Kamis, 13 Februari 2014

Perpisahan

Anak-anak…
Menggemaskan, lucu, penuh tawa, dan sangat menyenangkan.
Meski… kadang seringkali tingkahnya bikin gondok, jengkel, dan membuat dewasa kewalahan.
But…
They are still children. Mereka tetap saja anak-anak!

Akhir oktober. Tepatnya 20 Oktober aku mulai mengenal mereka dan beraktivitas pagi dengan mereka. Ya, aku menerima tawaran bos menjadi guru TK. Padahal sebelumnya aku menolak dengan kekhawatiran yang mengikuti imajinasiku; akan keteteran mengurus mereka.
Kekhawatiranku ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya. Mereka ternyata makhluk mengasikkan dan sangat menghargai apa yang telah diberikan teachernya (mereka memanggilku teacher) berbeda dengan siswa siswiku yang SMP.
Desember, aku mengalami dilema. Aku yang dari awal pasca sarjana September lalu memang menargetkan untuk lanjut studi, kini ditempatkan pada dua pilihan, melanjutkan keinginanku untuk berkuliah di gedung pascasarjana yang angkuh itu, atau tetap dengan murid TK-ku yang sudah terlanjur dekat dan kusayang hingga mereka tamat nanti. Akhirnya, aku memutuskan untuk mendaftar dan menjalani serentetan prosedur pendaftaran dan tes. Sampai akhirnya akhir Januari namaku masuk daftar mahasiswa yang lulus tes.




 (namaku terpampang jelas di urutan ke 17)

  

Nah… dilema mulai muncul ketika aku hendak resign dari TK. Pasalnya, guru intinya juga kebetulan ada “problem” dengan si bos, dan akhirnya diberhentikan. Bukan apa… guru baru bagi anak TK tidaklah terdengar semembahagiakan bagi siswa SMP. Karena mereka butuh  adaptasi lagi. Jujur saja, aku juga di “ospek” oleh anak-anak itu ketika baru masuk (ditolak, dipukul, tidak mau didengarkan, tanganku dijepit pintu, bahkan sampai digigit). Nah… apa jadinya kalau sekarang mereka benar-benar kehilangan? Aku benar-benar kasihan pada mereka. Di usia sekecil itu, mereka sudah harus merasakan pahitnya perasaan kehilangan.

             



(foto terakhir mereka yang sempat kuambil saat terakhir mengajar)

tapi... bagaimanapun aku memang harus mengambil keputusan. ini adalah bagian dari masa depanku. aku tidak bisa hanya selamanya berdiri dan jalan di tempat. kalau tidak, aku tidak akan mencapai apa yang selama ini aku impikan. :) 


Continue reading

Kamis, 06 Februari 2014

Sesaat

kita bertemu baru saja. di ambang senja yang mendung, tanpa kehangatan semburat jingga.
kita berpisah baru saja. saat kegelapan dan dentingan suara tetes-tetes air hujan mulai mencuat.
kita bertemu ketika ingin bertemu, dan berpisah dengan terpaksa. bukan karena keinginan. ya, dipaksa keadaan.
...
saat itulah kulihat sinar ceria matamu yang pertama kali kulihat saat kita bertemu meredup.
pipimu, membulat karena tidak suka dengan perpisahan ini. ingin rasanya jemariku membelai lembut pipimu. tapi aku terlalu malu dengan lingkungan.
"kita akan bertemu lagi, nanti, kan?" rajukmu.
aku mengangguk ragu. takut berkata "tidak" demi tak melihat lagi embun di pipimu. sudah cukup rasanya kamu menunggu kesempatan untuk bertemu aku, sudah terlalu banyak air mata yang kau keluarkan untukku. aku tak ingin menambahkannya lagi. namun, untuk berjanji pun, aku terlalu takut.
"hujan, nanti kamu demam. mari kita pulang dulu." hanya itu yang mampu aku utarakan demi melihatmu melangkahkan kaki yang berat itu.
kita berjalan bersisian hanya sepuluh langkah saja, setelah itu, di persimpangan kita berpisah. kamu berbelok ke arah kiri, aku ke kanan.
aku takut menoleh ke belakang, meskipun sangat ingin. namun, aku tak sanggup melihatmu menangis lagi.
*
...
bersambung ...)

Continue reading

Senin, 03 Februari 2014

Kita

Kita menulis…
Aku menulis, kamu menulis, kita sama-sama menulis.
Kamu menulis di sana, aku menulis di sini. Kita menulis di bumi yang sama, kita menulis di waktu yang sama.
Tetapi entah kenapa setidaknya tulisan kita bisa disatukan menjadi buku antologi kemudian bisa diterbitkan bersama? Kenapa semenjak ujung perasan kita tidak bisa disatukan, lantas kita juga tidak bisa menjalani sesuatu bersama?
Layaknya mentari dan jingga…
Keanggunan dan kepongahan…
Keduanya bahkan layaknya musuh yang enggan untuk berdampingan.
Kala jingga datang, menggenang di bayang air laut, mentari mengalah. Seolah enggan mengganggu kebahagiaan jingga menyaksikan ribuan anak manusia yang penuh kehangatan bersuka cita menyambutnya.
Namun, jingga sering selalu lebih cepat berlalu. Seolah sedih ditinggalkan mentari. Ia lantas perlahan juga masuk ke perut bumi, tidur dalam waktu lama, sampai mentari kembali mengalah untuknya.

… pada jiwa-jiwa yang sulit untuk bersatu.
Memang sulit memahami mengapa Tuhan meniadakan restu bagi hubungan yang tertata rapi disusun.
Sulit mengerti mengapa yang sudah lama berjalan dengan kedua pasang kaki mereka akhirnya lumpuh.
Dan, setidaknya kita butuh secuil alasan yang masuk akal atas penolakan dari keinginan-keinginan besar yang kita bangun lamanya.
Tapi, bisakah kita berpikir?
Kita banyak melewati hal-hal sepele yang bisa kita jadikan teladan. Meski itu hanyalah peristiwa alam. Dan. Ohya, mungkin dari situlah pepatah Minang lahir: “Alam Takambang Jadi Guru”

Kita tidak hanya berguru kepada profesor, doktor, master, atau sarjana. Bahkan kepada alam yang sering kita lupakan, yang sering kita tindas, ia bahkan banyak mengajari kita. Ia bahkan sering menegur kita.

Continue reading