Minggu, 16 November 2014

Bapakku



Ni Eli datang lagi, tapi kali ini tidak dengan suara parau dan lelehan air mata. Ia lebih banyak diam dan sesekali batuk. Keras sekali. Kulihat bapak sesekali terkejut juga mendengarnya. Mungkin batuk yang sangat keras itulah yang menjadi senjatanya kali ini. Ah, bicara soal senjata Ni Eli yang kukira-kira sendiri itu, lebih baik tidak lagi kuberi tahu pada bapak. Karena beliau pasti akan langsung marah padaku begitu mendengarnya, seperti sangkaanku yang dahulu tentang Ni Eli yang terus-terusan menangis pada bapak.
“Jangan selalu menyangka yang buruk, Mai. Ni Eli memang sedang butuh bantuan. Dan sebagai sesama, kita harus membantu Ni Eli. Kau kalau sedang kesusahan juga pasti akan menangis, namanya saja perempuan, perasaannya halus.” Demikian ucapan bapak kala kubilang kalau tangisan merarau-rarau* Ni Eli beberapa waktu lalu itu adalah senjatanya agar dibantu oleh bapak. Aku diam saja, tidak sanggup lagi berdebat dengan bapak mengenai senjata Ni Eli. Karena bapak pasti akan lebih marah padaku kalau aku terlalu ikut campur urusan Ni Eli.
Setelah mendengar batuk terkeras Ni Eli, kulihat bapak melangkah masuk ke kamarnya, sementara Ni Eli yang masih kuperhatikan menunduk saja. Entah karena malu kuperhatikan terus, entah sengaja membuat dirinya terlihat baik dan kalem di depanku. Ah, betapapun kalemnya dia hari ini, kalau kuingat ilauannya* beberapa waktu lalu yang sampai membuat bayi tetangga terbangun itu, takkan aku termakan sikapnya sekarang. Kala itu Ni Eli menangis sejadi-jadinya, mengadu pada bapak kalau anak bungsunya sakit dan ia tak punya uang. Kali ini, ia merengek pada bapak minta pinjaman uang untuk membayar uang sekolah anaknya.
Aku heran dengan Ni Eli, padahal ia punya saudara yang kaya-kaya. Tetapi ia lebih suka mengadu pada bapakku yang bukan siapa-siapanya. Ya, kuakui bapak memang bisa dibilang adalah penasehat di kampung kami. Apa saja hal yang menimpa kampung kami, bapaklah orang pertama yang diberi tahu. Apakah itu Pak Marah bertengkar dengan istrinya, Pak Nasir yang rumahnya dilempari batu oleh anak-anak, sampai Tek Yet yang ribut dengan Wo Ilen gara-gara pohon pisang, sampai kasus seperti Ni Eli ini. Semuanya bapak tahu. Tetapi yang kuketahui, bapak hanya sebagai penasihat atau mediator orang-orang bermasalah saja, bukan sebagai jalan keluar seperti yang disangkakan Ni Eli –yang sudah kali ketiga datang untuk mengadu tidak punya uang pada bapak–.
Aku bukannya pelit atau ingin menghalang-halangi kebaikan bapak, tetapi kurasa Ni Eli masih bisa mengadukan masalah ekonominya pada keluarganya yang kaya-kaya itu. Bukan pada bapak yang sama sekali orang lain baginya. Ditambah lagi, aku sering tersinggung dengan perlakuan keluarga Ni Eli yang kaya-kaya itu. Mereka sangat sombong. Pernah dahulu, ketika bapak kecopetan di pasar dan terlanjur naik angkot, bapak turun angkot dan bertemu dengan Tek Ija di depan rumah untuk meminjam uangnya untuk pembayar angkot. Tapi mulutnya yang sangat berbisa itu tidak malu sama sekali dengan kata-katanya berbicara pada bapak yang adalah orang terhormat di kampung kami. Sejak saat itu aku sangat membenci keluarga Ni Eli itu. Tidak hanya Tek Ija, tapi Pak Darius juga sama kasarnya. Aku yang mengalaminya langsung. Ketika masih SD, aku berbelanja di kadai Da Ujang sepulang sekolah, teman-temanku semua membeli es miami yang harganya mahal untuk seusia anak SD kala itu, aku yang uang sakuku pas-pasan lebih memilih membeli es plastik yang hanya seratus rupiah. Aku malah dicemoohnya, disebut-sebutnya kondisi ekonomi orang tuaku. Naik pitam aku kala itu, tetapi aku tahu betul apa yang diajarkan orang tuaku selama ini, bagaimanapun, orang tua harus dihormati dan dihargai. Jadi kala itu aku diam saja. Tetapi karena tidak lepas amarahku kala itu, sampai sekarang aku masih sangat marah pada keluarga mereka.
Pernah juga aku protes pada bapak, mengapa bapak masih mau menolong Ni Eli sedangkan keluarganya saja masih ada yang kaya-kaya. Bapak bilang “Mungkin Tek Ija atau Pak Darius juga sedang susah, nak.” tetapi saat aku mengungkit-ungkit sakit hatiku pada keluarga itu, tersinggunglah bapak.
“Percuma selama ini bapak mengajarkanmu nilai akhlak, percuma bapak sekolahkan dan serahkan kau mengaji, pikiranmu masih picik juga. Apalah yang kau dapat dari sikap mendendammu itu, Mai?” aku malu mendengar pituah bapak kala itu. Bapak benar-benar orang yang baik dan bijaksana.
Malam itu, setelah Ni Eli pulang dengan sebelumnya mendapat uang dari bapak, datanglah Pak Darius ke rumah.
“Apa perihal, Pak? Si Eli adikmu baru dari sini tadi.” Ternyata Pak Darius sudah tahu kalau adik bungsunya itu baru saja meminta uang pada bapak. Aku was-was di balik lemari mendengar dan melihat gerik bibirnya, bersiap-siap mendengar apa yang akan diucapkannya.
“Iya, pak. Tau ambo. Kedatangan ambo ke sini juga ada maksud yang sama dengan si Eli. Ambo punya hutang dengan buk jorong, sudah jatuh tempo seminggu yang lalu. Dikasih kelonggaran sama buk jorong sampai besok. Tapi sudah ambo usahakan, tidak dapat uangnya sebanyak pembayar hutang itu pak.”
“Jadii…”
“Iya, jadi ambo ke sini mau meminjam uang pada bapak.” Aku terngaga! Tidakkah Pak Darius itu berpikir, berapalah hanya penghasilan bapak yang hanya seorang pedagang beras ini dan sudah mengeluarkan sejumlah uang pula untuk adiknya, ditambah lagi ini adalah tanggal tua.
Lama bapak kulihat terdiam. Kemudian, Tono adik bungsuku datang mendekat pada bapak dengan membawa buku gambar dan kotak pensilnya.
“Pak, buku tono sudah abis, kilirnya* juga sudah banyak yang ilang-ilang. Kapan bapak beliin yang baru, pak?”
….

*Mararau atau mailau = menangis sejadi-jadinya, menangis keras sekali

*Kilir = pensil warna dalam bahasa Minang

Continue reading

Kamis, 30 Oktober 2014

Perkenalan

Recount

“Kreeeeeek!” suara pintu memanja, seperti menunjukkan bahwa sudah lama ia dibiarkan, tak pernah dibuka dan disentuh. Ketika seluruh ruangan sudah tampak dari luar, beberapa jaring-jaring halus melambai-lambai menyambut kedatangan tamu yang mungkin sudah lama dinanti-nantinya. Beberapa ekor laba-laba kecil tersenyum malu, dibarengi debu-debu yang menempel di dinding-dinding ruangan yang minta dimandikan.
“Sudah berapa lama kamar ini tidak ada orangnya?”
“Kira-kira, sejak Nika wisuda tujuh bulan lalu, belum lagi ada mahasiswi baru yang datang kemari.” Suara ibu pemilik kamar itu penuh harap.
Wajah ragunya menatap laki-laki yang mematung di bawah sarang laba-laba meminta persetujuan. Ia sepertinya enggan, tetapi kasihan dengan ibu berbadan kurus itu.
“Begini saja, Bu, kami sudah lihat kamarnya, sudah tahu juga tarifnya, kami bicarakan lagi dengan orang tua kami, nanti kami balik lagi ke sini.” Ibu tua itu hanya mengangguk ragu, sepertinya ia tampak sedih.
Keduanya kemudian berjalan menjauhi kamar paviliun yang jika dilihat dari luar tampak mewah itu.
“Kamu ragunya kenapa?”
“Kamarnya sih mungkin bagus, kalau diberesin. Tapi masak kita yang bersihin kamarnya? Ibu itu dong A!” lelaki itu tertawa.
“Kamu ini! Ya jelas ibu itu lah yang bersihin kamarnya, tapi nunggu kita setuju dulu, ntar kalo udah tau kamu mau nempatinnya kapan, bakal dibersihin juga kok sama ibu itu.”
“Kira-kira tempatnya beneran bagus ga A?”
“Nika itu kan kakak senior temanku, katanya Nika betah kok di sana. Ibunya juga ngga cerewet kaya ibu-ibu pemilik kosan biasanya.”
“Jadi menurutmu, aku ambil aja?”
“Udah, kita tanya sama ibu dulu.”
Begitulah mulanya Dewanda yang pindahan dari salah satu universitas di Bandung itu memilih tinggal di salah satu kamar di kota kecil ini. Kepindahan yang awalnya sangat ditentangnya itu pun membawanya masuk ke kehidupan –yang katanya aneh– mahasiswa di kota kecil ini.
Kami diperkenalkan saudaranya ketika tidak sengaja bertemu di GOR, tempat banyaknya warga kota ini berolah raga pagi (mulai dari jogging, senam, atau sekedar bersepeda). Gadis yang ketika perkenalan pertama itu sangat teliti menatapku dari ujung kepala sampai ujung sepatu olah ragaku itu, jujur kuakui, kurang kusukai. Meski ketika itu aku maklum, dia yang dari kota besar ketemu dengnaku yang anak kampung, mungkin agak risih dengan penampilanku.
“Kok bisa temenan sih, A?” katanya ketika itu pada saudaranya.
“Teman kan bisa kita temui di mana aja, De, dan kebetulan kita punya hobi yang sama, jadi ya… nyambung aja temenan.” Aku hanya senyum-senyum saja mendengarnya. “Dan, kamu bisa belajar banyak dari dia mengenai adat dan kebiasaan orang di sini, biar ngga salah gaul.” Aku tahu betul, gadis yang sangat modis itu sangat enggan dekat denganku, tetapi saudaranya tahu, keterpaksaan membuatnya takkan bisa menolak. Sekarang, jangan tanya seberapa manjanya gadis itu padaku, bahkan menyamakan kemanjaannya kepada saudaranya.
*
Kenapa dia harus pindah ke kota ini dan meninggalkan kampus, teman, serta gaya hidupnya di sana? Ketika itu aku cukup terkejut mendengar cerita Dewangsa bahwa mereka adalah saudara kembar identik. Kupikir, kembar identik awalnya adalah isilah untuk dua orang yang berwajah sangat mirip saja, ternyata bagi mereka adalah kembar yang tidak bisa dipisahkan.
“Wanda sering sakit di sana, bahkan ibu justru lebih sering di sana ketimbang nemenin ayah. Sebenarnya dari kecil kami emang ngga pernah dipisahin. Lulus SMA, dia lulus PMDK di sana tapi aku nggak. Pas ujian SNMPTN aku ngambil di sana satu dan di sini satu, eh.. malah lulus pilihan yang di sini. Makanya kami pisah. Awalnya sih ibu emang udah ragu ngizinin kami kuliah di kampus pilihan masing-masing, tapi si Wanda kan pinter ngomong, jadi dia berhasil ngebujuk ibu. Dan, baru hari kedua di sana, dia udah masuk rumah sakit.”
Mendengar cerita Wangsa, aku baru mengerti kenapa ia sangat memanjakan dan memprioritaskan saudaranya dari apapun. Sumpah! Siapapun yang tahu bagaimana Wangsa menyikapi saudaranya, bakalan iri.
“Dia maksa banget aku yang harus pindah ke sana, bukan dia yang pindah ke sini, ketika ibu sama ayah bilang kami harus satu kota lagi. Tapi aku punya alasan kuat kenapa kita lebih baik tinggalnya di sini aja. (waktu itu Wangsa terikat kontrak dengan salah satu daerah sebagai atlet bayaran). Akhirnya, dia mau nggak mau pindah ke sini, meski akhirnya cuma diterima di kampus swasta.”
Obrolan sore itu akhirnya memberikan satu kesimpulan, ternyata Wangsa bercerita panjang lebar demi untuk membujukku mau menemani dan mengenalkan apa-apa yang harus diketahui saudaranya selama tinggal di kota ini. Ia tidak mau saudaranya salah gaul dan tidak disukai oleh masyarakat kota ini yang katanya, adat basandi syaraknya masih sangat kental.
Aku yang akhirnya mendekatkan diri pada Dewanda. Meskipun sebenarnya Wandalah yang membutuhkan aku, tetapi sebagai tuan rumah, aku rasa aku yang harus agresif. Aku masih ingat, sore itu Wangsa menjemputku untuk datang ke kontrakan Wanda.
“Bawa baju, ya. Nginaplah semalam, di sana.” Aku mengiyakan saja permintaan sahabatku kala itu.
Mungkin sudah mendapatkan suntikan dari Wangsa, Wanda sore itu tampak lebih sopan padaku. Ia tampak berusaha menunjukkan bahwa ia memang butuh aku, satu-satunya teman yang baru ia punya setibanya ia di kota ini.
Panjangnya obrolan kami dari sore hingga malam itu, akhirnya mencairkan kekakuan hubunganku dengan Wanda. Ia yang memang cerewet, mengimbangi aku yang sedikit pendiam (eehmmm). Dan tanpa terasa, Wanda yang memang manja itu sudah seperti adik sendiri bagiku hari itu.
“Teteh, makasih ya.. udah nunjukin kalo A Wangsa emang ngga salah pilih sahabat. Ternyata teteh menyenangkan.” Hahaha… aku tertawa saja menanggapi kalimatnya itu.


*Ini adalah recount dari catatan harian yang ditulis Dewanda, dan menantangku untuk menulis versiku sendiri. ^_^ #RecountWandaPart1

Continue reading

Minggu, 19 Oktober 2014

Happy Birthday Malaikat Hidupku

Hari ini 54 tahun sudah usianya, perempuan yang sudah semakin banyak garis keriput di wajahnya itu tersenyum-senyum di benakku. senyuman yang kadang sering aku sepelekan, dan sering aku lupa bahwa dengan senyum itu aku dikuatkan.
Sudah setengah abad lebih usianya, sudah pasti tubuhnya yang sedang dihinggapi penyakit itu harus banyak dapat perhatian dariku. Sering, sering sekali beliau menelepon hanya untuk menanyakan "Kapan pulang nak?" dan tak jarang aku menjadikan ‘sibuk’ sebagai alasan menunda kepulangan (meskipun beberapa bulan belakangan sudah kuusahakan untuk lebih sering pulang untuknya).
Teringat pula olehku bagaimana dulu aku menyesali, dan terlalu lama bangkit dari penyesalan itu karena cita-citaku yang tidak tersampaikan karena alasan tidak mungkin meninggalkannya. Iya, di satu sisi aku sangat terobsesi untuk mengejar impianku, tetapi di sisi lain aku sepertinya harus banting stir (tidak boleh mengubur dalam impian dan tidak melakukan apa-apa) untuk tidak lagi mengejar impianku itu. Aku tahu betul, hanya aku anak mama (meskipun aku masih punya adik) yang tinggal dekat dengannya. Dalam kondisi kesehatan mama dan papa (bahkan adikku juga) aku sungguh sangat tidak mungkin pergi meninggalkan kota ini untuk terikat di kota lain dan jarang pulang.
Dulu, dulu sekali. Aku sempat membenci kondisi ini. Kondisi aku yang harus mengalah. Dulu, dulu sekali, aku pernah berpikir untuk hanya akan di rumah saja, tidak akan masuk kuliah lagi (mungkin bisalah ya, aku ber’modus’ menjadikan ini alasan kenapa aku terlambat selesai, hehe), sebagai wujud protesku. Dan Alhamdulillah aku telah menyesali itu sekarang, sangat amat menyesal.
Meski sedikit menyayangkan, tetapi aku bersyukur sudah diberi hidayah oleh Allah. Selagi aku masih menjadi tanggung jawab orang tua, lading amal dan jalan menuju surga sangat dekat kalau aku bisa menjaga dan menyenangkan hati orang tuaku. Meski, masih sangat jauh dari sempurna, setidaknya aku sudah berusaha menjadi anak yang baik, hehee.
Ma… selamat hari lahir, semoga Allah senantiasa bersama, semoga janji Allah untuk hambanya yang bersabar dengan sakitnya membawa mama menuju surga, semoga tetap diberi kekuatan, diberi umur yang panjang, semoga dilapangkan rezkinya, semoga tetap dan semakin romantis dengan papa (cieeee), semoga semakin baik dan baik lagi ibadahnya, jadi kita bisa lebih hangat lagi sharingnya, dan semoga mama cepat dikasih menantu yang soleh ya #IniApaSihAbaikanSaja
I love you ma… -dari anak super unik, baik, manis, dan benar-benar meyenangkan hahaha


Continue reading

Rabu, 15 Oktober 2014

Kembalilah Ex

kau tau bagaimana rasanya dikejar-kejar, diburu-buru, dan diincar-incar?
takut? khawatir? cemas? seperti ingin menangis?
mungkin kira-kira seperti itu, atau bahkan lebih dari itu..
kau bahkan rasanya ingin segera menghilang dari dunia ini
agar kau bisa lari dari semua yang menautkanmu

...
sore itu, kelas kuliah heboh sekali, sebenarnya perkuliahan sampai pukul 15.30 sore itu, tetapi dosen keluar lebih cepat. jadi ketua kelas mengambil alih kelas untuk berdiskusi (ada proyek kelas yang harus kami laporkan kepada dosen keesokan harinya, dan hari itu belum kelar, jadi harus didiskusikan). karena dosen tidak ada, jadilah kehebohan di sana sini, ada yang mengobrol-ngobrol, menonton, menelepon, main game, tetapi masih ada yang ingin ikut berpartisipasi dalam diskusi-salah satunya aku-(ini bukan pencitraan loh).
saat masih berlangsung diskusi, beberapa temanku keluar kelas, sekitar 5-7 orang. aku yang memang tak begitu ingin peduli dan ikut campur urusan orang membiarkan mereka pergi, meski ketua kelas tampaknya agak kesal dengan mereka. selang beberapa menit, (aku tidak sadar ternyata beberapa dari mereka sudah kembali ke kelas) salah seorang dari mereka yang keluar memanggilku.
"Kamu sini bentar deh." aku agak ragu mendekatinya, bukannya apa, takut ketua kelas marah anggota kelasnya pada ngerumpi. tapi karena penasaran, aku ikuti ia yang memanggilku.
"Kenapa?"
"Temanmu si Ex mana?"
"Aku nggak tau, dari tadi ku sms tak dibalas" (maafkan aku harus berbohong demi menyelamatkannya)
"Kamu tau kan tadi aku keluar, aku niatnya bukan mau main-main, tapi mau cari kabel, eh taunya di luar ada orang yang nyariin si Ex."
Deg! jantungku langsung berhenti berdetak beberapa saat mendengarnya. bagaimana ini?
"Siapa?" tanyaku dengan ekspresi wajah yang kubuat sepolos dan seheran mungkin.
"Temannya dulu, katanya dia mau nagih sama si Ex. kamu beneran nggak tau Ex di mana?"
"Aku sih positive thinking aja kalau hape si Ex kehabisan batre. sms terakhirku nggak dbalasnya. memangnya mereka siapa? ada apa nyariin si Ex?"
diceritakannyalah oleh temanku itu apa yang dia ketahui dan dengar. aku sama sekali asing dengan berita itu, Ex yang kukenal tidak seperti itu, Ex yang selama ini bercerita kesusahan hidupnya, tidak pernah bercerita seperti yang kudengar sore itu. jantungku benar-benar gelisa setelah mendengarnya.
"Kamu harus dengar sendiri dari Xya, biar kupanggil dia." akhirnya Xya yang masih menunggu di luar kelas dengan beberapa teman sekelasku yang lain masuk.
aku tanya semua yang kudengar barusan, dia ceritakan kenapa dia mencari-cari si Ex. antara percaya dan tidak percaya, aku benar-benar gemetar sore itu.
entahlah, aku ikutan takut, khawatir, cemas, dan juga ingin menangis.
bagaimanapun juga masa lalu Ex yang belum setahun kukenal itu adalah temanku. aku ikut merasakan amburadul rasa takut dalam dirinya. tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana, karena di satu sisi, aku merasa telah dibohongi si Ex tentang cerita yang barusan kudengar.

*Ex, masalah tidak akan selesai kalau kamu tetap lari dan menghindar. meskipun Xya yang dulu adalah teman akrabmu itu sekarang sudah bawa-bawa bodyguard untuk mendapatkanmu, tetapi kamu memang harus menghadapi dan bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan. kalau saja kamu menceritakannya padaku sejak awal, aku pasti akan berusaha mencari bantuan untukmu.
aku tahu rasamu, meski tidak bisa apa-apa untukmu saat ini, aku mendoakanmu selalu dilindungi oleh Nya, kembalilah Ex.

Continue reading

Kamis, 09 Oktober 2014

Mulai banyak hal-hal yang mengundang konflik belakangan terjadi.
Teriakan, muka masam, air mata, terkadang sindiran, mulai akrab ditemui.
Tidak perlu mencari siapa yg benar dan siapa yg salah,
Mungkin memang kurangnya komunikasi dan keinginan memahami sesama yg memancing.
Atau mungkin kita sama2 lelah?

ya, entah kapan hal-hal tersebut bermulanya. aku sendiri bahkan lupa, kapan terkahir kalinya kita tertawa bersama, memperlihatkan raut wajah bahagia bersama dalam ruangan.
seringkali aku -yang memang lebih sering memilih diam di antara kita- mendengar bisikan-bisikan yang tidak enak didengar. membicarakan kekesalan pada si A lah, si B lah, bahkan sampai membicarakan keburukan.
terakhir, yah... bahkan sampai 'ribut' itu terjadi. mungkin sudah akan meledak kalau tidak dikeluarkan. tapi, yaaa setidaknya lingkungan yang aku inginkan tidak seperti ini, jadi tidak nyaman dan saling banyak kecurigaan.
apa mungkin karena kita menganggap beban berat, sebuah deadline yang belum bisa kita selesaikan?
tidak bisakah kita yang menyebut diri kita dewasa, menahan diri untuk tidak bertingkah kekanakan?
oke, kalau kita memang sama-sama lelah, istirahatlah...
sepertinya kita memang butuh untuk tidak saling bertemu dulu beberapa hari ini.

Continue reading

Rabu, 01 Oktober 2014

Welcome October?

Welcome Oktober? Aku terhenyak (gak sampai jatuh sih) pas gitu baca status temen2 di sosmed2. “Udah Oktober aja ya?” pikirku, padahal baru kemarin rasanya ketemu sama bulan satu ini (ehm…) dan entah kenapa rasanya makin ser…ser… ketemu bulan ini. Hiks :’(
Seneng, bangga, takut, khawatir, malu, plus rasa-rasa lainnya nyampur kek gado-gado (Cuma ga enak dimakan aja sih)
Oke, sebentar lagi aku bakal nambah dewasa dong yaaaa…hahaha (senyum ala-ala raksasa) dan kayak yang aku baca di sosmed2 juga, temen2 pada make a wish untuk Oktober ini, jadiiii aku ikutan ah J
Semoga, si angka d** p**** dan angka ***a ini yang membawa kedewasaanku lebih matang lagi (aamiin), semoga cita-cita muliaku, ingin membahagiakan dan membanggakan orang tua segera bisa terlaksana (aamiin),semoga aku bertemu dengan ujung dari penantian dan pencarian ini (aamiin), semoga bisa melewati segala macam bentuk permainan hidup (aamiin), semoga menjadi adik dan kakak yang baik bagi saudara-saudaraku (aamiin), semoga menjadii teman dan sahabat yang baik dan lebih sabar lagi menghadapi mereka yang bandel-bandel :p (aamiin), dan, yang terakhir, yang paling penting, sebagai calon istri dan ibu, semoga pembelajaranku untuk lebih memantaskan diri diridhai Allah, dimudahkan jalannya, dan semoga segera menemukan jodoh yang Allah siapkan yang terbaik untukku (aamiin, aamiin ya rabb) J

 inilah harapanku di bulan ini... kalo kamu???

Continue reading

Minggu, 21 September 2014

Potret


Tempat ini, semilir anginnya yang selalu menyejukkan, udaranya yang selalu menyegarkan, dan pemandangannya yang selalu memberikan keindahan. Sama. Iya, semuanya persis masih sama. Masih seperti tahun lalu kita jadikan ini tempat yang wajib kita kunjungi setiap hari. Lantas apa yang kini berbeda? Jelas itu adalah aku. Suasana hatiku yang tidak bisa lagi sebahagia dulu, kala bersamamu. Meski bunga-bunga rampai itu kini tengah mekar dan asik bersenda gurau dengan puluhan kupu-kupu, bibirku terkatup rapat, tanpa senyum.
Memang, bagaimanapun tempat ini dan makhluknya mencoba menghiburku, semua tampak semakin menyakitkan dan mengundang air mataku. Kebahagiaan yang ditawarkannya adalah duka bagiku. Karena semuanya akan mengingatkanku pada bahagia yang dulu kita lewati bersama sehingga terpintal apik menjadi bingkaian cerita, meski sekarang kutahu cerita kita berakhir dengan sad ending.
Aku bangkit dari tempat nyamanku, sudah hampir tiga jam aku hanya duduk bertemankan termos kopi yang sudah kosong. Teringat aku ada janji dengan temanku malam nanti. Kalau arlojiku tidak memberitahu bahwa sekarang sudah hampir senja, mungkin aku akan terhanyut di sini. Apalagi kalau senja sudah datang dan menyuguhkan lukisan Tuhan, aku bisa mati hanyut dalam duka di sini.
Langkah kakiku yang berat meninggalkan tempat ini kuangkat sekuat tenagaku, sudah setahun aku melawan rasa berat ini, tetapi kakiku ternyata masih rapuh dan belum kuat untuk melawan rasa, meskipun sudah dilatih demikian lamanya. Di perjalanan, aku kembali termenung, sopir opelet yang kutumpangi memutar lagu itu! Lagu yang jadi himne kita dulu. Ah… aku benar-benar benci hari ini. Ke mana aku pergi, selalu mengingatkan aku padamu. Rasanya seisi hari ini mencoba mengundang air mataku dengan memutar potret kenangan dan nada masa lalu kita.

*sory belum setragis yang sebenarnya... semoga bisa segera move up ya (teruntuk sahabat yang tengah dilanda kegalauan)

Continue reading

Jumat, 05 September 2014

#JikaAkuMenjadi Part 2

#JikaAkuMenjadi

Pagi sekali, aku dibangunkan oleh bunyi getar di atas meja belajarku. Alarm yang sengaja ku stel di pukul 4 telah menjalankan amanahnya. Aku bangkit dan terdiam duduk di pinggir tempat tidurku, entah kenapa bayang-bayang tugas mata kuliah profesor ** yang harus kuselesaikan dalam waktu dua minggu ini terasa berat dan membebankan. Iya sih, tugasnya adalah tugas untuk kami sekelas (aku hanya perwakilan teman kelas), tetapi bagiku, membuat instrumen itu nggak gampang lah yaa, makanya sampai-sampai bikin tidur kurang enaknya.
Teringat pula perbincanganku dengan ketiga temanku di kelas waktu itu, mereka mengeluhkan susahnya mereka harus membagi waktu untuk kuliah, dan mereka menanyakan aku.
“Kamu, kok keliatannya nyantai saja sih? Eh.. taunya tugas udah selesai aja”. (haduh, padahal nggak nyantai juga kali)
“Ya, kan aku udah punya waktu full untuk kuliah, karena merasa aku harus fokus di kuliah makanya aku resign dari bimbel. Ya… ingat kata-kata profesor ** ketika tes wawancara sih, aku Cuma dikasih jatah 3 semester untuk kuliah. Ya… meskipun nggak ada peraturan mahasiswa nggak boleh kuliah lebih dari 3 semester, tapi aku mau wujudkan keinginan itu. Kenapa prof bilang gitu, kan karena prof percaya sama aku.”
“Ya deh… yang mantan mahasiswanya profesor **. Eh… btw kamu nyambung kuliah supaya apa?”
“Ya, kalau bisa sih, aku pengen banget jadi dosen.”
“Itu cita-cita kamu?”
“Jujur sih nggak, dulu nggak sempat terfikirkan untuk jadi dosen sih, cuma sejak aku kuliah, ngeliat dosen itu keren banget ya, ngajarnya orang-orang yang udah gede, orang-orang yang berasa sok dewasa, kayak kita, hehe… jadi ya… jadi kepengen deh jadi dosen.”
“Jangan-jangan terinspirasi dari profesor ** lagi ya, kamu?”
“Hehe.. iya.”
Iya, memang! Mungkin ketika aku kuliah strata 1 dulu, tidak semua teman-teman yang suka sama profesor A******I, entahlah setiap orang memang memiliki alasan sendiri kenapa ia menyukai dan tidak menyukai seseorang, termasuk aku. Tetapi bagiku prof ** itu adalah inspirasi. Gimana nggak, masih muda udah jadi profesor (aku nggak tau sih, kapan bapak itu jadi profesor, tapi yang aku tau, ketika awal kuliah dulu (tahun 2009) bapak itu udah jadi profesor, dan terlihat sangat muda (seperti masih umur 40 tahun) meski sekarang aku udah tau kalau beliau kelahiran tahun 1959 (berarti bukan umur 40) tetapi beliau tetap keren lah. Terus, profesor ** itu pintar banget, buku yang ditulisnya jangan ditanya, wawasannya juga luas banget, jadi ngiriiiii…. Kepengen sepintar itu jugaaaa…

Nah, #JikaAkuMenjadi Dosen nanti, aku ingin jadi dosen yang seperti profesor A******I, pintar, wawasan luas, rapi, awet muda pula, hehe. Tapi aku tambahin, aku juga bakal jadi dosen yang memahasiswa (kalau pemimpin kan merakyat) maksudnya dekat gitu, sama mahasiswa, dosen yang mau membantu –tidak mempersulit– mahasiswa, dosen yang tidak pelit nilai, dosen pembimbing (tugas akhir: skripsi/tesis) yang mudah dicari (nggak susah dicari, bahkan suka keluar kota atau negara), dan yang jelas, aku mau jadi dosen yang menginspirasi mahasiswanya, seperti profesor ** yang telah menginspirasiku.

Continue reading

Kamis, 04 September 2014

#JikaAkuMenjadi Part 1

#JikaAkuMenjadi

Hari ini kami ke perpustakaan lumayan pagi sih.. yaa, gegara ada tugas mencari judul penelitian buat kuliah perdana kami, jadilah kami berbondong-bondong ke perpustakaan kampus. Aku datang lumayan pagi sih, karena ketika mengisi daftar pengunjung, namaku ada pada urutan nomor dua (teman-temanku pada belum datang). Nah.. kebetulan sepi, aku dengan leluasa mencari-cari tesis di rak tesis jurusanku (kalau udah ramai, biasanya tesis yang aku cari suka nggak ketemu, karena udah ada yang ngambil duluan, hiks..)
Alhasil, aku masih asik dengan bacaan tesisku, datang salah seorang temanku
“Hai.. udah lama?”
“Hai.. udah, lumayan lah kak.”
“Iya, tadi kakak liat namamu di urutan nomor 2 daftar pengunjung.” Aku tersenyum saja menanggapinya, kemudian melanjutkan bacaanku, tanpa peduli lagi dengan lingkungan. Tidak lama kemudian, teman-teman kelasku semakin banyak yang datang.
“Serius amat sih” aku hanya tersenyum mendengar kalimat ‘gangguan’ itu. Sungguh, bukannya aku sok rajin atau ingin terlihat demikian, tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk kuliah nanti. Gilak! Ini profesor ** lhooo… yakinnya, profesor yang sangat perfeksionis (di mataku) itu pasti bakal nanya2 soal judulku. Mulai dari kenapa milih itu, gimana dengan metodenya, gimana gambarannya pelaksanaannya, and bla bla bla. Aah, jelas aku tak ingin terlihat bodoh. Makanya aku ingin serius mempersiapkan diri.
Tiba-tiba…
“Eh, itu, yang berempat itu! Hape udah ditinggal? Hape, hape?” aku mendengar suara yang lumayan tidak mengenakkan di telingaku. Aku menoleh kepada perempuan yang sudah mulai menua itu, ia berkacak pinggang sambil menunjuk empat orang anak yang terlihat kebingungan.
“Hape, hape, jangan di bawa ke dalam”. Aku menoleh ke perempuan tua itu, kemudian beralih melihat ke arah empat anak tadi, mereka masih tetap dengan wajah kebingungannya.
“Kalau mau masuk, baca dulu lah! Itu ada di dinding, nggak boleh bawa hape ke dalam!” sepertinya ia geram, karena empat anak tadi masih terdiam melongo, tapi aku mendengar salah satu dari keempat tadi berkata pelan kepada temannya.
“Hape aku dalam tas lo” temannya menyahut “Aku juga, aku ninggalin hapeku dalam tas kok”
“Kami nggak bawa hape kok buk.” Kemudian salah seorang yang terlihat paling kecil di antara keempat anak tadi berkata agak keras.
“Gimana sih? Bingung2 begok semua, nggak denger apa?” kemudian omelan panjang dan tidak mengenakkan itu mulai memuakkan di telingaku.
Ketika baru beberapa saat mulai membaca, aku mendengar sebuah nada hape berbunyi, mirip sih dengan nada hapeku, tetapi karena nada itu adalah nada yang umum untuk merk hape yang kupakai, ditambah lagi aku malas bangkit, aku acuh saja. Tetapi ternyata hape itu terus berdering. Aku mulai terganggu dan merasa tidak enak. Aku berdiri dan mengambil hapeku di tempat penitipan hape, tepat di depan si ibu tadi duduk.
“Hape kamu? Kok dibiarin aja mengganggu orang? ini perpus, bukan pasar.”
Deg… jantungku berdetak cepat, ia terpacu begitu mendengar kalimat pedas itu. Tidak hanya kalimatnya, intonasi suara dan mimik wajah yang tidak mengenakkan itulah yang membuat jantungku berontak.
“Maaf, Bu.” Hanya itu yang kuucapkan.
Terpikir olehku, obrolan dengan seorang temaku beberapa hari lalu, mengenai petugas perpustakaan, bagaimana pengalaman masing-masing dengan petugas perpustakaan, bagaimana pendapat kami tentang petugas perpustakaan, dan bagaimana keinginan kami terhadap mereka.
#JikaAkuMenjadi Petugas Perpustakaan, maka aku akan mencintai pekerjaanku itu seperti aku mencintai buku-buku (karena emang seharusnya petugas perpustakaan mencintai buku, kan?), melayani dengan hati, memberi bantuan dengan sebisa yang aku mampu, memberi senyuman, dan bekerja dengan seikhlasnya. Karena, ya… (ga usah berbicara pahala atau etika) minimal, mereka dapat uang kan dari pekerjaan sebagai petugas perpustakaan, sudah sepantasnya bekerjalah sewajarnya dan semaksimal yang dimampui.



Continue reading

Sabtu, 23 Agustus 2014

Di Redupnya Bulan

Andai bulan malam ini tak redup, pastilah mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana memerahnya wajahku begitu mendengar olok-olokan para seniorku. Aku yang masih berdiri di depan barisan mahasiswa baru itu hanya bisa mematung. Badanku seluruhnya kaku, bahkan untuk mengerjapkan mata saja begitu beratnya.
“Sudah, kamu boleh kembali ke barisan.” Kak Angel, senior yang juga adalah kakak di kosanku membongkah situasi yang sangat tidak nyaman ini. Mungkin memang hanya Kak Angel yang kenal denganku di sini, dan hanya dia yang kurasa menjadi malaikat penolongku di malam puncak penutupan ospek ini.
Aku kembali berjalan ke barisan sambil terus menunduk. Sungguh! Aku tidak berani menatap pada lelaki ‘partnerku’ yang menjadi bahan tertawaan para senior. Meski kutau lelaki itu hanya santai saja menanggapi, tetapi aku sangat malu malam ini.
Sekitar sejam setelah ‘pembantaianku’ di depan barisan para mahasiswa baru, akhirnya acara penutupan itu pun berakhir. Meski besok malamnya masih ada acara lagi, tetapi paling tidak aku bisa sedikit lega hari ini akan berlalu.
Kulirik jam tangan karetku. Sudah pukul dua belas lewat. Pulang sendiri ke kos di jam rawan begini lumayan menggegerkanku. Tapi aku tidak punya teman di sini. Kak Angel sudah bilang kalau ia akan menginap di kampus dengan teman-temannya. Meskipun kosku letaknya dekat dari kampus, tapi tetap saja, aku takut.
Kulangkahkan pelan kakiku menuju gerbang yang masih ramai oleh mahasiswa baru yang akan pulang. Rata-rata mereka berteman dan mengendarai motor. Ada juga yang dijemput. Sambil terus berjalan pulang aku terus memutar otak, apakah aku harus berpura-pura sakit agar ada yang mengantarku pulang? Ah… meski menyukai drama, tetapi aku meragukan kemampuan actingku kali ini. Kakiku terhenti sekitar 10 meter dari gerbang. Aku benar-benar putus asa. Rasanya seperti ingin menangis.
“Hei.” Tiba-tiba ada suara dari belakang mengagetkanku.
“Ya?” badanku kembali kaku. Dia? Kenapa dia memanggilku.
“Bingung aja keliatannya dari tadi. Takut yaaa?” dengan santai ia masih bisa menggodaku.
“Ng…”
“Pasti mau bilang, ‘kok tau’ kan? Dari tadi kamu tu mencolok banget sih… Cuma kamu yang kaya orang kebingungan.” Aku terdiam, Dia merhatiin aku?
“Ng…”
“Kosan di mana?”
“Jalan Gajah V”
“Oh.. di arah belakang, pantes ketakutan.” Aku mengernyitkan dahiku. Memangnya kenapa?
“Maksudnya?”
“Haha… sepanjang jalan Gajah, dari Gajah I-VII itu kan angkerrrr!” aku cemberut protes. Bukan karena dia berhasil menakutiku, tetapi dengan keisengannya.
“Yaudah, biar kuantar. Tapi jalan kaki!”
Deg! Jantungku berhenti. Apa aku tidak salah dengar? Laki-laki ini mau mengantarkanku pulang? Aku memasang wajah tak percaya menatap ke arahnya. Ia tetap dengan ekspresi santainya.
“Kenapa? Tawaran Cuma sekali ya…” aku masih terdiam kaku. Benar-benar tidak tahu akan bagaimana.
“Yaudah, kalau nggak mau!” karena tak kunjung mendapatkan jawaban dariku, ia melangkah menjauhiku yang masih berdiri diam mematung. Ia menoleh ke belakang, dan agaknya ia berubah pikiran.
“Yaudah, yuk! Udah semakin malam.” Ia menarik tanganku. Bagaikan mendapatkan aliran kehidupan, tubuhku pun kembali bisa bergerak. Meski mulutku tetap tertutup rapat, kakiku bergerak mengikuti jalannya, dan, dengan tangan yang masih dalam genggamannya.
Kira-kira berjalan sudah sepuluh meter, kuberanikan diri berbicara dengannya.
“Mm.. maaf” ia menoleh padaku, “Tanganku, berapa lama lagi akan kamu pegang?” ia rileks mencampakkan tanganku, sepertinya ia baru sadar kalau dari tadi tangannya tengah menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum menertawainya, sementara ia membuang muka dariku, mungkin mukanya memerah.
“Udah, nggak usah malingin muka kamu, ini udah tengah malam dan cahaya bulan redup, aku nggak bakalan liat kalau mukamu memerah.” Ledekku. Aku heran kenapa kalimat ledekan itu dengan lancar kuucapkan.
Setelah kami hampir memasuki kawasan jalan Gajah, ia terhenti, aku ikut berhenti. Aku sudah mulai mengambil ancang-ancang kalau-kalau ia mulai iseng menakut-nakutiku. Tapi agaknya aku salah, mukanya yang sedari awal nampak santai, kini terlihat serius sekali. Ia menoleh ke arah langit lalu kembali menatap wajahku.
“Ia, kamu benar, warna mukaku takkan terlihat olehmu, tapi aku yakin, ekspresi wajahku dapat terlihat jelas olehmu. Di redupnya bulan, aku ingin mengutarakannya sebelum terlambat. Aku menyukaimu, dari awal kita bertemu di acara perkenalan kampus mahasiswa baru. Mungkin kamu tidak menyadari sedari awal aku sudah memperhatikanmu. Makanya aku santai, bahkan senang ketika tadi senior mengolok-olok kita berdua. Aku sungguh menyukaimu, wahai perempuan unik. Di redupnya bulan, biar ia menjadi saksi hatiku. Hatiku yang menginginkanmu.” Kutatap lekat wajahnya, entah kenapa lama-kelamaan ia semakin mirip Lee Min Ho, artis idolaku yang tengah naik daun.

Redupnya bulan berganti silaunya cahaya matahari. Kuperhatikan sekelilingku. Aku berada di rumah orang tuaku, di kampung. bukan di kosan. Lantas, yang kurasakan bertemu dengan Lee Min Ho itu? Ahh…


(* teruntuk sahabat yang sangat menggilai artis korea ^_^

Continue reading

Kamis, 21 Agustus 2014

Oh... Dia!

Kelasku masih 20 menit lagi, di ruang B3 juga masih ada perkuliahan. Tidak ada pilihan lain bagiku selain menunggu di perpustakaan. Kebetulan, ada buku yang ingin kucari sebagai penambah referensi di kelas filsafat nanti. Rak-rak buku yang bersisian itu kutelusuri satu per satu, akhirnya kulihat buku yang kucari ada pada rak yang menjulang sampai ke atap itu, ia tepat berada di tingkat paling atasnya. Tubuhku yang sedang untuk ukuran tinggi seorang perempuan itu sudah melompat-lompat, tetapi nihil. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Tiba-tiba ada tangan yang tegas dan panjang menjangkau ke atas rak yang sama dengan rak buku yang kuinginkan. Seketika aku ingin meminta pertolongannya, tetapi aku tertahan ketika melihat buku yang dipegangnnya adalah buku yang kumaksud. Terlebih, aku ternganga melihat sosok bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang itu tengah menatapku.
“Buku ini?” sepertinya ia memang bermaksud membantuku mengambilkan buku itu. Aku terperangah mengambil buku itu dari tangannya.
“Eh, terima kasih.” Ucapku sambil malu-malu
“Sama-sama.” Ucapnya sambil melayangkan senyum simpul yang sukses membuatku tersipu. Senyuman manis itu takkan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
lama terdiam, aku membalikkan tangan kiriku, arlojiku sudah menunjukkan pukul 09.33 itu artinya 7 menit lagi kelas filsafatku akan dimulai.
“Eh, aku ada kelas sebentar lagi. Duluan ya.” Ucapku buru-buru dengan diburu detak jantungku sendiri. Selama di perjalanan ke kelas, tak hentinya aku memikirkan tentang lelaki tadi.
Tiba-tiba saja suasana kelas yang tadinya gaduh berubah menjadi tenang setelah salah satu temanku mengisyaratkan ke seluruh isi kelas kalau dosen sudah datang. Buku yang kupegang masih tertutup rapi di hadapanku, sedangkan pikiranku masih tertuju kepada laki-laki di perpustakaan tadi. Niat ingin mengikuti perkuliahan dengan serius dan turut aktifku di hari itu gagal total. Jangankan untuk mengangkat tangan, mencatat isi perkuliahan saja aku tidak.
Pikiranku benar-benar terganggu dan tersita oleh sosok lelaki tadi. Siapa dia?Kenapa aku tak pernah melihatnya selama ini? Dan… kenapa perasaanku seperti ini setelah melihatnya? Pikiranku bertanya-tanya sendiri, pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan jawabnya, meski aku sudah sampai di kosanku.
Aku duduk termenung di depan jendela kamarku. Mengingat-ingat di mana wajah tegas dan teduh itu pernah kutemui. Menerawang dari balik jendela, menembus pepohonan yang mulai rindang menutupi kamarku, berjalan menuju lorong waktu di sekat-sekat memori yang tersisa di otakku, menuju masa lalu.
“Kamu tau, kenapa aku selalu betah bermain di sini?”
“Karena pemandangan dari sini sangat cantik sepertiku.”
“Hahaha… sebenarnya ada rahasia hidupku di sini?”
“Apa?”
“Dulu, ketika sudah tidak kuasa menahan rasa sakit dan ingin menghindar dari segala cacian anak orang-orang kaya itu, aku ingin mengakhiri hidupku di sini.”
“Maksudnya lompat ke situ?”
“Iya. Tapi, ketika kakiku sudah hampir terpeleset, tiba-tiba aku ingat kamu. Aku ingat janji kita. Aku takut kamu kecewa dan marah sama aku, aku takut kamu kesepian.”
Oh..Dia!
Ya… kini aku ingat siapa kamu. Kamu adalah laki-laki masa laluku, sahabatku satu-satunya di Panti Asuhan Muara Kasih. Kita terpisah sehari setelah percakapan sore itu di atas taman bunga. Ada keluarga kaya yang mengadopsimu, kita benar-benar kehilangan kontak. Seminggu sesudah kamu pergi aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku harus amnesia. Tidak ada yang aku ingat, bahkan ibu panti. Dari semua yang aku tak ingat, aku hanya melihat bayanganmu dalam setiap aku mencoba mengingat sesuatu. Lama aku mencarimu, dan tadi, aku bertemu denganmu untuk pertama kalinya setelah sekian lama penantianku.

Aku tersentak. Ya, aku harus menemuimu. Aku bergegas keluar untuk kembali ke kampusku, dengan berharap kamu masih ada di situ menungguku.

Continue reading

Senin, 18 Agustus 2014

HATI YANG BERMUNAJAT ASA

Biarlah
Langit berputar pada inginNya
Bumi berkelok di izinNya
Segala buncah merabah dalam sengit ceracauan
Ingin yang tak sejalan
Hendak yang tak terkabulkan

Satu denting kemudian air membah tak kira
Selenyap senyawa deru angin
Kusam menjarah
Bara pepanas tambah hadirnya risau resah

Kalut
Pinta tak pernah kabulkan
Mohon yang tak jua dengarkan
Sayatan jerit tangis bahkan,
Jangankan sentuh hatinya
Buatnya merasa pun enggan

Hibahkan iba hanya pada yang Maha Kasih
Pinta janjiNya
Untuk hati terluka,

Yang selalu bermunajatkan asa

Continue reading

Minggu, 17 Agustus 2014

kepada yang bertanya

Ada ketakutan menakuti
Bahkan kala hidup normal dijalani
Tidak ada yang salah
Juga tak harus menguji alibi
Entah apa
Rasa itu mengikuti dan memerintah imajinasi
Untuk menjauh
Untuk sembunyi
Untuk diam
Agaknya akan sampai waktu lama
Tak terhitung sampai detik ini
Masih betah menerka2 maksud setiap yang datang mencari
Sambil menggigit jari menghindari

Barangkali..
Menghilang dalam waktu jenuh lah
Membebaskan setiap kuli tanya menerka sendiri
Sampai bosan mencari
Sampai waktu berhenti
Dan normal kembali

Continue reading

Jumat, 04 Juli 2014

Cuplikan

Gadis bertopi merah itu kembali tertegun, menoleh kembali ke arah suara di sebuah kamar terang di rumah sederhana di belakangnya duduk. Irama yang dilantunkan suara di dalam kamar itu memecah memorinya, memaksanya merindukan kehangatan yang kini tiada lagi dirasakannya. Suara itu benar- benar menariknya ke masa yang lain. Masa yang dulu pernah akrab dengannya, pernah ia sukai, pernah ia nikmati. Dalam tatapannya, terpancar jelas siluet tubuh yang tengah duduk di belakang meja yang menghadap ke arah jendela, tepat di belakang gadis bertopi merah tengah duduk. Lama ia mencoba untuk keluar dari kegerahan hatinya yang memaki-maki kesendiriannya saat ini, sampai akhirnya tatapannya kembali tertuju pada benda yang tengah digenggamnya. Ia tersenyum kecut. Masa lalu! Umpatnya.
Mata indahnya mulai berkunang-kunang, sudah tidak lagi mampu melihat dengan jelas, segala yang dilihatnya seolah-olah kembar siam. Sudah tiga hari ini ia tidak tidur. Bukan karena suatu  penyakit susah tidur, bukan pula karena menunggui seseorang yang sakit. Lebih pada keadaan yang memaksanya. Mau tidur di mana? Bahkan untuk sekedar berteduh melepas lelah, ia harus berebut tempat dengan anak jalanan. Di guncangnya benda yang masih erat di genggamannya, masih tersisa sedikit, akhirnya, ia memutuskan untuk menegak habis minuman berakohol itu sebelum akhirnya badannya mulai melangkah terhuyung, meninggalkan rumah sederhana yang masih memperdengarkan suara kerinduannya.
Entah harus kemana lagi kakinya dilangkahkan, kemana saja, tetap sama menyakitkannya baginya. Penuh kenangan yang hanya akan menyesak relung jiwanya. Sampai pada kelelahan yang kesekian, ia berhenti di sebuah emperan toko, sudah banyak anak jalanan yang menggelar kardus untuk tidur di sana, tampak suasana tak beraturan, ada yang menggelar kardus memanjang, ada yang melebar, namun ada yang sekenanya menumpuk badan di atas sehelai koran dengan posisi tidak memanjang maupun melebar. Di ujung seberang jalan, jam besar di taman itu baru menunjukkan pukul 22.15, tetapi tempat tidur para anak jalanan itu sudah penuh. Mata indahnya yang tajam dikucek-kuceknya, sudah tidak tahan perih tiga hari tidak tidur. Matanya liar mencari-cari celah untuk sekedar melepas penat. Sampai didapatinya ruang kosong di sebelah lelaki kekar brewokan dan badan dipenuhi tato. Mungkin si abang tak kan marah bila berbagi tempat dengannya yang bertubuh mungil barang sebentar. Namun baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya, ada sebuah tangan hangat dari belakang memegang pundaknya, ia tak segera menoleh, masih menerka-nerka siapa pemilik tangan hangat itu di suasana malam yang dinginnya amat mencekam ini.
“Dera!” akhirnya suara itu. Gadis bertopi merah segera lari tanpa berani menoleh ke sipemilik tangan hangat. Tidak menyerah, pemilik tangan hangat itu pun mengejar gadis bertopi merah yang dipanggilnya Dera itu. Terjadilah adegan kejar-kejaran di sekitar taman kota yang dijejali lampu-lampu taman nan romantis. Dera terus berlari. Takut, marah, malu bercampur aduk dalam benaknya, yang ia inginkan sekarang hanya berlari dan terbebas dari masa lalunya itu. Meski dengan tenaga yang terkuras habis, ia berhasil melesat jauh dan sempat bersembunyi di pohon bonsai rindang yang dipotong berbentuk hati, amat cantik. Bunyi napasnya tersenggal-senggal. Sial! Kenapa harus bertemu dia di sini? Makinya dalam hati.

(*... bersambung

Continue reading

Sabtu, 21 Juni 2014

Tempat Kuliah Selalu Mengagumkan!

Aku menyukai gedung tinggi nan elok dan angkuh itu.. dari luar sungguh luar biasa dan tak ada cacatnya di mataku. Pertama kali aku yang dari daerah datang ke Padang dan melihat Fakultas Bahasa dan Seni (dulu namanya Fakultas Bahasa Sastra dan Seni) itu, aku langsung membenarkan pilihanku yang mengambil jurusan bahasa. “luarnya saja sangat indah, apalagi dalamnya.” Gumamku kala itu.

Resmi, setelah namaku tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang lulus tes SNMTN UNP di tahun 2009, aku baru bisa dengan leluasa menjamah setiap kelas perkuliahannya. Ternyata, isi dalamnya tak semegah pikiranku. Tetapi meski begitu, aku masih tetap terpana melihat isi dalamnya. Tak ada lagi meja-meja berantakan seperti kala SMA dulu, ruangannya pun lebih besar, ber-AC, in fokus, tirai, dan papan tulisnya juga bersih. Memang, sekolah menengah sekarang juga sudah banyak yang memiliki kelas yang lebih bagus, tetapi….. hawanya berbeda, sungguh berbeda. Ini kampus, ini tempat perkuliahan, bukan kelas di sekolah. Apalagi aku yang kuliah di fakultas seni ini, hasil karya seni dari mahasiswa seni rupa juga banyak bisa dinikmati. Setiap hari, berganti suasana dan karya. Ah… memang kampusku sangat keren!

Belum lagi di pendopo yang setiap saat menyuguhkan hiburan. Para mahasiswa sendratasik yang menari tiap ari bisa kutonton. Kadang juga pemandangan para penari itu juga dijadikan objek para pelukis dari jurusan seni rupa. Aah… aku benar-benar kagum! apalagi pada even-even tertentu, ada pertunjukan musik, musikalisasi puisi, atau pertunjukan adat Minangkabau dari Prodi konsentrasi BAM. 

Kini, kekaguman lain kurasakan ketika mengenyam bangku pascasarjana. Kelas yang lebih besar dan nyaman, dan lingkungan yang sangat tenang. Tidak pernah lagi kudengar kebisingan mahasiswa yang sekedar lewat di luar kelas, tidak ada lagi sikap kekanak-kanakkan setiap orang yang kutemui. Dan jelas aku serasa lebih dihormati oleh karyawan yang biasanya suka “agak keras” pada mahasiswa, entah karena pakaianku bukan lagi pakaian anak yang kuliah S1, entahlah…

Yang jelas,, tempat kuliah sangat mengagumkan bagiku.

Continue reading

Minggu, 01 Juni 2014

THE LIEBSTER AWARD :D

Baru ngeh ada THE LIEBSTER AWARD dari kak Nhe yaitu  http://kisahklasikduniaku.blogspot.com/2014/05/the-liebster-award.html yang diundang di salah satu postingan gue..
Btw thanks udah mengikutsertakan gue dalam award ini yaa kakaaks…




Gue dapet award ini kira-kira tanggal 28 Mei, tapi baru bisa posting balik ya sekarang… (ceritanya kan lagi sok sibbuk gitu) :p
Syarat The Liebster Award :
1.       Post award ke blog anda
2.      Sampaikan terima kasih kepada blogger yang mengenalkan award ini & link back ke blognya
3.       Share 11 hal tentang diri anda
4.      Jawab 11 pertanyaan yang diberikan kepada anda
5.      Pilih 11 blogger lainnya dan berikan mereka 11 pertanyaan yang anda inginkan

Share 11 hal tentang diriku. 
1.   Kalo nggak kenal, banyak yang bilang gue ini “jutek abis” juteknya abis, jadi tinggal ramahnya.. hehe
2.   Gue sederhana tapi gaya *uhuk
3.   Author wanna be
4.   Entah kebetulan apa mukjizat, gue adalah seorang atlet tenis meja *wink
5.   Kata temen-temen, hobi nyampah gue yang sering dapet omelan dari mama di rumah itu unik dan keren bangettt (gue suka nulisin kertas origami sama apapun yang pengin gue tulis, abis itu gue lipet jadi burung, gue tempel deh di langit2 kamar)
6.    Gue dijuluki putri tidur dari esempe karena di mana aja bisa tidur, tapi julukan itu menghilang ketika udah mengecap asam manisnya bangku kuliah, karena bangku kuliah telah merenggut waktu tidurku *hiks :’(
7.   Oiya, gue lagi kuliah pascasarjana di Universitas Negeri Padang, dan gue kagum banget sama lokal kuliahnya (gue anak kampung banget)
8.   Pernah jadi guru TK, and its something banget! Hahaha
9.   Pengagum setia bapak gue sendiri… entahlah.. apa jadinya dunia gue kalo ga kenal sosok lelaki seperti papa
10.       Dulunya waktu SD gue… ehm, sempat jadi korban bullying and sekarang lagi gencar-gencarnya bikin gerakan STOP BULLYING di lingkungan dunia gue *keren
11.       Yang terakhir, gue adalah sang pemimpi. Mimpi gue yang terakhir yang belum terwujud tapi pengen segera terwujud yaitu memiliki suami yag soleh dan pinter… doakan segera ketemu yaaaa

Lanjut deh ke pertanyaan dari kak Nhe:
1.       Sejak kapan anda nge-blog?
2.      Apa manfaat dari nge-blog menurut anda?
3.       Pernah mengalami hal bahagia atau sedih saat nge-blog?
4.      Tuliskan 3 tempat impian yang ingin anda kunjungi, dan alasannya?
5.      Tuliskan pencapaian apa yang ingin anda dapatkan di tahun ini?
6.      Buku atau film yang menjadi inspirasi anda selama ini?
7.       Apa hobi anda?
8.      Siapa orang yang menjadi inspirasi anda?
9.      Momen paling bahagia anda selama ini?
10.   Momen paling sedih anda selama ini?
11.   Dua hal yang menggambarkan tentang anda?

Jawaban dari gue:
1.       sebenernya bikin blognya udah dari Desember 2010, tapi waktu itu Cuma iseng bikin and belom diapa-apain. Baru mulai ngeblog itu Mei 2011 dengan postingan pertama gue Catatan Depresiku

2.      Dari blog gue jadi rajin nulis. Bisa juga curhat terselubung yang dituangkan dalam kata-kata. And tentunya bisa kenal jenis tulisan yang begitu luar biasa dari blogger kenalan

3.       pernah ngalamin
     Yaa… seneng aja postingan gue di-like, trus dikomen, trus diajak kenalan, sampai nanti akhirnya…. *ngelantur. Pokoknya seneng aja deh
     Kalo hal sedihnya Alhamdulillah ga ada

4.      pertama, pengen banget ke Jogja… entah kenapa, cerita dan segala potret yang pernah mengisi otak gue bikin gue penuh mimpi pengen banget ke sana.
     Kedua, pengen ke Jepang.. kalo yang ini sih sejak SD dulu pernah belajar bahasa Jepang “Hajimemashite” dan segala kebudayaannya, jadi gue pengen tau banget gimana sih orang Jepang itu menjalani hidupnya…
     Ketiga, pengen naik haji, minimal umroh lah… ke tanah suci. Semoga tercapai, aamiin :D

5.      sesuatu yang ingin dicapai sih banyak, tapi semuanya jangka panjang, ga ada yang untuk dicapai tahun ini sih… yaitu gue pengen wisuda magister setelah 3 semester kuliah (insya Allah nanti di Juli 2015), tamat gue pengen jadi dosen, baru deh… nikah. Aamiin.. optimis tercapai!!!
     Eeeeh… ada deng impian buat akhir taun ini, hihihi… mudah2an dapet medali lagi di porprov desember nanti, aamiin…

6.      film inspirasi itu love story in Harvard.. kalo buku banyak!!! Salah satunya perahu kertas

7.       hobi gue banyakkkkkk! Makan, tidur, nonton. Haha… hobi gueeee sih mengurung diri di kamar and ngelakuin rutinitas gue, kalo g abaca, ya nulis… atau ujung-ujungnya tidur.

8.      inspirator banyak, tapi yang paling ngena di hati ya orang tua

9.      Sujud syukur kepada Allah SWT saat aku diizinkan melihat raut muka bangga papa ketika akhirnya saat esema aku bisa ikut pertandingan tingkat nasional…

10.   hal yang paling menyedihkan saat melihat kedua orang tua terbujur lemah di atas kasur rumah sakit dengan begitu banyak peralatan medis menjamah tubuh mereka :’(

11.   2 hal yang menggambarkan tentang gue ya? Hmmm….
·         kalo sama orang baru, gue terkesan pendiam dan pemalu, tapi gue sebenernya heboh sih kalo udah tau orangnya…
·         suka menyendiri di kamar, kurang suka kebisingan dan keramaian. Tapi kalo ada moment ngumpul bareng, jarang dilewatkan juga sih. Hihihi… intinya tergantung moment dan mood gue saat itu :D

Oke dah! Akhirnya award ini gue selesaikan juga meski mungkin ga begitu maksimal hasilnya, tapi gue udah rela lho, ngisi waktu istirahat gue dari seabrek tugas dengan ngetik postingan ini. Selanjutnya kuserahkan award ini kepada kalian…

Pertanyaannya dari gueeee
1.   Kenal ga sama gue? Kalo kenal, gue menurut kalian gimana?
2.   Sekarang coba deh, gambarkan diri kalian ke’ gimana…
3.   Udah punya pacar?
4.   Suka yang rapi apa wangi?
5.   Lebih Ga suka sama yang bau apa berantakan?
6.   Pengalaman pahit yang tak terlupakan?
7.   Pengalaman yang paling berkesan?
8.   Punya idola dong? Boleh cerita sedikit?
9.   Ada hal aneh tentang diri loe yang loe banggain? Apa dong?
10.                Kalo udah gede, mau jadi apa?
11.                Apa yang paling loe impikan dalam hidup ini?

Oke deh.. selamat berkreasi… saatnya award ini kalian-kalian yang tersebut di bawah ini yang pegang…



Continue reading