Kamis, 04 Oktober 2012

Curcol stek


This is my birthday!!! And I wanna tell you about my feeling.

Cerita ini tentunya tentang kegiatan PL (Praktik Lapangan) atau nama lainnya KKN (Kuliah Kerja Nyata).
Gue sengaja memilih sekolah PL di daerah gue sendiri, alasannya sederhana aja, pengen deket sama ortu, tapi alasan yang lebih logisnya, gue mau punya waktu lebih banyak untuk latihan, karena bentar lagi (Desember) mau porprov (porda).
Akhirnya pilihan jatuh di SMP 4, bukan kebetulan sih sebenernya, tapi emang keinginan gue disana, alasannya juga sederhana, karena sekolah itulah yang terdaftar di portal yang paling deket dari rumah gue (meski sebenernya jauh juga).
Nah... perjalanan ini berawal dari gue mengetahui siapa pamong (guru yang membimbing gue selama gue masa PL di sekolahnya) gue. Maaf aja ya, dari awal gue tahu siapa pamong gue perasaan ini emang udah ga enak aja. Gue yang notabene sedikit punya kemampuan menilai orang, menilai si ibu itu tidak sepenuhnya ikhlas dengan senyum terkembangnya. Entahlah, dari awal gue berusaha netral dan mencoba mengerjakan segala amanah, menuruti segala perintah ibu itu. Agar proses praktik yang gue jalani berjalan lancar.
Tetapi tetep aja, seberapa kerasnya gue berusaha netral dan nganggap all is well... telinga gue panas juga dengan apa yang tiap hari gue denger. Temen2 sesama PL di SMP itu hampir tiap ari bergunjing, yang tak lain topiknya pasti pamong gue itu.
Iya sih... gue tau pamong gue itu gimana, mmmm apa perlu gue deskripsiin dikit? Oke!
Ibu itu dari mukanya yang ‘keras’ keliatan banget tegas dan kerasnya. Dan di sekolah, guru yang masih make cara lama mendidik anak, ya ibu itu (cara lama: main fisik, alias pukul cubit, jewer) trus ngomongnya juga ‘agak’ kasar, padahal kan guru bahasa Indonesia. Dan lagi, kalo udah marah, ga di tempatnya juga. Pernah ada seorang siswa yang ditampar pundaknya di depan orang tua siswa itu. Pernah juga dimaki-maki, dimarahi abis-abisan di depan orang tuanya juga. Sebagai orang tua, wajarlah mukanya merah padam liat anaknya digituin!
Nah, gue, sebagai mahasiswa yang selalu masuk kelas bareng ibu itu, selalu ngeliat perlakuan ‘kasar’ itu di dalam kelas. Anak perempuan dijewer kupingnya hanya karena kesalahan kecil, anak lelaki yang kadang tidak salah tapi kupingnya juga dapet jeweran atau cubitan memutar, pokoknya kejam deh! Belum lagi makian kasarnya yang sering terlontar.
Oke, deskripsinya segitu aja, gue yakin udah pada ngerti dengan wataknya ibu itu. Nah, tiap ari selalu ibu itu yang jadi bahan pembicaraan temen-temen. Tapi gue masih tetap berusaha netral, dan terkesan membela ibu itu. Sampai-sampai gue disindir udah bela-belain orang yang salah sama temen-temen gue.
Udah berjalan dua minggu, mulai perlakuan tidak mengenakkan gue terima. Sedang asik-asiknya mengajar, tiba-tiba gue disetop! (disetop di tengah jalan itu bikin harga diri gue depan siswa sedikit jatoh). Meski sedikit jengkel dan kecewa, gue tetap berusaha diam and kasih yang terbaik aja.
Tapiiiii... ternyata sebulan gue di sekolah, (tepatnya hari ini, di hari jadi gue) ibuk itu bikin malu gue depan anak-anak! Sumpah! Sebagai seorang pendidik, gue –calon pendidik— menyayangkan sikap ibuk itu.
Rasanya harga diri gue tadi tu jatoh sejatoh jatohnya!!!
Matilah....
Ngga cuman itu, materi yang gue ajar sama yg diajar ibuk itu pasti selalu bertentangan! Entah gue yg emang ga bisa, atau gimana???
Bukan apa-apa sih, soalnya yang gue ajar tu klas 3! Kalo materinya kacau balau, ga ngerti, kasihan merekanya ntar UN gimana!
Huuuuf... yang jelas hari ini tu bener2 hari kesabaran terekstra yang musti gue hadapin! (sebenernya cerita yg sebenernya lebih lebay dari ini, cuman gue ngga mau terlalu ngepublish aja gimana-gimananya... ada bagian dari privasi juga laaaaah)

Continue reading

Selalu Salah


 
Awalnya terasa yakin akan pilihan ini,
Pasti terbaik.
Tapi coba katakan padaku,
Apakah itu keliru?
Dari awal saja penerimaannya
Seperti menadah air kencing,
Hati enggan, namun tangannya terbuka juga
Terasa beratnya itu ke raut muka keteknya
Tapi dengan hati luas ku masih mengulas senyum
Pertanda mencari belas kasihnya
Yang mungkin tersisa di pojokan hatinya

Mereka sudah meneriakkan tawa atas semua yang menimpaku.
Menakutiku dengan bom yang ia punya,
Yang sewaktu-waktu bisa meledak
Mereka menceritakan ketakutan dan kebenciannya
Mempengaruhi kenetralanku
Seolah menguji seberapa jauh mentalku bertahan diam padanya

Kukatakan, ini mungkin memang kekeliruanku
Memilih hanya karena jarak yang kurasa bisa kutempuh
Bukan menilai kualitas yang akan kudapat
Sampai kudapatkan segala yang mereka bilang petaka ini

Semua terjadi begitu cepat.
Selama waktu inilah, aku mulai merasa goresan darinya
Entah,
Setiap apa yang diinginkannya selalu kuturuti
Setiap perintah dan amanahnya selalu kujalankan
Tetapi ada saja salahnya
Tidak perfect memang,
Mana ada manusia yang sempurna? Umpatku
Tetapi masih saja tanya ini belum terjawab
Hal seperti apakah yang diinginkannya
sehingga kesalahanku bisa musnah di mata sucinya

betapa bodohnya diri ini menurutnya
betapa tidak pantasnya diri ini baginya
betapa diri ini selalu salah di matanya

kalian tahu bagaimana padamnya mukaku
melihat segala perlakuannya
pada mereka yang kukasihi?
Mereka yang seharusnya diayomi

Meski mereka tidak selalu menghargaiku
Tetapi hakikatnya tugasku mencerdaskan

Yah, apapun kataku
Apapun tindakanku
Kurasa masih selalu salah olehnya

Continue reading

Minggu, 02 September 2012

Karena Kamu Cantik dan Mahal


Kenapa ya perempuan harus pake jilbab? pertanyaannya tidak kujawab. “Kak, gini….udah bener ?” tanya Nona lagi, adikku yang saat itu baru saja masuk SMP.

Dia berdiri di depan cermin dalam kamarku, bingung bagaimana caranya memakai jilbab yang rapi dan benar.Aku lantas membantunya merapikan jilbab putih itu di kepalanya. Menyematkan peniti kecil di bawah dagunya, di balik jilbab agar tidak terlihat dari luar. Dia tampak heran bagaimana aku melakukannya dengan cepat dan hasilnya rapi. Sementara dia kebingungan bila harus menyembunyikan peniti kecil di balik jilbab padahal lipatan jilbab di sisi pipinya saja belum juga bisa rapi. Tersenyum aku melihat di bingung.

Aku jadi sangat iri. Adikku ini memutuskan sendiri akan memakai jilbab. Dulu aku tidak begitu.Masa SMP aku habiskan di Surabaya, di sebuah sekolah islam berasrama. Tentu saja jilbab dan baju serba panjang menjadi peraturan utama bagi murid-murid perempuan. Mau tidak mau, dengan sangat terpaksa akupun memakai jilbab.

Bagiku saat itu, jilbab sangatlah membelenggu gerak dan peran gadis kecil seumurku yang sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Aku masih ingat, ketika mengikuti lomba paduan suara antar SMP se-Surabaya, tim kamilah satu-satunya tim yang memakai jilbab. Atau ketika aku mengikuti lomba membaca cerita dalam bahasa inggris yang diadakan sebuah universitas negeri, peserta SMP yang berjilbab saat itu bisa dihitung dengan jari. Aku merasa malu dengan jilbabku karena menjadikanku golongan minoritas.

Karena merasa kurang nyaman berjilbab, selama SMP aku sering mencuri-curi kesempatan mencopot jilbabku. Setiap jumat (hari libur kami bukan minggu seperti sekolah lain), aku dan teman-teman sering menggunakan kesempatan ini untuk sekedar jalan-jalan (baca: mejeng khas anak SMP) ke Tunjungan Plaza, Gramedia Basuki Rahmat, Plasa Surabaya dan lain-lain. Hanya untuk jalan-jalan atau sekedar makan di Kentucky Fried Chicken karena uang saku yang tidak berlimpah.

Saat-saat itulah kami merasa sangat bebas, karena begitu berhasil keluar dari asrama, kami langsung membuka jilbab agar merasa sama seperti anak-anak SMP lainnya.Tiga tahun di SMP bagiku merupakan tahun-tahun hidup dalam belenggu jilbab. Maka ketika aku mulai masuk SMA, aku ingin merasakan perubahan. Aku memilih sekolahku sendiri, karena pada waktu SMP aku hanya menuruti perintah orang tua. Alhamdulillah nilaiku bagus, sehingga langsung bisa diterima di SMU Negeri 2 Kediri.

Aku mendaftar sendiri, mengambil seragam sendiri. Dan yang kuambil adalah paket seragam putri tidak berjilbab. Ketika aku pulang, kuceritakan maksud dan keinginanku pada Ibu. Dengan bijaksana, ibu membolehkan pilihanku meskipun tidak mendukungnya.Aku mulai tinggal di tempat kost dekat sekolah. Hari itu merupakan awal dari rangkaian Penataran P4 dan masa orientasi murid baru. Jalan kaki, aku berangkat ke sekolah yang hanya berjarak kurang dari 300 meter.

Pukul 06.30 harus sudah di sekolah. Tapi pukul 06.00 aku masih bingung menata rambutku. “Enaknya diapain ya?” pikirku. Dikepang, dikuncir dua kanan-kiri, diikat ekor kuda, pake bando, pake jepit atau dibiarkan terurai hingga tampak indah diterpa angin……Cepat-cepat dan agak berlari kecil aku menuju sekolah baruku. Aku melihat ratusan murid baru yang sama denganku. Berseragam putih abu-abu, rok span selutut. Sekejap aku merasa sangat bangga karena kini tidak lagi berbeda, bukan lagi golongan minoritas.

Tapi semakin jauh aku melangkahkan kaki, semakin aku merasa tidak nyaman. Tatanan rambutku rusak dan tidak rapi lagi. Telingaku terasa dingin. Leherku geli digelitik angin. Tanganku panas disengat matahari. Betisku juga terasa aneh karena terbuka. Kaki-kakiku jadi berat untuk melangkah. Tiba-tiba aku merasa telanjang. Setiap ada orang yang menatap atau sekedar melirik, aku sangat merasa bersalah seakan-akan aku sama sekali tidak memakai pakaian.

Sepulang dari sekolah, aku segera menelpon Ibu, mengatakan padanya bahwa aku ingin memakai jilbab lagi. Ibu langsung datang dari Jombang membawakan baju-baju panjangku. Di kamar kostku, sambil menjahit bet sekolah baruku pada seragam lengan panjang, ibu tiba-tiba berkata Karena kamu itu cantik, dan kalau cantik itu harus disimpan. Gak boleh dipamer-pamerin ke orang-orang. Sembunyikan dengan pake jilbab. Pasti aman. ah, Ibu berkata seperti ini mungkin hanya karena aku anaknya. setiap ibu kan merasa anaknya cantik, sejelek apapun si anak. pasti yang tercantik bagi sang Ibu. tapi aku pikir...
Beruntung sekali aku punya Ibu seperti itu, tidak marah ketika aku menanggalkan jilbab, dan tidak menggurui atau menghujaniku dengan ribuan ceramah ketika aku salah langkah.Hari-hari berikutnya aku tidak lagi merasa telanjang. Karena sejak itu, aku merasa baru berpakaian jika telah memakai jilbab.. Aku merasa sangat bebas selama duduk di dalam kelas karena teman-teman cowokku tidak mungkin bisa mengintip celana dalamku seperti yang mereka lakukan pada teman-teman perempuan yang memakai rok pendek. Dan ternyata jilbab berikut baju-baju panjang yang menyertainya, bukanlah belenggu bagi perempuan.

Aku juga merasa nyaman jika harus duduk bersila di masjid sementara teman-temanku yang tidak berjilbab merasa repot dengan rok spannya. Maklumlah, terlalu banyak gerak, roknya jadi semakin terangkat ke atas. Begitupun jika sedang naik becak. Teman-temanku repot harus menata duduknya, atau harus membawa selembar kain untuk menutupi paha dan betisnya.Aku juga merasa sangat aman dari sengatan sinar matahari, angin dingin atau debu-debu nakal yang suka menempel di rambut. Dan yang paling penting, Jilbab membuat kita semakin dihargai orang.

Seorang sahabatku, lelaki, yang duduk di depanku saat kelas satu SMA mengatakan sesuatu yang membuatku merasa sangat berharga. Ketika itu, ada teman sekelas yang membawa majalah prono bergambar cewek cewek sexy tanpa busana. Dengan sangat sigap, seluruh penghuni kelas yang berjenis kelamin lelaki berkumpul di pojok kelas menikmati setiap pose cewek cewek sexy dalam majalah itu. Setelah puas, sahabatku itu kembali ke bangkunya. dan dia berkata Beruntung banget Sa, Kamu mahal. gak kayak cewek-cewek di majalah itu. Cuman 5000 perak, kita semua bisa lihat body nya. Kalo kamu, hhm….harus bayar mas kawin, plus peningset dulu, harus ada komitmen dan tanggung jawab seumur hidup, harus janji sama Tuhan dulu…baru bisa lihat bodymu! Mahal banget kan?”

“Hey kak Elsaaa!!!! Udah bener belom nih???” teriak adikku membuyarkan lamunanku. “Ya…ya sudah bagus” Trus kenapa tadi perempuan harus pake jilbab yaa?” tanyanya lagi.

“Karena kamu cantik dan mahal!” Adikku terbengong-bengong mendengar jawabanku. Aku tertawa saja, meninggalkannya di kamar, membereskan peniti dan beberapa jilbab yang dipakai untuk belajar mengenakan jilbab.

Continue reading

Senin, 23 Juli 2012

Pra Novel


Kembali, hanya kembali kepada kesibukan yang bisa kulakukan sekarang untuk melawan dan mengusir rasa sepi dan kegundahan. Segala kenangan yang baru saja tersangkut di benakku menumpuk, penuh, benar-benar mengganggu dan mengurangi gairahku saat ini juga. Jadi memutuskan untuk kembali berkutat dengan laptop dan mengetik naskah adalah jawabannya saat ini.
Kenangan yang baru saja terlintas itu adalah hal kedua yang bisa membuatku ingin menangis setelah mengingat mama. Ya, hal kedua itu adalah teringat papa. Entah untuk keberapa kalinya aku teringat sosok penuh wibawa dan tegas itu, pria yang berbadan tegap dan tampan yang sejak 20 tahun lalu kupanggil papa itu selalu saja melintas di benakku. Mungkinkah ia tengah sakit? Mungkinkah ia tengah merindukanku? Entahlah... yang jelas, aku ragu, apakah iya, lelaki yang kupanggil papa itu masih menyimpan rasa rindu kepadaku? Atau bahkan aku ragu, apakah ia masih ingat denganku, anaknya?
Kualihkan kembali pandangan mataku ke layar laptop dengan mencoba berkonsentrasi pada setiap kalimat yang diketik jariku, mencoba membangkitkan semangat untuk segera menyelesaikan kembali naskah yang sudah seminggu ini kuacuhkan karena sedang dalam kesibukan ujian tengah semester. Sudah bertambah setengah halaman ketikan jariku, setelah kubaca lagi, ternyata kalimatnya ngawur, tidak nyambung dan asal-asalan. Huh! Gumamku kesal. Kuarahkan kursor dan memblok semua yang sudah kuketik tadi, kemudian kutekan delet, semua kembali terhapus.
Kucoba membaca ulang naskah yang sudah selesai 12 halaman yang kuselesaikan beberapa waktu lalu itu, setelah membacanya, kucoba untuk berkonsentrasi mengetik kembali dan tanganku pun mulai lancar menari-nari di atas keyboard. Sedang asiknya menikmati konsentrasi bekerjaku, hapeku berdering, ada telepon dari rumah.
“Assalamualaikum, ya ma?”
“Walaikum salam. Aya, kamu lagi ngapain? Mama ganggu nggak?”
“Lagi nulis naskah nih ma, ngelanjutin yang kemarin sempat keputus karena UTS.”
“Masih nulis juga?”
“Iyalah ma, ini deadlinenya udah deket, kalo telat, matilah aku, kontraknya bakalan batal dan kesempatan buat nulis naskah film itu bakalan hangus seketika.”
“Ya, mama tau mimpi kamu, tapi jangan sampai lupa makan dan istirahat ya?”
“Ya ma,” Aku hanya menjawab singkat
“Yasudah, kamu lanjutin dulu sana kerjanya, nanti nggak kelar-kelar pula.”
“Iya ma” dan akhirnya pembicaraan singkat dengan mama terputus. Dan kembali semua ide yang tadi sudah mulai datang harus berusaha kukumpulkan. Menulis memang butuh konsentrasi, kalau tidak akan kacau seperti ini.
Sayup-sayup nyanyian kodok dan jangkrik di sebelah kamar memaksaku membuka mata. Ternyata siang yang tadi kutinggalkan tidur telah pergi berganti senja. Aku segera bangkit menutup jendela kamar dan beranjak ke kamar mandi, sebentar lagi panggilan shalat akan datang.
“Udah selesai shalat Ay? Temenin kakak bentar yuk?” suara Kak Dini di luar kamar memaksaku bangkit.
“Udah kak, mau kemana memangnya?”
“Eh, lagi tidur ya? Enggak, mau nyari makan, tadi nggak sempat masak.”
“Lagi berbaring aja kak selesai shalat tadi agak pusing. Okedeh, Aya ambil jilbab dulu kak.” Aku masuk ke kamar dan kembali setelah memakai kerudung, kami pun berangkat.
“Gimana naskahmu Ay? Udah rampung berapa persen?” Kak Dini tiba-tiba bertanya
“Ya, masih jauh lah kak, nggak tau Aya, apa masih bisa dikejar waktunya?”
“Kamu bisa kok Ay, Cuma butuh lebih ekstra semangat dan keyakinan aja. Kakak aja percaya sama kamu.”
“Hm... iya kak, nanti akan Aya coba lanjutin lagi.” kami terus berjalan sampai tiba di rumah makan. Di jalan pulang ke wisma, Kak Dini bertanya lagi.
“Jadi besok mau bolos kuliah Ay?”
 “Terpaksa kak, Aya mau ngabisin waktu seharian di kamar buat ngangsur naskah, paling nggak mencapai 70% lah, biar nanti nggak kucar-kacir ngejar ketinggalan. Hehe” jawabku.
“Yasudah, pilihanmu nggak bisa kakak larang, tapi saran kakak jangan terlalu sering ninggalin kuliah, meski kamu kerja, kuliah tetap nomor satu kan?”
“Iya kak, makasih” jawabku pendek sambil terus memaknai maksud Kak Dini barusan. Setidaknya sebelum ini aku belum pernah absen kuliah. Batinku.
“Oh ya, sudah minta izin sama mama belum Ay?” aku yang sedang merenung, dibuat kaget olehnya.
“Eh? Maksudnya kak?”
“Haha... makanya jangan banyak melamun Ay, maksudnya... sudah bilang mama belum kalau besok mau bolos? Kasian mama di kampung susah payah kerja buat biayain kuliahmu, tapi kamunya malah bolos cuma gara-gara naskah.” Aku sedikit tersinggung tetapi membenarkan ucapan Kak Dini yang memang sering blak-blakkan itu.
“Iya kak, ntar Aya pikirin lagi cara ngomong sama mama.” Setelah berbicara demikian kami pun sampai di pintu wisma, dan aku langsung masuk ke kamarku yang memang terletak paling depan dan meninggalkan Kak Dini yang juga langsung melaju ke kamarnya.
Kembali bermenung, apa segitu berdosanya aku meninggalkan kuliah untuk kerja yang juga untuk masa depanku ini? Ah... kutepis semua perasaan negatif itu, besok hanya diskusi biasa, dan aku sudah selesai tampil diskusi, jadi tidak perlu khawatir. Mama juga pasti akan mengerti, toh aku memakai waktu kuliah untuk bekerja bukan untuk bermalas-malasan.
*
Waktu tak pernah menunggu kita untuk benar-benar siap mengarunginya, waktu akan terus setia pada tuannya untuk terus bekerja sampai masanya ia harus berhenti, jadi aku memang harus melakukannya sekarang. Tidak mesti menunda pekerjaan berharga ini hanya untuk tidur, tidur akan bisa kulakukan sepuasnya setelah naskah ini rampung setidaknya 70%.
Masih setengah adegan yang rampung, dan hari sudah beranjak subuh, mendengar suara azan yang mendayu-dayu aku langsung tersadar untuk bangkit melangkah menuju kamar mandi untuk kemudian menghadap Sang Khalik. Mudah-mudahan aku dibukakan jalanNya, agar naskahku selesai secepatnya.
Di luar sudah terdengar kesibukan mewarnai rumah mungil wismaku tinggal, semua penghuni sudah sibuk melakukan aktivitas rutinnya. Hanya aku yang bersisakan kantuk masih saja berkutat dengan kelenaan naskah yang tak kunjung beranjak rampung. Sampai akhirnya ketukan pintu kamarku akhirnya membuatku terhenti sejenak.
“Aya, mau berangkat bareng nggak?” kubuka pintu,
“Aku nggak kuliah Wen, jadi duluan aja.” Jawabku lesu.
“Lho, kenapa? Dosennya nggak masuk? Atau kamu sakit?” Tanya Wenda sambil memegang kepalaku.
“Enggak Wen, hanya lagi kerja aja, sudah izin kok tadi sama dosennya.”
“Oh, yaudah, aku duluan deh ya... Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, hati-hati” sambungku dan disambut oleh senyum dan anggukan dari Wenda. Sebelum aku kembali menutup pintu kamar, aku mendengar ada suara rame dari kamar sebelah yang membuatku tertarik untuk melihatnya. Ada apa ya? Batinku penasaran.
“Ada apa nih?” tanyaku begitu sampai di kamar Diana.
“Ini, si Diana pagi-pagi udah dapat paket Ay, sini, liat dulu.” Jawab Tisa teman sekamar Diana. Aku kemudian mendekat dan duduk di samping Diana, kulihat sebuah ponsel model terbaru masih lengkap dengan segelnya bertengger cantik di atas kasur.
“Wah, hape baru, siapa pengirimnya?” kataku antusias.
“Haha... Papi yang ngirim Ay, udah lama kuidam-idamkan nih” jawab Diana, dan aku hanya tersenyum simpul.
“Nah, tinggal kamu nih Ay, yang masih berhape tipe rendahan. Kapan papamu beliin hape juga?” Tisa menambahkan. Aku hanya terdiam mendengarnya, bukan karena hapeku yang dibilang rendahan, tetapi papa. Ah... lagi-lagi aku teringat sosoknya.
“E, malah bengong. Gimana sih Ay?” Diana menimpali. Aku hanya tertawa dan kembali ke kamar sambil berkata,
“Besok deh, kubeli sendiri dengan uang kerjaku. Makanya doain naskahku cepat selesai dan diterima sama sutradara ya.” Aku pun berlalu ke kamar.
Setibanya di kamar, kulihat hapeku yang sudah soak itu di atas meja. Benar-benar menyedihkan dan kuno sekali, tetapi aku masih bisa memakainya hanya untuk sekedar berkomunikasi, menurutku itu tidak apa-apa, daripada harus menambah-nambah beban mama dengan meminta membelikan hape yang baru. Sungguh tidak mungkin. Untuk membelikanku laptop saja mama harus ngutang sana-sini. Meminta pada papa? Aku tidak yakin.
*
Bertemankan semangat luar biasa, aku melanjutkan pekerjaanku. Meski malam sudah dari tadi datang, tetapi aku masih enggan beranjak dari meja belajarku, perut lapar tetap kutahan, aku harus maksimal dan tidak boleh sampai terputus lagi. Namun niatku masih saja ada gangguan dari luar, hapeku bergetar, ada pesan masuk.
Uni, kpn pulang? Pinjam adek laptop utk buat tgs, kalo k rental mahal ni.
Pesan dari Arfan, adikku yang kecil. Aku tak langsung membalasnya, aku masih berpikir, kapan aku akan pulang? Sedangkan kerjaku masih banyak dan deadline tinggal seminggu lagi.
Tugas apa dek? Bisa uni aja yg bikinkan dsini? sms balasan dariku terkirim, namun lama sekali adikku baru membalasnya.
Hanya ngetik ni, banyak bgt, jd adek butuh secepatnya. Tugasnya utk seminggu lg.
Besok uni plg. jawabku singkat dan tak ada balasan lagi dari adikku. Aneh, anak kelas satu SD sudah dikasih tugas mengetik? Mengetik apaan? Kembali aku berfantasi ke alam bebas, menerawang menembus malam menuju rumah sederhana mama di Solok sana, pasti nyaman sekali keadaan di sana. Aku rindu rumahku, sudah lebih dari 3 bulan aku sudah tidak pernah pulang lagi, padahal biasanya aku selalu menyempatkan diri untuk pulang selalu setiap minggu. Namun semenjak mendapat pekerjaan dan tantangan baru dari sutradara ini, aku terpaksa untuk tetap di Padang. Tidak terasa, rasa dendam dan ingin keluar dari lingkar hitam kelam kehidupan yang bertahun-tahun kualami telah menjadi penyemangatku untuk tetap bekerja keras mencapai kesuksesan. Ya, dengan cara menulis, mengembangkan bakat mengalirkan mutiara-mutiara keringat yang sangat berharga di setiap gerakan lincah jemariku menari-nari hanya untuk menghasilkan sebuah tulisan berkualitas yang bisa menghasilkan sedikit uang. Meski belum banyak, tetapi aku tetap bersyukur bisa menghasilkan. Ternyata untuk mencari sekedar lima ratus rupiah itu sulitnya luar biasa. Aku jadi teringat perkataanku tempo hari pada seorang teman; “Kitalah yang membuat diri kita istimewa dan spesial, bukan orang lain! Jadi, apa-apa yang bisa membuat diri kita ‘berharga’ di mata orang lain, lakukanlah. And DO IT NOW” insya Allah itu akan kejadian sebentar lagi padaku.
*
“Mamaaaa... Uni Aya sudah pulang” si bungsu Arfan berteriak sesudah menjawab salamku. Buru-buru mama membuka pintu rumah yang sudah tua dimakan rayap itu.
“Assalamualaikum ma,” Ucapku sambil mencium tangan tuanya dan memeluk tubuh ringkihnya. Mama menangis, entah karena apa.
“Ayo masuk dulu uni, pasti capek kan?” ujar Aska yang kini tengah duduk di kelas delapan sambil menenteng tasku ke dalam rumah.
Kulihat keadaan di sekelilingku masih sama, tidak ada yang berubah selama tiga bulan tak kulihat. Masih ada foto-foto yang sama di dinding rumah, dan aroma pandannya yang berasal dari tanaman pandan yang rimbung di sekeliling rumah pun masih sama.
“Kamu kapan balik lagi Ay? Agak lama lah main di sini dulu, nggak kepingin kumpul-kumpul sama kita dulu?” kata mama datar. Aku hanya tersenyum, mencoba menata kalimatku agar tidak terdengar melawan.
“Aya selesaikan dulu lah kerjaan Aya ma, baru Aya pulang dan agak lama di rumah, soalnya besok Aya harus balik lagi ke Padang. Kalau di rumah Aya nggak bakalan konsen nulis ma.” Mama hanya diam mendengarnya, sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakannya padaku.
“Yaudah, yuk dek, katanya mau ngetik?” aku mencoba mengalihkan. Adikku langsung asik berkutat dengan laptop, dan aku berlalu ke dapur membantu mama di sana.
“Ada apa ma?” tanyaku hati-hati
“Nggak apa-apa, mama Cuma butuh teman bicara aja Ay, tapi kamu sibuk banget ya?” aku terdiam, merasa berada dalam dua pilihan yang teramat sulit, apa aku harus meninggalkan cita-citaku menjadi seorang penulis profesional dengan tetap di sini? Atau aku melanjutkan balik ke Padang sedangkan hati mama harus terluka? Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
“Mama kenapa? Aya kan masih di sini sampai besok ma, mama bisa cerita selama Aya masih di sini kan?” aku mencoba untuk menghibur mama. Mama hanya tersenyum, kehidupan berat apakah yang telah dilalui perempuan tua ini selama tiga bulan aku tidak berada di sisinya sehingga ia terlihat sangat ringkih saat ini? Aku langsung berlari ke kamar kecil dengan alasan tidak tahan ingin buang air, sementara dadaku yang sesak sudah sangat mendesak untuk diluapkan dalam wujud air mata.
*
“Ma, katanya papa mau balik lagi? Mana? Sampai sekarang belum juga balik” Arfan yang masih berumur enam tahun mengejutkanku. Papa datang? Inikah yang membelenggu mama sampai raut wajahnya tidak pernah cerah semenjak kedatanganku tadi siang?
“Iya, papa pasti masih sibuk sekarang sayang, kamu tunggu saja ya?” jawab mama sambil mengusap lembut rambut adikku itu. Aska menatapku, dan seolah mengerti dengan yang kupikirkan, dia berkata.
“Iya uni, papa datang tiga hari yang lalu. Papa janji mau belikan Adek sama Abang mainan.” Kepolosan Aska memaksaku untuk tertawa, entah karena apa, dan entah seperti apa wujud tawa yang kelepasan tidak karuan itu.
“Syukurlah, kan nanti abang sama adek dapat mainan baru kan ya?” ujarku yang masih dengan wajah tertawa. Keduanya mengangguk dan sangat antusias. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka kalau seandaianya papa tidak jadi datang atau tidak membelikan apa-apa, pastilah raut wajah bahagia yang kini tampak akan berubah kekecewaan yang mendalam. Mengingat itu aku jadi semangat untuk menyelesaikan kerjaanku, semoga berbuah uang dan aku bisa memberikan sedikit untuk mama dan adik-adikku.
“Papa ngapain ke sini ma?” Ujarku ketika malam sudah beranjak jauh menyongsong pagi. Sambil membalikkan badannya mama menjawab.
“Nggak ngapa-ngapain selain ngajak main adik-adikmu, papa juga nanyain kamu kenapa jarang pulang”. Mama hanya menjawab dengan wajah yang datar.
“Papa nanyain aku ma?”
“Iya, kenapa kamu heran?”
“Ah, nggak apa-apa”. Jawabku singkat, apa mungkin, kerinduan yang kurasakan saat beberapa hari lalu itu juga dirasakan oleh papa?
“yasudah ma, tidur yuk! Besok kan mama mesti ngajar dan aku juga harus balik lagi ke Padang.” Ujarku kemudian. Tak lama wajah lelah itu terlelap juga, kupandangi ia dalam keremangan, membawa ingatanku berjalan menyusuri masa lalu yang sama pahitnya dengan hari ini, hari yang sangat melelahkan bagi mama, di saat pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga, mama harus rela bekerja lebih keras lagi, bangun tengah malam dan memasak gorengan untuk dijual esok paginya, bahkan mama bisa tidak tidur, tidak pernah istirahat, hebatnya, mama tidak pernah terlihat lelah. Meski uang yang didapat dari hasil jerih payahnya seharian tidak sepadan dengan apa yang telah mama korbankan. Mama selalu bilang, melihat canda tawa kami dan melihat kami yang selalu akur dan penuh kasih sayang adalah penawar kantuk dan lelah paling mujarab bagi setiap orang tua yang merasa lelah.
Aku tersenyum pahit, meneteskan buliran air mata seketika mengingat kejadian terpahit yang menimpa mama dan kami ketiga anaknya. Harus rela mengakui nasib yang tak berpihak pada kami, mengikhlaskan dengan terpaksa membagi papa dengan orang lain. Berbagi tidak hanya nafkah, tetapi berbagi kasih sayang. Perih.
*
Sayup-sayup azan subuh mulai terdengar mengajakku bangkit dari peraduan, alunan merdunya menyapa pagiku, memberikan kesejukkan di sela udara dingin yang kian menusuk tulang, namun untuk menarik selimut bukanlah solusi yang tepat, karena melawan kantuk dan menerima panggilanNya adalah yang terbaik. Aku menatap sampingku, hanya tinggal bantal, pasti mama sudah bangun dari dini hari tadi, menyiapkan segala keperluan kami ketiga anaknya, mama memang selalu memberikan yang terbaik. Aku bangga memilkinya. Aku memang sangat mencintainya, tidak kutahu apakah begitu juga untuk papa, tapi, yang kusadari sebutan papa yang kusematkan padanya saja yang tetap melekat di hatiku. Apakah antara kami masih ada kasih sayang? Aku juga masih ragu.
Semua ini bukan salahku, memang bukan salahku, jika saja papa tidak datang di hujan bahagia sore itu, di mana kami semua sedang merayakan kelulusanku yang mendapat 10 besar tingkat Kabupaten itu. Seharusnya papa datang dengan menyalamiku, mencium keningku dan memberiku hadiah berupa kalimat nasihat yang sangat kurindukan. Tetapi bahagia sore itu harus ternodai olehnya, dengan kabar berita yang lebih menakutkan dari petir sore itu, permintaan yang tak harus kami jawab.
“Papa mau menikah lagi” kalimat singkat dan amat kubenci itu diucapkannya dengan ekspresi wajah yang sangat sulit kutebak. Entah apa yang bersarang dibenaknya saat itu? Tidak bersyukurkah ia hidup dengan istri seorang guru sedangkan dirinya hanya seorang supir truk? Tidak bahagiakah hidupnya dengan dikaruniai tiga orang anak yang sangat menghormatinya? Seharusnya papa bangga dan bersyukur mama mau menerimanya dengan status sosial mama yang lebih tinggi. Seharusnya papa bahagia dengan menjalani hidup bersama kami, ketiga anaknya yang tidak pernah malu dengan pekerjaannya bahkan selalu menghargainya.
Entah apa pula yang dipikirkan mama, saat itu mama tidak marah sama sekali, mama hanya tersenyum pada papa. Aku? Aku langsung berlari sekencang-kencangnya menembus hujan, menapaki tanah basah, menyusuri jalanan panjang, ditemani hujan yang telah bercampur dengan air mataku. Mencoba mengerti tetapi hanya bisa membenci. Iya, aku benci padanya yang kupanggil papa.
*
“Kalau nanti semua kerjamu sudah selesai, cepat balik ya nak” Mama kembali mencium keningku, tanpa air mata nyata tetapi sangat banyak air mata di batinnya dan aku tau itu. Aku tersenyum
“Iya, ma. Aya akan segera pulang, tidak tahan juga lama-lama berpisah dengan adik-adik manis dan menggemaskan ini” kataku sambil mengusap-usap kepala kedua adikku, mereka kemudian merajuk manja.
“Iya uni, Apan juga nggak tahan lama-lama nggak ada uni di sini, ada yang kurang rasanya”
“Benar uni, biasanya Aska selalu ditemani sama uni kalau belajar kan?” Oh Tuhan, ucapan kedua adikku ini sangat menyentuh, kepolosan keduanya hampir saja meruntuhkan ketegaranku untuk tidak meneteskan air mata.
“Iya sayang, doakan uni bisa segera menyelesaikan kerjaan uni ya? Abis itu uni akan sering-sering pulang lagi kayak dulu” hiburku.
“Yasudah, mobilnya udah datang, uni berangkat dulu, rajin-rajin belajar dan selalu bantu mama ya adik-adik uni yang pintar? Assalamualaikum.” Dan aku pun berlalu, meninggalkan keluarga yang teramat kusayang, harapan hidupku.
Perjalanan ini menjadi awal dari tekad bulatku, tekad yang mulai kuat dan kokoh dengan perekat yang dibaluri oleh harapan oleh adik-adikku juga mama, tekad untuk segera menyelesaikan pekerjaanku dengan usaha yang maksimal dan perjuangan pantang menyerah menghadang segala prahara. Aku yakin, menulis itu butuh keyakinan. Dan aku Alhamdulillah sudah mulai yakin kembali akan bisa menyelesaikan naskah ini kurang dari seminggu.
*
Nyanyian burung terasa kian merdu, merasuki nuraniku. Jantungku berayun-ayun mengikuti irama nyanyian burung yang kian memicu adrenalinku, semangat yang kian membara bersama tekad yang kuat membawa jemariku untuk lebih ngebut lagi menari-nari dan menekan tuts-tuts mungil yang berjejeran. Subhanallah ciptaan Allah, jemariku tidak pernah lelah atau cedera, bahkan ia akan semakin kuat dan cepat dengan terus kuasah begini. Terima kasih Tuhan, ciptaanmu sangat membantuku hari ini sudah 300 dialog yang selesai diketik oleh jemariku itu, artinya, tinggal 10% dialog lagi dan editan terakhir, naskah ini akan siap untuk dikirim. Berkali-kali senyumku mengembang, menyadari nikmatNya sambil menatap pada sang burung yang masih asik bernyanyi menemaniku bekerja di luar jendela.
Naskah yang kuciptakan bertemakan kisah perjuangan remaja laki-laki dan perempuan yang sama-sama berjuang melawan penyakit mereka di tengah keadaan keluarga yang sama-sama serba kekurangan. Tema yang ditentukan oleh bapak sutradara ini awalnya sangat susah untuk kutentukan alur ceritanya, selalu, setelah mengetik sekitar 50-an dialog, aku pasti menghapus lagi, feelnya selalu berbeda-beda sampai akhirnya Tuhan menunjukkan jalanNya padaku, memberitahu rahasia di balik rahasia yang kutemukan setelah membaca naskah-naskah dari penulis terkenal. Tidak mudah memang menulis itu, tetapi asalkan memiliki kemauan yang kuat dan keyakinan terhadap diri insya Allah akan bisa menyelesaikan tulisan dan melewati rintangan yang dihadapi penulis pada umumnya. Namun yang terpenting, memang harus sering membaca! Membaca karya orang lain, menemukan inspirasi dan membuat inovasi baru, baru setelah itu kita harus rajin berlatih.
“Aya... Aya...” panggilan dari luar pagar mengagetkanku yang sedang melayang berfatamorgana. Kutengok keluar jendela, ternyata Taya teman sekelasku yang datang.
“Masuk aja Tay, pagarnya emang sengaja dirapatkan tetapi nggak dikunci kok” ujarku dan kemudian Taya masuk.
“Assalamualaikum. Kupikir dikunci Ay, soalnya ga pernah dirapatkan gitu sih kalau siang-siang gini.”
“Waalaikumsalam. Iya Tay, lagi antisipasi, kemarin anak kos sebelah kemalingan. Di siang bolong bahkan! Jadi semenjak itu wisma kami dirapatin aja pagarnya meski siang-siang.”
“Kemalingan? Wah... apa yang hilang Ay?”
“Katanya laptop dua sama hape tiga.”
“Hm... iyasih, lagi musimnya maling berkelana sekarang ya, deket kosku juga ada, laptop sama hape juga incarannya.” Taya kemudian berjalan menuju meja belajarku dan membaca-baca sebagian naskah yang sudah ku print.
“Wah, naskah apa ini Ay? Bagus keliatannya, boleh kubaca?” Taya terlihat sangat antusias.
“Hehe, boleh Tay, tapi kamu baca yang ini aja ya, yang itu udah yang siap kuedit, nanti kotor atau kelipat-lipat pula jadi jelek.” Ujarku sambil menyodorkan map kuning yang berisi naskah-naskah yang banyak terdapat coretan koreksiku sendiri. Taya mengambilnya kemudian menuju kasurku sambil berbaring ia mulai asik membaca. Aku hanya tersenyum melihatnya, kemudian kuteruskan mengedit-edit naskahku. Sedang asik melakukan editing, tiba-tiba Taya terperanjat dan mengagetkanku.
“Astaga, Lupa aku Ay!” suaranya yang lengking itu benar-benar mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi.
“Astaghfirullah... ngagetin aja deh! Lupa apanya sih Tay?” jawabku sedikit ketus karena dikagetkan oleh Taya.
“Hehe maaf, aku lupa tujuan awalku kemari gara-gara ini loh” ujarnya melambai-lambaikan naskahku.
“Tadinya aku ke sini mau kasih tau tentang open recruitment di PPIPM say, udah dibuka tuh! Katanya kamu mau gabung ke sana?”
“Wah... beneran? Tau dari mana kamu?”
“Makanya say, jangan asik sama naskah-naskah mulu, baca tuh dinding di kampus, banyak kok ditempelin di dinding-dinding.”
“Hehe.. iya, naskah ini mengalihkan duniaku Tay, besok temani aku ke sekre PPIPM itu ya? Atau kamu mau ikut daftar juga?”
“Hm... agak-agak kurang tertarik sama ilmiah sih akunya, liat besok ajadeh Ay, kalo mood aku ikutan, kalo nggak ya nggak. Hehe...”
“Oh.. yaudah, ada lagi tujuan lain ke sini selain tujuan utama tadi nggak?”
“Maksudnya?”
“Iya, kalo nggak ada, aku mau ngelanjutin ngedit, dan kamu terusinlah baca naskahnya.”
“Oooo, intinya ‘Jangan ganggu aku’ kan? Haha... sip deh, aku baca dulu. Sok dilanjutin say.” Ujar Taya tersenyum-senyum dengan ucapanku barusan.
*
“Hayatul Husna, BP 2009, Jurusan Bahasa Sastra Indonesia. Benar?” ujar panitia itu mengulang dataku sembari menyerahkan kwitansi bukti uang pendaftaran yang sudah kusetor. Aku mengiyakan dengan mengangguk. Setelah itu aku kemudian berbalik dan menyusul Taya yang sudah menungguku di luar.
“Udah Ay? Segitu aja?”
“Iya Tay, Cuma daftar aja, sama ninggalin nomer hape, nanti dihubungi lagi sama panitia.” Uajrku sambil terus mengiringi langkah Taya menuju kampus FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) di selatan. Jejak kaki kamu terus berderak melaju dan menyonsong gedung megah yang mulai tampak puncaknya, sekilas aku tersenyum memandangi si raja angkuh itu, tempat aku selalu mencari dan belajar. Tidak terbayangkan, gedung yang biasanya selalu kuharapkan ketika menatap layar televisi itu kini berada tepat di hadapanku. Tidak sekedar harapan lagi sekarang, tetapi aku sudah memilikinya bahkan. Di sanalah kudapatkan sebagian yang kucari. Ilmu menulis dan berbahasa. Ya, hobi menulisku yang sudah semenjak SD itu kini berlabuh di sini, dan ilmu yang kubutuhkan untuk memperkaya kemampuanku juga kudapat di sini. Aku tahu bagaimana cara menulis fiksi yang baik, dan aku dapat perbendaharaan kata baru juga di sini. Hm... kuhirup udaranya yang sejuk sekali lagi, sangat menyegarkan. Taya yang melihatkku memejamkan mata jadi heran sendiri.
“Kenapa kamu Ay? Tau-tau sepulang dari PPIPM udah gini aja, ketemu siapa tadi di sana?”
“Emang kenapa? Biasa aja deh perasaan!”
“Biasa apanya? Jelas-jelas kamu jadi aneh gini! Mejamin mata, senyum-senyum, itu apa?”
“Ahh, aku hanya menikmati udara segar ini aja. Ayuk ah, dipercepat lagi jalannya, ntar kita nggak kebagian duduk di depan lagi” kupercepat langkahku menaiki tangga demi tangga. Meneriaki kekampunganku yang selalu senang ketika bisa mencapai tangga teratas terlebih dahulu dari Taya yang sudah ngos-ngosan.
Perkuliahan keredaksian selalu mengasikkan. Bukan hanya dosennya yang sangat kusenangi, tetapi lebih dari itu, aku sangat suka pelajarannya. Menjadi wartawan cilik, penulis, redaktur, editor, dan layouter. Semua dipelajari di sini. Memang tidak semua temanku yang menyukainya, tetapi aku merasa ini adalah duniaku. Di sini kita banyak menulis dan ke lapangan untuk mencari data dari narasumber, sungguh terasa sangat mengasikkan.
“Baiklah, karena kelompok sudah dibagi, silakan duduk dengan kelompok masing-masing dan diskusikanlah jabatan masing-masing” instruksi dari dosen itu segera kami patuhi. Kelompokku yang terdiri dari 6 orang perempuan dan satu laki-laki itu sangat ideal menurutku. Tiga orang temanku sangat bisa diandalkan untuk bekerja sama, berarti empat orang dari kelompok yang kami beri nama Kariesma itu bisa bekerja membantu menutupi kekurangan tiga anggota kelompok lainnya. Aku yang ditunjuk sebagai pemimpin redaksi mulai membagi-bagi tugas dan mulai mengagendakan kapan kami akan bergerak mencari berita dan menentukan narasumber.
“Si Aya ini terlalu bersemangat, santai ajalah Ay, jadwal pengumpulan majalah kita masih tiga bulan lagi kok.” Aku langsung kesal dengan kalimat yang seperti itu.
“Tiga bulan itu sebentar Dev, apalagi kita juga ada tugas akhir semester dari mata kuliah lainnya, ini tugas akhir yang lumayan berat, kita membuat dan menerbitkan majalah. Ini nggak main-main loh!” beberapa temanku mengiyakan, akhirnya dengan kesepakatan kami akan mulai bergerak mencari berita minggu depan, selama seminggu ini kami akan menyelesaikan tugas pribadi yang sudah kubagi tadi. Sungguh, aku sangat bersemangat dan antusias sekali dengan tugas akhir majalah ini.
*
“Para peserta PAB (Penerimaan Anggota Baru) dipersilahkan untuk masuk ruangan, karena acara akan segera dimulai” aku yang masih berada di jalan mempercepat langkahku begitu mendengar sayup-sayup suara himbauan dari panitia. Setibanya di ruangan itu aku dan para peserta lainnya diperkenalkan dengan apa itu PPIPM (Pusat Pengembangan Ilmiah dan Penelituan Mahasiswa) UNP (Universitas Negeri Padang), kami juga diperkenalkan dengan pengurus-pengurus di PPIPM, serta prestasinya, dan diberikan serangkaian materi yang berkenaan dengan tugas yang akan kami kerjakan selama masa PAB yang berjalan sekitar kurang lebih dua bulan itu. Salah satu tugasnya adalah mengisi buku daily ta’aruf, alias buku perkenalan dengan senior, kami disuruh meminta senior-senior di PPIPM untuk mengisinya, tentu tidak mudah, karena belum tentu senior-senior itu mau memberikan datanya begitu saja, mungkin kita akan disuruh untuk menjawab beberapa pertanyaan konyol terlebih dahulu, atau mengerjakan apa yang diminta terlebih dahulu, baru tanda tangan akan didapat.
“Tugas esainya jangan lupa untuk dikerjakan dan akan dikumpulkan minggu depan” demikian pengumuman terakhir yang kudengar ketika sedang beres-beres untuk segera pulang. Saat itu ada seorang teman yang mencolekku dari belakang, aku langsung menoleh ke belakang.
“Maaf, tadi katanya kita disuruh menyiapkan buku daily ta’aruf, itu seperti apa ya?”
“Oh... itu, buku yang kita sediain yang nantinya akan kita gunakan untuk meminta data-data senior biar kita bisa kenal ama mereka dan disuruh penuhin juga, hm... dinilai lho!”
“Oke, makasih ya, by the way nama aku Lian, jurusan Teknik Elektronika, kamu?”
“Aku Aya, Bahasa Indonesia, salam kenal ya” Lian hanya tersenyum dan berlalu sambil melambaikan tangannya ke arahku yang juga hendak berjalan pulang. Sebelum balik ke kos, aku menyempatkan mampir di tempat foto kopi untuk membeli buku daily taaruf dan membeli sampul buku berwarna coklat sebagai syaratnya juga.
Kutata dan kuhiasi dengan rapi sampul coklat itu agar terlihat keren, sambil tersenyum-senyum sendiri, kak Dini yang kebetulan lewat kamarku dan melihatnya langsung menegurku.
“Kenapa kamu Ay? Senyum-senyum sendiri aja?”
“Eh, kak Dini! Ini kak, lagi nyampul buku buat minta tanda tangan senior di PPIPM, sebagai syarat juga!”
“Iya, kakak tau, tapi kenapa senyum-senyum segala?”
“Ah, nggak apa-apa kok, kita kan harus selalu ceria dan tersenyum untuk melakukan suatu pekerjaan biar hasilnya juga baik.”
“Alah, pinter-pinter kamu ngejawab, dasar anak bahasa. Pasti tadi ketemu senior ganteng ya?”
“Ih... kakak ada-ada aja deh, nggak ada kok, beneran!”
“Huu, yaudah, lanjutin deh, kakak mau ke warung dulu, mau nitip nggak?”
“Nggak deh kak, lagi bokek nih!” kak Dini pun berlalu dari kamarku yang memang terletak paling depan, di samping pintu masuk yang memang selalu menjadi tempat persinggahan penghuni wisma kalau hendak masuk atau keluar. Aku kembali asik dengan pekerjaanku yang sudah mau beres, kemudian aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dan menyegarkan badan.
Setelah shalat magrib, aku menghampiri meja belajar yang di atasnya sudah kubungkus rapi sebuah nashkah lengkap dengan CD yang berisi soft copynya. Besok naskah itu akan kukirim, berharap semoga saja naskah yang sudah kubuat dengan jerih payah dan usaha yang maksimal itu layak di mata bapak sutradara. Mataku kemudian beralih ke hape yang berada tidak jauh dari amplop naskah, saatnya menghubungi rumah untuk minta restu dari mama.
“Assalamualaikum Ay”
“Waalaikum salam, ma. Udah shalat?”
“Udah sayang, kamu udah?”
“Udah ma, lagi apa ma?”
“Lagi siap-siap untuk makan malam, ada apa Ay?”
“Ini ma, aku besok mau ngirim naskah ini. Doain ya ma, naskahku bisa diterima untuk difilmkan.”
“Oh, iya, pasti nak. Mama selalu doakan kamu dengan cita-citamu itu.”
“Adik-adik mana ma?”
“Ini ada, mama loudspeaker ya.”
“Hallo, dek, uni besok mau kirim naskah yang udah uni bikin kemarin, doakan diterima ya sayang.” Adikku serempak menjawab
“Iya uni, insyaAllah pasti diterima kok, soalnya tulisan uni kan bagus banget.” Aku hanya tertawa mendengarnya, kedua adikku itu memang selalu tau bagaimana caranya membuatku senang.
“Yasudah ya, mama, abang, adek, uni mau belajar dulu, kalian juga belajar yang rajin ya, juga selalu bantuin mama. Oke?”
“Sip uni...”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam” telepon pun terputus. Aku mulai membuka amplop coklat itu, mengecek dan memastikan apakah isinya tidak tertukar dan masih lengkap dengan CD di sana. Bismillahirrahmanirrahiim, mudah-mudahan kerja kerasku selama ini berbuah manis dengan disertai munajat yang setiap hari dilantunkan mulutku, serta doa dan restu yang kukantongi dari orang-orang tercinta.
*
Kurasa banyak yang menertawakan muka masamku yang ditekuk. Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku yang tergolong orang yang susah bersosialisasi ini mendapat kesusahan ketika senior-senior di PPIPM seperti menguji-ujiku. Aduh, habislah aku di sini. Batinku bergumam. Sampai ketika seorang senior masuk ke dalam sekre dan lumayan menarik perhatianku. Kuberanikan diri mendekatinya dan meminta biodatanya untuk diisi di buku daily ta’arufku
“Assalamualaikum, bang, maaf ganggu, Aya minta tanda tangannya boleh?” ujarku sambil menyodorkan buku daily ta’arufku. Dia menoleh padaku, kemudian meraih buku tersebut, membaca halaman pertama yang berisi biodataku.
“Panggilannya Aya ya?”
“Iya bang”
“Saya boleh request? Coba cantumin hobinya di biodatanya ya” kemudian kusambut buku itu dari tangannya dan mulai menuliskan hobiku, tentu saja menulis. Setelah itu kukembalikan padanya.
“Hobinya menulis?” aku mengangguk dan tersenyum, senang ada yang berminat dengan hobiku.
“Apa saja yang sudah kamu tulis dan berapa banyak?”
“Aku suka nulis puisi dan cerpen, tapi lebih ke cerpen sih bang. Kalau banyaknya… kira-kira sudah 11 cerpen yang bersih deh yang siap
“Kalau gitu aku mau bukti, boleh liat cerpennya?”
“Wah, kebetulan Aya nggak bawa sekarang bang, boleh besok?”
“Oke deh, kalau besok, berarti besok aja saya isi bukunya ya?” aku hanya tersenyum dan mengangguk. Terserah dia saja, yang jelas dia akan mengisi buku daily ta’arufku juga. Kembali aku mencari-cari senior sebagai targetku meminta atau lebih tepatnya mengemis biodata mereka. Bukuku baru terisi 7 orang dan aku harus lebih giat lagi, kulihat kiri dan kananku, sudah pada dapat 20an tanda tangan.
Kuusahakan membongkar pasang muka masamku dengan senyuman dan sedikit kalimat rayuan pada setiap senior, dan ternyata lumayan berhasil, aku mendapat lima tambahan biodata senior. Senangnya. Hari itu aku bisa pulang dengan tenang.
Aya, bsk sore jemput paket k terminal y, papa kirim paket.
Mataku terbelalak, tidak percaya dengan yang kubaca. Dari papa? Papa kirim paket? Wow! Tidak pernah meminta tetapi datang sendiri? Lalu kubalas smsnya itu.
Y pa, bsk Aya jmput pulang kul. Paket apa pa? Lama sekali, kutunggu-tunggu tak ada balasan. Yasudah lah, akhirnya kuketik lagi sms
Makasih y pa. Aku masih penasaran, namun papa tidak membalas lagi sms dariku, mungkin hanya beras, bathinku, tidak berani berharap terlalu banyak.
Selesai mandi aku berjalan ke meja belajarku yang menghadap ke arah jendela, sekilas kulirik ke luar yang sedikit mendung, kuedarkan pandangan ke seluruh kamar kecil berukuran 3x4 itu, ternyata sepi juga tinggal sendiri meski di kamar yang kecil ini. Tetapi memang dari awal akulah yang memilih untuk di kamar sendiri karena kesulitanku untuk berinteraksi dengan orang baru. Kulirik kasur beralaskan warna biru yang terletak menghadap ke meja belajar itu, sudah sangat lusuh. Aku tersenyum. Kembali menghadap meja belajarku dan membuka novel yang baru kupinjam dari perpustakaan tadi pagi. Aku semakin terhanyut masuk ke dalam cerita yang sedang kunikmati.
*
Kupastikan sekali lagi senyum di wajahnya dan anggukannya itu bukanlah sebuah cemoohan, aku benar-benar berharap dia menyukai cerpenku.
“Bagaimana Yan?” kuberanikan bertanya pada seniorku yang ternyata seumuran denganku itu. Dia tersenyum.
“Bagus! Ceritanya ringan, aku suka tulisanmu Aya.”
“Makasih Yan,” jawabku singkat sambil membalas senyumannya.
”Tulisan yang lainnya masih boleh kubaca nggak? Ya, berhubung aku sangat suka baca, jadi boleh dong jadi pembaca setia tulisanmu? Hehe”
“Wah, boleh-boleh, Yan. Dengan senang hati” bangga sekali rasanya ada yang bersedia membaca tulisanku, dan berkat hobi kami yang sangat berhubungan ini, obrolan kami semakin nyambung. Aku beruntung, bisa dekat dengan senior di PPIPM ini dengan caraku sendiri, bukan karena ada temanku yang menjadi senior di sini seperti kebanyakan calon anggota baru lainnya. Dan kuberharap aku memang bisa menjadi teman dekat alias sahabat Ryan, semoga.

Matahari semakin membakar kulitku, mataku liar menatap kian kemari, sampai kutatap arloji hitam di pergelangan kiriku, tidak kutemukan juga sosok yang kucari selama 30 menit itu. Wajahku memerah dibakar mentari, semakin memerah karena kesal. Papa mana sih? Jangan-jangan lupa lagi! Gerutuku.
“Aya!” sebuah suara mengagetkanku, segera kulayangkan pandanganku ke sumber suara. Dan perlahan berjalan sambil memasang muka masam khasku.
“Aya tu udah nunggu dari tadi tau nggak, panas-panas, capek tau pa!” papa hanya tersenyum.
“Kamu masih sama ya Ay.”
“Iyalah pa, emangnya aku harus berubah gimana lagi?”
“Maksud papa, meski sekarang sudah jadi mahasiswa dan sudah tahun-tahun akhir, tetap aja sikap berantakanmu itu dipelihara.” Aku hanya diam, mengangkat sudut bibir kiriku tanda aku tak suka dengan kata-katanya.
“Papa mau ngasih apa sih? Tumben banget!” masih tetap dengan nada jutek.
“Ini, kamu bawalah pulang, papa lagi buru-buru jadi nggak bisa nganter ke wismamu. Bisa bawa sendiri kan?” kuterima kardus berukuran sedang itu, lumayan berat, mungkin memang hanya beras.
“Ya, makasih pa” hanya singkat jawabanku, kemudian aku melangkah menuju pinggir jalan untuk naik angkot.
Sesampainya di wisma, segera kubuka kardus itu, saking penasarannya aku bahkan belum sempat membuka kerudungku. Ternyata dugaanku sedikit meleset. Isinya memang beras, tetapi hanya sedikit. Selebihnya ada beberapa lembar baju dan sepasang sepatu kets. Aku tersenyum, sekaligus heran. Ada angin apa papa memberiku bingkisan ini? Di tengah-tengah kebingunganku, hapeku bergetar tanda sms masuk, ternyata dari papa.
Gmn Ay, udh dibuka paketnya? Suka? Papa sngaja kasih kamu baju krna papa liat bajumu udah lama gk diganti-ganti, sepatumu jg udah lusuh.
Aku tertegun membacanya, kok papa tau aku tidak pernah lagi memiliki baju baru, padahal bertemu saja bisa dibilang tidak pernah selama dua tahun ini. Entahlah. Kemudian kubalas sms itu.
Ya pa, makasih. Tp jgn lupa papa jg punya hutang sm adek2 mw belikan mreka mainan. Kemudian kukirim sms itu dan kemudian kutelpon mama.
“Assalamualaikum Ya,”
“Waalaikum salam. Mama lagi ngapain?”
“Lagi beres-beres tadi abis masak, ada apa sayang?”
“Ma, tadi papa kasih Aya paket, isinya beras, baju, ama sepatu.”
“Ohya? Kapan kamu minta?”
“Minta ma? Mana pernah Aya minta-minta sama dia, apalagi yang begituan. Nggaklah, itu inisiatifnya papa sendiri, tau deh, kok bisa.”
“Bagus kalau gitu Ay, kan papa emang sayang sama kamu”
“Ah, mama ngada-ngada. Oya, mainan yang dijanjiin buat adek-adek udah dikasih belom ma?”
“Belum, mungkin bentar lagi.”
“Adek-adek mana ma?”
“Mereka masih main”
“Lho, masih di luar? Padahal kan udah mau magrib ma,”
“Iya nanti sebentar lagi pasti pulang.”
“Hm... yaudah deh ma, Aya mau siap-siap magriban dulu. Assalamualikum.”
“Waalaikum salam” telepon pun terputus, kemudian kubereskan potongan-potongan kardus yang berserakan tadi, kardus yang terbuka kugeser ke sudut dekat lemari pakaianku tanpa mengeluarkan isinya. Kemudian kerudungku kubuka, dan mulai mengganti pakaian, menutup jendela, menghidupkan lampu kamar dan lampu teras, lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudu’.
Sambil membuka lembaran ke tiga puluh enam novel yang tengah kubaca, aku menoleh ke belakang, mataku tertuju ke kardus di sebelah lemariku. Kembali menerawang dengan apa yang terjadi tadi sore. Sudah lama rasanya aku tidak melihat wajah papa. Aku pun beranjak menuju kardus itu, mengambil sehelai bajunya yang berwarna merah, aku jadi teringat masa kanak-kanakku dulu, setiap kali mama atau papa membelikanku baju, pasti selalu warna merah. Kata mama sih, dengan warna merah semua terlihat cantik dan cerah. Aku jadi tersenyum sendiri mengingat masa kecilku, belaian kasih sayang mama dan papa, nasihat-nasihat ringan yang kadang kuabaikan –yang kini kurindukan–, gelak tawa di saat makan bersama, atau keharuan di saat makan malam yang cuma bisa bersantap ikan asin. Begitu indah masa itu, entah kenapa rasanya semua sudah sangat tidak mungkin lagi kumiliki. Untuk bermanjaan dan merengek pada papa. Seperti bertemu tadi saja, papa tidak punya banyak waktu untukku, bahkan untuk sekedar bertanya bagaimana kuliahku saja tidak, aku rindu. Semenjak papa memiliki istri lagi, aku memang sudah sangat membencinya dan papa tahu itu, aku tidak pernah mau bertemu wajah ketika tiap kali papa datang ke rumah, tidak pernah mau menjawab pertanyaan yang kerap diajukannya dari balik pintu kamar. Inilah yang kurasa membuat hubunganku dengan papa menjadi sangat kaku dan canggung. Kuraih hapeku dari atas kasur, setelah menelpon mama tadi aku belum lagi memegangnya, jadi tidak tahu apakah papa membalas sms terakhirku entah tidak.
Iya Aya, bsk papa mau pulang dn kasih hadiah buat Arfan sm Aska jg. Kamu jaga diri baik-baik y Aya. Aku tidak tahu harus membalas apa, apakah akan membalas singkat seperti biasa atau sedikit melunak?
Ya pa, mudah2an adek2 suka sm hadiahny, sm sperti Aya. Makasih pa. Hanya itu yang bisa kubalas. Menurutku papa sudah senang dengan balasan smsku. Setidaknya mencoba membuat papa senang, aku jadi tidak merasa bersalah lagi dengan apa yang telah diberikannya padaku.
*
Kedekatanku dengan Ryan semakin beranjak akrab. Kami banyak bertukar pikiran tentang apa saja, terutama dunia menulis. Dia banyak belajar dariku tentang dunia menulis fiksi, sedangkan aku lebih banyak belajar menulis ilmiah darinya yang memang senior. Dan, entah kenapa pada hari itu, saat perjalanan studi kasus kami ke Pariaman, aku beranikan diri bercerita mengenai masalah terberatku padanya yang kebetulan menjadi senior pembimbing kelompokku dalam perjalanan studi kasus ini, yaitu masalah keluarga. Dan lagi-lagi obrolan kami nyambung dan aku merasa begitu nyaman bercerita padanya, aku percaya saja menceritakan masalahku dan papa padanya.
“Jadi udah dua tahun tidak pernah bertemu dengan papamu Ay?” aku mengangguk sambil terus mencatat hasil observasi.
“Trus, hubungan dengan papa sebenernya gimana?” aku menoleh dan mengernyitkan dahi, mencoba menganalisa maksud dari kata-katanya.
“Maksud hubungan?”
“Iya, hubunganmu dengan papa masih tetep baik kan?” aku terdiam lagi, bingung harus menjawab apa.
“Nggak tau lah Yan, yang jelas aku nggak suka dengan keputusannya menikah lagi. Dan semenjak itu memang aku tidak lagi mau bertemu dengannya, meski papa masih sering datang ke rumah. Tapi tetep aja rasanya ketemu itu males banget. Ya, bentuk dari protes akulah sama dia.” Ryan Cuma mengangguk-angguk, kemudian kulanjutkan.
“Menurutmu aku salah nggak sih Yan?” Ryan tampak agak kaget dengan pertanyaanku.
“Hm… gimana ya, Ay, aku juga bingung. Soalnya aku nggak ngalamin langsung apa yang kamu ngalamin, tapi mudah-mudahan nggak ya. Hehe” aku hanya tersenyum dengan jawabannya, kemudian aku kembali berbincang dan berdiskusi dengan rekan kelompokku tentang hasil observasi hari ini dan membicarakan bagaimana penulisan laporan ke dalam bentuk PKM nanti. Kubiarkan Ryan dengan pikirannya tentang cerita tadi. Kuharap, iya yang sekarang ini tengah menjadi sahabat curhatku bisa mengerti dengan keadaanku, mengapa aku seperti itu terhadap papa. Sembari terus berbincang dengan teman-teman kelompokku, sesekali kulayangkan pandanganku pada Ryan yang tengah berbincang dengan Kak Niken seniorku juga, Ryan ternyata sesekali juga suka mencuri-curi pandang ke arahku. Aku jadi ingin tertawa, lucu saja melihatnya.
[Bersambung]

Continue reading