Jumat, 17 Januari 2014

Napas Berlebih, Orang Bilang

Aku merasa beruntung. Beruntung memiliki orang tua yang keduanya memiliki jiwa sportivitas yang tinggi karena keduanya adalah olahragawan. Aku terlahir dari rahim seorang atlet voli dan ayahku adalah atlet multi tallent. Semuanya papaku bisa. Tenis meja, catur, bola, voli, bulu tangkis, tenis, dan banyak olah raga lainnya. Mungkin karena aku keturunan orang-orang yang berkecimpung di dunia olah raga itulah, dalam diriku terdapat kecintaan terhadap olah raga.
Tenis meja khususnya. Aku dilatih papaku sendiri semenjak kelas 2 SD. Waktu itu aku ingat, dari kecil aku selalu melihat kakak-kakakku bermain di rumah dan aku meminta papa juga melatihku. Papa melatihku dari nol. Papa memapah tanganku, sampai aku mulai bisa memukul bola sendiri. Banyak hal yang aku dapat semenjak aku mulai berlatih tenis meja, temanku sudah pasti banyak, karena anak didik papaku sangat banyak. Selain itu, aku juga senang karena aku jarang sakit, tidak pernah sakit malahan. Kata papa itu karena berlolah raga, membuat tubuh kita sehat.
Aku mulai bertanding tingkat kabupaten ketika kelas 4 SD. Kenapa 2 tahun aku tidak bisa? Karena ada anak didik papa yang usianya setahun di atasku yang memiliki prestasi lebih baik dariku dan selalu mewakili kabupaten untuk ke tingkat provinsi. Aku tidak sedih, karena kata papa, aku pasti punya kesempatan nantinya ketika kakak itu sudah tamat SD dan aku juga harus giat lagi latihan. Aku menurut saja, karena perkataan papa tidak pernah salah. Ketika mulai bertanding mewakili kabupatenku ke provinsi, aku mendapat kesempatan 3 kali berturut- turut. Tapi sayang, aku hanya bisa juara dua. Aku selalu kalah sama atlet dari Padang. Aku masih ingat ketika pertandingan Usia Dini SD terakhirku waktu itu, aku kalah lagi dan aku menangis, karena kesempatan untuk ke tingkat nasionalku sudah habis. Tapi papa sang pelatih yang hebat itu lagi-lagi menenangkanku dengan berjanji kalau aku akan mendapatkannya kelak.
Ketika aku beranjak SMP, aku mengikuti POPDA, kesempatan ke tingkat nasional lebih besar karena diambil 4 orang. Tetapi saingannya sangat banyak, dan aku peserta terkecil. Mana mungkin? pikirku. Semua pikiranku itu benar, aku tidak bisa mendapatkannya. Lagi-lagi aku harus melihat kesedihan di wajah papa yang berusaha disembunyikannya.
Kelas dua SMP, aktivitasku olah ragaku harus terhenti selama 6 bulan, sedih sekali rasanya. Padahal banyak even pertandingan yang berlangsung tetapi aku terpaksa tidak bisa mengikutinya. Karena sakit waktu itu. Ya sakit. Sakit perut yang awalnya kuanggap main-main itu mengantarkanku ke rumah sakit dan harus dioperasi dua kali dalam waktu 3 bulan. Mal praktik? Aku juga tidak mengerti.
Awalnya aku dirawat di Solok. Tetapi karena penyakitku sudah sangat parah, aku dirujuk ke Padang. Sebulan awal aku selalu menangis, tidak tahan sakitnya sangat menyiksa. Perutku begah. Memang untuk anak seusia SMP itu terasa sangat berat cobaan-Nya. Aku sudah patah semangat dengan penyakitku. Apalagi pasca-operasi, bekas jahitanku menganga selama sebulan lebih. Selama sakit entah kenapa aku selalu kepikiran untuk mati saja. Rasanya aku tidak sanggup untuk terus-terusan di rumah sakit seperti ini. Melihat mama yang terpaksa tidak masuk sekolah hanya demi merawatku, papa yang harus bolak-balik Padang-Solok setiap hari untuk bekerja. Aku tidak pernah tega dengan keadaan ini. Ditambah lagi, tidak ada sahabat bagiku. Huh! Melankolis sekali aku. Tapi memang saat itu aku drop sekali. Meninggalkan sekolahku yang sedang dalam masa ujian semester ganjil juga sangat mengesalkan rasanya.
Sempat pulang memang. Tapi tetap dalam keadaan bekas jahitan di perutku yang menganga. Sempat pula aku masuk sekolah, tetapi selalu merepotkan karena tiap sebentar harus diantar ke UKS. Namun seminggu saja aku bisa bertahan, kondisiku sudah drop lagi. Seperti meregang nyawa. Aku tidak bisa bernafas, kepalaku sangat pusing, dan aku tidak lagi bisa makan. Kulihat saat itu orang tua dan saudaraku sudah pasrah dan merelakan kepergianku, mereka mencoba memberikan yang terbaik sebelum aku benar-benar pergi. Aku dibawa lagi ke Padang, semua alat-alat medis yang aneh dan tidak kumengerti gunanya itu dipasangkan ke tubuhku. Anehnya, betapa sakitnya saat itu aku tidak lagi mau menangis.
Ketika kondisiku mulai membaik, aku dikembalikan ke ruang perawatan, tempat seluruh keluargaku berkumpul. Ketika itu, aku tidak menyangka apa yang kudengar. Papa, mama, dan saudara-saudaraku meminta maaf padaku, dan berbicara mereka sudah ikhlas. “Apakah aku akan mati?” kupertanyakan kalimat itu, dan mereka bilang sudah pasrah. Terbayang bagaimana perasaanku saat itu? Hatiku hancur sekali. Bahkan keluargaku saja sudah pasrah dan berhenti untuk memberikan motivasi padaku agar bisa sembuh.
Akhirnya operasi keduaku dilaksanakan. Bekas jahitan yang menganga itu dijahit kembali, dan dibedah lagi di tempat yang baru. ketika operasi aku seolah bertemu malaikat. Aku dibisikkan kalau aku harus semangat untuk sembuh. Setelah itu dia pergi. Entah kenapa semenjakaku didatangi itu, aku selalu semangat untuk sembuh. Hidupku tidak akan berhenti di sini, aku harus bangkit dan bisa melawan penyakit ini.
Tidak sampai sebulan setelah operasi keduaku, aku dinyatakan sembuh dan bisa pulang. Alangkah senangnya hatiku, akhirnya bisa bebas dari rumah yang serasa penjara itu. Banyak tetangga, teman, dan kerabat lain yang datang ke rumah untuk meminta maaf, awalnya aku tidak mengerti dengan pembicaraan mereka dengan orang tuaku. Tapi setelah kakakku menjelaskan, ternyata selama ini orang-orang itu memprediksikan kalau aku akan dibawa jenazahnya saja ketika pulang nanti. Aku jadi geli sendiri ketika mereka berpendapat “Mungkin Lusi memiliki nafas berlebih”. Ada-ada saja.
 Namun jelas saja pasca melakukan operasi berat aku harus “manja”. Tidak bisa bekerja, tidak bisa olah raga. Ini yang paling menyebalkan! Aku tidak bisa berlatih sementara di rumahku begitu ramai dengan orang-orang yang latihan. Aku hanya bisa menonton. Tapi, aku tidak hanya sekedar menonton saja, tapi aku juga belajar. Kata papa, melihat orang bermain dengan memperhatikan mainnya, kita juga sama dengan berlatih.
Tiga bulan pasca-operasi. Ada surat undangan pertandingan ke PTM kami, PORSENI tingkat SMP. aku yang satu-satunya anak didik perempuan papa yang memenuhi syarat untuk bisa diturunkan bermain, dengan satu teman laki-lakiku yang juga seusiaku. Aku memohon pada papa untuk diikutkan. Papa mengizinkan, tapi mama dan keluarga besar mama melarang keras. Aku terus merengek dan memaksa papa membelaku. Akhirnya aku harus pergi bertanding dengan diam-diam bersama papa dan temanku itu ke Padang.
Sudah 6 bulan lebih vakum, kondisi yang belum bisa bergerak banyak, membuatku yang “ditakuti” lawan menjadi sangat kaku gerakannya. Aku tidak bisa menjangkau bola-bola yang jatuh di ujung mejaku. Awalnya kucoba gesit, tapi perutku langsung sakit. Jadi akhirnya kubiarkan saja. Saat pertandingan itu, aku yang awalnya diprediksi akan juara 1 dan mewakili Sumbar ke tingkat nasional, hanya mendapat juara tiga. Yasudah, aku tidak kecewa. Paling tidak aku masih bisa menyumbang medali untuk daerahku.
Tidak peduli lagi dengan sakitku, aku berpikir kalau aku tetap diam dan memanjakan diri, hidupku tidak akan pernah berubah dan aku tidak akan maju. Jadi kuputuskan untuk mulai lagi berlatih keras, dan selalu berbohong setiap kali mama dan papa menanyakan apa perutku tidak sakit kalau dipaksakan? Aku sedang bersemangat, jadi tidak ada yang bisa menahanku.
Terbukti, dua tahun berturut-turut aku berhasil juara Sumbar, dan aku untuk pertama kalinya kelas 1 SMA mewakili Sumbar ke tingkat Nasional, kemudian setahun setelahnya aku juga menjadi wakil Sumbar. Benar kata papa, aku pasti suatu saat akan mendapatkan juga. Dengan semangat untuk terus bangkit, akhirnya mimpiku kudapatkan juga. Tidak mudah memang, tetapi kuncinya hanya memimpikan prestasi, dan membuat mimpi itu menjadi kenyataan dengan berusaha. Mungkin memang benar kata orang-orang waktu itu, Tuhan memberikan “Nafas berlebih” padaku untuk memberiku kesempatan mewujudkan mimpiku menghadiahkan kemenangan pada papa. 

Nb. ini adalah salah satu artikelku di majalah kampus di semester 6 lalu.





*ini salah satu halamannya




Continue reading

Selasa, 14 Januari 2014

JINGGA

Jingga hanya sebuah lukisan. Jingga yang menyuguhkan kombinasi lengkap antara keindahan dan kehangatan itu mulai terlihat ringkih. Keanggunan dan ketegaran yang ditampilkan selama bertahun-tahun lamanya itu mulai terabaikan, tak terawat, bahkan hampir dilupakan.
Gyuuut!
Awan membuka pintu tua yang suaranya masih tetap manja itu. Nampaknya ada yang benar-benar ingin dicarinya, makanya ia memasuki ruangan yang lebih pantas disebut gudang itu.
C’tak!
Setelah menyalakan lampu neon tua yang ternyata sinarnya masih garang itu, Awan melangkah pasti menuju sudut ruangan tempat sebuah lemari tua berdiri bungkuk. Langkah kakinya melewati begitu saja lukisan Jingga. Setelah agak lama berjongkok mengacak-acak isi lemari, ia tersenyum mengeluarkan sebuah kotak, lebih mirip kotak kalung. Awan pun berdiri dan berjalan lagi menuju pintu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di depan lukisan Jingga. Lalu berbalik ke arah lemari. Ternyata ia lupa menutup pintunya, langsung merapatkan pintu lemari, kemudian bergegas keluar dan menutup kembali pintu tua.
“Halo, nanti akan saya perlihatkan contoh barangnya, sekitar sepuluh menit lagi saya sampai di sana. Harap menunggu sebentar.” Kemudian telepon itu ditutupnya. Awan menyambar jaket kulit kusam yang bertengger di sandaran kursi, mengantongi kotak tadi, kemudian bergegas keluar setelah mengenakan helmnya.
“Wah, mas. Kotak ini keluaran lama, ya? Ukirannya aja unik gini. Belinya di mana sih dulu? Kalau yang beginian mah, bisa lama selesainya mas. Selain nyari kayu yang benar-benar bagus, ukirannya juga lumayan rumit. Saya harus cari tau dulu ini jenis ukiran apa.” Awan tidak berkata apa-apa untuk menjawab pertanyaan si tukang kayu itu. Jelas ia tak bisa menjawab. Kotak itu adalah pemberian Jingga padanya dahulu, ketika Jingga jadi relawan bencana di Kota Angin, ia memberikannya sebagai oleh-oleh untuk Awan.
“Hm… nanti saya kembali lagi. Kotaknya saya bawa dulu, mas.”
“Eh…eh… mas! Mas! Tunggu dulu… jangan cari tukang kayu yang lain dong!”
“Nggak usah khawatir! Nanti saya balik lagi dengan informasi yang mas tanyakan tadi!” Awan memasang helemnya dan melajukan motornya kebut. Tukang kayu itu masih berbicara sendiri. Sudah lama ia tidak dapat pelanggan. Sekalinya dapat, pesanannya rumit. Ia takut kalau-kalau Awan merasa tidak cocok dan mencari tukang kayu lain.
Di perjalanan, Awan selalu memikirkan bagaimana caranya ia bisa tahu itu kayu dari mana dan ukirannya jenis apa. Untuk bertanya pada Jingga tentu itu mustahil. Lama ia memikirkan Kota Angin yang diceritakan Jingga dulu tepatnya berada di mana. Aah, andai ia masih bisa bertanya pada Jingga saat ini. Tentu ia takkan menunggu lebih lama lagi memberikan kado kepada gadis yang kini tengah mengusik perhatiannya.

Namun sayang, apa yang ditakutkan si tukang kayu benar adanya. Karena terlalu fokus memikirkan Jingga, Awan tak awas dengan jalanan sehingga mengakibatkan benturan terjadi.

.....bersambung :)

Continue reading