Recount
“Kreeeeeek!” suara pintu memanja, seperti menunjukkan bahwa sudah lama
ia dibiarkan, tak pernah dibuka dan disentuh. Ketika seluruh ruangan sudah
tampak dari luar, beberapa jaring-jaring halus melambai-lambai menyambut
kedatangan tamu yang mungkin sudah lama dinanti-nantinya. Beberapa ekor
laba-laba kecil tersenyum malu, dibarengi debu-debu yang menempel di
dinding-dinding ruangan yang minta dimandikan.
“Sudah berapa lama kamar ini tidak ada orangnya?”
“Kira-kira, sejak Nika wisuda tujuh bulan lalu, belum lagi ada mahasiswi
baru yang datang kemari.” Suara ibu pemilik kamar itu penuh harap.
Wajah ragunya menatap laki-laki yang mematung di bawah sarang laba-laba
meminta persetujuan. Ia sepertinya enggan, tetapi kasihan dengan ibu berbadan
kurus itu.
“Begini saja, Bu, kami sudah lihat kamarnya, sudah tahu juga tarifnya,
kami bicarakan lagi dengan orang tua kami, nanti kami balik lagi ke sini.” Ibu
tua itu hanya mengangguk ragu, sepertinya ia tampak sedih.
Keduanya kemudian berjalan menjauhi kamar paviliun yang jika dilihat
dari luar tampak mewah itu.
“Kamu ragunya kenapa?”
“Kamarnya sih mungkin bagus, kalau diberesin. Tapi masak kita yang
bersihin kamarnya? Ibu itu dong A!” lelaki itu tertawa.
“Kamu ini! Ya jelas ibu itu lah yang bersihin kamarnya, tapi nunggu kita
setuju dulu, ntar kalo udah tau kamu mau nempatinnya kapan, bakal dibersihin
juga kok sama ibu itu.”
“Kira-kira tempatnya beneran bagus ga A?”
“Nika itu kan kakak senior temanku, katanya Nika betah kok di sana.
Ibunya juga ngga cerewet kaya ibu-ibu pemilik kosan biasanya.”
“Jadi menurutmu, aku ambil aja?”
“Udah, kita tanya sama ibu dulu.”
Begitulah mulanya Dewanda yang pindahan dari salah satu universitas di
Bandung itu memilih tinggal di salah satu kamar di kota kecil ini. Kepindahan
yang awalnya sangat ditentangnya itu pun membawanya masuk ke kehidupan –yang
katanya aneh– mahasiswa di kota kecil ini.
Kami diperkenalkan saudaranya ketika tidak sengaja bertemu di GOR,
tempat banyaknya warga kota ini berolah raga pagi (mulai dari jogging, senam, atau
sekedar bersepeda). Gadis yang ketika perkenalan pertama itu sangat teliti
menatapku dari ujung kepala sampai ujung sepatu olah ragaku itu, jujur kuakui,
kurang kusukai. Meski ketika itu aku maklum, dia yang dari kota besar ketemu
dengnaku yang anak kampung, mungkin agak risih dengan penampilanku.
“Kok bisa temenan sih, A?” katanya ketika itu pada saudaranya.
“Teman kan bisa kita temui di mana aja, De, dan kebetulan kita punya
hobi yang sama, jadi ya… nyambung aja temenan.” Aku hanya senyum-senyum saja
mendengarnya. “Dan, kamu bisa belajar banyak dari dia mengenai adat dan
kebiasaan orang di sini, biar ngga salah gaul.” Aku tahu betul, gadis yang
sangat modis itu sangat enggan dekat denganku, tetapi saudaranya tahu,
keterpaksaan membuatnya takkan bisa menolak. Sekarang, jangan tanya seberapa
manjanya gadis itu padaku, bahkan menyamakan kemanjaannya kepada saudaranya.
*
Kenapa dia harus pindah ke kota ini dan meninggalkan kampus, teman,
serta gaya hidupnya di sana? Ketika itu aku cukup terkejut mendengar cerita
Dewangsa bahwa mereka adalah saudara kembar identik. Kupikir, kembar identik
awalnya adalah isilah untuk dua orang yang berwajah sangat mirip saja, ternyata
bagi mereka adalah kembar yang tidak bisa dipisahkan.
“Wanda sering sakit di sana, bahkan ibu justru lebih sering di sana
ketimbang nemenin ayah. Sebenarnya dari kecil kami emang ngga pernah dipisahin.
Lulus SMA, dia lulus PMDK di sana tapi aku nggak. Pas ujian SNMPTN aku ngambil
di sana satu dan di sini satu, eh.. malah lulus pilihan yang di sini. Makanya
kami pisah. Awalnya sih ibu emang udah ragu ngizinin kami kuliah di kampus
pilihan masing-masing, tapi si Wanda kan pinter ngomong, jadi dia berhasil
ngebujuk ibu. Dan, baru hari kedua di sana, dia udah masuk rumah sakit.”
Mendengar cerita Wangsa, aku baru mengerti kenapa ia sangat memanjakan
dan memprioritaskan saudaranya dari apapun. Sumpah! Siapapun yang tahu
bagaimana Wangsa menyikapi saudaranya, bakalan iri.
“Dia maksa banget aku yang harus pindah ke sana, bukan dia yang pindah
ke sini, ketika ibu sama ayah bilang kami harus satu kota lagi. Tapi aku punya
alasan kuat kenapa kita lebih baik tinggalnya di sini aja. (waktu itu Wangsa
terikat kontrak dengan salah satu daerah sebagai atlet bayaran). Akhirnya, dia
mau nggak mau pindah ke sini, meski akhirnya cuma diterima di kampus swasta.”
Obrolan sore itu akhirnya memberikan satu kesimpulan, ternyata Wangsa
bercerita panjang lebar demi untuk membujukku mau menemani dan mengenalkan
apa-apa yang harus diketahui saudaranya selama tinggal di kota ini. Ia tidak
mau saudaranya salah gaul dan tidak disukai oleh masyarakat kota ini yang
katanya, adat basandi syaraknya masih sangat kental.
Aku yang akhirnya mendekatkan diri pada Dewanda. Meskipun sebenarnya
Wandalah yang membutuhkan aku, tetapi sebagai tuan rumah, aku rasa aku yang
harus agresif. Aku masih ingat, sore itu Wangsa menjemputku untuk datang ke
kontrakan Wanda.
“Bawa baju, ya. Nginaplah semalam, di sana.” Aku mengiyakan saja
permintaan sahabatku kala itu.
Mungkin sudah mendapatkan suntikan dari Wangsa, Wanda sore itu tampak
lebih sopan padaku. Ia tampak berusaha menunjukkan bahwa ia memang butuh aku,
satu-satunya teman yang baru ia punya setibanya ia di kota ini.
Panjangnya obrolan kami dari sore hingga malam itu, akhirnya mencairkan
kekakuan hubunganku dengan Wanda. Ia yang memang cerewet, mengimbangi aku yang
sedikit pendiam (eehmmm). Dan tanpa terasa, Wanda yang memang manja itu sudah
seperti adik sendiri bagiku hari itu.
“Teteh, makasih ya.. udah nunjukin kalo A Wangsa emang ngga salah pilih
sahabat. Ternyata teteh menyenangkan.” Hahaha… aku tertawa saja menanggapi
kalimatnya itu.
*Ini adalah recount dari catatan harian yang ditulis Dewanda, dan
menantangku untuk menulis versiku sendiri. ^_^ #RecountWandaPart1