Kamis, 24 Januari 2013

TERNYATA


Ryan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Entah apa yang dipikirkannya sampai kata-kata yang barusan kudengar terasa aneh di telingaku. Kamu jangan pacaran! Aku tersenyum kecut mendengar kalimat singkat namun mengena itu. Kenapa ia harus melarangku berpacaran? Katanya sayang. Aku yang dalam usia 20 tahun ini masih belum pernah pacaran, mending nggak usah pacaran sekalian, demikian sambungnya.
“Karena, jaman sekarang pandangan orang selalu buruk kepada setiap perempuan yang sudah pernah punya pacar”. Aku masih terdiam, kemudian tersenyum memaksa begitu mendengar alasan darinya yang ia utarakan saat wajahku meminta alasannya.
“Kamu kan ingin dapatkan yang terbaik untuk jadi suamimu nanti, nah kamu juga harus bisa jaga diri dari sekarang, berikan yang terbaik untuk suamimu kelak. Kalau kamu berpacaran sekarang, dengan siapa pun orangnya, orang akan menganggap jelek terhadapmu. Ya... kasarannya mereka bisa menganggapmu tidak suci lagi, sudah diapa-apakan, dan cewek nggak bener!” aku benar-benar terperanjat mendengar kalimatnya yang mengalir tanpa hambatan itu. Bagaimana mungkin ia bisa berpikiran demikian? Akhirnya aku buka suara.
“Kamu tenang aja Yan, aku bisa jaga diri, lagian aku bukan semurahan itu, aku nggak akan mungkin mau dipegang-pegang begitu aja meskipun dengan pacar sendiri. Kamu pikir tujuan aku pengen nerima Hilo kenapa? Aku belum pernah pacaran Yan, dan aku nggak mau terlihat begitu lugu, polos, dan nggak bisa bersikap sama suamiku kelak. Aku pengen cari pengalaman aja!” nada suaraku kutekan di kalimat terakhirku. Ryan geleng-geleng.
“Aku juga nggak nuduh kamu Er, hanya saja, obrolan cowok-cowoklah yang seperti itu. Katanya, kalau liat cewek lagi jalan sama pacarnya, pasti dia udah abis dipegang-pegang. Nah, aku nggak mau kamu juga dianggap seperti itu! Walau bagaimana pun juga kepolosanmu dan keteguhanmu yang selama ini bertahan untuk tidak berpacaran jangan sampai rusak hanya gara-gara kamu pengen nyari pengalaman dalam urusan asmara donk. Aku nggak rela!” kutarik napas panjang, ketika Ryan sahabatku itu mengakhiri kalimat terakhirnya. Kebisuan menyelimuti kami dalam beberapa saat. Aku masih memikirkan Hilo, cowok yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku, yang memberanikan diri menyatakan ingin berhubungan lebih dari teman denganku. Kutatap lekat gadis berjilbab lebar yang duduk di seberang meja di hadapanku. Ia memang seorang yang sangat berprinsip dan terlalu protektif dan posesif padaku, hanya karena aku adalah seorang gadis lugu yang masih belum pernah mengecap manis-pahitnya berpacaran. Meskipun Ryan sudah pernah berpacaran sewaktu SMA dulu, tetapi semenjak ia memilih berhijab, kulihat ia sedikit menjaga jarak dengan yang namanya lelaki, apalagi untuk berpacaran.
“Apa yang kamu pikirkan? Salahkah aku ingin melihatmu bahagia dan mendapatkan suami yang terbaik buatmu kelak?” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. Diam-diam dalam hatiku mulai mengiyakan perkataan Ryan. Mungkin aku tidak akan punya pacar (lagi).
*          *          *

Kubuka surat itu kembali, kubolak-balik kertasnya, dan isinya tetap sama. Kutarik napas panjang, apa yang harus kulakukan? Entahlah. Tiba-tiba Diva teman sebangkuku mendekat.
“Kenapa Ta? Kayaknya lagi bingung.” Aku ragu, apakah aku harus memberi tahu Diva? Tapi aku sangat malu.
“Kamu pegang apa sih? Udah... kasih tau aja!” aku tersenyum, menoleh kiri-kananku, kebetulan kelas sedang kosong.
“Ng... ini Div, aku dapet surat cin...”
“Hah? Dari siapa?” Diva tampak kaget dan bersemangat.
“Sstt... jangan teriak! Aku malu...”
“Ye, kenapa harus malu?” Diva mulai memelankan suaranya. Pelan-pelan dibukanya surat yang sudah berpindah tangan itu. Sesaat ia asik membaca dan tiba-tiba matanya terbelalak, hendak berteriak lagi. Segera kubungkam mulutnya.
“Sstt... jangan keras-keras”
“O.. iya ya? Hehe...” Diva melipat kembali surat itu dan menyerahkannya kembali ke genggamanku.
“Kamu terima apa nggak?”
“Aku nggak tau Div.”
“Lho kenapa? Kalian udah lama deket, dari SMP. Dan aku tau kamu suka kan sama dia?” aku hanya mengangguk.
“Trus kenapa ragu? Terima aja!”
“Aku nggak mau pacaran ah Div!” Diva tertawa. Entah kenapa ia merasakan kelucuan dari kalimat yang kuhembuskan. Aku terheran.
“Kenapa ketawa kamu?”
“Hellow Erta, hari gini, udah 16 tahun dan bentar lagi mau 17 tahun, kamu masih belum mau pacaran? Mantanku aja udah 7 orang, kamu pacar aja belum punya!” aku tetap menggeleng, aku memang tidak ingin berpacaran, meskipun aku memang suka dengan Ivan, tetapi rasanya itu hanya sebagai seorang sahabat yang sudah dekat denganku semenjak SMP.
*
Kusipitkan mataku ketika iseng menatap langit yang diduduki sang surya tepat di puncak ubun-ubunku. Panas sekali siang ini. Ingin rasanya aku langsung pulang menyegarkan badan, tetapi aku sudah ada janji dengan Ivan, untuk memberikan jawaban dari surat penembakan yang ia berikan padaku seminggu yang lalu. Dan karena Ivan sudah kelas XII, aku jadi harus menunggunya karena kelas XII memang pulang lebih lama sejam dibanding denganku yang kelas XI di penghujung semester akhir baginya ini. Sambil duduk di pinggir kolam depan sekolah, aku iseng memainkan tali sepatuku, tiba-tiba suara renyah Ivan mengagetkanku.
“Udah lama nunggu ya Tare?” aku menoleh ke atas, wajah Ivan terlihat sangat tampan ketika membelakangi sinar matahari yang menyilaukan. Ia seperti seorang malaikat yang datang dengan siluet cahaya di belakangnya. Aku langsung berdiri.
“Dasar Vani begok, nunggu sejam masih aja ditanyain lama apa enggaknya. Pikir aja sendiri!” umpatku sambil mencibir. Ivan yang kupanggil dengan panggilan akrab Vani itu hanya mengacak rambutku dan tersenyum, manis banget.
“Iya deh, maap Tare bawel membuatmu menunggu lama.” Ivan merajukku. Aku hanya tersenyum dan menjajari langkahnya menuju parkiran.
*
Aku tak berani menatap wajah tampannya yang kuyakin berubah kusut, lebih kusut bahkan ketika ia bangun tidur begitu mendengar kalimat spontanku yang kutiupkan, menjawab pertanyaannya dalam surat itu.
“Aku udah nunggu jawabanmu seminggu, dan kamu nolak aku?” aku mengangguk cepat. Takut berubah pikiran.
“Kenapa Tare?” masih menunduk kujawab ia.
“Kita kan sahabat Vani” lama ia terdiam,
“Apa dua orang bersahabat diharamkan untuk menjadi sepasang kekasih?” aku mengangguk, tapi kali ini sangat lemah, hampir tak terlihat.
“Hanya ini alasanmu Tare?” lama aku terdiam menunduk, akhirnya kuberanikan diri mengutarakan kalimat yang sudah kurencanakan dari semalam.
“Aku sudah punya pacar Vani.” Ivan tidak terlihat kaget, sepertinya ia tau kalau aku berbohong.
“Kamu pasti bohong kan?”
“Enggak” jawabku cepat.
“Kalau gitu ulang sekali lagi alasanmu barusan, sambil natap mata aku.” Kuangkat wajahku, kutarik napas panjang,
“Vani, sahabatku tersayang, aku nggak mungkin pacaran denganmu karena aku sudah punya pacar yang sangat kusayangi.” Ivan masih tak percaya, karena selama ini, aku tidak pernah bercerita padanya bahwa aku memiliki pacar.
“Aku nggak percaya, kalau emang kamu udah punya pacar, seenggaknya kamu udah kenalin dia sama aku!”
“Kamu tau kenapa? Karena aku tau perasaan kamu, dan aku nggak mau bikin kamu berniat bikin rusak hubunganku dengan pacarku! Kamu cuma teman buatku Vani, jadi jangan berharap lebih deh.” kalimat itu mengalir saja dari mulutku, tetapi sepertinya aku salah memilih kata-kata, sepertinya Ivan tersinggung. Ia hanya diam, menghabiskan minumnya, lalu bangkit dari tempat duduknya yang secara langsung mengajakku untuk pulang.
Terima kasih udah jadi sahabat terbaik, terindah, dan takkan tergantikan buatku. Meski usiamu lebih muda dariku, tetapi kamu banyak ngajarin aku banyak hal tentang hidup ini, tentang kepolosan, keluguan, kebodohan, ketakutan, kecentilan, keriangan, kebersamaan, dan air mata. Kalau tidak mengenalmu, aku tidak akan kenal pribadi seperti itu. Seperti saranmu, aku akan melanjutkan sekolah militer di Negeri Bengaya, maafkan aku tak bisa menemanimu sampai dirimu wisuda SMA.
Aku tertegun menatap surat yang melambai-lambai ditiup segelintir angin yang lewat menyapa itu. Bingung harus bagaimana. Tersenyumkah, atau menangiskah yang tepat kulakukan sekarang? Yang jelas, memori itu mulai meracuni otakku.
Aku mengenalnya ketika masa orientasi di SMPku, ia satu-satunya orang yang mau menolongku ketika begitu banyak kakak kelas yang memperolokku. Mungkin karena ia merasa iba melihatku hendak menangis saat itu. Sejak ia menolongku, kami mulai beranjak akrab. Dan, setahun aku menjadi sahabatnya, aku mulai menyukainya.
*          *          *

Kadang, bagiku keingintahuan dan rasa penasaran itu beda tipis dengan kecurigaan. Bukannya aku tidak mempercayai sahabatku Riyanti. Tetapi ada sesuatu yang sepertinya tidak kuketahui darinya, yang menjadi sahabatku semenjak semester pertamaku di kampus ungu ini. Rasanya menjadi tidak adil ketika aku menelanjangi setiap rahasia hidupku padanya tetapi tidak mendapat balasan yang setimpal darinya. Ia terlalu tertutup.
Iseng, kuacak-acak hapenya ketika menunggunya yang tengah mandi. Tidak ada foto mencurigakan yang kutemui. Aku segera beralih dari folder galeri ke pesan. Dan, baru saja aku membuka inboxnya, kutemukan sebuah nama cowok pada pesan teratas; Riko. Setauku, Ryan suka jaga jarak dengan setiap cowok, tetapi kenapa ada beberapa pesan di kotak masuknya yang pengirimnya bernama Riko? Kakak lelakinya? Setauku namanya Ivan, bukan Riko.
“Masih lama mandinya Yan?”
“Iya, sabar bentar lagi Er” aku tersenyum mendengar jawabannya. Langsung kubaca pesan dari Riko itu. Dan, aku benar-benar tak percaya. Riko, di dalam pesannya, memanggil Ryan dengan panggilan ‘yank’? buru-buru kukembalikan tampilan hapenya ke layar awal berwalpaper asma Allah itu, kutaruh hapenya di tempat semula, dan aku mencoba mengatur napasku. Mencoba menetralkan keterkejutanku, menghibur jantungku yang kerjanya dua kali lipat lebih cepat daripada ketika aku berlari sekalipun.
“Abis ngapain, hayo?” ternyata Ryan sudah keluar dari kamar mandi dan mendapatiku –yang sangat polos dan susah menyembunyikan perasaanku– masih melongo begok menatap buku di atas meja yang tak jauh dari hapenya.
“Ha?”
“Kamu mencurigakan deh Er, abis ngapain sih?”
“Aku nggak nyolong Yan, sumpah!” Ryan tertawa.
“Aku nggak nuduh kamu nyuri kok. Tapi kalau tiba-tiba kamu bilang gitu, jujur aku bisa curiga nih, muka polosmu nggak bisa boong soalnya.” Dalam hati aku mengucapkan hamdalah, entah kenapa aku lebih bahagia dituduh nyolong daripada ketahuan baca-baca smsnya. Artinya aku telah berhasil berbohong.
“Tapi, aku tau siapa kamu lah Er, anak konglomerat satu ini mana mungkin nyolong? Duit dari bapakmu aja bahkan berlebih-lebih. Haha” Ryan hanya tertawa kecil sambil menyisir rambutnya, untuk kemudian mengenakan jilbab lebarnya.
*
Entah kenapa, perkumpulan dengan teman-teman yang biasanya hanya membahas hal seputar kampus dan dosen saja selama ini, saat ini malah mulai membahas pacar. Dan, tau sajalah, aku jadi bulan-bulanan teman-temanku.
“Kalau bukan Ryan yang meyakinkan, bakal sulit mempercayai Erta belum punya bahkan belum pernah pacaran”.
“Emang kenapa sih? Apa tampangku mesum?” jawabku asal. Mereka tertawa terkekeh.
“Bukanlah Ta, kamu kan cantik, kepribadian unik, anak orang kaya lagi, tapi kok nggak laku?” aku hanya cemberut. Tapi Ryan –seperti biasanya– membelaku.
“Kalian ini pikirannya jangan picik gitu dong, harusnya kalian muji Erta, jarang-jarang ada orang seperti dia sekarang, masih original.” Mereka mengangguk. Tapi tetap aja aku nggak enak hati. Tiba-tiba.
“Kamu sendiri gimana Yan? Ada pacar nggak? Kalau diliat-liat kamu udah punya tunangan ya kayaknya? Udah terikat gitu. Cieeee” suasana mulai ricuh. Ini yang kutunggu-tunggu. Kutatap lekat mata bulatnya, apa yang akan dia jawab.
“Haha, sok tau kamu Bi, aku pernah pacaran sih iya, tapi sekarang aku nggak mau pacaran ah, apalagi sampai tunangan? Aku maunya ntar ta’aruf aja.” Aku kecewa dengan jawaban Ryan. Jelas dia berbohong. Karena belakangan kuketahui dari facebook, kalau dia –yang memprivat relationshipnya– ternyata memang sudah berpacaran dengan pria bernama Riko itu. Ryan ternyata tidak terlalu ulet menyembunyikannya, karena pacarnya Riko itu tidak menyembunyikan status relationshipnya, jadi aku bisa jelas melihat kalau di informationnya Riko, terpampang ‘engage with Riyana Utami’.
Setelah teman-teman kampus pulang dari kosan Ryan, aku yang ingin membahas Riko sengaja memilih untuk membisu di sudut ruangan kamarnya. Dan, Ryan yang sensitif didukung aku yang tidak bisa menyembunyikan perasaanku, membawanya bertanya.
“Kenapa dari tadi diam aja Er?” aku masih diam.
“Ada masalah apa? Teman-teman bikin kamu tersinggung gara-gara mereka memperolokmu karena belum pernah pacaran?”
“Yan, jujur. Aku suka, bahkan sayang banget sama Hilo. Dia bener-bener udah cocok rasanya sama aku, dia baik banget en ngertiin aku sangat. Dia nggak pernah ngerasa terganggu dengan sikap polosku yang sering bikin gregetan banyak temen cowokku lainnya. Dia selalu ada saat aku butuh. Dia nerima aku apa adanya. Dia benar-benar kriteriaku Yan.” Kuhentikan sejenak ocehanku demi melihat reaksi Ryan yang mulai mengerutkan keningnya. Kulanjutkan.
“Tapi aku juga sayang sama kamu, sahabat terbaikku yang juga sangat mengerti, bahkan menjagaku. Aku sangat galau ketika kamu nggak ngebolehin aku pacaran ama Hilo. Aku sayang kalian dua-duanya, tapi aku nggak mau milih dan kehilangan salah satu dari kalian.” Kujangkau tisu di atas meja belajar Ryan untuk menghapus air mataku yang entah kenapa tiba-tiba mendongak keluar mengiringi iba hatiku.
“Tapi yan, satu hal, mungkin yang juga ngedukung aku kenapa aku nangis sekarang. Aku kecewa sama hubungan kita.” Kulihat Ryan begitu kaget.
“Aku yang selama ini selalu terbuka, bahkan tak satu pun masalah yang kusembunyikan darimu, tidak mendapat umpan balik darimu yang bersikap sebaliknya padaku. Kamu sangat tertutup, bahkan siapa dan di mana kakak laki-lakimu sekarang kamu tidak pernah cerita padaku kan? Atau juga cerita kenapa ayah dan ibumu bercerai, kamu juga tidak membuka mulut untuk itu. Sering aku menyesali diriku sendiri yang seolah sangat egois dan mendominasi hubungan ini. Kenapa aku sendiri, yang sahabat baikmu tidak bisa menjadi tempat curhat sahabatnya sendiri? Apa aku terlalu anak-anak untuk bisa sekedar mendengar ceritamu?” kulihat wajah Ryan semakin kusut, dia kelihatan sedih dan dibumbui amarah tertahan. Ruangan kosnya sunyi untuk beberapa saat. Kemudian kulanjutkan.
“Riko pacarmu kan Yan? Kenapa kamu tak menceritakannya padaku? Lebih aneh dari itu, kenapa kamu melarangku berpacaran, sedangkan dirimu memiliki pacar, Yan? Kenapa Yan? Apa alasan demi menjaga harga diri dan nama baik masih bisa dipertahankan?” napasku mulai memburu, karena menahan tangisku agar tak terlalu terisak, menahan emosiku juga. Ryan terlihat lebih menyakitkan.
“Kamu ingin tahu? Siapa kakak laki-lakiku, dan kenapa ayah ibuku bercerai? Akan kujawab.” Ia berdiri secepat kilat, matanya membesar, amarahnya membara.
“Kakakku adalah Ivan! Lelaki berhati tulus dan lembut yang pernah kamu tolak ketika SMA dulu!” suaranya membubung tinggi seolah akan meruntuhkan kamar kosnya, aku ketakutan. Lebih dari itu, keterkejutanku menghantuiku. Memaksa memoriku kembali mengingat masa SMA, ketika Ivan sahabatku yang membalikkan namaku menjadi Tare, yang periang dan selalu bersamaku, berubah pendiam dan menghindariku. Semenjak peristiwa penolakanku dulu.
“Dan! Orang tuaku bercerai gara-gara masa depan Ivan yang kacau gara-gara kamu! Hampir setiap hari, aku melihat kakak tersayangku disiksa oleh makian ayah, dan setiap kali itu pula naluri ibuku membelanya, hingga berlarut-larut terjadilah pertengkaran hebat antara ayah dan ibu. Sampai mereka ber-ce-rai. Keluargaku hancur Ertaaaaa.... dan, dan itu semua gara-gara kamu!!!” ia memukul lemari di sebelahnya kuat sekali, sekuat suaranya yang ia pekikkan. Aku ketakutan. Sangat ketakutan. Bingung. Aku harus bagaimana? Aku hanya bisa tetap menangis.
“Sayang banget kamu tidak bisa bersabar. Kamu tau? Aku akan memberitahumu juga kenyataan pahit ini. Ketika kita hendak diwisuda nanti.” Ia masih marah, meski suaranya tidak lagi sekeras petir. Ia berlutut, dan mulai menangis. Aku semakin hilang akal. Di saat aku masih berusaha mengumpulkan nyawa, aku harus memikirkan apa yang akan kuperbuat.
“Aku memang berpacaran dengan Riko. Tetapi kami hanya berpacaran lewat sms. Tidak bertemu, dan tidak ada orang yang tahu. Jadi aku tetap menjaga harga diri dan kehormatanku sebagai wanita muslimah. Sekarang kamu tahu itu bukan hanya alasanku?”
“Ak...aku tau, ngomong maaf aja mungkin udah basi dan nggak bisa bikin keadaan jadi baik. Tapi emang Cuma itu yang bisa kulakukan Yan. Maafkan aku.” Aku perlahan mulai berdiri, beranjak dari tempatku tersudut, meraih tasku yang tersangkut di samping pintu, dan berniat pulang.
“Tidakkah kau ingin melakukannya lebih halus dan manusiawi?” aku menoleh.
“Maksudmu, Yan?”
“Setelah mengakui maaf saja tidak cukup tetapi tetap mengucapkannya, sekarang kau langsung pergi gitu aja?” aku masih bingung. Aku harus gimana?
“Sudahlah, kau pulang saja!” ucapnya ketika melihatku merapikan tisu-tisu berserakan dan buku yang terjatuh dari atas lemari ketika dipukulnya tadi. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus gimana, langsung memakai sepatuku dan pulang. Berharap ini mimpi buruk. Sungguh, kehilangan sahabat bernama Ivan sudah sangat membuatku depresi, sampai masa depanku yang harusnya berada di universitas ternama dunia di Amerika harus kandas, aku kehilangan setahun usiaku yang kujalani dengan kemelaratan. Aku ditinggal orang tuaku, dan aku ditampung keluarga angkat yang sangat kaya karena mereka tidak memiliki anak perempuan. Sekarang, apakah aku masih harus kehilangan seorang sahabat yang sangat kusayangi untuk kedua kalinya? Rasanya aku ingin mati saja.
*
Sebenarnya, masih ada satu rahasia terbesar dalam hidupku yang kamu tidak ketahui Yan. Orang tuaku yang kaya itu bukanlah orang tua kandungku. Ketika aku depresi, orang tuaku meninggalkanku karena tidak sanggup merawatku. Beruntung ada keluarga kaya yang tidak memiliki anak perempuan bersedia menampungku di rumahnya. Tetapi tidak seenak kelihatannya. Aku bisa disamakan dengan babu di sana. Makanya, aku tidak pernah berpakaian dan bergaya ala orang kaya ke kampus. Dan, untuk usiaku yang setahun di atasmu, itu karena setahun usiaku hancur gara-gara depresi kehilangan sahabat yang ternyata kakakmu. Aku memang tak mengenal keluarga Ivan karena semasa SMA ia jauh dari keluarganya dan memilih untuk ngekos. Dan kamu tahu? Aku yang memiliki mimpi untuk bisa kuliah di Harvard University, terpaksa harus mengubur dalam-dalam mimpi itu bersama kenangan manis hidupku. Karena apa kamu tahu kan?
Kuliah sastra ini sebenarnya bukan keinginanku. Bahkan sama sekali aku tidak ada bakat dan minat di sini. Sejujurnya aku ingin kuliah di bidang jurnalistik, tetapi aku gagal meyakinkan keluarga angkatku yang sangat menginginkan aku menjadi seorang sastrawan seperti ayah angkatku. Sekarang, setelah aku meyakinkan diri untuk mengejar mimpiku dan tak ingin lagi menjadi Erta yang tidak dewasa, aku memilih untuk mengundurkan diri dari kampus, dan aku keluar secara terhormat dari rumah keluarga angkatku. Aku berhak menentukan masa depanku sendiri. Meski aku masih ragu dengan apa aku akan melangkah.
Pertemuan pagi ini di kampus, menjadi pertemuan terakhir kita, kurasa. Jika suatu saat, di ruang dan waktu berbeda kita ditakdirkan untuk bertemu, kuharap kita bisa bertemu ketika engkau sukses menjadi penulis best seller seperti mimpimu, dan aku bisa mewawancaraimu, tentunya sebagai seorang jurnalis.

Aku sangat menyayangimu Yan. Terima kasih tak terhingga. Untuk waktu yang tak pernah terbuang percuma yang kita lewati bersama, untuk setiap nasihat dan pengetahuan agama yang dengan sabar kamu bagi, untuk kekuatanmu yang selalu menegarkan dan menjaga aku yang ringkih, dan untuk kasih sayang yang tak terhingga yang akan aku bawa sebagai bekalku melangkah.
Please remember, I will always love you, forefer.

Ryan mengusap air matanya untuk kesekian kalinya, ia melipat rapi kembali surat dari sahabat yang sangat disayangnya itu. Sebenarnya, ia tidak menaruh dendam terhadap Erta. Hanya saja, ketika Erta menyinggung soal berpacaran, membuatnya mengingat masa kelam kakak lelakinya.
“Er, bukan karena marahku aku memintamu tidak pacaran. Hanya karena aku ingin membantumu melanjutkan niatmu semasa SMA (ketika menolak cinta Kak Ivan dulu) untuk tidak pernah berpacaran agar suamimu kelak bahagia karena dirimu masih sangat suci yang pernah kamu ungkapkan pada kakakku dulu. Dan, aku ingin kamu menjadi kakak iparku. Karena sekarang Kak Ivan sudah bangkit kembali menjadi manusia seutuhnya dan insya Allah akan menjadi pengusaha sukses.
*          *          *

Hidup ini penuh misteri, teka teki, dan kadang berbanding terbalik dari apa yang kita pahami. Seseorang yang terlihat sangat beruntung, ternyata jauh lebih melarat. Orang yang terlihat sangat menyayangi, ternyata menyimpan dendam. Memang, tidak ada mata kuliah khusus yang bisa memecahkan misteri hidup dan masa depan seseorang. Kita hanya harus belajar, belajar memahami, belajar ikhlas, belajar bersabar, dan belajar merelakan semuanya kepada Tuhan. J

Continue reading