Sabtu, 23 Agustus 2014

Di Redupnya Bulan

Andai bulan malam ini tak redup, pastilah mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana memerahnya wajahku begitu mendengar olok-olokan para seniorku. Aku yang masih berdiri di depan barisan mahasiswa baru itu hanya bisa mematung. Badanku seluruhnya kaku, bahkan untuk mengerjapkan mata saja begitu beratnya.
“Sudah, kamu boleh kembali ke barisan.” Kak Angel, senior yang juga adalah kakak di kosanku membongkah situasi yang sangat tidak nyaman ini. Mungkin memang hanya Kak Angel yang kenal denganku di sini, dan hanya dia yang kurasa menjadi malaikat penolongku di malam puncak penutupan ospek ini.
Aku kembali berjalan ke barisan sambil terus menunduk. Sungguh! Aku tidak berani menatap pada lelaki ‘partnerku’ yang menjadi bahan tertawaan para senior. Meski kutau lelaki itu hanya santai saja menanggapi, tetapi aku sangat malu malam ini.
Sekitar sejam setelah ‘pembantaianku’ di depan barisan para mahasiswa baru, akhirnya acara penutupan itu pun berakhir. Meski besok malamnya masih ada acara lagi, tetapi paling tidak aku bisa sedikit lega hari ini akan berlalu.
Kulirik jam tangan karetku. Sudah pukul dua belas lewat. Pulang sendiri ke kos di jam rawan begini lumayan menggegerkanku. Tapi aku tidak punya teman di sini. Kak Angel sudah bilang kalau ia akan menginap di kampus dengan teman-temannya. Meskipun kosku letaknya dekat dari kampus, tapi tetap saja, aku takut.
Kulangkahkan pelan kakiku menuju gerbang yang masih ramai oleh mahasiswa baru yang akan pulang. Rata-rata mereka berteman dan mengendarai motor. Ada juga yang dijemput. Sambil terus berjalan pulang aku terus memutar otak, apakah aku harus berpura-pura sakit agar ada yang mengantarku pulang? Ah… meski menyukai drama, tetapi aku meragukan kemampuan actingku kali ini. Kakiku terhenti sekitar 10 meter dari gerbang. Aku benar-benar putus asa. Rasanya seperti ingin menangis.
“Hei.” Tiba-tiba ada suara dari belakang mengagetkanku.
“Ya?” badanku kembali kaku. Dia? Kenapa dia memanggilku.
“Bingung aja keliatannya dari tadi. Takut yaaa?” dengan santai ia masih bisa menggodaku.
“Ng…”
“Pasti mau bilang, ‘kok tau’ kan? Dari tadi kamu tu mencolok banget sih… Cuma kamu yang kaya orang kebingungan.” Aku terdiam, Dia merhatiin aku?
“Ng…”
“Kosan di mana?”
“Jalan Gajah V”
“Oh.. di arah belakang, pantes ketakutan.” Aku mengernyitkan dahiku. Memangnya kenapa?
“Maksudnya?”
“Haha… sepanjang jalan Gajah, dari Gajah I-VII itu kan angkerrrr!” aku cemberut protes. Bukan karena dia berhasil menakutiku, tetapi dengan keisengannya.
“Yaudah, biar kuantar. Tapi jalan kaki!”
Deg! Jantungku berhenti. Apa aku tidak salah dengar? Laki-laki ini mau mengantarkanku pulang? Aku memasang wajah tak percaya menatap ke arahnya. Ia tetap dengan ekspresi santainya.
“Kenapa? Tawaran Cuma sekali ya…” aku masih terdiam kaku. Benar-benar tidak tahu akan bagaimana.
“Yaudah, kalau nggak mau!” karena tak kunjung mendapatkan jawaban dariku, ia melangkah menjauhiku yang masih berdiri diam mematung. Ia menoleh ke belakang, dan agaknya ia berubah pikiran.
“Yaudah, yuk! Udah semakin malam.” Ia menarik tanganku. Bagaikan mendapatkan aliran kehidupan, tubuhku pun kembali bisa bergerak. Meski mulutku tetap tertutup rapat, kakiku bergerak mengikuti jalannya, dan, dengan tangan yang masih dalam genggamannya.
Kira-kira berjalan sudah sepuluh meter, kuberanikan diri berbicara dengannya.
“Mm.. maaf” ia menoleh padaku, “Tanganku, berapa lama lagi akan kamu pegang?” ia rileks mencampakkan tanganku, sepertinya ia baru sadar kalau dari tadi tangannya tengah menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum menertawainya, sementara ia membuang muka dariku, mungkin mukanya memerah.
“Udah, nggak usah malingin muka kamu, ini udah tengah malam dan cahaya bulan redup, aku nggak bakalan liat kalau mukamu memerah.” Ledekku. Aku heran kenapa kalimat ledekan itu dengan lancar kuucapkan.
Setelah kami hampir memasuki kawasan jalan Gajah, ia terhenti, aku ikut berhenti. Aku sudah mulai mengambil ancang-ancang kalau-kalau ia mulai iseng menakut-nakutiku. Tapi agaknya aku salah, mukanya yang sedari awal nampak santai, kini terlihat serius sekali. Ia menoleh ke arah langit lalu kembali menatap wajahku.
“Ia, kamu benar, warna mukaku takkan terlihat olehmu, tapi aku yakin, ekspresi wajahku dapat terlihat jelas olehmu. Di redupnya bulan, aku ingin mengutarakannya sebelum terlambat. Aku menyukaimu, dari awal kita bertemu di acara perkenalan kampus mahasiswa baru. Mungkin kamu tidak menyadari sedari awal aku sudah memperhatikanmu. Makanya aku santai, bahkan senang ketika tadi senior mengolok-olok kita berdua. Aku sungguh menyukaimu, wahai perempuan unik. Di redupnya bulan, biar ia menjadi saksi hatiku. Hatiku yang menginginkanmu.” Kutatap lekat wajahnya, entah kenapa lama-kelamaan ia semakin mirip Lee Min Ho, artis idolaku yang tengah naik daun.

Redupnya bulan berganti silaunya cahaya matahari. Kuperhatikan sekelilingku. Aku berada di rumah orang tuaku, di kampung. bukan di kosan. Lantas, yang kurasakan bertemu dengan Lee Min Ho itu? Ahh…


(* teruntuk sahabat yang sangat menggilai artis korea ^_^

Continue reading

Kamis, 21 Agustus 2014

Oh... Dia!

Kelasku masih 20 menit lagi, di ruang B3 juga masih ada perkuliahan. Tidak ada pilihan lain bagiku selain menunggu di perpustakaan. Kebetulan, ada buku yang ingin kucari sebagai penambah referensi di kelas filsafat nanti. Rak-rak buku yang bersisian itu kutelusuri satu per satu, akhirnya kulihat buku yang kucari ada pada rak yang menjulang sampai ke atap itu, ia tepat berada di tingkat paling atasnya. Tubuhku yang sedang untuk ukuran tinggi seorang perempuan itu sudah melompat-lompat, tetapi nihil. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Tiba-tiba ada tangan yang tegas dan panjang menjangkau ke atas rak yang sama dengan rak buku yang kuinginkan. Seketika aku ingin meminta pertolongannya, tetapi aku tertahan ketika melihat buku yang dipegangnnya adalah buku yang kumaksud. Terlebih, aku ternganga melihat sosok bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang itu tengah menatapku.
“Buku ini?” sepertinya ia memang bermaksud membantuku mengambilkan buku itu. Aku terperangah mengambil buku itu dari tangannya.
“Eh, terima kasih.” Ucapku sambil malu-malu
“Sama-sama.” Ucapnya sambil melayangkan senyum simpul yang sukses membuatku tersipu. Senyuman manis itu takkan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
lama terdiam, aku membalikkan tangan kiriku, arlojiku sudah menunjukkan pukul 09.33 itu artinya 7 menit lagi kelas filsafatku akan dimulai.
“Eh, aku ada kelas sebentar lagi. Duluan ya.” Ucapku buru-buru dengan diburu detak jantungku sendiri. Selama di perjalanan ke kelas, tak hentinya aku memikirkan tentang lelaki tadi.
Tiba-tiba saja suasana kelas yang tadinya gaduh berubah menjadi tenang setelah salah satu temanku mengisyaratkan ke seluruh isi kelas kalau dosen sudah datang. Buku yang kupegang masih tertutup rapi di hadapanku, sedangkan pikiranku masih tertuju kepada laki-laki di perpustakaan tadi. Niat ingin mengikuti perkuliahan dengan serius dan turut aktifku di hari itu gagal total. Jangankan untuk mengangkat tangan, mencatat isi perkuliahan saja aku tidak.
Pikiranku benar-benar terganggu dan tersita oleh sosok lelaki tadi. Siapa dia?Kenapa aku tak pernah melihatnya selama ini? Dan… kenapa perasaanku seperti ini setelah melihatnya? Pikiranku bertanya-tanya sendiri, pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan jawabnya, meski aku sudah sampai di kosanku.
Aku duduk termenung di depan jendela kamarku. Mengingat-ingat di mana wajah tegas dan teduh itu pernah kutemui. Menerawang dari balik jendela, menembus pepohonan yang mulai rindang menutupi kamarku, berjalan menuju lorong waktu di sekat-sekat memori yang tersisa di otakku, menuju masa lalu.
“Kamu tau, kenapa aku selalu betah bermain di sini?”
“Karena pemandangan dari sini sangat cantik sepertiku.”
“Hahaha… sebenarnya ada rahasia hidupku di sini?”
“Apa?”
“Dulu, ketika sudah tidak kuasa menahan rasa sakit dan ingin menghindar dari segala cacian anak orang-orang kaya itu, aku ingin mengakhiri hidupku di sini.”
“Maksudnya lompat ke situ?”
“Iya. Tapi, ketika kakiku sudah hampir terpeleset, tiba-tiba aku ingat kamu. Aku ingat janji kita. Aku takut kamu kecewa dan marah sama aku, aku takut kamu kesepian.”
Oh..Dia!
Ya… kini aku ingat siapa kamu. Kamu adalah laki-laki masa laluku, sahabatku satu-satunya di Panti Asuhan Muara Kasih. Kita terpisah sehari setelah percakapan sore itu di atas taman bunga. Ada keluarga kaya yang mengadopsimu, kita benar-benar kehilangan kontak. Seminggu sesudah kamu pergi aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku harus amnesia. Tidak ada yang aku ingat, bahkan ibu panti. Dari semua yang aku tak ingat, aku hanya melihat bayanganmu dalam setiap aku mencoba mengingat sesuatu. Lama aku mencarimu, dan tadi, aku bertemu denganmu untuk pertama kalinya setelah sekian lama penantianku.

Aku tersentak. Ya, aku harus menemuimu. Aku bergegas keluar untuk kembali ke kampusku, dengan berharap kamu masih ada di situ menungguku.

Continue reading

Senin, 18 Agustus 2014

HATI YANG BERMUNAJAT ASA

Biarlah
Langit berputar pada inginNya
Bumi berkelok di izinNya
Segala buncah merabah dalam sengit ceracauan
Ingin yang tak sejalan
Hendak yang tak terkabulkan

Satu denting kemudian air membah tak kira
Selenyap senyawa deru angin
Kusam menjarah
Bara pepanas tambah hadirnya risau resah

Kalut
Pinta tak pernah kabulkan
Mohon yang tak jua dengarkan
Sayatan jerit tangis bahkan,
Jangankan sentuh hatinya
Buatnya merasa pun enggan

Hibahkan iba hanya pada yang Maha Kasih
Pinta janjiNya
Untuk hati terluka,

Yang selalu bermunajatkan asa

Continue reading

Minggu, 17 Agustus 2014

kepada yang bertanya

Ada ketakutan menakuti
Bahkan kala hidup normal dijalani
Tidak ada yang salah
Juga tak harus menguji alibi
Entah apa
Rasa itu mengikuti dan memerintah imajinasi
Untuk menjauh
Untuk sembunyi
Untuk diam
Agaknya akan sampai waktu lama
Tak terhitung sampai detik ini
Masih betah menerka2 maksud setiap yang datang mencari
Sambil menggigit jari menghindari

Barangkali..
Menghilang dalam waktu jenuh lah
Membebaskan setiap kuli tanya menerka sendiri
Sampai bosan mencari
Sampai waktu berhenti
Dan normal kembali

Continue reading