Selasa, 31 Desember 2013

Happy new year "2014"

Penutup akhir tahun yang manis
Aku mengenal perasaan ini baru saja. Entah berapa detik yang lalu.
Perasaan nyaman, perasaan tentram, dan damai. Ya… mungkin ini bagian dari anugerah Tuhan. Berkali-kali Ia menghadiahkan kepedihan dan rasa tak nyaman di sepanjang 2013 ini, akhirnya berbalas keindahan dalam detik terakhirku, detik terakhir tahun lalu. J
Awal penyambutan tahun baru di 2014 ini. Dengan senyum yang dialirkan perasaan nyamanku. Aku berharap kebahagiaan senantiasa membawa langkahku lebih baik lagi. Dalam karir pekerjaan, pendidikan, dan tentunya pengembaraan menemukanmu yang masih disembunyikan Tuhan dari kasat mataku.
Entah bagaimana itu cara kita dipertemukan olehNya, aku masih menantikan itu terjadi di 2014 ini…

Continue reading

Senin, 30 Desember 2013

Dalam Kebisuan


Aku tertegun lagi. Entah kenapa mata ini tak pernah berniat lepas dari pemandangan sejuk yang beberapa hari belakang selalu nampak semenjak kepindahanku ke kota ini. Gerobak sempit tempatku dan ibu mengadu nasib di kota setelah berkali-kali digusur di desa, tempat kami istirahat, tempat kami bercengkrama dan menghabiskan lebih dari setengah hari usiaku pada setiap harinya, tepat berdiri di tempat yang strategis. Di persimpangan yang sering dilewati si mata elang dan si badan atletis. Mungkin rumahnya salah satu yang megah di dalam sana.
Gerimis senja itu, pertama kali mataku menangkap sosoknya. Ia tengah berlari menghindari tetes-tetes air, sampai akhirnya berteduh di tenda yang didirikan ibu, lebih tepatnya menumpang berteduh.
“Maaf, bu. Saya kehujanan. Saya numpang berteduh di sini sebentar ya.” Ibu hanya tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian mendongak ke dalam gerobak. Mungkin ia penasaran denganku. Aku balas mendongak ke atas, kemudian hanya tertunduk karena dadaku berdesir dan kurasakan mukaku memerah. Rasanya baru kali ini deguban aneh itu kurasakan ketika melihat sosok mahkhluk bernama laki-laki.
“Maaf, bu. Bisa bikinkan saya kopi?” sepertinya ia memang kedinginan. Ibu yang pengertian mengangguk sambil mengambil handuk dan kain sarung lusuh untuk diberikan padanya. Ia tertawa. Tapi anehnya –tidak seperti orang kaya lainnya– ia tak memperlihatkan ekspresi jijik sedikitpun. Kemudian kudengar ia tengah berbicara dengan seseorang dengan telepon genggamnya. Sepertinya ia minta dijemput.
Saat ibu menyuguhkan kopi pesanannya, ia kembali bertanya,
“Ibu baru di sini ya? Sebelumnya saya nggak pernah liat ada yang jualan di sini.” Ibu mengangguk ramah. Tidak puas, ia bertanya lagi.
“Memangnya ibu dari mana?” ibu tampak bingung menjawabnya. Kemudian mulai mengangkat tangan dan berbicara dengan bahasa tubuhnya. Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Ia sudah pasti tak paham dengan jawaban ibu. Kemudian ia mendongak lagi ke dalam gerobak.
“Maaf, bisa tolong terjemahkan bahasa ibu ini pada saya?” aku yang sedikit gugup dan malu-malu kemudian berdiri, setelah menarik napas panjang, kujawab ia.
“Ibu-bilang- kami-dari-desa-terpencil.” Ujarku lebih pelan, tentu saja juga dengan bahasa isyarat. Ia akhirnya paham kekuranganku dan ibu. Kemudian ia meminta kertas dan menyuruhku menuliskannya. Aku menggeleng cepat. Dari kecil aku tidak pernah bisa sekolah, aku tidak pandai baca tulis. Aku meminta maaf melalui bahasa tubuhku, dan sepertinya ia mengerti.
Tak lama kemudian datang seorang ibu-ibu berdaster membawakan payung. Dari penampilannya sudah pasti itu bukan ibunya. Kemudian ia berbicara pada ibu tersebut.
“Mbok, mereka pakai bahasa isyarat, aku nggak ngerti. Terjemahin dong.”
“Waduh, den. Mbok juga nggak pandai bahasa isyarat. Kan ndak pernah sekolah itu dulu.” Ia akhirnya menyerah dan membayar kopinya lantas pamit pada ibu, dan tentu saja padaku. Aku senang dengan senyumannya. Nampak ketulusan dari sana. Ia tak jijik kepada kami, juga tak risih kami ini orang bisu.
Semenjak percakapan singkat di penghujung senja itu, ia jadi sering mampir ke gerobak kecil yang kami jadikan kedai sekaligus tempat tinggal itu. Dari pakaiannya, ia kuketahui tengah kuliah di kampus ternama di kota ini. Ia pasti sangat pintar.
“Nama kamu siapa?” katanya suatu waktu.
“Ayana” jawabku dengan bahasaku. Ia mencoba menebak berbagai nama tapi melesat jauh. Namanya juga aneh ditelingaku.
“Marcia? Grace? Jennifer? Siapa? Waduh… salah terus.” Ia pun menyerah melakukan komunikasi yang payah ini. Tapi ia hanya menyerah di hari itu saja. Esok harinya ia kembali datang dengan membawa temannya. Kupikir temannya bisa berbahasa isyarat. Ternyata lebih kacau.
“Suminem? Rohanah? Surtini? Minah? Aaah…” kudengar mereka beradu argumen.
“Lu sih, jelas-jelas mereka ini orang kampung. Pasti namanya udik.” Jawab temannya. Kurasa ia menerka kalau aku ini juga tuli. Padahal aku bisa mendengar semuanya dengan jelas. Tapi tak apa. Memang benar adanya.
*
Selalu saja, dia takkan bisa mengerti perasaan ini. Kediamanku jelas tak bisa mengungkapkan rasaku padanya. Apalagi ia sama sekali tak mengerti bahasaku. Apalagi mengerti hatiku? Pernah kucoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat termudah yang kurasa ia akan bisa memahaminya. Namun sulit.
Pernah suatu ketika, ia mampir ke warung kami. Ia memandangiku sebentar, tatapan matanya seperti hendak bertanya. Tetapi dia sudah tentu tau. Meski aku mengerti dan ingin menjawab, ia takkan bisa menerka apa yang kubicarakan.
Ibu, bagaimana cara aku bisa berkomunikasi dengan orang yang tidak bisa mengerti bahasa isyarat? Pernah suatu ketika kutanyakan itu pada ibu. Ibu tersenyum. Lama kemudian baru menjawabku.
Karena kamu tidak bisa baca tulis, kamu butuh orang lain yang bisa menjadi perantara, nak. Aku terdiam. Sudah tentu itu susah. Di tempat baruku mencari sesuap nasi dengan ibu ini, belum pernah sekalipun kutemukan orang yang bisa mengerti bahasaku. Mereka yang sangat sibuk itu justru lari meninggalkanku karena baginya hanya akan membuang waktu bila berlama-lama menerka maksudku tetapi tidak berhasil juga.
*
Sudah tiga hari ia tak pernah terlihat melewati persimpangan tempatku dan ibu “mangkal”. Hatiku gelisah. Takut ada sesuatu yang terjadi padanya. Tapi ketidakmampuanku menghukum keinginanku untuk tahu. Ahh… kekurangan memang sebatas kekurangan. Kebisuan ini memberi dinding pembatas bagiku dan ibu untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti saat kemarin, aku bertemu mbok yang waktu itu. Kutanyakan keberadaan si mata elang. Tapi dia malah bergosip denganku. Menjadikanku pendengar setianya selama 2 jam.
Kemurunganku bertambah dalam, kala tiga hari itu tlah bertambah menjadi seminggu. Entah berapa besarnya rasa rinduku padanya. Tiap detik, pikiranku tak pernah terlepas darinya. Pertanyaan dan terkaan-terkaan selalu menghuni benakku. Ketakutan terparahku, dia telah pindah. Sebelum aku sempat memberitahunya perasaanku. Ya. Meski aku tak yakin bila berada di hadapannya aku akan bisa mengungkapkan rasa yang dalam ini.
*
Gerimis senja. Membuatku yang hendak jalan-jalan sore itu mengurungkan niatku. Sambil manyun memangku sebakul gorengan, kuperhatikan setiap jengkal kaki yang lalu-lalang di depanku. Dan, mataku membulat bening melihat seorang yang teramat kurindukan belakangan ini duduk di belakang kemudi mobil mewah, di sampingnya ada sosok gadis berambut panjang. Cantik.
Ketika mobilnya melewatiku, aku langsung menunduk dan memalingkan muka. Entah kenapa aku ingin marah melihatnya dengan perempuan lain. Tapi tiba-tiba…
“Hei, udah lama ya, nggak ketemu. Manyun aja nih. Mentang-mentang ujan.” Aku kaget. Kenapa ia –tanpa perempuan itu– bisa tiba-tiba ada di belakangku.
“tapi, ngomong-ngomong kamu cantik banget sore ini. Hehe” cengirnya sambil menggaruk kepala. Dan kepalaku tentu saja langsung menunduk tanpa komando. Mukaku terasa panas. Pasti ia sudah memerah sekarang. Ia mendongakkan kepalanya ke dalam gerobak. Mungkin ia mencari ibu.
“Ibu tidak ada.” Ia mengangguk dan tersenyum, kemudian tangannya terangkat. Mengusap-usap lembut kepalaku. Mata elangnya yang begitu tajam menghunus ulu hatiku. Ia menatapku lama, tanpa berkedip.
“Aku mau pamit sama kamu, mungkin kita nggak akan ketemu lagi setelah ini. Senang bisa kenal dengan gadis cantik sepertimu, yang suka menolong dan murah senyum. Meski tidak bisa disuarakan, aku tau apa yang hendak kamu katakan.” Sekali lagi, ia mengusap-usap rambutku sebelum akhirnya menjauh. Aku hanya bisa mematung. Ada apa? Apa dia harus pindah? Kenapa mendadak sekali?
Namun ia malah berjalan ke arah jalan raya, semakin menjauhi mobilnya. Aku masih ingat, ia berjalan sambil terus memperhatikan hapenya. Sampai kudengar bunyi roda mencicit menekan aspal.
“Brakkk!”
Benturan itu. Aku melihatnya dengan jelas. Aku pun merasakan rasa sakit yang teramat. Andai aku bisa bersuara, teriakanku akan membelah angkasa yang kejam ini. Kulempar gorengan yang kupangku tadi. Kuberlari sekuat tenaga untuk lebih mendekat dan memastikan apa yang kulihat. Untuk memastikan ia masih ada untuk mengetahui perasaanku.
Aku ikut ke rumah sakit. Kulihat tatapan aneh orang-orang padaku. Kenapa si bisu ini ada di sini? Tentu mereka berpikiran begitu. Begitu juga dengan gadis manis yang tadi bersamanya. Air matanya seperti tinta, berwarna hitam. Mungkin itu riasannya yang luntur. Tetapi aku tidak peduli. Selama ini, aku telah menahan semua gejolak yang memburu di jantungku, dan hari ini rasanya ia akan meledak. Aku akan menunggu. Menunggu sampai ia sadar. Menunggu ada kesempatan untukku membesuknya ke dalam kamar rawat. Menunggu ia bisa mengerti bahasa tangan yang baru kutau, orang kota paham kalau artinya “aku mencintaimu”.


Continue reading

Senin, 23 Desember 2013

Hari Ibu Tahun Ini

Hari ibu.
Siapa sih yang nyiptain tanggal 22 sebagai hari ibu? Andai tidak pernah ada tanggal yang dikhususkan untuk merayakan hari ibu. Tentu air mata ini tidak keluar lagi –seperti tahun-tahun lalu–.
*
Aku merunduk mencari sendalku di tumpukan rak sepatu. Pagi itu aku ingin keluar membeli gula. Persediaan gulaku sudah habis. Sedangkan hasrat untuk ngopi tidak terbendung lagi. Di warung aku bertemu anak-anak tetangga yang tengah asyik bercakap-cakap.
“Jadi nanti malam kamu bakal ngajak mama kamu makan di restoran sama papa kamu?”
“Iya dong. Kalau kamu? Bakal ngerayain hari ibu ke mana?”
“Aku sih cuma di rumah sambil potong kue dan berfoto bersama, tidak lupa berdoa untuk ibu. Trus, kamu kasih kado apa buat mamamu?”
“Aku sama papa beliin mama baju. Hehe… kalau ibumu?”
“Foto kami sekeluarga bersama ibu, kubingkai dalam bingkai yang besar sekali. Nah… itulah kado spesialku untuk ibu.” Keduanya tertawa bersama. Kemudian mereka mulai sadar kehadiran mataku yang tak lepas menatap mereka. Seketika mereka terdiam. Seperti salah tingkah, dan tak lama memutuskan untuk pergi. Aku hanya menghela nafas.
Tidak hanya di warung, di seluruh akun jejaring sosial, setiap aku membuka halaman home, selalu terbaca “Selamat hari ibu. Hari perempuan hebat yang cintanya tak pernah palsu.” Begitulah kira-kira kalimatnya. Entah kenapa, rasanya aku (lagi-lagi) merasa tersindir dan tersisih sendiri.
*
“Dinda, ada orang tua kaya ingin bertemu kamu. Mungkin kali ini giliranmu.” Aku bangkit dengan ogah-ogahan memenuhi panggilan Kak Fatimah, kakak yang menjadi kakak anak-anak di panti ini. Meski giliran yang ia maksud adalah impian sebagian besar anak di panti ini, tapi aku merupakan salah satu anak yang enggan untuk diadopsi.
Ketika aku sampai di ruang tamu, kedua suami-istri muda itu menatapku sambil tersenyum, membalas wajah cemberutku.
“Dinda berapa umurnya?”
“13” jawabku jutek. Perempuan yang lebih pantas kupanggil kakak itu bertanya lagi.
“Dinda sekolah di mana?” sebelum menjawab, kualihkan pandangan ke arah Bu Siti, meminta penjelasan kenapa aku yang dipanggil ke ruang tamu ini, namun Bu Siti hanya diam menatapku.
“SMP Pamungkas”
“Juara ya, di sekolah?” aku hanya mengangguk dan menunduk. Khawatir kalau memang suami-istri muda ini menginginkan aku sebagai anak angkatnya.
“Dinda, tau, ini hari apa?”
“Minggu.” Jawabku. Keduanya tertawa.
“Iya, tapi ada peristiwa apa yang diperingati di hari ini?” sudah pasti maksudnya adalah hari ibu. Tapi aku enggan menjawab.
“Gini sayang, bunda sama ayah mau ngajak Dinda jalan-jalan buat memperingati hari ibu. Bu Siti udah ngizinin. Dinda mau ya?” aku menatap mata perempuan yang menamai dirinya bunda itu. Terlihat tulus. Atau memang disetting begitu oleh riasan tebalnya? Entah… kemudian kulihat Bu Siti mengangguk. Aku kembali tertunduk. Kemudian memutuskan…
*
Ibu? Mama? Atau siapapun panggilan untuk perempuan yang melahirkan anak itu. Sama sekali aku tidak pernah tau sosoknya. Kelam. Tak ada gambaran. Tapi yang jelas, yang kutahu hanyalah…
Perempuan itu telah membuangku. Perempuan itu tidak menginginkan aku menemani hari-harinya. Perempuan itu… tidak mengakui aku.
Jadi, bagaimana bisa aku mengucapkan selamat hari ibu untuk perempuan yang entah di mana itu?
Iya. Aku cemburu dan sangat iri pada setiap kali ada pemandangan ibu menggandeng tangan anaknya atau ibu mencium kening anaknya, tapi hatiku selalu berpaling dari setiap kalimat setiap teman sekolahku.
“Ibu itu orang yang selalu ada untukmu bahkan ketika seluruh dunia berpaling darimu.” Kurasa mereka memang sangat mengagungkan sosok ibu mereka. Tapi mereka lupa. Pada setiap helaan kalimat pujiaan pada ibu mereka, ada hatiku yang teriris. Aku cemburu. Aku iri. Aku juga ingin merasakan hangatnya kasih ibu seperti mereka. Tetapi, di mana ibu kandungku saat ini saja aku tidak tahu. Mendapatkan pelukannya saja aku belum pernah, bagaimana kau bisa merindukan rasa pelukan yang tidak pernah ada?

Kuhapus tetesan terakhir air mataku. Kemudian meneruskan melipat baju bagus yang baru saja kukenakan untuk jalan-jalan dengan ayah dan bunda tadi.


Continue reading

Balada Teh

Siang itu panas begitu terik. Matahari yang ketika itu tepat berada di ubun-ubun memeras keringat bercucuran. Tampak dua anak sedang berjalan di bawah pancaran silaunya. Tetapi mereka tidak berjalan bersisian. Yang satu berjalan dengan langkah cepat, yang satu, kaki-kaki kecilnya berusaha untuk berlari.
Renata menatap kesal ke belakang, dilihatnya lelaki kecil itu tergopoh berusaha mengejar dan mengimbangi langkahnya. Renata berbalik dan kembali menata langkahnya, seolah tidak peduli dengan kesulitan bocah kecil yang mengejarnya dengan kesusahan di belakangnya. Renata tetap dengan muka ditekuk dan bibir manyunnya.
“Ayo cepetan, dasar lelet!” dengusnya kasar, sedangkan anak lelaki itu hanya diam menurut seraya berlari.
“Minta duit aja susahnya minta ampun, malah disuruh nemenin lu jajan dulu, capek tau. Dasar ibu pilih kasih.” Renata ngomel-ngomel
“Kakak nggak boleh gitu sama ibu, kan nanti mau dikasih duit.”
“Diem lu! Mau gue cubit, ha?” Renata mengacungkan tangannya hendak mencubiti adiknya itu.
“Ampun kaaaak” anak itu berlari ketakutan, Renata segera mengejarnya, takut kalau-kalau ia sampai di rumah langsung mengadu, pastilah ibu akan menghukumnya lagi baru akan memberikan uang yang dimintanya untuk membayar kerusakan sepeda teman yang dipinjamnya tempo hari. Jelas saja ia tak menginginkan itu. Renata sudah merasa tidak enak hati dengan ibu temannya. Karena sudah seminggu lebih ia belum juga membayarkan uangnya itu.
Kehidupan Renata memang berubah semenjak kepergian ayahnya dua tahun lalu, tepatnya ketika Renata masih berusia 9 tahun dan adiknya berusia 1 tahun. Ibunya yang seorang guru SD lumayan merasa kewalahan dengan beban hidup yang ditanggungnya. Renata menjadi harus prihatin dengan hidupnya. Kalau menginginkan sesuatu, ia pasti harus bekerja dulu untuk bisa mendapatkannya.
Renata tidak pernah menyukai adiknya, karena baginya semenjak adiknya lahir, kasih sayang yang didapat dari almarhum ayah dan ibunya menjadi terbagi. Mungkin karena Renata cemburu. Meski memang seharusnya adiknya yang kecil mendapat perhatian khusus untuk merawatnya, tetapi Renata tidak menyukai itu.
Setibanya di rumah.
“Ibu, Re udah tepatin janji bawa Ivan main, nemenin dia jajan, sekarang Re udah bisa dapetin uangnya? Ayolah bu, Re mau ganti uang perbaikan sepeda Venny yang Re rusakin. Ga enak lama-lama, bu.” Ibunya kemudian memberikan uang yang diminta Renata, ia bersorak kegirangan dan melambai-lambaikan uang itu ke hadapan adiknya tanpa peduli tatapan menghiba di wajah adiknya. Renata kemudian beranjak pergi, hendak menuju rumah temannya. Adiknya yang merasa kesepian dan masih ingin bermain dengan kakaknya hendak menyusul, Rena jelas tidak suka adiknya mengikutinya, langsung menghardiknya.
“Nggak boleh ikut! Tinggal aja di rumah! Nyebelin banget sih, lu!” Renata mendorong kasar adiknya seraya terus berjalan sampai ke rumah temannya, tanpa peduli wajah mengiba adiknya.
Setibanya di rumah Venny.
“Ini uangnya Ven, maaf ya rada telat ngasihnya, tadi disuruh ibu nemenin adekku yang resek dulu.”
“Oke, nggak apa kok Re. makasih, ya. Oiya, aku mau Tanya sesuatu deh, sama kamu.”
“Apa, Ven?”
“Gini, ngomong-ngomong, kok kamu benci banget sih sama adikmu itu? Padahal dia anaknya baik, nurut lagi, nggak bandel kayak adikku. Adikku yang bandel aja aku sayang banget sama dia. Karena kan emang harusnya gitu. Kita harus sayang sama adik kita sendiri.” Renata hanya diam, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Venny yang juga sering ditanyakan orang-orang kepadanya. Ujungnya Renata hanya tersenyum menjawab pertanyaan Venny tersebut.
Setibanya di rumah, Renata mendapati adiknya yang sedang tidur. Ditatapnya wajah polos itu, tidak terdapat raut menjengkelkan di sana, hanya wajah manis dan lucu yang ditangkapnya. Raut yang mirip dengan raut ayah ketika sedang tidur. Tetapi entah kenapa Renata masih saja enggan untuk sekedar berbaik hati padanya.
*
Keremangan cahaya lampu di ruang makan itu tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang terpancar dari keluarga kecil Renata. Perempuan yang teramat dicintainya sedang menyendokkan nasi ke piringnya. Raut wajah keibuannya mulai membentuk garis-garis halus, menandakan betapa kerasnya hidup yang telah ia lewati tanpa suami.
“Makasih, ya bu.” Renata tersenyum, ibunya juga ikut tersenyum. Kemudian Renata melanjutkan. “Makasih, ibu masih kuat sampai sekarang menjadi ibu terhebat yang pernah Re kenal. Ibu nggak pernah ngeluh, ibu nggak pernah berenti menebarkan cinta kasih ibu, demi anak ibu. Re sayaaaang banget sama ibu.” Air mata perempuan keibuan itu mengalir perlahan. Tangan siempunya beralih dari sendok nasi ke kepala anak sulungnya.
“Ibu juga sayang banget sama kamu, sama Ivan. Kalian lah sumber kekuatan ibu, nak.” Cepat tangannya menepis air mata itu.
“Ibu, nggak boleh cengeng, kan? Kakak nggak boleh bikin ibu nangis lagi, ya.” Dengan polos Ivan yang melihat air mata keluar dari sudut mata ibunya menegur kakaknya. Renata hanya diam. Agaknya ia tidak begitu berselera untuk merusak keharmonisan malam itu dengan keributan.
Dalam hati Renata sangat bersyukur. Meski ditinggal terlalu cepat oleh ayahnya, tetapi sama sekali tidak pernah ia kekurangan. Terutama kekurangan kasih sayang. Meski sering kesal dengan kehadiran Ivan di tengah ia dan orang tuanya, tetapi Renata tetap merasa dirinya beruntung ia diperbolehkan terlahir dari keluarga yang sederhana ini.
*
Kamar yang dengan ukuran tidak begitu besar itu tampak berantakan. Tas sekolah yang tergeletak di atas kasur menyembulkan beberapa buku, jelas ia seperti telah dilempar oleh pemiliknya. Di atas meja tergeletak jam tangan dan telepon genggam serta beberapa komik yang berserakan. Di bawah kaki kasur, setengah kayu kertas karton, penggaris, pensil, pensil warna, spidol, dan atlas bertebaran. Renata dengan serius menggaris-garis di atas kertas karton. Tak lama kemudian adiknya dengan mainan pesawat di tangan, muka sedikit cemong oleh coklat datang menghampiri dan bertanya.
“Kak Ena lagi apa?”
“Bikin peta!” jawabnya ketus. Ivan yang sedang memegang mainan sejenak asik memainkan mainannya. Kemudian, ia tiba-tiba bertanya kembali,
“Kaaak.” Tak ada jawaban. Kemudian ia mengulang, dengan nada suara yang lebih manja.
“Kakak, kaaaaak.”
“Ih, apaan sih?” Renata merasa terganggu dengan adiknya, mulai kesal dan meninggikan nada suaranya.
“Kak, kakak cayang nggak cama Ipan? Ipan cayang banget lo ama kakak” Renata menoleh heran.
“Kenapa sih lu?” kemudian Renata tidak ambil pusing pertanyaan Ivan dan kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya.
“Iya loh kak, walaupun kakak celing malah-malah, tapi Ipan tetep cayang Kak Ena.” Renata tetap diam, meskipun ia sedikit tersindir oleh perkataan polos adiknya itu. Ivan kembali asik dengan pesawat yang dipegangnya, menerbangkannya mengitari kamar Renata yang setengah berantakan, membalik-balik halam komik dengan asal. Kemudian ia kembali mendekati Renata.
“Kakak mau minum? Ipan ambilin yah?” Renata hanya menganggukkan sedikit kepalanya, nyaris tak terlihat.
“Terserah lu aja!” Kemudian Ivan keluar dari kamar Renata, berjalan ke dapur, dan kembali dengan membawakannya segelas teh manis, namun karena gelasnya yang besar, teh tersebut tumpah ke kertas karton yang hamper selesai digaris-garis oleh Renata.
“Aaaah! Ivan!”  Renata marah besar, dipukulnya adiknya itu dengan pukulan yang bertubi-tubi.
“Kurang ajar kamu! Selalu saja membuat orang susah, liat! Ini udah hampir selesai digaris tau! Ah… ngulang lagi deh, ngerepotin! itulah kenapa aku benci sama kamu!” Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ivan. Disaat mendengar jeritan yang menyayat hati, ibunya datang untuk melerai. Renata langsung didorongnya kuat dan memeluk anak lelakinya yang sudah menangis kesakitan. Matanya menatap tajam dan penuh amarah ke arah Renata, tidak menyangka Renata akan menyakiti adiknya yang masih kecil.
“Kenapa kamu Re? Mana perasaanmu? Adikmu masih kecil dan kamu menyiksanya begini? Apa salah dia sama kamu? Kenapa kamu begitu membenci adikmu sendiri? Ibu kecewa sama kamu, ibu nggak suka kamu kayak gini, Re.” Renata hanya terdiam terpojok. Kemudian ibunya pergi membawa adiknya yang masih menangis entah kemana.
Renata masih terduduk lesu, peristiwa itu terjadi dan berlalu begitu cepat. Tapi jantungnya masih belum normal berdetak. Perlahan Renata mencoba bangkit dan meraih kertas karton yang sudah basah, kini rasa sesal dan kesal bercampur aduk di benaknya. Dipaksanya tubuhnya untuk berdiri. Diambilnya kertas karton baru yang setengah kayu lagi dari atas kasur. Mencoba mengulang kembali menggar-garisi kertas kartonnya dengan meneteskan air mata.
*
Peta yang sudah jadi dan diberi tali itu dipampangnya di dinding kamar. Meski dibuat dengan suasana hati yang tengah tidak baik, tapi Renata cukup puas melihat hasilnya. Ia keluar dari kamar, rumah itu masih sepi.  Disusurinya setiap sudut rumah itu. Nihil. Kamar ibu juga kosong, dapur juga masih sama seperti keadaan tadi siang. Renata menatap jam dinding berkali-kali, sudah pukul 20.00 tetapi ibunya belum juga kembali, apakah ibu segitu marahnya padaku sampai ibu tega meninggalkanku? Lagi-lagi ini terasa tidak adil, mengapa hanya aku yang disalahkan, padahal dia yang memulai. Renata meratap, karena perasaannya semakin tidak enak, Renata berjalan ke luar rumah mencari jejak sosok ibu dan adiknya, tetapi nihil. Ia hanya bertemu dengan tetangga yang kemudian menegurnya.
“Rena, ibumu sudah pulang? Gimana Ivan?” Renata hanya mengerutkan dahinya, memangnya ibu kemana? Kenapa tante ini bertanya seperti itu? Batinnya.
Ng… Ibu belum pulang tante, memangnya tadi ibu bilang kemana?” jawabnya ragu-ragu. Ia khawatir dengan pemikiran tetangganya dengan ketidaktahuan dirinya.
“Lho, kamu gimana sih? Adikmu kan dilarikan ke rumah sakit tadi siang! Katanya adikmu sakit step” Renata langsung kaget tidak percaya, apakah sakit itu dikarenakan perbuatannya? Ya Tuhan. Maafkan aku, aku tidak berniat membuatnya sakit. Ivan, maafin kak Re, kakak sayang kok sama Ivan.  Renata membatin. Teringat pertanyaan Ivan tadi siang yang belum sempat dijawabnya. Kini ia menyadari, tangisnya yang meledak tadi siang itu bukan tangis kesal, melainkan tangis sesal. Dan ia baru menyadari betapa ia menyimpan sayang yang teramat besar kepada adiknya, ia bahkan takut kehilangan adiknya. Kini ia masih menunggu penuh harap kedatangan ibu dan adiknya ke rumah dengan membawa berita gembira dan memberikan maaf untuknya. Ia tulus dan benar-benar merasa bersalah.

Continue reading