Senja Di Ujung Rindu
Tubuh yang dulu ketika
berpisah dengannya adalah tubuh yang tegap dan kuat, kini terlihat pucat dan
ringkih. Sangat kurus. Jo mendekat.
“Maafkan aku, Sandy…”
“Kenapa kamu tidak
datang?”
“Aku… penyakit
pelupaku. Aku keliru. Kupikir tanggal 29 kemarin adalah tanggal 22.”
“Jadi kamu, datang
seminggu setelah kita janjian?”
“Iya, aku datang, dan
aku juga kesal hari itu. Maafkan aku.” Sadar semua mata keluarga Sandy tengah
menatap padanya…
“Maaf om, tante, kak. Saya
baru datang.” Tidak ingin merusak suasana, ketiganya hanya mengangguk lemah.
“Tadi aku ke rumah, Buk
Timah bilang kamu kritis.”
“Kabelnya lepas,
padahal Sandy lagi tidur. Dia nggak apa-apa.”
“Syukurlah.”
“Jadi, kapan kamu
sadarnya kalau kamu salah tanggal?”
“Hm… tadi kalender di
kamarku jatuh, tiba-tiba kepikiran ‘jangan-jangan aku yang salah tanggal’ trus
dikasih tau Je kalau hari ini tanggal satu. Aku langsung panik dan langsung ke
rumahmu.”
Sandy tertawa sampai
batuk. Darah terpercik dari mulutnya. Kemudian matanya menutup. Semua yang di
ruangan tersebut panik. Dokter dan beberapa perawat kembali lagi, lengkap
dengan peralatan yang sebelumnya juga telah dibawa masuk ruangan.
“Mohon menunggu di luar”
Semuanya menurut patuh.
Tampak mama Sandy langsung menangis dan ditenangkan oleh suaminya. Jo mendekati
kakak Sandy.
“Sejak kapan Sandy
sakit, Kak?”
“Ketahuannya sejak hari
minggu, ng… tanggal 29. Tapi kata dokter, Sandy sudah lama merasa sakit,
setahun. Sandy merahasiakan dari semua.”
Jo terkesiap. Setahun?
“Apa itu kak?”
“Serviks stadium akhir.”
Jo terdiam. Tidak nafsu untuk bertanya-tanya lagi. Ditatapnya ke luar jendela. Silau
mentari senja yang hangat membawa hatinya remuk. Di penghujung rindunya yang
ingin ia luapkan, Sandy malah terbaring lemah. Jo bersalah.
“Dia nunggu kamu, Jo”
mata Jo mulai kabur, kepalanya yang menunduk dalam membuat air matanya tertahan
di ujung pupil matanya menghalangi pandangannya.
Dokter keluar dari
ruang rawat dengan membawa raut kusut.
“Kenapa dokter?”
“Sandy sudah pergi.”
Tangisan pecah saat itu
juga. Dari mama, papa, kakak, juga Jo. Haruskah seperti ini akhirnya? Rindunya terbayarkan
dengan duka mendalam di penghuung senja awal bulan Juni.
“Dia emang cuma nunggu
kamu, agar bisa tenang pergi, Jo.”
Jo tidak peduli dengan
jenis kelamin laki-lakinya. Tangisnya keras sampai tersedu-sedu. Meraung,
menyesali perpisahan selama dua tahun, menyesali perjanjian bertemu yang
terlambat karena keteledorannya. Jo bodoh! Kini Sandy memang telah pergi dengan
tenang, karena sudah bisa menatap Jo di ujung usianya. Namun tidak dengan Jo. Ia
menderita dalam duka yang dalam.
END
Selamat Jalan Sandy...
semoga kau bahagia dan tenang di sana
Continue reading