng ke wajah polos Ria yang sedang lelap dalam peraduannya.
            “Apakah pagi masih lama? Atau tak ’kan menampakkan wujudnya?” aku sudah menunggu dari tadi, sudah berjam-jam rasanya aku melewati waktu, tetapi masih sangat lama aku menunggu. Aku mulai bosan. Aku coba mengutak-atik hapeku, ku-sms beberapa teman, tetapi tak ada balasan, kuyakin mereka pasti sekarang sudah tidur pulas seperti Ria yang sekarang tidur menelungkup.
            Entah dapat ide darimana, aku coba beranikan diri keluar kamar, malam-malam begini ternyata seram juga keadaan di sekitar kos ku. Kubuka pintu tengah yang menghubungkan seluruh ruangan di kos ku, akupun menaiki tangga. Sedikit seram. Setibanya di lantai dua, kudengar sayup-sayup musik dari kamar nomor 10, itu kamar Via dan Sinta. Ternyata jam segini aku masih ada teman yang sama-sama belum bisa tidur. Atau mungkin dia sedang mengerjakan tugas? Kalau memang sedang belajar, kurasa itu Via yang sehari-hari kulihat rajin.
            Kuarahkan pandanganku kearah tangga kayu yang menjadi pijakan menuju lantai tiga tempat penghuni kos menjemur pakaian. Pintunya tertutup rapat, tetapi sepertinya kuncinya belum dipasang. Aku berniat memasangkan kuncinya, meskipun sangat gelap dan jujur aku sangat takut. Tetapi aku harus tetap naik untuk menguncinya. Mengingat dulu kos ini pernah kemalingan dan maling diperkirakan masuk dari lantai tiga yang waktu itu juga tidak dikunci.
            Aku sedikit menjerit puas atas keberanianku dan keberhasilanku memasang kunci gembok di pintu itu. Kalau saja ada orang lain di sana yang melihatku, aku pasti akan sangat malu karena tingkahku seperti anak kecil.
            Kulihat jam dinding yang belum juga menunjukkan tanda-tanda pagi menjelang. Kesal. Sepertinya daritadi jam itu menunjukkan pukul yang hanya sedikit bergeser, padahal aku merasakan sudah menghabiskan waktu satu jam.
            Karena kurasa tidak ada lagi yang bisa kuperbuat di atas, semua kurasa sudah lebih aman, aku lalu melangkahkan kakiku untuk menuruni tangga, tetapi saat kucoba mendengar kearah kamar nomor 10, sudah tidak terdengar lagi bunyi musik yang tadi kudengar, mungkin Via sudah tidur, pikirku. Tinggallah aku sendiri yang belum tidur malam ini.
            Setibanya di kamarku, ku coba baringkan badanku di atas kasur berwarna biru itu. Kupejamkan mata, sepertinya aku sudah mulai mengantuk. Tetapi tak lama kemudian aku terbangun lagi karena mimpi buruk. Aku mimpi ada orang yang bergelantungan alias bunuh diri di kamar 10, tetapi orang itu tidak kukenal, bukan Via, bukan pula Sinta. Kulihat jam dinding, ternyata aku baru tertidur setengah jam. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku, aku gemetar, entah kenapa mimpi itu membuatku takut dan cemas. Aku masuk ke kamar mandi, kubasuh muka, namun di saat aku melihat ke cermin, bayangan orang bunuh diri itu kembali lagi. Ada apa ini? Mengapa aku dihantui?
Sekarang masih pukul empat, berarti sudah dekat pagi, aku coba bongkar-bongkar lemariku, kususun pakaianku yang agak berantakan. Di saat itu aku mendengarkan musik keras-keras melalui headset agar tak mengganggu Ria yang sedang tidur, dan untuk mengusir sepiku. Selesai memberes-bereskan isi lemari, aku membereskan kasurku. Dan, azan mulai berkumandang. Shubuh.
            Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk berwudhu, dan kabar buruk itu mengagetkan aku yang baru saja selesai shalat, Via berteriak histeris dari kamarnya diiringi tangis dari kak Rika penghuni kamar 9. Ada apa ini? Pikirku. Tanpa pikir panjang dan tak sempat membuka mukenah, aku segera berlari ke lantai dua.
            Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Mimpiku? Mimpiku jadi kenyataan! Teman Via yang malam itu menginap di kos kami, gantung diri. Segera, aku yang ditunjuk sebagai ketua di kos itu menghubungi pemilik kos sambil berlari menuju rumah ketua pemuda. Memberitahukan peristiwa tersebut.
            Segera, kos kami menjadi ramai saat itu juga, semua orang dari kalangan manapun datang berduyun-duyun. Meskipun mayat korban yang bernama Nova itu sudah dibawa ke rumah sakit, tetapi mereka seolah masih ingin melihat sendiri tempat kejadiannya. Aku yang ketika itu menolak untuk diwawancarai memilih diam di kamar dengan masih dalam keadaan shock. Lama aku terdiam sampai akhirnya Ria mengingatkanku untuk segera bersiap-siap karena aku hari itu kuliah jam tujuh.
            Sepulang kuliah, masih saja kos ku dikerumuni orang, hanya yang sekarang sudah tidak seramai tadi. Ada polisi juga di sana, sepertinya dia menungguku untuk menagih janjiku yang minta diwawancarai sebagai saksi sepulang kuliah. Orang tua Nova juga ada di sana.
            Segera kuceritakan, juga dengan aku yang susah tidur semalam, tanpa kumengerti, aku yang belum tuntas bercerita harus terhenti ketika orang tua Nova memaki-makiku, dia menyalahkanku yang tidak mengecek ke kamar 10 pada malam itu. Via dan Sinta juga seketika itu menyalahkanku, kalau saja aku membangunkan mereka pada malam itu, peristiwa mengerikan itu takkan terjadi. Berkali-kali aku mencoba menyadarkan mereka, kalau itu semua tak ada hubungannya. Tetapi aku malah dilempari oleh seorang ibu yang daritadi mendengar pembicaraan dan wawancara itu. Aku hampir menangis karena tak ada seorangpun yang membelaku. Kurasa aku pingsan saat itu juga dikarenakan lemparan sendok penggorengan dari ibu tadi.
                                                *                      *                      *

            Mataku terasa berat, ketika kurasa badanku digoncang hebat. Aku sedikit merasa pusing ketika kulihat Ria yang sudah lengkap dengan pakaian kuliahnya dan wewangian yang membuat kepalaku pusing itu.
            “Sudah hampir setengah tujuh kak, katanya mau kuliah pagi? Ayolah cepat mandi”. Aku masih dengan keheranan dan sedikit trauma akan bayangan Nova menatap ke sekelilingku, dan bertanya tentang massa yang datang pagi-pagi itu. Ria hanya tertawa.
            “Kakak pasti mimpi aneh, ya? Mana ada ibu-ibu dengan sendok penggorengan dari tadi pagi datang kesini. Pasti yang kakak dengar ribut-ribut dan ramai itu suara orang berdemo di kantor pemimpin rakyat yang disiarkan di radio nasional.”
Karena sadar aku barusan memang benar-benar mimpi buruk, aku langsung melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh, segera aku meloncat mengambil handuk dan cepat kilat segera bersiap-siap ke kampus, lebih lagi aku harus mempersiapkan mental untuk malu, karena pagi itu aku benar-benar telat.
Sepertinya aku memang harus benar-benar mengurungkan niatku untuk mencoba untuk tidak tidur menunggu pagi. Karena tidak ada gunanya. Mudah-mudahan tidak ada yang mencoba ide konyolku ini.

Continue reading

ARTI SEBUAH NAMA


            Sensi. seperti namanya adalah tipikal orang yang sensitif dan peka terhadap lingkungan sekitarnya, teman-tamannya terutama. Apa-apa selalu dikomentarinya, termasuk nama teman-teman yang menurutnya tak pernah sejalan dengan kenyataannya. Seperti Ayu, seharusnya pemilik nama itu adalah orang yang ayu pula, tetapi Ayu teman sekelasnya itu adalah perempuan ceplas-ceplos yang tidak bisa berbicara lembut. Ada lagi, Anggun, kakak kelasnya yang tomboy itu seharusnya bisa seanggun namanya. Agus, singkatan dari Agak Gundul Sedikit, tetapi nyatanya Agus berambut panjang, tidak botak. Begitu pula Judi yang seharusnya bertingkah seperti penjudi malah seorang ikhwan yang alim. Bukan hanya arti nama, tetapi kesesuaian nama dengan fisik seseorang juga dikomentarinya. Kutaro Nassai misalnya, namanya yang kejepang-jepangan itu sangat tidak sesuai dengan kulitnya yang hitam dan mata besar seperti melotot.
“Padahal kan orang Jepang itu putih-putih dan bermata sipit, lha kamu?” Sensi lalu tertawa melihat Kutaro yang hanya garuk-garuk kepala mereaksi pernyataan Sensi itu. Bahkan, mantan pacarnya yang bernama Sakti tak luput dari komentarnya, konon, karena tak tahan selalu dikomentari Sensilah Sakti memutuskannya. Dan masih banyak lagi nama teman-teman yang dikomentarinya, bahkan hampir 80% teman-teman di sekolah pernah diberi pendapat tentang namanya oleh Sensi meskipun tidak pernah meminta. Sayangnya, hampir 90% komentarnya tidak ada yang bagus, selalu kritikan pedas.
            “Huh… seharusnya kalian itu terlahir seperti apa yang didoakan orang tua kalian! Bukankah orang tua kalian memberi nama kalian disertai doa dan harapan?” begitu Sensi selalu mempersoalkan nama teman-temannya itu terutama di saat suasana kelas sedang diam, ia memulai aksinya. Tak jarang, Boim yang usil sering menggodanya, mugkin tak tahan juga mendengar ocehan Sensi yang lama-lama menyebalkan itu.
            “Iya, kita memang tidak seperti kamu, yang namanya selalu sesuai selera, Sensi yang selalu SEN-SI-TIF! haha…” dan setelah itu, Sensi pasti berlarian mengejar Boim yang katanya adalah si Bocah Imut alias Itam mutlak dan kribo, demikian Sensi menjulukinya.
            Pagi itu, SMA Pesona dihebohkan karena berita ada anak baru pindahan dari SMA Karisma. Yang bikin heboh bukan karena SMA Karisma adalah sekolah favorit, melainkan siswa pindahan yang lagi-lagi memiliki nama unik yang bakal menjadi sasaran empuk komentar Sensi. Namanya Ilas atau nama lengkapnya Tulus Ikhlas.
            “Huh, pasti namanya diplesetin jadi Ilas karena dia adalah anak yang pelit, gak tulus dan ikhlas seperti doa orang tuanya, kasihan banget ya!” cerocos Sensi yang tidak dimintai pendapat itu. Komentarnya sempat membuat wali kelasnya geram, namun ditahannya amarahnya itu demi tetap menjaga wibawa di depan kelas, terutama si murid baru yang hanya tersenyum manis dikomentari demikian oleh Sensi.
            “Alasan saya pindah ke sini, karena sekolah yang lama jauh dari rumah, dan saya sering terlambat. Jadi, saya memilih sekolah di sekolah yang lebih dekat dengan rumah karena tidak enak setiap hari harus terlambat. Saya harap teman-teman bersedia membantu saya dan berkenan menjadi teman bahkan sahabat saya yang baru. Terima kasih” setelah itu Bu Prima yang selalu prima itu mempersilahkan Ilas duduk di bangku kosong tepat di sebelah Agus dan di belakang tempat duduk Sensi. Sensi terlihat tersenyum puas, sepertinya dia masih penasaran dan belum puas untuk mengomentari murid baru itu. Setelah Bu Prima meninggalkan kelas, Sensi langsung berbalik dan berbicara sok akrab pada murid baru itu.
            “Hei, tadi katanya kamu suka terlambat ya? Apa itu alibi aja? Hm… jangan-jangan kamu dikeluarin lagi? Ternyata nama kamu nipu banget ya.”
Ilas yang dikomentari tidak enak begitu hanya tersenyum sambil menjawab singkat.
            “Apalah arti sebuah nama” sontak membuat Sensi kaget dan kesal, jawaban yang singkat tetapi mengena. Awas kamu Ilas, akan kucari-cari sesuatu didirimu yang akan membuatmu malu. Omelnya dalam hati.
                                                *                      *                      *

               Siulan burung terdengar melengking sekali, sangat bersemangat unggas itu pagi ini, tidak seperti Sensi yang nampak kurang bersemangat, tak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh semangat dalam hari-harinya. Boim yang memang selalu bergairah bak seekor kucing melihat seekor ikan segar, bersiap-siap mendekati Sensi yang memancing keusilannya, tetapi langkahnya tertahan oleh kedatangan Ilas yang berjalan mendekati meja Sensi. Entah apa yang dikatakannya, sehingga Sensi terlihat berbalik, tidak lagi lesu seperti tadi.
            “Las… Las… tunggu!” Boim yang penasaran dengan apa yang dikatakan Ilas pada Sensi tadi tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya segera saat bel istirahat berbunyi.
            “Ada apa Im?” Tanya Ilas setelah membalikkan badannya. Boim mengerutkan keningnya, dari dulu, Boim memang tidak suka namanya disingkat menjadi Im. Katanya seperti nama pembantu. (Lho? Masih mempersoalkan nama?)
            “Kenapa malah berkerut gitu keningnya?” Ilas bertanya lagi karena tidak mendapatkan suara Boim, hanya kerutan yang didapatinya. Boim sadar kalau itu bukanlah waktu yang tepat untuk memperdebatkan soal namanya, ia segera menjawab.
            “Ah, ga papa Cuma mau tanya aja, lo tadi ngomong apa sih ke Sensi, sampai-sampai dia yang tadinya layu jadi seger kembali?” Ilas hanya tertawa kecil mendengarnya, sambil menjawab.
            “Ga ngomong apa-apa kok, Cuma bilang kalau dia nampak tembem pagi ini, ga seksi” setelah itu Ilas langsung berlalu dengan gaya khasnya yang cuek. Boim yang mendengarnya hanya terbengong-bengong. Biasanya Sensi pasti langsung marah mendengar orang-orang yang meledeknya. Boim masih dengan rasa penasarannya, kemudian mendatangi Sensi yang tengah tersenyum-senyum sendiri menatap ke lapangan basket yang kosong duduk di bawah pohon.
            “Nenek sihir yang ketawa-ketawa sendiri, tumben lo diem aja di sini? Ga ngebacot lagi?” Boim lalu tertawa.
“Plak!” sebuah tamparan sukses mendarat di pangkal lengan tangan kanannya. Tak menyangka Sensi bakal marah.
“Lo kenapa marah?”
“Biasanya juga gini kan?”
“Tapi, tadi, waktu Ilas ngeledekin lo, lo malah senyum, kenapa sekarang jadi lain? Jangan-jangan lo suka lagi ya sama dia?” Sensi langsung melotot dan angkat bicara.
“Eh, enak aja suka! Lagian ya, dia bukannya ngeledekin gua! Tapi muji gua tau!”
“Muji gimana coba? Dasar cewek aneh” ujar Boim sambil berlalu dengan membawa rasa kesalnya.
Pelajaran pagi itu berjalan lancar dan menyenangkan, karena Sensi yang biasanya heboh dengan celotehannya terlihat diam dan santai saja pagi itu. Entah hal positif apa yang telah membawanya menjadi normal begitu? Boim jadi semakin bertanya-tanya, apa yang telah terjadi? Apa sebenarnya yang dikatakan Ilas tadi sehingga Sensi jadi berubah kalem? Sebenarnya angin baik apa yang udah ditiupkan si wajah lugu Ilas kepada Sensi?

Continue reading