Kamis, 27 Maret 2014

Love Never Fails

Kamu, keindahan. Kamu, keanggunan. Kamu, puisi yang bernyawa. Kamu, nyawa cinta yang nyata. Kamu, keteguhan. Dan, kamu, satu-satunya cinta.
Dera. Awalnya memang bingung, kenapa nama panggilanmu bisa Dera. Tapi yasudahlah… toh nama itu tidak mengurangi  keelokkan dirimu. Aku mengetahuimu ketika aku berkunjung ke rumah temanku yang kebetulan memiliki tetangga baru. Iya, itu kamu yag baru saja menjadi penghuni kos di samping rumahnya. Di rumah kos yang besar, kamu hanya tinggal berdua dengan temanmu. Awalnya aku tak peduli dengan sosokmu yang sering nampak berpakaian rapi keluar pada pagi hari dan kembali di sore hari. Dengan kerudung yang selalu membalut kepalamu, parasmu yang tidak begitu cantik. Kamu tampak biasa saja. Tapi, ada satu hal yang sedikit menarik, dengan parasmu yang masih polos, kamu masih layak kalau berseragam SMP, bahkan. Dari pakaianmu, kupikir kamu bekerja sebagai sales. Tapi ternyata kata temanku kamu seorang pengajar. Itukah yang membuatku mulai menyukaimu? Tidak. Sewaktu orang tuaku keluar kota, aku menginap sekitar sepuluh hari di rumah temanku. Dan aku mulai tau kegiatanmu. Bangun di saat orang tertidur lelap, melakukan tahajud kepada-Nya, dan memasak. Ketika subuh, kamu kembali bermunajat, lantas mengaji. Duh… suaramu terlalu merdu untuk didengar olehku. Lantas kamu menyapu seluruh lorong kosan yang besar itu, sebelum kamu berangkat mengajar.
Pagi, kamu menjadi guru TK. Sekolah yang dekat dari tempat tinggalmu itu tak jarang diam-diam kukunjungi sebelum aku berangkat sekolah. Lembut, penuh kehangatan, dan kasih sayang. Oiya, kamu datang selalu pagi ke TK itu. Sendiri, menyapu dan membersihkan seluruh debu di kelas dan pekarangan TK. Itu kamu lakukan setiap pagi, bahkan guru TK yang lain tidak pernah kerepotan memegang tangkai sapu ketika mereka sudah datang. Siang sampai sorenya, kamu mengajar sebagai guru privat dan bimbingan belajar. Dan, di sela-sela jeda pekerjaanmu, kamu mengisinya dengan kuliah, di pascasarjana.
Ah… betapa sulit mengagumimu. Sulit? Jelas. Jujur saja ada rasa takut ketika mendekatimu waktu itu.
“Hm… maaf, kak. Boleh numpang motor di sini?” mungkin kamu tidak menyadari. Tapi sungguh! Aku gemetar ketika mengucapkan kalimat pertamaku padamu itu. Kulihat senyum tulusmu mengembang, kamu mengangguk. Dan dengan lembut kamu menjawabku.
“Tentu saja boleh, silahkan.”
Kurasa semenjak saat itu aku jadi sering memarkir motorku di halaman kosmu, meski pekarangan rumah Andri tidak lagi dipenuhi motor teman-teman. Dan, pada hari itu…
“Ini, silahkan dicoba. Bawa saja ke rumah Andri, makan dengan teman-teman yang lain, ya. Kebetulan tadi saya masak banyak.” Kamu menyuguhkan gorengan dan puding padaku. Tidak hanya takjub, terlebih aku heran. Kenapa bisa kamu yang hanya tinggal berdua dengan temanmu masak sebanyak ini? Tapi aku urung bertanya dan patuh mengikuti instruksimu. Kamu tau? Seluruh temanku yang memakan masakanmu bilang itu sangat lezat.
*
Hari itu kamu akan keluar kota, lebih tepatnya pulang ke rumah orang tuamu. Kamu menitip kunci padaku untuk diberikan kepada temanmu. Dan aku memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta nomor hapemu. Dengan mudah, kamu lantas memberikannya. Kamu tau? Pertama kali meneleponmu, bukan untuk keperluan kunci kos, aku juga takut. Tapi kelembutanmu menenangkanmu.
“Oh… ya, boleh saja. Datang saja nanti malam. Insha Allah akan saya bantu sebisa saya.” Kamu jelas merendah. Bagaimana mungkin seorang guru tidak bisa membantuku mengerjakan PR?
Malam itu, kamu memakai baju merah, celana hitam, dan kerudung hitam. Dihiasi senyuman yang selalu nampak tulus, kamu membukakan pintu, menyuruhku duduk di ruang tamu, dan menyuguhkanku minuman serta camilan. Padahal aku ke kosanmu untuk meminta tolong, tapi kamu memperlakukanku seperti tamu penting. Kamu sangat baik.
“Tidak repot, kok. Saya malah senang diberi kesempatan membahas soal SMA. Karena saya selama ini hanya mengajar SD dan SMP. Jadi jarang diasah untuk pelajaran SMA.” Begitu jawabmu. Lagi-lagi kamu sangat rendah hati.
Mulai dari malam itu. Kita semakin dekat. Mungkin, bagimu aku hanyalah seorang siswa SMA. Kamu hanya menganggap kedekatan kita seperti teman, kakak-adik, dan guru dan murid. Tapi tahukah kamu? Aku mulai mencintaimu.
Lama aku memendam. Lama aku menahan dan mencoba untuk melepaskan perasaan ini. Kuharap ini hanya perasaan kagum semata. Tetapi semakin aku mengelak dan menepis perasaan itu, aku semakin tidak bisa melupakanmu. Bahkan, cintaku rasanya semakin besar.
Kepalaku hampir bocor, dadaku hampir meledak. Aku benar-benar tidak tahan ingin mengungkapkannya padamu. Sampai, pada saat itu…
“Kak, aku nggak pandai merangkai kata indah seperti kakak. Jadi, aku cuma bisa langsung bilang…” Aku memberi jeda sejenak, untuk mengatur nafas, dan menunggu reaksi darimu. Tapi kamu hanya diam menunggu kalimat selanjutnya dariku.
“Aku sayang sama kakak.” Kamu tersenyum, kemudian mengacak rambutku.
“Aku juga sayang padamu, Van. Kamu sangat mirip adikku. Berkat kamu, rasa rindu pada adikku bisa terobati.” Kamu tau? Bukan itu yang ingin kudengar darimu. Bukan!
“Tapi, kak… aku juga sangat mencintai kakak. Nggak kayak kakak dan adik, nggak juga kayak guru dan muridnya. Tapi… seperti laki-laki kepada perempuan.” Kamu membulatkan matamu. Kamu tampak sangat terkejut.
Nggak… nggak mungkin, Van!”
“Kenapa nggak, kak?”
“Kamu jangan mulai becanda, ya, Van.” Mukamu kembali normal. Tampaknya kamu menganggap aku hanya merayumu. Tapi percayalah… aku sangat mencintaimu, aku ingin menjadikanmu pacarku.
“Bagaimana bisa? Kamu masih berseragam, sedangkan aku sudah menjadi seoranga guru. Jarak kita bahkan sangat jauh. Tidak satu atau dua tahun saja! Tapi enam tahun. Kamu bahkan lebih muda dari adikku.”
“Kak, Nabi Muhammad juga lebih muda dari Siti Khadijah. Tetapi beliau mau memperistri Khadijah.” Tampaknya kamu tersinggung dengan jawabanku itu. Kamu lantas berdiri dan meninggalkanku sendiri di teras kosanmu. Tahukah kamu? Aku sangat kecewa. Bukan, bukan dengan sikapmu, tapi pada keteledoranku. Aku bahkan kehilangan senyummu untuk malam ini. Dera… maafkan aku. Jangan pergi, aku nggak sanggup kehilangan kamu.
*
Sudah seminggu aku disibukkan aktivitas di sekolah, karenanya, aku jadi tidak pernah berkunjung lagi ke rumah Andri –serta ke kosanmu– selama seminggu ini. Alasan lain, ya… aku takut untuk bertemu denganmu, aku malu, aku belum lagi punya keberanian. Ah... aku sangat membenci sifat penakutku ini. Namun, rasa rindu yang teramat menyakitkan ini mengajakku untuk datang malam minggu ini. Aku ingin melihatmu, sebentar saja.
“Andri keluar dengan Nisa. Tapi katanya tidak lama, kalau mau, tunggu saja.” Aku memutuskan menunggu Andri di teras rumahnya, agar aku bisa melihatmu sembari menunggu. Sepuluh menit aku menunggu dengan gigitan nyamuk di mana-mana, akhirnya kamu lewat, tampak sangat lelah, mungkin kamu dari kampus.
“Hei, Van. Kok sendirian? Andri mana?” Kak, kamu menyapaku akrab, dan tanpa beban. Seolah tidak ada yang pernah terjadi antara kita. Aku hanya tersenyum kaku.
“Andri keluar sama pacarnya kak, disuruh tunggu. Jadi, yaaa… ngomong-ngomong, kakak dari mana?”
“Oh, gitu! Ini, habis liat adik teman di rumah sakit. Kamu udah makan?”
“U..udah kak.” Tampaknya kamu tau aku berbohong.
“Sebentar, ya.” Kamu kemudian masuk dan kembali lagi dengan brownies, yang kelihatannya sangat lezat.
“Ini, makanlah… kebetulan tadi siang mama dan papaku datang, semalam adikku 17 tahun.” Kamu menyodorkan kue yang ternyata kue ulang tahun adikmu, yang lebih tua setahun dariku. Sembari aku makan, kamu terdiam dan menundukkan kepala.
“Kenapa, kak? Lagi ada masalah, ya?” kamu cepat-cepat mengangkat kepalamu dan merubah raut mukamu.
“Ah, enggak.” Kamu lalu tertawa. Selesai menghabiskan potongan pertamaku, aku mengambil ancang-ancang untuk kembali berbicara padamu.
“Maaf ya, kak.” Kamu terlihat heran.
“Maaf untuk apa?”
“Maaf malam itu sudah membuat kakak kecewa. Aku benar-benar menyesal, kak.” Kamu menunduk lagi.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Hakmu, kamu mau punya perasaan pada siapapun. Termasuk aku. Tapi, untuk menjadikan aku pacarmu, maaf itu sangat tidak mungkin. Alasannya sudah aku kasih tau malam itu, kan? Kamu jauh lebih muda dariku, jelas itu berpengaruh. Pola pikir kita beda. Lagian, aku ini perempuan dan usiaku sudah bukan remaja lagi. Kalaupun aku akan menjalani sebuah hubungan, pastilah hubungan itu harus hubungan yang serius, tidak lagi main-main. Itu prinsipku.” Kamu menjawabku panjang lebar. Sungguh hatimu sangat teguh dan berpendirian.
“Maaf, kak. Soal umur…”
“Aku tidak pernah berharap. Jangankan berharap, berpikiran saja tidak, untuk mempunyai hubungan dengan orang yang jauh lebih muda usianya dariku. Karena… ya.” Kamu menggantungkan ucapanmu. Lama kita terdiam. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, aku mulai mengutarakan apa yang sedari semalam ingin kukatakan.
“Kak, semenjak aku 15 tahun, aku mulai bisa menentukan apa saja yang kuinginkan dalam hidupku, kecuali satu hal, yaitu kapan aku lahir. Salahkah cinta yang murni mengalir dari relung hatiku ini? Bagaimana aku menjelaskannya? Karena cinta bukanlah teori yang bisa dijelaskan hingga kamu mengerti. Tidak adakah kesempatan meski secuil titik untukku memiliki cintamu?” kamu masih terdiam menunduk.
“Soal keseriusan. Aku serius. Sangat serius. Untuk apa aku membiarkan hatiku memilihmu kalau tidak karena aku sudah mengenalmu dan ingin serius denganmu?” Perkataanku terhenti sampai di situ. Andri datang. Tidak mungkin aku melanjutkan kalimatku. Aku tidak ingin Andri tau.
“Oh… Ada Teacher Dera. Kirain lu sendirian.”
“Kalau sendirian mungkin udah pulang dari tadi gue. Digigitin nyamuk nih!”
“Salah sendiri, kenapa nggak nunggu di dalam aja!”
Ketika kami masih berdebat, kamu pun pamit. Tak apa, lebih baik kamu istirahat di dalam, karena senyum di wajahmu tidak mampu menyembunyikan keletihan tubuhmu.
*
Tak kusangka. Perempuan dewasa sepertimu masih saja memikirkan yang sama sekali tak pernah kupermasalahkan. Kak Anggra, temanmu akhirnya luluh bercerita setelah sedikit “ancaman” terpaksa kukatakan.
“Aku nggak tau pasti, tapi sepertinya, Dera menyukaimu juga. Namun ada hal yang ia takutkan. Yang paling kentara, soal perbedaan usia. Ya, meski babyface tetap saja usia tak bisa berdusta, kan? Alasan lain, soal fisik. Wajah ganteng dan mirip bulemu yang kurasa mengganggunya. Mungkin ia minder, wajahnya yang tidak begitu cantik bila dibandingkan denganmu, jelas jauh kalahnya. Dengan usia dan fisik, lengkap sudah keminderannya.”
Kulajukan motorku ke kampusmu. Kita sudah janji bertemu di sana siang ini. Dengan semangat menggebu, aku sudah mengantongi izin dari Kak Anggra untuk berhubungan lebih serius denganmu.
“Maaf ya, aku nggak sempat ganti seragam tadi sebelum ke sini.” Kamu hanya tersenyum. Ternyata kamu tak mempermasalahkannya.
“Mana soalnya?” dan kamu hanya membahas tentang soal yang kujadikan senjata?
“Ada kak. Tapi gimana kalau kita makan dulu? Hehe… laper nih.” Kamu akhirnya mengajakku ke warung makan dekat gedung pascasarjana. Dan, tempat itulah saksi bisuku.
“Kak, mau nanya deh. Kalau ada orang berniat sangat baik dan sudah melakukannya juga dengan sangat baik, apakah ia akan berdosa?”
“Tentu saja tidak.” Jawabmu sambil tertawa.
“Jadi, bagaimana kalau kita menjalin hubungan? Hubungan serius menuju pernikahan?” Kamu sukses terbatuk-batuk karena tersedak.
“Kamu jangan mulai lagi becandanya.”
“Aku serius kak.”
“Revan, dengan wajah tampanmu, kamu bisa mendapatkan perempuan cantik manapun yang kamu mau, tapi jangan aku.” Dia kemudian berbisik “Karena aku kurang cantik.”
“Kak, salahkah aku terlahir terlambat? Salahkah aku terlahir tampan? Apakah dengan rahmat-Nya ini aku justru tidak bisa bahagia hidup dengan perempuan cinta pertamaku?” kamu terdiam lama sekali.
“Kamu juga menyukaiku, kan? Lantas kenapa tidak kita jalani saja hubungan ini?” kamu masih terdiam, menunduk. Sungguh aku ingin memelukmu saat itu juga. Tapi urung. Sebagai orang yang teramat mencintaimu, sebagai orang yang menghormati kesucianmu, sebagai orang yang menghargai prinsipmu, aku tak mungkin sembarangan memegangmu. Tidak!
*
“Terima kasih, sayang… telah bertahan.” Kukecup lembut kening halusmu berkali-kali.
“Terima kasih juga, telah membuktikan.” Kamu balas mendekapku erat.
“Ayok! Kita foto-foto dulu!” Seru Andri yang begitu datang “mengganggu” kemesraan kita. Seluruh sahabatku mengelilingi kita di pelaminan ini. Aku sungguh bahagia. Setelah akad nikah kita kemarin, akhirnya aku resmi memilikimu. Meski gelar S.E. gagal kudapat 3,5 tahun. Tetapi kamu yang M.Pd. tidak terlihat lebih dewasa dengan balutan gaun pengantin yang anggun itu. Terima kasih telah menunggu untukku, terima kasih telah bertahan melawan goncangan denganku. Kak, istriku, aku mencintaimu.

***

Continue reading

Kamis, 13 Maret 2014

Bingkai Buram Senja


Dingin. Tetes-tetes sisa hujan yang menghuni serat dedaunan pohon raksasa itu menjentik kepalanya yang sudah basah kuyup. Ujung-ujung rambutnya yang ikut meneteskan air menambah dingin tubuhnya. Badannya menggigil, berkali-kali suara bersin terdengar, sesering ia menghembuskan ingusnya. Badan yang ia dudukkan di atas batang pohon tumbang itu dipeluk erat oleh kedua tangan mungilnya, sekedar berusaha menahan rasa dinginnya. Bibirnya pucat, geliginya bergemeletuk, karena bersinggungan satu sama lain. Matanya yang berair liar menatapi setiap orang yang lewat dengan berlari kecil menutupi kepala dengan tangan. Ia terlihat tengah menunggu seseorang, yang mungkin akan menjemputnya.
Sahut menyahut nyanyian petir menggelegar membelah angkasa. Langit seakan rapuh dan menyerah untuk bertahan. Namun tampaknya itu gemaan terakhirnya. Petang yang harusnya hangat itu tidak lagi romantis oleh lukisan alam senja. Tidak tampak jingganya langit yang biasanya menghias kepergian senja menjemput gelapnya malam. Hanya terbingkai kelam dan berkabut.
Setapak kemudian, lelakinya datang dengan tergesa. Tubuhnya lembab –tidak sampai basah– rambutnya yang panjang terurai berlari kecil seirama langkah kakinya yang jenjang. Kharismanya masih seperti pangeran dengan kedua tangannya membawa handuk dan sebuah botol, sepertinya itu kopi hangat.
“Kamu nggak papa?” tangannya yang memegang handuk sudah melingkari handuk ke tubuh perempuannya, tangan satu lagi menyodorkan kopi hangat itu. Dan tangan yang terbebas mulai memegang dahi perempuannya dengan lembut, penuh cinta, untuk memastikan tidak ada tanda-tanda perempuannya akan demam.
“Kamu kenapa cemas banget sih, aku nggak apa-apa kok. Ini baru basah karena hujan. Never mind.” Jawabnya dengan suara serak bergemetar sambil meminum kopi hangatnya.
“Jelas saja aku cemas, setiap kali turun hujan pasti dingin akan selalu melanda, dan setiap itu pula tubuhmu akan menggigil kedinginan dan flumu pun akan kambuh.” Dirabanya kantong celana untuk menemukan beberapa bungkus tisu yang juga telah ia siapkan.
“Biar aku saja.” Diambilnya cepat tisu dari tangan lelakinya itu. Ia memang tidak ingin terlalu dimanja. Lelakinya datang untuk membawakan ini semua saja sudah membuatnya merasa tidak enak, karena diperlakukan seperti ratu. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran macam-macam. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran kalau lelakinya adalah budaknya.
“Kamu jangan keluar hujan-hujan lagi, ya.” Tangannya kini mulai beralih memegang handuk dan mengusap-usap lembut kepala perempuannya. Mengeringkan rambutnya yang basah. Tangan perempuan itu meraih tangan lelakinya. Seketika pekerjaan tangan laki-laki itu terhenti.
“Aku nggak mungkin juga bakal keluar kalau hujan. Tapi hujan kali ini kan mendadak banget datangnya. Aku aja hampir nggak bisa nyariin tempat berteduh tadi. Kamu bisa liat, di sekitar sini tempat yang paling bisa buat berteduh ya cuman di bawah pohon yang gede ini doang.” Lelaki itu kembali menyuguhi perempuannya dengan senyuman.
“Iya, tapi andai aja tadi kamu mau aku jemput lebih awal, kan nggak bakal gini juga kejadiannya sayang.” Perempuan kemudian mengangkat wajahnya, mencoba melakukan pembelaan.
“Ya, udah terlanjur, mau digimanain lagi coba? Kan kita sama-sama nggak tau kalau sore ini bakal turun hujan, orang tadi siang panasnya terik banget.” lelaki itu hanya mengangguk maklum sambil kembali tersenyum. Dilanjutkannya mengusap-usap rambut ikal perempuannya yang melurus karena air hujan.
“Kamu nggak papa kan?” suara yang mulai serak itu tampak ikut mengkhawatirkan sosok di hadapannya itu.
“Jelas aku nggak papa.” Senyum keduanya beradu melalui pandangan mata penuh cinta.
“Tapi kamu kan juga basah.” Tangannya spontan memegang ujung lengan baju lelaki tersebut.
“Basahnya aku nggak kuyup. Nggak separah kamu. Lagian aku kan nggak papa kalau kena hujan. Nggak bakal bersin-bersin kayak gini nih”. Lelakinya tertawa renyah begitu perempuannya kembali bersin-bersin, tiada henti.
“Makasih, sayang. Untuk semuanya. Aku sayang kamu.” Perempuan itu akhirnya mengalah dari perdebatan, bersin berkali-kali seperti menguras tenaganya. Lelaki itu tersenyum sangat puas. Mungkin kalimat itulah yang ingin didengarnya sedari tadi. Refleks, dipeluknya perempuannya erat. Kepala yang rambutnya basah itu diciuminya berkali-kali.
“Aku juga sayang banget sama kamu. Ini semua aku lakuin buat ngasih apapun yang bisa aku kasih.” Ia terdiam sejenak mengatur napasnya yang mulai diburu emosi, kemudian melanjutkan. “Mungkin aku emang nggak bakalan selalu bisa bikin kamu ketawa, tapi selagi aku bisa, aku akan usahain akan selalu ada buat kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu, sayang.” Pelukan itu kembali erat. Segala rasa cinta membaur di dalamnya. Jelas tampak dari kedua mata berseri itu, mereka sungguh bahagia. Seakan dunia mereka berdua yang menghuninya.

Sedangkan, tidak jauh dari sana…
Kuambil tisuku yang terakhir. Aku baru sadar, tisuku sudah habis untuk mengelap ingusku. Kutatap lagi lelakiku yang dulu itu. Sungguh ia tak pernah tampak sekhawatir itu padaku dulu. Padahal badanku juga akan gemetar, dan flu ku juga akan kambuh setiap kali hujan menghujam.
Tidak ada yang kutunggu di sini. Tidak ada juga yang akan datang menjemputku dan membawakan segelintir perhatian padaku.
Kubuang tisu terakhirku, kemudian perlahan mencoba bangkit dari tempat dudukku yang dingin. Sebelum benar-benar beranjak, kuarahkan pandanganku ke sana, kupastikan sekali lagi. Lelakiku dulu sangat bahagia dengan perempuannya yang sekarang. Jadi aku harus bisa yakinkan diriku untuk tidak lagi berharap padanya, untuk tidak lagi diam-diam masih menyimpan harapan dan cinta padanya.







Continue reading