Sabtu, 28 Mei 2016

Part III


Senja Di Ujung Rindu


Tubuh yang dulu ketika berpisah dengannya adalah tubuh yang tegap dan kuat, kini terlihat pucat dan ringkih. Sangat kurus. Jo mendekat.
“Maafkan aku, Sandy…”
“Kenapa kamu tidak datang?”
“Aku… penyakit pelupaku. Aku keliru. Kupikir tanggal 29 kemarin adalah tanggal 22.”
“Jadi kamu, datang seminggu setelah kita janjian?”
“Iya, aku datang, dan aku juga kesal hari itu. Maafkan aku.” Sadar semua mata keluarga Sandy tengah menatap padanya…
“Maaf om, tante, kak. Saya baru datang.” Tidak ingin merusak suasana, ketiganya hanya mengangguk lemah.
“Tadi aku ke rumah, Buk Timah bilang kamu kritis.”
“Kabelnya lepas, padahal Sandy lagi tidur. Dia nggak apa-apa.”
“Syukurlah.”
“Jadi, kapan kamu sadarnya kalau kamu salah tanggal?”
“Hm… tadi kalender di kamarku jatuh, tiba-tiba kepikiran ‘jangan-jangan aku yang salah tanggal’ trus dikasih tau Je kalau hari ini tanggal satu. Aku langsung panik dan langsung ke rumahmu.”
Sandy tertawa sampai batuk. Darah terpercik dari mulutnya. Kemudian matanya menutup. Semua yang di ruangan tersebut panik. Dokter dan beberapa perawat kembali lagi, lengkap dengan peralatan yang sebelumnya juga telah dibawa masuk ruangan.
“Mohon menunggu di luar”
Semuanya menurut patuh. Tampak mama Sandy langsung menangis dan ditenangkan oleh suaminya. Jo mendekati kakak Sandy.
“Sejak kapan Sandy sakit, Kak?”
“Ketahuannya sejak hari minggu, ng… tanggal 29. Tapi kata dokter, Sandy sudah lama merasa sakit, setahun. Sandy merahasiakan dari semua.”
Jo terkesiap. Setahun?
“Apa itu kak?”
“Serviks stadium akhir.” Jo terdiam. Tidak nafsu untuk bertanya-tanya lagi. Ditatapnya ke luar jendela. Silau mentari senja yang hangat membawa hatinya remuk. Di penghujung rindunya yang ingin ia luapkan, Sandy malah terbaring lemah. Jo bersalah.
“Dia nunggu kamu, Jo” mata Jo mulai kabur, kepalanya yang menunduk dalam membuat air matanya tertahan di ujung pupil matanya menghalangi pandangannya.
Dokter keluar dari ruang rawat dengan membawa raut kusut.
“Kenapa dokter?”
“Sandy sudah pergi.”
Tangisan pecah saat itu juga. Dari mama, papa, kakak, juga Jo. Haruskah seperti ini akhirnya? Rindunya terbayarkan dengan duka mendalam di penghuung senja awal bulan Juni.
“Dia emang cuma nunggu kamu, agar bisa tenang pergi, Jo.”

Jo tidak peduli dengan jenis kelamin laki-lakinya. Tangisnya keras sampai tersedu-sedu. Meraung, menyesali perpisahan selama dua tahun, menyesali perjanjian bertemu yang terlambat karena keteledorannya. Jo bodoh! Kini Sandy memang telah pergi dengan tenang, karena sudah bisa menatap Jo di ujung usianya. Namun tidak dengan Jo. Ia menderita dalam duka yang dalam.
END

Selamat Jalan Sandy...
semoga kau bahagia dan tenang di sana

Continue reading

Part II

Senja Di Ujung Rindu


Elektrokardiograf mengeluarkan bunyi tuuut panjang. Ruangan rawat yang sepi itu seperti meminta perhatian perawat dan dokter jaga untuk segera datang. Tiada orang lain di ruangan selain pasien yang keliatannya sedang sekarat.

dokter dan suster berlarian menuju ruang rawat Ambun Pagi itu. Meja beroda yang berisi peralatan medis itu ikut didorong ke dalam ruangan.

"Siapkan defibrilator!" Perintah dokter dengan suara tegas.
*

Bingkai foto di atas meja tiba-tiba terjatuh. suara pecahnya memilukan. Jo yang baru saja keluar dari kamar mandi segera memungutnya. kenapa bisa terjatuh? 

Perasaan Jo mulai tidak enak. Apa ada sesuatu yang terjadi pada gadis yang tengah tersenyum di dalam foto itu? Jo berjongkok memungut satu per satu pecahannya. Kemudian berdiri hendak mencari kantong plastik, namun kepala Jo membentur meja sehingga kalender meja ikutan terjatuh.

diliriknya kalender tersebut. Tanggal berapa sih, hari ini?

"Ada apa?" Adik Jo datang demi mendengar suara pecahan dari luar.
"Tanggal berapa sih, sekarang?"
"Tanggal 1 Juni"
"Hah?" Diliriknya kalender yang masih di tangan kanannya. Jangan-jangan selama ini...
"Sial! gue telat seminggu!" diletakkan pecahan kaca di tangan kirinya di atas meja, kemudian menyambar jaket kulit di atas kasur, dan berlari ke luar.
"Mau ke mana?"
"Menjemput janji!"
*

Tok..tok..
Krek! pintu dibuka dari dalam, seorang wanita paruh baya dengan daster batik memasang wajah heran begitu melihat siapa yang datang.
"Sandy..."
"Sandy lagi sekarat, barusan semua pada ke rumah sakit gitu dapat telepon. kamu kok malah ke sini?" mata Jo membesar. Sandy sekarat? sejak kapan ia sakit? kenapa tidak memberitahunya?"
"Rumah sakit mana, Buk?"
"M. Djamil. Paviliun Ambun Pagi."
"Oke, makasih Buk." Jo segera melesat ke rumah sakit. Di perjalanan ia mengutuk dirinya sendiri. Kalau sampai terjad apa-apa dengan Sandy, ahh...
*

"Dok, kabelnya lepas." Seorang perawat menemukan kabel elektrokardiograf yang lepas. Sehingga, kepanikan itu terjadi. segera dipasangnya kembali kabel tersebut hingga grafik di layar monitornya berjalan normal kembali.

"Defibrilatornya tidak jadi, Dok?"
"Tidak." Semuanya lega. Pasien baik-baik saja. Kalau terjadi apa-apa dengan pasien, tentu keluarganya akan sangat menyayangkan pemberitahuannya tadi bahwa pasien dalam kondisi stabil dan boleh ditinggal.

"Sandy!" Orang tua dan kakak perempuan Sandy masuk ruangan dengan mata basah. Dokter menggaruk kepalanya yang tidak gatal,
"Anu, maaf Bu, Pak, atas kecerobohan kami. Sandy baik-baik saja. tadi kabelnya lepas."
"Ya Tuhan, syukurlah."
"Maaf, tadi saya yang menelepon, Bu. Maaf saya langsung panik menelepon tanpa mengecek terlebih dahulu."
Keluarga mengangguk maklum. Mendengar kenyataan Sandy baik-baik saja sudah menjadi tebusan atas kecerobohan perawat itu.

"Ma..." Sandy membuka mata. tidur panjangnya terganggu suara bising di ruangan tersebut.
"Baik, kami permisi." dokter dan para perawat meninggalkan ruang rawat Sandy.
"Katanya tadi pulang, kok balik lagi?"
"Nggak papa, nak." mama menggenggam tangan kurus tersebut. mencurahkan kekhawatirannya. nafas lega dihembuskannya.
"Sandy!" semua menoleh ke arah pintu.
Jo?
*

Continue reading

Jumat, 27 Mei 2016

Part 1

Senja Di Ujung Rindu

Silau. Matanya menyipit dari terpaan sinar matahari yang bertahan dari kerasnya deburan ombak. Rambut Ikal sebahunya menari-nari disapu angin pantai. Tangannya masih dilipat di depan dada kala kakinya dijilat-jilati air laut. Raut gusar itu tak dapat disembunyikan pantulan jingga air laut. Sesekali kegelisahannya memutar kepalanya ke arah daratan. Nihil. Ia tak melihat sosok yang dikenalnya.
Bola mata coklatnya memantulkan kerinduan. Dua tahun berpisah, dan hari ini adalah hari ia berjanji untuk mengobati rindunya itu.
Ah... zaman saja yang canggih. Ia tak bisa menghubunginya.
“Cis... nomornya tidak aktif. Lupakah ia punya janji denganku? Bukankah tanggal dan waktu telah ditetapkan dari sebulan lalu? Lantas, kenapa kali ini ia tak datang?” batinnya gusar.
Sampai sayup-sayup azan terdengar membuyarkan gelisahnya. Dilemparkan kotak kecil di tangannya, kemudian badannya membalik, kembali ke daratan. Ia pulang dengan setumpuk kecewa. Rindu yang tak terbayarkan.
(Minggu, 29 Mei 2016 pukul 18.00 di Pantai Purus)
*
Rambut pendeknya mulai basah ditetesi hujan. Binar matanya menahan kakinya untuk tak beranjak dari tempatnya berdiri. Hari panjang yang dilewatinya sudah merindukan hari ini. Ia akan menjumpai terkasih dari rantau untuk bertanya kabar dan membawakan banyak cerita yang tak dapat dibaginya selama ini. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kotak ukuran sedang rapi dengan pita biru.
Ombak menghempas onggokkan bebatuan, memuncratkan air ke wajah pasinya. Senyum masih setia di sana. Meski sebenarnya ia menunggu dalam ketidakpastian.
Senja yang merona mulai perlahan tenggelam. Rinai hujan belum juga reda. Ia mulai gelisah. Tapi rasa percaya yang selama ini dipeliharanya masih menyimpan harapan.
“tunggu sepuluh menit lagi”
Hingga sepuluh menit pun berlalu, dan orang-orang di sekitarnya mulai kembali. Ia mulai memahami sendiri. Kalau penantiannya ternyata tak ada hasilnya. Wajah kecewa pun sangat jelas tergambar di rautnya. Perlahan, ia pun melangkah meninggalkan tempat itu.
(Minggu, 22 Mei 2016 pukul 18.00 di Pantai Purus)
*
“Kamu makan dong, badanmu udah makin kurus gini,” kepalanya menggeleng lemah. Muka pucatnya masih menyimpan luka. Sampai hari ini, tepat seminggu setelah ia tak menemukan kabar sang terkasih, bola mata yang tidak jernih itu memendam duka.
“Kakak suapin, ya!” Perempuan yang menyebut dirinya kakak itu membelai rambut pendeknya yang mulai banyak habis dimakan obat-obatan kemoterapi.
Demi menghargai kakaknya, ia mengangguk lemah. Di Ruangan dengan banyak peralatan medis itu, matanya menatap poster bergambar kanker serviks yang setahun ini mendiami tubuhnya.
Apa Jo tau, ia tengah menderita kanker hingga enggan baginya untuk bertemu? Entahlah..
Di Senja yang silauannya menembus kaca ruang perawatannya, ia menerawang. Berharap Jo memberi kabar untuk keterlambatannya selama seminggu ini.
(Minggu, 29 Mei 2016 pukul 17.30 di ruang rawat RSUP M.Djamil)
*
Pandangan Jo sendu menatap langit-langit kamarnya. Sudah sehari ia tak mendapat kabar dari Sandy perihal kenapa ia tidak datang menemuinya kemarin. Apakah Sandy baik-baik saja? Diambil ponsel dari kantong celananya, memencet-menceti nomor Sandy. Nihil. Tetap tidak aktif.
Sebenarnya Jo bisa saja menghampiri ke rumah Sandy, tapi ia menjaga egonya. Ini kesalahan Sandy, harusnya Sandy yang menghubunginya dan meminta maaf. Terlebih Jo mulai khawatir Sandy dijodohkan orang tuanya, hingga tak dapat menemuinya kemarin.
Jo ingat betul ketika terakhir kalinya ia menelepon dari Singapura bahwa ia akan kembali di hari Minggu dan berjanji untuk bertemu di Pantai Purus, tempat pertama kali mereka kenal empat tahun yang lalu.
(Senin, 30 Mei 2016)
*

(* bersambung

Continue reading

Kamis, 26 Mei 2016

Adin

Aku menemukan sebuah tempat yang membuatku mulai mengerti dengan kata ‘nyaman’ yang sering kudengar dari ucapan orang-orang dewasa. Di tempat ini, entah mengapa keringat rasanya ciut untuk keluar, geligi tak mau absen melihat dunia sekitar, dan lesung pipiku yang dalam selalu ingin pamer pada alam. Sejuk, senang, tenang, dan nyaman. Tak ada suara bising, tak ada tawa lepas yang entah apa lelucon yang baru saja pecah, tidak ada suara kenalpot motor yang seperti ingin terbang. Tidak ada manusia yang diam-diam memerhatikanku.
Bertemankan pensil dan kertas-kertas yang kujepit di papan mika, aku mulai asyik dengan duniaku sendiri. Menulis dan menggambar. Kata orang tuaku, semenjak aku sudah bisa memegang pensil, aku selalu meminta kertas, buku, atau apa saja yang bisa kucoreti. Semenjak kelas 4 SD, aku mulai menyukai kegiatan menggambar, kelas 6 SD aku mulai belajar menulis cerita.
Kubalik kertas keempat yang sudah penuh berisi cerita dan gambar-gambarku, tiba-tiba ponselku bergetar. Di tempat sesunyi ini, aku bisa mendengar getaran ponselku dari dalam tas. Setelah diperiksa, kakak sulungku memanggil, dengan ogah-ogahan aku mengangkatnya.
“Din! Kamu di mana?”
“Masih sibuk, kak.”
“Kamu cepetan pulang, gih! Ada teman kakak mau datang, bantuin beres-beres rumah.” Kemudian telepon terputus. Itu artinya, aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan kakakku.
Di perjalanan pulang, aku bertemu dengan abang penjual es tebu yang mengayuh pelan sepedanya. Jakunku naik turun, rasanya haus sekali, tetapi dari wajahnya, abang es tebu sedang tidak ingin didekati, ia mungkin lelah dari tadi menolak permintaan anak-anak yang ingin membeli es tebunya. Es tebunya sudah laku terjual. Sial.
Wangi apel menyambutku ketika kubuka pintu rumah. Lantai licin itu memantulkan bayangan setiap perabotan di dalam rumah. Sepertinya kakakku sudah selesai membereskan rumah sendirian. Aku agak kesal, tau gini, kenapa aku harus pulang? Kan kakak bisa menyelesaikan sendirian!
“Kamu lama banget sih! Udah selesai beres-beres rumahnya baru sampai. Pinter banget mengatur momen.”
“Ih, kakak kalau bisa ngerjain semua sendiri, kenapa nyuruh aku cepat pulang? Aku masih nanggung tau!” kakakku mencibir kemudian menarik tanganku masuk ke dapur.
“Nih, kamu kupas-kupasin buahnya, cuci, lalu blender, sepuluh menit lagi tamunya sampai.” Kuletakkan tasku di kursi, kemudian mencuci tangan, dan mulai nurut sama tugas dari kakakku.
Benar saja, saat blender masih terputar, aku mendengar suaa ketukan pintu di depan. Cepat-cepat kuambil gelas dan mengolesi dengan susu cokelat. Kuintip ke ruang tamu sebentar untuk memastikan berapa gelas aku harus menyiapkan jus. Tiga dengan kakakku.
“Wah, repot-repot segala.” Kata seorang tamu yang bertubuh paling besar. Aku hanya tersenyum sebentar, kemudian mengedarkan pandanganku ke arah wajah dua tamu kakakku itu. Wajahku langsung berubah heran, kenapa bisa kakakku yang pendiam berteman dengan orang-orang seperti mereka?
“Sillahkan diminum, bang.” Ujarku singkat berbasa-basi.
“Iya terima kasih. Eh, kamu di sini aja ikutan ngobrol” ujar yang berbadan besar itu lagi. Aku menurut duduk di samping kakakku.
“Jadi, kamu yang namanya Adin?” aku melirik kakakku, kenapa temannya kenal denganku? Kemudian aku mengangguk.
“Wah, kami pikir kamu ini badannya kecil dan imut seperti kakakmu, tapi beda banget, ya?” kakakku tertawa.
“Yang mirip sama aku si Alvin, si Adin mah beda sendiri.” Aku semakin penasaran dengan dua orang ini. Kenapa sampai-sampai dengan adik-adik kakakku mereka seolah sudah tau?
“Jadi, kamu benar, mau jadi penulis komik? Boleh kami lihat karya kamu?” ku menoleh lagi ke arah kak Alya yang masih tersenyum. Kemudian memberikan anggukan sebagai kode agar aku mengikuti permintaan temannya yang berambut gondrong itu.
“Sebentar” jawabku, kemudian melesat ke dapur untuk mengambil tasku tadi.
“Ini, baru empat halaman yang kubuat sekitar sejam tadi.”
“Baru buat?” aku mengangguk. Kemudian keduanya bergantian membaca kertas-kertas itu. Aku kembali menatap kak Alya yang masih tetap tersenyum.
“Oke, kami tertarik dengan ilustrasi gambar dan bahasa dalam cerita kamu, berarti ini genre kamu?” aku menggeleng cepat.
“Aku bisa buat cerita cinta, dongeng, juga action.” (selain cerita humor yang baru saja membuat mereka tertawa membacanya).
“Wah… kita tekan kontrak aja sekarang gimana?”
“Ha? Kontrak apa?”
“Kontrak penerbitan.” Aku ternganga. Bagaimana mungkin, mereka baru membaca empat halaman ceritaku sudah yakin untuk melakukan kontrak penerbitan denganku? Ah… ini pasti kerjaannya Kak Alya yang memang suka mencuri-curi komikku untuk dibawanya ke kantor dan menyuruh rekan-rekan kerjanya membaca komikku.
Kak Alya mengambil alih situasi, “Kami bicarakan juga dulu dengan orang tua kami, besok atau lusa, kita bisa ketemu lagi untuk membcarakan kontraknya, gimana?” Kak Alya mengedipkan matanya, dan keduanya mengangguk setuju. Setelah menyeruput jus terakhirnya, keduanya berpamitan pulang.
“Adin, jus buatanmu enak.” Kata si abang berbada besar di depan pintu.
“Dan, kupikir kamu itu cewek, ternyata kamu sebangsa kami.” Ujar si rambut gondrong yang membuat kami berempat tertawa.
“Jadi, mereka itu siapa, Kak?”
“Mereka rekan bisnis kantor, dan kemarin siang ketika jam istirahat, mereka gabung sama kami di cafe dan tertarik sama komik kamu yang kakak bawa kemarin. Langsung deh, nawarin kerjasama.” Aku tersenyum. Ternyata ini maksud Kak Alya menyuruhku segera pulang.

“Jadi, mulai sekarang, kamu harus percaya sama apa yang dikatakan lingkunganmu soal karya-karya kamu. Jangan minder lagi, dan jangan judge orang tua dan saudara kamu memberikan pujian hanya karena kita adalah keluarga. Setuju?” Kak Alya mengedipkan matanya dan mengangkat tangannya. Aku hanya tertawa. Kemudian kubuka topi dan wig tebal yang menutupi kepala botakku. Kanker hepatoma telah merenggut rambut-rambutku, yang membuatku terkesan seperti seorang anak laki-laki.

Continue reading

Rabu, 25 Mei 2016

Kaukah Bulan


Gelap. Listrik padam lagi. Malam ini, adalah malam ketiga kotaku dirundung kegelapan. Kali ini ada kemajuan, tidak hanya gelap, tetapi angin pun bertiup lumayan kencang. Kotaku yang panas, berubah agak sejuk, kerja kipas angin di kamar pun terbantu.
Kudongakkan kepala ke langit begitu tubuhku sudah berada di teras kamar. Tiada bintang, hanya bulan redup dan samar yang sinarnya seperti mendapatkan efek blur. Kusimpan kedua tanganku di kantong celana, berjalan ke depan pekarangan kos. Di sana sudah ada beberapa teman kos yang sedang duduk memamah camilan mereka. Aku memutuskan untuk bergabung, sendirian di kamar membuatku bosan.
“Udah malam ketiga, nih.” Sahut salah satu dari mereka begitu aku duduk. Mereka duduk melingkari pondok yang memang dibuat di halaman kos kami dengan bantuan sebatang lilin besar di tengahnya. Aku tersenyum.
“Rasanya mulai terbiasa dengan kegelapan.”
“Iya, tadi ketika di kamar mencari lilin, aku jadi merinding, membayangkan siapa saja di luar sana yang dari lahirnya hidup dalam hitam kelam. Betapa malangnya mereka.”
“Dan karena itulah, kita harus bersyukur kan?” kami pun tersenyum sambil mengangguk. Dalam hati ini, aku berucap alhamdulillah berkali-kali, atas nikmat penglihatan yang sudah 20 tahun kudapat.

Mereka masih asyik mengunyah camilan sambil membicarakan hal-hal ringan seputar kampus. Aku hanya diam mendengarkan. Karena aku adalah satu-satunya dari penghuni di kosan ini yang tidak pernah mencicipi bangku kuliah. Kutingkalkan orang tua dan kampung halamanku untuk mencari pekerjaan di kota kecil ini, sama seperti mereka yang meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk mencari ilmu dan mencari gelar sarjana.

Tiba-tiba aku ingin kembali mendongakkan kepalaku ke langit, aku melihat satu, dua, kemudian disusul bintang-bintang lainnya.
Kaukah itu, bulan? Berbisik mesra pada sang awan untuk tak menyembunyikan bintang malam ini?
Aku tersenyum menunjukkan bintang-bintang itu pada teman-temanku. Mereka akhirnya berseru.

“Yes! Nggak jadi hujan malam ini.”

Continue reading