Kamis, 31 Mei 2012

SAM

Kakinya melangkah gusar menuruni anak tangga kampus. Kesal sekali kelihatannya. Lagi-lagi ia harus kecewa dengan dosen yang tidak datang hari ini. Padahal ia sudah mati-matian untuk dapat hadir di perkuliahan, ya... dia memang sedikit pemalas untuk sekedar duduk manis di dalam kelas.
Ia adalah sahabatku, aku memanggilnya Sam, Sam adalah panggilan sayangku dan awalnya hanya aku yang memanggilnya begitu, namun sekarang sudah banyak yang ikut-ikutan memanggilnya demikian. Sebenarnya namanya adalah Setia Arumi Manisha. Tetapi semenjak dosen kami yang notabene bisa meramal kepribadian seseorang meramalnya dan meragukan apakah dia memang setia seperti namanya, dia jadi malas dipanggil setia. “Cukup panggil aku Tia saja!” gerutunya pada teman-teman yang lain.
“Cepatlah Ta, aku sudah tidak sabar untuk pulang. Benar-benar membuang waktuku saja di kampus ini. Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi di sini. Mending kita pulang saja dan tidur atau mengerjakan apalah di kosku!” Sam menggerutu lagi, kali ini ia mengikutsertakan Tata yang sering bersamanya.
“Ia Ya, sabar dulu donk. Kita bakal sampai juga kok!” Tata hanya menurut saja apa kata Sam.
Aku dan Deden hanya tersenyum heran dan geleng-geleng kepala saja melihat tingkah lucu Sam. Memang dia orangnya “pemulang” kalau tidak ada dosen saja, langsung pulang. Dosen telat saja, langsung pulang. Pokoknya makhluk yang paling tidak betah di kampus adalah Sam.
*
Hari ini sebenarnya kita tidak ada kuliah, hanya saja dosen yang tidak masuk kuliah kemarin meminta kami untuk mengadakan kuliah pengganti hari ini. Sudah kupastikan, Sam lah orang yang paling sengsara dengan keputusan ini.
“Phiwee, kesepakatan darimana sih, kenapa kita harus kuliah segala hari ini? Padahal aku sudah berencana mau mencuci dan menyetrika hari ini. Pokoknya ini adalah hari kerjaku tau nggak sih?” ujar Sam kesal padaku.
“Udahlah Sam, sekali-kali waktu kerjamu dipakai refreshing nggak papa kan?” ujarku asal. Dan kuyakin Sam tidak suka dengan jawabanku.
“What? Refreshing apaan? Ugh! Ini kuliah Phiwee, dan kita harus serius! Lihat saja dosennya siapa?” Sam benar-benar kesal kurasa. Dan untuk sementara aku hanya diam duduk di sampingnya. Kubiarkan ia berada di puncak kekesalannya. Karena Sam yang kukenal, dia akan cepat kembali baik kalau sudah berada di puncak kekesalannya.
Perkuliahan berlangsung baik dan normal. Justru bagiku cenderung lebih menyenangkan. Mungkin mood dosenku ini lagi baik, beliau lebih banyak tersenyum daripada manyun –seperti biasanya–.
Sam ceria lagi, tubuhnya yang gemuk memeluk erat badan kurusku yang katanya sangat ceking dan enak untuk dipeluk. Kubiarkan saja dia dengan keceriaannya dan ocehan panjangnya mengenai tubuhku.
“Badanmu kecil sekali Phiwee, aku jadi ketagihan memelukmu!”
“Ya, kamu puaskan saja memelukku, karena sebentar lagi aku akan gemuk! Hihi” ujarku ngasal.
“Ah, janganlah Phiwee, tak enak gemuk tu, aku juga jadi nggak bisa meluk kamu nantinya.”
“Hahaha... si gembul curcol niyeee” ledekku, dan Sam, sudah kuprediksi langsung ngambek dan melepaskan tangannya dari pinggangku.
  “Ah, kamu ini, aku ngambek!” ujarnya cemberut. Dan aku semakin semangat mengerjainya.
“Haha... akulah Sam si gemuk rupa!” ujarku dengan suara lantang, Sam langsung mencubitku.
“Piweeeeeeeee....!” begitu seterusnya hingga kami sampai di kos-nya Sam. Sam memang paling tidak suka kalau dikatakan gemuk, gembul, atau sejenisnya, meski kenyataannya memang begitu. Aku dan Sam memang suka sekali bergurau dan berceracau, tidak jarang kami juga sering terlibat diskusi hangat. Itulah wujud kedekatanku dengan sahabatku yang satu itu.
*
Berbicara mengenai Sam, tidak akan habis kalimatku olehnya. Begitupun bila ada yang bertanya tentangnya padaku. Aku akan sangat bersemangat bercerita tentangnya. Bukan menceritakan keburukannya atau bergunjing, tetapi segala yang baik dan unik darinya akan selalu menjadi bahan obrolanku dengan orang-orang yang penasaran kepadanya. Karena Sam memang rada susah dekat dengan orang, selain denganku, Tata, dan Deden. Teman kelas lainnya susah untuk dekat dengannya. Meski semua baik-baik saja.
“Phiw, Tia itu lucu ya?” Dirga si ketua kelas selalu bertanya yang unik-unik mengenai Sam, dan aku selalu semangat untuk menjawabnya.
“Ya, begituah Ga, dia memang lucu, gembul lagi. Hehe” jawabanku disambut tertawa cekikikan khas Dirga.
“Kamu ini selalu saja begitu, kalau tidak salah, dia tidak suka dipanggil gembul kan?”
“Memang, Ga! Tapi aku suka menyebutnya demikian. Karena melihat wajah kesalnya itu membuatku jadi semakin senang menggodanya.”
“Haha... dasar kamu Phiwee, emang anaknya suka usil nih!”
“Kalau tidak begitu, jangan panggil aku Phiwee Ga, panggil aja aku si gembul! Haha” jawabku semakin ngelantur.
“Ngomong-ngomong, Tia itu pintar menulis puisi kan ya?”
“Hm... iya Ga, tau darimana kamu?”
“Dia kan suka berbagi puisi-puisinya di blog, dan aku sering membacanya.”
“Kamu suka puisinya, Ga?”
“Sangat suka Phiw, diksinya ringan tetapi berisi, sepertinya dia sangat berbakat. Aku saja masih sangat jauh dalam kemampuan menulis puisi. Sepertinya aku hanrus belajar banyak darinya.”
“Di sini ternyata orangnya! Pulang yuk, aku bosen.” Sam tiba-tiba datang dan menarik tanganku tanpa menghiraukan aku yang sedang berbicara dengan Dirga.
“Tapi Sam, aku masih mau ngobrol sebentaaaar saja!” jawabku.
“Nggak apa-apa Phiwee, aku juga sudah ditunggu Tobi, aku duluan ya” Dirga akhirnya mengalah dan pergi meninggalkan kami. Untung saja Dirga itu ketua kelas yang pengertian. Mau mengerti dan mengalah, kalau tidak, mungkin dia sudah marah atau membenci Sam.
“Kamu nggak boleh kayak tadi itu Sam, nggak baik. Untung Dirga baik, kalau tidak dia pasti tersinggung karena ulahmu
“Maaf deh, aku hanya ingin cepat pulang, karena aku takut tak punya banyak waktu bicara denganmu.” Ujar Sam sambil terus membereskan baju-bajunya.
“Hahaha... kamu benar-benar lucu dan dramatis ya Sam, mau pulang kampung yang jarak tempuhnya dua jam saja seperti mau ke luar negeri.” Jawabku sambil terus tertawa.
“Bukan begitu Phiwee, kali ini aku tidak hanya pulang kampung, tapi aku akan mengurus surat pindah.” Sam mulai menampakkan wajah murungnya.
“Sam? Kamu becanda?” jawabku mulai serius
“Iya Phiwee, aku serius! Bundaku yang telfon aku barusan. Mendadak memang, tetapi aku memang harus segera pulang, ayahku dipindah tugaskan ke Makassar dan kami semua harus ikut.” Sam menjawab dengan raut yang semakin sedih.
“Sam? Jadi kamu bakal ninggalin aku? Jangan dong sam, siapa yang bakal meluk aku setiap hari? Siapa yang bakal aku ajak debat setiap hari?” ujarku mulai menangis yang diiringi tangis oleh Sam.
“Maafkan aku Phiwee, aku juga nggak menginginkan ini semua, tapi aku terpaksa nurut.” Sam langsung memelukku.
*
Dua tahun kemudian
Sam, andai kamu ada di sini, kita pasti akan sama-sama bisa menunjukkan pada orang-orang kalau kita sudah bisa menjadi seorang sarjana sekarang! Aku benar-benar kangen sama sahabatku itu, aku masih membayangkan bagaimana kami akan sama-sama diwisuda dan sama-sama merantau untuk mencari kerja. Tepi sekarang Sam sudah sangat jauh.
“Phiwee, namamu dipanggil tuh! Ayo cepetan maju!” Deden mengagetkanku, dan aku segera bangkit lalu melangkah ke depan untuk melakukan pemindahan ??? haru sekali rasanya, peristiwa penting ini sudah lama aku dan Sam sahabatku rindukan, sejak sama-sama mulai menginjakkan kaki di kampus ini.
“Selamat ya kakak. Sekarang sudah menjadi Phiwee, S.S” ujar adik-adik di wisma yang kebetulan datang menghadiri acara wisudaku.
“Terima kasih semua”
“Kakak nggak langsung pulang kan? Ajaklah orang tua kakak ke wisma dulu” Ujar Tika, salah satu adik wismaku.
“Iya, kami mampir sebentar untuk menjemput barang-barang kakak, baru pulang.”
“Kakak langsung pindah?”
“Iya, karena kakak sudah dapat kerja di sebuah perusahaan penerbitan buku di Jakarta, dan lusa kakak sudah harus berangkat.” Ujarku
“Jadi kita sekalian perpisahan donk kak? Nggak papa, selamat ya kak, kami ikut senang kakak langsung dapat kerja, di Jakarta lagi!” aku hanya tertawa dan berpelukan dengan adik-adikku itu.
*
“Phiwee....! buka pintunya sayang!” suara nyaring itu membuat terkejut seluruh isi wisma.
“Eh, ada kaaaak” Tika yang langsung keluar dari kamarnya sangat kaget melihat sosok perempuan cantik dan bertubuh langsing dengan seorang pria tampan di sampingnya.
“Hai, Tika! Tidak berubah ya? Gimana kabarmu? Phiwee kemana sih? Tidak di wisma ya?” ujar perempuan itu.
“Alhamdulillah baik kak, iya nih! Ka nggak berubah, kakak ni, udah langsing aja sekarang, makin cantik lagi!”
“Hehe... berkat dia nih ka,” Ujar Sam sambil menyikut pria di sampingnya.
“Kak Phiwee hari ini berangkat ke Jakarta, dia diterima kerja di perusahaan penerbitan di sana” ujar Tika sedikit dengan penekanan suara.
“Apa? Alhamdulillah ya Allah... sahabatku akhirnya bisa juga bekerja di perusahaan penerbitan! Di Jakarta pula!” Sam menitikkan air mata. Dirga mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan kekasihnya itu.
“Udah sayang, kenapa tidak ditelfon aja?”
“Eh, Kak Phiwee mau ganti nomor. Tadi dia janji mau menghubungi dengan nomor barunya begitu sampai di Jakarta kak.” Jawab Tika. Sam tampak gelisah.
“Ka, kakak titip pesan aja ya, ini nomor kakak, tolong di kasih tau sama kak Phiwee, dan bilang kakak liburan dari Makasar cuma buat nyari dia. Ini ada surat, terserah mau Ka bacain pas dia nelfon, atau mau Ka kirim sama dia. Kakak nggak bisa lama-lama. Makasih ya Ka!” Sam dan Dirga kemudian berlalu dari wisma.
*
“Hallo, Kak! Kakak pasti nggak bakal percaya sama apa yang bakal Ka bilang.” Ujar Tika bersemangat begitu mengangkat telfonku.
“Lho, ada apa Ka?” aku hanya menjawab pendek, karena sangat lelah seharian perjalanan.
“Tadi kak Sam ke sini loh kak, sama bang Dirga. Bukan itu aja, kak Sam udah langsing en makin cantik aja sekarang!” aku langsung terperanjat dari kasurku.
“Apa???”
“Iya kak! Ka nggak bohong!” ujar Tika masih bersemangat meyakinkanku.
“Tadi kamu bilang Sam sama Dirga?”
“Iya kak, ketua kelas kakak dulu, bang Dirga kan namanya? Dia tadi juga nitip surat buat kakak, udah Ka masukin di paket barang-barang kak yang masih tertinggal di wisma. Ohya, tadi Ka juga ditinggal nomor hapenya, nanti ka kirimin deh!”
“Yaudah, kirim sekarang aja, kakak mau nelfon dia dulu, ntar atau besok pagi kakak telfon lagi. Udah malam Ka mau tidur kan?”
“Okedeh kak Phiw”
“Assalamualaikum sayang...”
“Waalaikum salam kakak sayang”
Tuuut. Pembicaraan singkatku dengan Tika pun terhenti. Aku masih mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang barusan kudengar. Sam udah langsing dan dia ke Padang dengan Dirga? Dirga? Tunggu, ternyata setahun lalu dia memutuskan untuk pindah ke Makassar itu karena Sam?

[bersambung]

Continue reading