Jumat, 09 Agustus 2013

pengorbanan berbuah manis

Untuk kesekian kalinya kuseka keringat yang menempel di keningku itu dengan lengan baju putih panjangku yang sudah mulai menguning karena berkali-kali kusekakan ke kepalaku. Mataku masih saja liar mengamati nama-nama yang terpampang di papan pengumuman jurusan itu. Tetap nihil! Tak ada namaku di daftar nama mahasiswa yang akan ujian minggu depan itu. Huff! untuk kesekian pula napasku terasa sesak. Kemudian aku melangkah menuju deretan bangku yang tersusun memanjang sepanjang depan kantor jurusan, yang dikhususkan untuk tempat duduk mahasiswa.
“Gimana?” Tanya Cia temanku, mendekat sesampainya ia di kampus.
“Cuma ada nama kamu, Nisa, Irfan, dan Amel. Namaku belum keluar juga.”
“Aku keluar?” Amel yang berada di dekatku juga terkaget. Ia, aku juga kaget. Bagaimana mungkin namanya sudah masuk daftar yang mau ujian sementara ia mendaftar untuk ujian dua hari setelahku, yaitu tiga hari lalu. Karena tidak percaya, ia segera bangkit dan berjalan menuju papan pengumuman itu.
“Kamu yang sabar ya, mudah-mudahan di periode ujian skripsi yang berikutnya nama kamu udah ada.” Cia menghiburku.
“Iya, tapi kapan? Kalau periode berikutnya itu dua minggu lagi, aku bakal ga jadi bisa wisuda periode ini dong?” Cia hanya diam. Mungkin ia kehabisan kata-kata untuk menghiburku. Dan aku maklum. Mungkin kalau di posisinya, aku juga akan diam.
“Hai! Nes, Cia, udah keluar jadwal ujian skripsinya?” Dini temanku yang sudah selesai ujian minggu lalu baru datang dan ikut bergabung.
“Udah Din, tapi baru berempat yang keluar.”
“Lho? Kok Cuma empat? Bukannya ada lima orang teman kita yang harusnya ujian ya?”
“Namaku nggak keluar.” Jawabku cepat dan merubah air muka Dini.
“Kamu nggak nanyain sama orang di kantor jurusan? Sama Pak Momon? Mungkin ada yang salah?” aku hanya menggeleng. Dini juga terdiam, seperti Cia. Tak lama kemudian ia bangkit.
“Eh, aku masuk duluan ya, udah janji mau kasih perbaikan sama Prof. Harris nih.” Aku dan Cia hanya tersenyum.
*
Aku juga heran, kenapa jatah wisuda untuk periode ini bisa dibatasi? Entahlah… entah apapun itu alasannya, yang jelas aku merasa ini tidak adil. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ruang kantor jurusan, dan pergi menghadap pak Momon, dosen yang banyak dekat dengan mahasiswa dan kebetulan juga sering ngurusin hal beginian.
“Pak, soal wisudawan yang dibatasi itu beneran? Ga becandaan?” kulirik dengan was-was pria berkumis tebal itu.
“Ehm!” ia berdehem kuat, kemudian menatapku lekat. “Iya, memangnya kenapa? Masih belum percaya?” aku tertunduk lemas sebelum akhirnya duduk di sofa coklat di hadapan bapak itu.
“Pak, saya bukannya tidak percaya apa gimana, tapi saya menghadap bapak mau curhat.”
“Hahaha” suara tawanya yang menggelegar mengagetkanku, kesal juga. Aku yang tengah galau ditertawakannya.
“curhat apa?” aku memperbaiki sebentar posisi dudukku, memperhatikan sekitar yang kebetulan sepi, lalu melanjutkan kalimatku.
“Gini, pak. Saya kebetulan anggota wisudawan yang masuk daftar cadangan…”
“Cadangan berapa?” potongnya
“Cadangan tiga pak.” Ia manggut-manggut. Kemudian kulanjutkan. “Nah, itu artinya alamat saya bakal ditunda wisudanya semester depan dong pak. Karena secara logika mana ada yang mau mengundurkan diri pak? Tiga orang lagi! Yang belum sidang aja pada ngebet pengen wisuda, apalagi ini yang wisudanya udah di depan mata!” kulirik ia sebentar, hanya terdiam mendengarkanku.
“Nah, pak… yang jadi pokok masalah saya di sini adalah ibu saya pak. Beliau lagi sakit keras, apa-apa harus saya yang bantu. Karena tinggal saya anaknya yang di rumah pak. Dan kalau saya sudah wisuda, jelas saya bisa punya banyak waktu lagi buat beliau pak. Saya harus gimana pak? Saya ingin membahagiakan beliau selama beliau masih bisa melihat saya berdiri dengan toga dan memegeang ijazah saya pak” air mata pun sukses menetes di pipiku. Segera kuusap karena takut ada yang melihatku.
“kelas kamu, yang wisuda periode ini ada berapa orang?”
“Sepuluh pak” jawabku cepat.
“Panggil mereka ke sini segera.” Aku segera berlari mencari teman-temanku yang sudah pasti diwisuda periode ini. Sambil dalam hatiku bertanya-tanya kenapa Pak Momon mencari mereka. Apa hubungannya dengan curhatanku tadi? Entahlah…
Setelah semua temanku berkumpul di samping ruang baca, Pak Momon segera menyusul dan berdiri di depan teman-teman denganku. Aku serasa menjadi seorang anak baru pindahan dari kampus lain yang harus memperkenalkan diri. Karena bahuku dipegang erat oleh beliau.
“Teman kalian butuh tiket wisuda itu, untuk membahagiakan ibunya yang sedang sakit. Ada yang ingin memberikan tiket wisudanya pada Anes?” semua terdiam, lama sekali, dan aku setia dengan muka ditundukkan, dan air mata yang sudah mengalir.
Setelah mengulang kalimatnya untuk yang ketiga kalinya dan tetap tak ada jawaban dari teman-temanku, Pak Momon melanjutkan.
“Baiklah. Anes, kamu panggil teman-teman dekatmu ke sini sekarang!” aku melongo, 10 teman yang kupanggil inilah teman terdekat dan keluargaku di kampus.
“Mereka pak.” Ujarku menunjuk sepuluh temanku yang terpaku dengan air muka yang tak enak.
“Tapi mereka bukan teman dekatmu. Mereka bahkan tak bisa merasakan bagaimana rasa sakit dan perihnya hatimu saat ini. Mereka yang orang tuanya masih segar pasti tidak apa-apa kalau wisudanya diundur hanya tiga bulan. Tapi ternyata mereka tidak mau mengalah satu pun. Apa iya, mereka teman dekatmu?” aku terperanjat mendengarnya. Aku menggeleng cepat.
“Tidak pak! Jelas tidak ada yang mau mengganti posisinya dengan saya. Sudahlah pak, saya tidak minta bapak untuk meminta mereka mengganti tiketnya dengan saya, yang saya mohon bapak membantu saya untuk memberi 3 tiket lagi. Itu saja.”
“Kenapa harus tiga? Kamu Cuma butuh satu!”
“Tapi saya kan cadangan ketiga pak. Tidak mungkin saya melangkahi dua orang sebelum saya.”
Tiba-tiba Cia, mengangkat tangannya dengan pipi sudah basah oleh air mata.
“Pak, saya tidak butuh tiket ini. Saya rela diberikan sama Anes, pak.”
Aku menggeleng cepat.
“Nggak Cia!!!” tapi tangan pak Momon dengan cepat mengambil tiket dari tangan Cia. Dan memindahkan ke tanganku. Kemudian tersenyum.
“Sekarang masalahnya sudah beres. Terima kasih Cia, kamu membuktikan masih ada pengorbanan pada saya. Kamu terma Anes, dan kalian semua boleh bubar!” dengan santainya bapak itu meninggalkan kami yang masih mematung di tempat berdiri masing-masing.
Kukejar pak Momon, dan segera menyerahkan kembali tiket itu padanya.
“Maaf pak. Saya tidak bisa mengorbankan teman saya yang juga butuh tiket ini.”
“Tapi kan dia sudah memberinya sama kamu. Udah terima saja!” aku menggeleng cepat.
“Pak, bapak nggak liat tadi dia nangis? Artinya dia sakit juga ngasihnya pak. Dan saya nggak mau!” Pak Momon terus berlalu dan mengabaikan aku yang sudah memegang tiket wisuda Cia. Aku segera berlari menuju teman-temanku yang ternyata masih berdiri di tempatnya tadi sambil menatap tak percaya satu-sama-lain.
“Cia! Ini, ini bukan hak aku. Kamu ambil lagi.” Sambil kuulurkan tiket itu ke arahnya. Cia hanya terdiam sambil menyeka air matanya.
“Nggak Nes, itu buat kamu.”
“Nggak Cia!”
“Iya Cia, kenapa kamu mau ngasih Cuma-Cuma tiketmu ke Anes?” Ujar Dini.
“Mamaku udah meninggal, dan aku sangat menyesal belum sempat memberikan apa yang mama mau waktu itu. Dan aku menyesal sekali. Sekarang, mama Anes lagi sakit dan Anes harus bisa membuat mamanya bangga dengan melihat anaknya memakai toga dan memegang ijazah. Paling tidak dengan membuat Anes bisa membahagiakan mamanya, aku bisa membayar sedikit perasaan bersalahku.” Aku dan teman-teman yang mendengarnya benar-benar menangis. Rasa haru menghanyutkan kami yang tak sempat menyadari kondisi kami tengah ditonton orang sekampus.
*
Pagi itu aku bergegas ke kampus, harus mengambil toga dan registrasi terakhir untuk wisuda yang tinggal menghitung minggu. Sudah terbayang bagaimana senyuman manis mama terkembang melihatku diwisuda juga.
Setibanya di kampus, aku tidak langsung ke kantor fakultas, tapi mampir dulu ke kantor jurusan, di sana aku bertemu dengan Pak Momon yang langsung menyapaku.
“Anes, bagaimana? Sudah selesai regristrasi wisudanya?”
“Belom pak, ini mau regristrasi terakhir sekalian mau ambil toga.” Jawabku sambil tersenyum dan diiringi senyum juga oleh Pak Momon.
“Oiya, kamu liat Cia? Kalau ada kalian berdua menghadap Bapak, ya.” Aku mengangguk dan mohon izin pada bapak itu. Dalam hati aku masih penasaran kenapa kami disuruh menghadap. Apa mungkin tiket wisudanya akan dikembalikan pada Cia? Ahh, kalau memang, nggak mungkin bapak itu menyuruhku segera menyelesaikan regristrasiku kan? Tapi kenapa? Setelah pusing-pusing berbicara di dalam hati, aku berpapasan dengan Cia dan Irfan yang hendak turun tangga.
“Dari mana?”
“Dari pustaka. Kamu mau regristrasi terakhir ya?” Jawab Cia. aku mengangguk.
“Oiya, kita disuruh menghadap Pak Momon Cia.”
“Ada apa? Mau menghadap sekarang apa setelah kamu regristrasi?”
“Entar aja deh regristrasinya. Aku penasaran banget soalnya.”
“Boleh ikutan nggak ni?” Aku mengangguk saja meski tidak yakin.
“Yaudah, yuk!” Cia menggandeng tanganku dan kamu segera menuruni tangga menuju kantor jurusan.
Setibanya di depan kantor jurusan kami bertemu Dini dan Amel, mereka mengikuti kamu yang segera menemui Pak Momon.
“Cia, ini. Kamu memang berhak mendapatkannya kembali.”
Muka semuanya berubah cerah dan ada tanda Tanya.
“Sebenarnya memang sudah ada tiket special yang disediakan jurusan. Tapi masih belum ada pemiliknya sampai kemarin. Tapi setelah berembuk. Semua dosen setuju diberikan pada Cia.”
Seluruhnya bertepuk tangan, riuh sekali. Aku kembali menitikkan air mata, kulihat Cia juga. Dan kamipun berpelukan.

Alhamdulillah… terima kasih Tuhan, kau buktikan kebesaranmu padaku, juga pada teman yang sudah dengan ikhlas berbagi.










selamat diwisuda buat teman-teman.
terima kasih untuk kebersamaan yang empat tahun kita bangun.
terima kasih suda menjadi inspirasi dari penulisan cerita ini.
selamat sukses teman :)

Continue reading