D
|
erunya
memekakkan sekali, menjentik gendang telinga, jalanan yang berbatu-batu jadi
menambah kesan angker dan memilukan keadaannya yang sudah reyot, ditambah lagi
bau pesing yang menyengat menyayat indera penciuman. Salsa yang baru saja
sembuh dari sakitnya berasa ingin muntah. Berapa
lama lagi aku harus menderita? Aku sudah tidak kuat. Salsa merintih
sendiri.
Tiba-tiba
bus berhenti mendadak, membuat Salsa hampir terlempar ke kaca depan. Supir yang
tidak tahu arah jalannya ke mana, menunggu panitia yang akan memandu perjalanan
ini. Huh! Dengus Salsa kesal.
Sial
sekali rasanya Salsa hari itu, melakukan perjalanan studi tour tetapi harus
berpisah bus dengan teman-temannya, padahal empat temannya bisa satu bus.
Tetapi kenapa Salsa harus terpisah sendiri? Hanya orang asing yang bersamanya
sekarang, ditambah lagi Salsa dalam keadaan belum fit betul dari sakitnya.
Salsa membutuhkan teman selama perjalanan. Tetapi panitia melarangnya berpindah
bus karena kelompoknya memang berbeda jauh dari kelompok teman-temannya.
Perjalanan
dengan bus tua, jalanan rusak, bau pesing, duduk sempit serta membuatnya mual
benar-benar menjadi hukuman bagi Salsa selama perjalanan. Teman sebangkunya
yang aneh tidak sedikit pun mengeluarkan suara. Entahlah, orang-orang yang
berpenampilan seperti perempuan itu memang mempercayai suara itu adalah aurat,
diam itu adalah emas, dan Salsa tidak pernah merasa mengerti dengan alasan itu.
Begitu
lepas dan keluar dari besi reyot dan tua itu, Salsa berlari mencari-cari kamar
kecil, Salsa benar-benar tidak tahan pengen muntah. Anggra yang melihat
sahabatnya itu langsung menghampiri.
“Kamu
kenapa Ca?”
“Mual,
aku kepengen muntah! Sumpah nggak enak banget”
“Yasudah,
muntahin di sini aja, sepertinya tidak ada kamar kecil di sekitar sini, lagian
ini hanya semak-semak, tidak akan ada yang marah kalau kamu muntah di sini”
Anggra yang kasihan melihat wajah Salsa yang pucat pasi menahan muntahnya jadi
tidak tega. Dan tiba-tiba. Huek..huek.. cairan
itu akhirnya keluar juga.
* * *
Hamparan
hijau segar yang terpampang jelas di depan matanya tak mengusik kegalauan
Salsa. Padahal burung-burung telah bernyanyi meneriakkan kegembiraan. Namun
Salsa tetap setia dengan bibir manyunnya.
“Andai
saja dari awal aku tahu kalau kegiatannya seperti ini, membosankan dan tak ada
asiknya! Aku tak akan ikut, ditambah lagi kondisi badanku yg belum sembuh.”
Salsa meratap lagi, sedangkan perempuan yang berada di sampingnya hanya menoleh
sebentar dan diam lagi. Mana anak di
sebelah ini kaku banget lagi, nggak asik banget dapet teman sekelompok pada
pendiem semua. Salsa mengerlingkan matanya sebentar menatap teman-teman
kelompoknya yang sudah tampak lelah seperti dirinya. Tiba-tiba getaran dari
dalam kantong almamaternya mengagetkan Salsa, Ayu meneleponnya.
“Ya,
Ayu, ada apa?”
“Ca,
gimana kelompokmu? Wah... kelompokku asik-asik orangnya, kami kompak banget
deh, walau baru kenal, aku suka.” Salsa hanya terdiam mendengar ocehan Ayu.
“Kenapa
Ca? Kok diem aja? Kamu nggak papa kan?”
“Iya
Yu, nggak papa, aku hanya capek, selamat ya, kamu seneng banget ya kayaknya”
“Ada
apa sih Ca? Gimana kelompokmu?” Salsa berjalan agak menjauh dari teman-teman
kelompoknya, kemudian menjawab.
“Sama
sekali tidak asik dan tidak seenak posisimu Yu, teman kelompokku hanya satu
perempuan, dan dia sangat kaku, yang laki-laki pun begitu, pada pendiam semua.
Pokoknya aku ngerasa menyesal udah ikut hari ini. Sumpah nyesel!” Meski menekan
volume suaranya tetapi jelas Salsa benar-benar kesal.
“Wah,
maaf ya say, aku nggak tau kalau posisimu lagi nggak enak gini. Aku malah
cerita-cerita sama kamu.”
“Nggak
papa kok Yu. Selamat bersenang-senang aja ya sama teman kelompokmu!”
“yaudah
deh Ca, hati-hati aja ya, mudah-mudahan kita cepet ngumpul lagi biar kita
ketemu. Kasihan aku sama kamu” Ayu menutup teleponnya. Salsa hanya tersenyum
pahit dan kembali berjalan mendekati rombongan kelompok kakunya. Membosankan.
* * *
“Itu
dia busnya!” Seru Ari sambil menunjuk ke arah barat. Serentak semua kaget dan
menoleh ke arah datangnya bus tersebut. Akhirnya Salsa mendengar juga suaranya.
Anggota kelompok termuda itu memang hanya diam saja dari tadi. Hampir Salsa
beranggapan kalau anak itu tidak bisa bicara. Tetapi hal yang terpenting sekarang
adalah Salsa sudah berada dalam bus dan sebentar lagi akan bertemu dengan
teman-temannya yang terbagi ke dalam kelompok yang berbeda-beda.
Sesampainya
di pinggir pantai yang menjadi pelabuhan terakhir sebelum kepulangan ke kampus,
Salsa segera mencari-cari empat orang temannya. Mana sih mereka? pikirnya. Tiba-tiba ada seorang lelaki memukul
pundaknya dari belakang.
“Hai
kakak, nyari siapa sih dari tadi?” Salsa ternganga, tidak menyangka bertemu
dengan bocah usil itu di sini.
“Nyari
teman-temanku. Kamu lihat mereka?”
“Mereka?
Temannya ada banyak ya? Kupikir hanya satu, yang Anggra itu, kalian sering
terlihat berdua”
“Bukan,
kita ikut organisasi ini berlima. Sudah, kasih tahu saja, kamu lihat dia atau
tidak?”
“Saya
tidak tahu kakak, mungkin belum datang, atau lebih tepatnya belum dijemput
bus.” Salsa cemberut lagi, kepalanya sudah sangat pusing, tetapi teman-temannya
belum juga terlihat. Bagaimana kalau aku
pingsan dan tidak ada yang peduli? Lelaki tadi masih memperhatikannya,
“Kakak
kenapa sih? Pucat sepertinya.”
“Jangan
panggil saya kakak lagi! Saya tidak suka dipanggil kakak sama kamu!” Salsa
tiba-tiba jutek. Pria itu hanya tertawa.
“Yasudah,
maaf deh. Oya, kenapa musti tunggu teman-temanmu? Apakah teman-teman di sini
yang begitu banyak tidak bisa menjadi temanmu? Nggak boleh gitulah, masak hanya
mau temenan sama teman sejurusan saja?” Salsa menoleh lagi dengan mata sedikit
melotot.
“Bukan
begitu, tetapi aku butuh mereka sekarang”
“Apakah
aku tidak bisa membantu?”
“Tidak.
Karena kamu laki-laki”
“Oh...
masalah perempuan ya ternyata? Tetapi walau bagaimanapun, kakak eh Salsa
istirahatlah dulu, semakin pucat kelihatannya” pria itu mengajak Salsa duduk di
dekat rombongan kelompoknya. Salsa menurut saja, setidaknya dia sudah mengenal
siapa pria itu. Untuk sementara bisalah menemaninya sampai Anggra dan yang
lainnya datang.
* * *
“Kamu
ikut bus dua aja Ca, biar bisa sama-sama kami.” Anggra berbisik,
“Tapi
kan Ya, nanti kalau diabsensi panitia dan akunya nggak ada gimana?”
“Ah,
sudahlah, nggak usah pikirin. Yang penting kan kamu bisa nyaman sama aku, nanti
kalau pusing di busmu itu dan nggak ada yang peduli gimana? Ingat Ca, kepalamu
masih sangat pusing kan?” Salsa mengangguk dan ikut saja apa kata Anggra.
Selesai
acara penutupan, Anggra langsung menarik tangan Salsa dan menuntunnya menuju
bus dua, dengan mengendap-endap mereka menaiki bus. Ayu, Septi, dan Indah menyusul
di belakang mereka.
Salsa
langsung merebahkan kepalanya begitu sampai di dalam bus. Benar-benar penat
tubuh mungilnya seharian melakukan perjalanan yang menyebalkan, sampai-sampai
Salsa tidak menyadari dari tadi ada yang memperhatikannya. Anggra menyikut
Salsa yang menoleh ke luar jendela bus.
“Ada
apa sih Ya? Ganggu deh”
“Sst...
liat tuh! Diperhatiin mulu dari tadi sama dia” Salsa langsung menatap ke arah
Diego, si junior yang selalu menyapanya itu.
“Ada
apa?” Salsa spontan bertanya, Diego hanya tersenyum manis dan mendekati tempat
duduk Salsa dan Anggra.
“Tidak
apa-apa, hanya heran saja kenapa ada penghuni haram di bus ini” Diego dan Anggra
langsung tersenyum, Salsa hanya manyun dan meminta Anggra yang menjelaskannya.
“Aku
yang minta tadi Go, Ca lagi sakit.”
“Oh...
kamu sakit Sa? Sakit apa? Kenapa nggak bilang?” Salsa melotot
“Kenapa
musti bilang kalau kamunya nggak nanya? Aku sudah sembuh kok, hanya saja masih
sedikit pusing.”
Diego
hanya tersenyum dan tidak berkata-kata lagi dalam waktu yang lama. Namun,
tiba-tiba dia menyodorkan permen pada Salsa ketika Salsa hampir saja tertidur melihat Anggra sudah
tidur.
“Apa
ini?” kata Salsa dengan nada berbisik
“Baca
saja” Diego menjawab. Salsa membalik permen yang bertuliskan I need you itu. Salsa kaget. Tidak
mengerti apa maksudnya? Dia butuh aku?
Tapi kenapa? Kita kan baru kenal. Salsa hanya diam menyembunyikan
kebingungannya. Dan selama perjalanan mereka hanya saling terdiam.
Setibanya
di Sekretariat, lima sekawan langsung mencari posisi enak untuk istirahat
sejenak sebelum pulang.
“Ca,
kamu dekat dengan berondong itu?” Ayu yang memang penasaran dari tadi tidak
tahan untuk bertanya. Salsa terdiam untuk beberapa lama. Septi menyikutnya
“Ayo
donk Ca, jawab!”
“Aku
nggak deket kok sama dia, hanya saja sejak kenalan dulu dia jadi sering
menyapaku setiap ketemu,. Bahkan dari jauh pun dia selalu memanggilku, ya...
terkesan SKSD sih. Aku juga nggak ngerti. Udah ah, jangan tanya-tanya lagi”
Salsa masih bingung, terutama dengan sikap Diego, untuk apa Diego memberikan
permen bertuliskan I need you kepadanya?
* * *
Bila
sinar surya terang menerangi kita, kukan mendekapmu erat takkan kulepaskan,
walau kini engkau telah memilih dirinya, kukan selalu berharap, kukan selalu
menanti, untuk cinta...
Salsa
tertegun begitu mendengar beberapa bait lagu tersebut, ada kerinduan merasuk
dalam raganya, tidak terasa sudah empat tahun Salsa tidak pernah lagi punya pacar
semenjak pacarnya membawa kabur orang lain dan sekarang tidak tahu entah
kemana. Salsa menjadi trauma untuk kembali menjalin hubungan. Dan Diego yang
sekarang sedikit mencuri hatinya membuatnya galau. Apakah iya Diego
menyukainya? Mengingat Diego selalu saja mencuri-curi perhatiannya, dan pernah
memberikan permen bertuliskan I need you padanya, ditambah lagi sekarang mereka
semakin sering berkomunikasi lewat sms. Diego anak yang baik, dia ramah kepada
siapa saja terutama pada setiap perempuan. Diego juga sangat perhatian pada
Salsa. Tetapi bagi Salsa ini terlalu cepat, perkenalan mereka baru tiga bulan
dan mereka baru dekat sekitar dua bulan. Salsa tidak ingin gegabah dan salah
pilih lagi, Salsa sudah sangat trauma dengan kejadian di masa lalunya. Apalagi
usianya yang lebih tua satu tahun di atas Diego.
Sebenarnya semua itu
tidak begitu dipersoalkannya, toh Salsa hanya akan menjalani saja hubungannya
dengan Diego. Namun yang menjadi permasalahannya, Anggra ternyata juga menaruh
hati pada Diego, bahkan dari awal kenal dengan diego, sebelum Salsa menyukai
Diego. Tetapi Anggra tidak pernah mengungkapkannya kepada Salsa, Anggra merasa
minder karena Salsa lebih cantik dan lebih populer, ditambah lagi Diego memang
memiliki perhatian lebih pada Salsa daripada Anggra.
Salsa pernah bertanya
pada Anggra persoalan Diego, namun sayang Anggra tidak mau jujur pada Salsa.
“Ya, kita temenan udah
lama, dari kita pertama kuliah, jadi kuharap kamu tidak menyembunyikan apapun
dari aku.”
“Apa sih Ca?”
“Aku mau kamu jujur
sama aku, kamu suka kan sama Diego?” Anggra langsung kaget mendengar pertanyaan
Salsa. Anggra jadi salah tingkah.
“Pertanyaan aneh!
Jelas-jelas dia sukanya sama kamu, bukan sama aku Ca”
“Aku nanya kamu, bukan
nanya dia Ya” Anggra diam saja, Salsa menyambung lagi
“Bukan apa-apa sih Ya,
aku tau kamu luar dalam, dan aku tau kamu suka perhatiin dia. Aku Cuma nggak
mau aja antara kita nanti ada salah paham. Kalau memang kamu suka, mungkin aku
bisa lebih menjaga jarak dengannya. Dan jujur saja aku memang mulai suka sama
dia.” Salsa terdiam, menunggu reaksi dari Anggra, namun Anggra masih tetap
membisu. Salsa memegang tangan Anggra.
“Bagaimana menurutmu
Ya? Kamu mau aku mengalah? Atau mau kita bertiga berteman saja? Atau bahkan
kita berdua berjuang masing-masing secara sportif?”
“Ambil saja untukmu
Ca, aku tidak suka padanya, tidak sadarkah kamu selama ini aku selalu
mendukungmu dan dia? Kenapa kamu sampai berpikiran kalau aku suka? Enggak Ca,
enggak.” Salsa tau Anggra berbohong, dari tatapan matanya dan dari raut
wajahnya. Kenapa Anggra tidak mau jujur padanya padahal dirinya sudah berusaha
jujur pada Anggra?
“Yaudahlah Ya, maaf ya
kalo aku salah sangka. Kamu nggak akan berubah sama aku kan?”
“Haha... kamu ada-ada
aja Ca, nggak lah...” Anggra kemudian menoleh membelakangi Salsa dan
mencibirkan mulutnya.
Tiba-tiba
Diego meneleponnya, Salsa yang masih berada di alam fatamorgana kaget dan tidak
langsung mengangkat telepon dari Diego, karena ini pertama kalinya Diego
meneleponnya. Salsa meraih hapenya dan dengan ragu menjawab,
“Ya
Go, ada apa?”
“Lagi
apa Sa? Ganggu nggak?”
“Nggak
ganggu kok Go, Ca Cuma lagi santai aja dengerin musik. Hem, tumben nelpon?
Kangen ya? hehe”
“Widih...
tau aja kalo aku kangen? Hehe... kamu besok ke sekre kan? Ikut acara
organisasi?”
“Iya,
aku ikut kok. Kamu sendiri?”
“Ya,
ikut juga karna kamu ikut! Yaudah ya Sa, sampai besok di sekre.” Telepon
diputus Diego. Salsa nampak girang dan tampak lebih bersemangat. Dimatikannya
musik melow yang tadi sudah beberapa kali diputarnya berganti musik yang lebih
bersemangat.
Hari
yang indah, terutama bagi Salsa yang sudah tidak sabar menunggu datangnya hari
ini, sudah seminggu tidak bertemu Diego membuatnya kangen setengah hidup. Hari ini aku akan bertemu Diego lagi,
ucapnya. Salsa kemudian melangkah mantap menyusuri padang ilalang yang dihiasi
bunga-bunga cinta yang tumbuh di hatinya. Jalanan kampus yang biasa saja
menjadi seolah berada di puncak yang sejuk dan penuh dengan bunga. Salsa
menikmati perjalanannya pagi itu. Diego sudah menunggunya di sekretariat.
“Cerah
banget hari ini kakak!” Salsa cemberut lantaran Diego menggodanya dengan
panggilan kakak. Diego tertawa melihat reaksi Salsa.
“Jangan
cemberut dong ah, nanti cantiknya luntur” Diego berusaha membujuk, Salsa hanya
tersenyum mendengarnya. Tidak lama semua teman-temannya datang. Salsa langsung
menjauh dari Diego agar tidak membuat Anggra cemburu.
Aska,
sang fotografer organisasi datang dan diserbu saja oleh semua anggota
organisasi. Mereka rebutan minta dijadikan objek potret Aska. Salsa diam saja,
dia memang tidak terlalu narsis untuk difoto. Namun ketika semua sudah puas
difoto, Diego tiba-tiba saja mengajak Salsa untuk foto bersama, berdua. Salsa
tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan itu.
Usai
acara di sekretariat, Salsa diajak pulang bareng oleh Diego yang kebetulan
searah dengan tempat tinggalnya. Anehnya, Diego yang biasanya selalu bersama
dua orang temannya, meminta temannya untuk duluan. Salsa jadi geer kalau Diego
memang sengaja untuk berduaan dengannya. Mereka berdua begitu menikmati
perjalanannya. Salsa sangat senang, Diego bercerita banyak tentang dirinya dan
bertanya banyak tentang Salsa. Sepertinya memang hubungan ini akan berlanjut.
* * *
Lihatlah
pelangi yang sengaja muncul direda hujan itu Ca, kamu tahu artinya? Artinya kita
tidak boleh selalu bersedih. Karena keindahan itu akan ditampakkan setelah
hujan itu berhenti. Jadi kamu tidak boleh selalu murung bahkan menangis.
Kata-kata dari Sam sahabatnya sejak SMA itu terngiang-ngiang di telinga Salsa.
Salsa kembali menghentakkan kakinya berkali-kali ke lantai. Dia kesal Diego
sudah lima hari ini tidak ada kabar, padahal dia sudah menghubungi Diego
terlebih dahulu, tetapi diego tidak pernah lagi membalas smsnya. Di sekretariat
pun tidak pernah bertemu. Ada apa
denganmu Go? Kenapa kau berubah? Kenapa sekarang menjauhiku? Salsa tidak
habis pikir dengan sikap Diego. Padahal terakhir hubungan mereka baik-baik saja
bahkan Salsa sangat bahagia ketika enam hari yang lalu bersama Diego. Salsa
tidak menyangka kalau itu adalah rasa senang terakhir yang diberikan Diego
padanya. Diego benar-benar menghilang dan tidak pernah memberinya kabar. Pernah
Salsa bertanya kepada Anton di sekretariat perihal Diego, Anton hanya menjawab
Diego sibuk dengan kuliahnya dan belum sempat mampir ke sekre. Salsa tentu
tidak puas dengan jawaban Anton, tetapi untuk bertanya lebih jauh lagi, Salsa
merasa gengsi.
Seminggu
sudah Salsa penuh tanda tanya, dan hari ini kembali organisasi mengadakan
acara. Salsa datang lebih pagi dari biasanya hanya untuk menunggu kedatangan
Diego. Salsa benar-benar berharap hari ini Diego bisa datang dan mereka bisa
berbicara.
Silih
berganti anggota organisasi baik junior maupun senior sudah berdatangan, namun
Diego dan kawan-kawannya belum juga tampak. Salsa jelas kecewa, ternyata Diego
benar tidak akan datang, bahkan sampai acara sudah dimulai pun Diego tidak
datang-datang juga meskipun Anton dan Lian temannya sudah datang. Salsa yang
tadinya sibuk melihat ke arah pintu gerbang dengan penuh harap pun kini tidak
lagi menoleh sedikitpun.
Di
tengah-tengah acara Salsa merasa ingin ke belakang, Salsa kemudian mohon izin
dan beranjak ke kamar kecil. Keluar dari kamar kecil, Salsa kaget mendapati
Diego yang tengah berjalan menuju sekretariat, kenapa baru datang? Dia sudah telat sejam. Namun tidak ingin
melepas kesempatan itu, kebetulan mereka hanya berdua di sana, Salsa langsung
memanggil Diego, Diego menghampirinya.
“Ngapain
di sini Sa? Kok nggak masuk?” Diego bertanya dengan gayanya yang santai.
“Kamu
kenapa telat? Aku tadi abis dari kamar kecil”
“Ada
keperluan bentar tadi, aku sudah minta izin kok sama panitia”
“Bisa
kita ngomong bentar?”
“Kamu
mau nanya apa?”
“Kenapa
kamu nyuekin aku Go? Aku ada salah sama kamu?” Diego hanya diam dan menunduk,
Salsa semakin heran dengan sikap Diego. Apakah Diego lagi ada masalah?
“Ayo
Go, jawab! Kenapa kamu jahat sama aku?”
“Jahat?”
Diego mengangkat wajahnya
“Iya,
kamu deketin aku dan abis itu kamu ninggalin aku gitu aja. Padahal aku yakin
kalau aku nggak punya salah sama kamu. Tapi kenapa Go? Kamu emang jahat! Kamu
nggak punya hati!” Salsa tidak bisa mengontrol emosinya, Diego kembali
menunduk, tidak dapat menjawab pertanyaan Salsa yang tak terduga.
“Maafin
aku Sa, udah nyakitin kamu. That’s why I...”
“Apa?
Kenapa? Karena kamu emang nggak pernah punya niat sama aku kan? Nyesel aku udah
ngerusak hubungan aku sama dia tapi kamu juga gini sama aku!” Salsa sengaja
tidak menyebut nama Anggra, tetapi Diego mengerti apa maksud Salsa.
“Aku
nggak tau kalau semuanya akan jadi kayak gini, maaf kalau aku bikin hubungan kamu
tidak sedekat dulu lagi dengan sahabatmu.” Diego lalu pergi, namun tidak jadi
masuk ke gerbang sekretariat, Diego malah menuju parkiran dan kemudian
melajukan motornya ngebut.
“Mati
aja deh lo! Nyesel gue kenal sama lo!” Salsa berteriak sebelum Diego benar-benar
menjauh. Diego mendengar jelas suara Salsa yang memang lantang itu menambah
kecepatan laju motornya dan tak tahu arah. Salsa langsung kembali ke
sekretariat dengan perasaan menyesal. Kenapa
sih kamu Ca? Kenapa kasar banget sama Diego? Maafin aku Go
Setibanya
di sekretariat dua orang teman Diego bertanya pada Salsa, apakah tadi bertemu
di luar karena Diego tadi berkata akan sampai di sekretariat. Salsa jujur saja
kalau memang tadi Diego ada tetapi balik lagi karena mereka sempat ribut. Anton
dan Lian saling berpandangan sebelum akhirnya Anton angkat bicara.
“Ribut?
Kalian ribut kenapa?”
“Ng...
tadi, hm... eh, kamu tanya sendiri ya sama Diegonya, susah aku jelasinnya.”
Salsa menjadi gugup karena merasa bersalah. Dua teman Diego hanya diam dan saling
pandang. Ada sesuatu yang aneh dari pandangan mereka, entahlah, Salsa juga
tidak mengerti.
* * *
Salsa
membuka jendela kamarnya, menatap sendu pada aliran air hujan yang mulai
menggenangi halaman. Angin berlari-lari menerpa wajah dan menerbangkan helaian
rambutnya. Dadanya terasa sesak, Salsa memikirkan Diego dan pertengkarannya
tadi pagi. Firasat buruk merasuki relung jiwanya, Salsa mencemaskan Diego yang
sekarang entah di mana. Tidak terasa embun panas mengalir lembut menerpa pipi
Salsa, kegundahannya mencair melalui kristal-kristal air matanya. Angin di luar
semakin ribut, dan Salsa segera menutup jendela kamarnya dan masuk ke dalam
kamar mandi untuk kemudian membasuh mukanya, meluruhkan bekas luka di wajahnya
agar tidak diketahui orang lain. kemudian Salsa berkutat degan laptopnya untuk
menyelesaikan tugas.
Rrrrt...
rrrt... hape Salsa bergetar, Anton meneleponnya. Serrrr,
darah Salsa berdesir, dadanya berguncang hebat. Pukul 19.00, ada apa Anton
meneleponnya jam segini?
“Hallo,
ada apa Anton?”
“Kamu
di mana Sa? Aku mau jemput kamu!”
“Ada
apa Ton? Jangan bikin aku bingung!” Salsa langsung pucat, pikirannya langsung
membayangkan hal yang buruk-buruk.
“Kamu
tidak tahu? Nanti saja, kamu pasti akan tahu, ikut aku mau ya? Kujemput
sekarang.” Tuuuut... tuut... telepon terputus. Salsa segera berlari menuju
lemari, mengganti bajunya dan segera menyambar payung untuk segera keluar
menunggu Anton. Begitu Anton datang, mereka langsung berangkat menerjang hujan.
Tidak ada interaksi antara keduanya, hanya saling diam dan terhanyut dalam perasaan
masing-masing.
“Rumah
sakit? Anton? Diego.... dia?” Salsa bertanya panik.
“Masuk
lah Sa, kamu akan tau apa yang terjadi” Salsa langsung berlari ke dalam,
menerobos orang-orang yang terasa menghalanginya. Sampai di depan kamar
perawatan Diego, Salsa mendapati sudah banyak teman-teman Diego yang menangis.
“Bisakah
aku masuk?”
“Tunggulah
sebentar, masih ada orang di dalam, tidak boleh masuk lebih dari satu.” Salsa
terdiam, dihitungnya semua teman Diego, lengkap. Siapa yang di dalam? Apa iya orang tua Diego datang secepat itu? Tiba-tiba
ada seorang perempuan yang dikenalnya keluar dari ruangan dengan wajah sudah
sembab. Dia kaget begitu melihat Salsa ada di sana. Anggra.
“Anggra?
Kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu nggak kasih tau aku?” Salsa bertanya dengan
sedikit emosi. Anggra hanya terus menangis. Salsa kemudian masuk ke dalam dan
sudah mendapati Diego terbujur kaku dengan mata terbuka.
“Go,
kamu kenapa?” Salsa berbicara dengan suara bergetar dan langsung meneteskan air
mata. Diego hanya tersenyum getir pada Salsa.
“Go,
aku minta maaf udah berkata kasar sama kamu, aku benar-benar minta maaf dan
menyesal udah jahat sama kamu” Diego kembali tersenyum dan tidak bisa menjawab.
Salsa semakin mendekat, digenggamnya tangan Diego dengan erat, mencoba memberi
aliran kehidupan dalam cinta yang telah tumbuh dalam taman jiwanya.
“Aku
sayang kamu Go, maaf aku nggak bisa boong, aku terlanjur terbiasa dekat
denganmu, aku benar-benar mulai menyukaimu sejak kita mulai dekat.” Diego
mengerjapkan matanya dan menggerakkan tangannya yang digenggam Salsa dengan
maksud mengatakan hal yang sama, namun Salsa tidak mengerti maksudnya.
Tiba-tiba
Diego kejang-kejang, Salsa panik, berteriak sekeras mungkin. Perawat masuk dan
menyeret Salsa yang lepas kontrol keluar dengan paksa. Setiba di luar Salsa
segera menuju Anggra untuk memeluknya, tetapi Anggra enggan. Anton dan Lian
mendekatinya, mencoba menenangkan Salsa. Anggra menerawang, dia hanya ingin
Salsa juga mengerti perasaannya. Bagaimanapun dia sangat menyayangi Diego,
bagaimanapun dia sangat merasa takut kehilangan Diego, bukan hanya Salsa. Tidak
peduli apakah Anton dan Lian sebagai sahabat terdekat Diego akan membencinya,
tetapi itulah cintanya terhadap Diego yang merasukinya semenjak kenal Diego,
sebelum Salsa menyukai Diego, bahkan semenjak Diego selalu mencuri-curi perhatian
Salsa yang selalu mengacuhkannya. Anggra merasa benar dengan perasaannya. Jadi
ia tidak perlu takut.
* * *
Salsa
kembali melipat surat berwarna merah jambu itu. Air matanya tak berhenti
mengalir meski sudah menyembabkan matanya. Salsa menerawang, mengulang-ulang
kalimat yang sudah puluhan kali dibacanya barusan. Haruskah dia menyalahkan
dirinya? Tiba-tiba Salsa teringat Diego, di mana dia sekarang? Apakah dia
kedinginan? Apakah dia merindukannya? Salsa kembali menghela nafas. Anggra
benar, cinta tak pernah salah. Meski cinta telah membuatnya kehilangan dua
orang yang disayanginya dan membuatnya harus cuti kuliah karena depresi berat
yang membawanya ke rumah sakit jiwa. Salsa merasa kondisinya sudah sangat baik
sekarang, Salsa sudah bisa berfikir jernih dan sudah ada keinginan untuk
kembali kuliah.
Tiba-tiba pintu
kamar melati itu terkuak, ada yang masuk. Salsa menoleh kemudian tersenyum,
manis sekali senyuman itu. Kehadiran dua sosok itulah yang ditunggu-tunggunya
dari tadi. Anton dan Lian sudah berjanji akan menjemput dan menemaninya ke
pemakaman Diego.
“Surat apa itu
Sa, eh Ca?” Anton tersenyum, berusaha menggoda Salsa.
“Anggra! Aku baru
sempat membacanya. Kalau kalian mau tau, bukalah” Ujar Salsa sambil menyodorkan
kertas merah jambu itu dan tak hentinya tersenyum.
... mungkin kamu benar sahabatku, aku adalah orang
yang tidak terbuka. Tapi kamu harus menerima alasanku. Tidak lain adalah kamu!
Kenapa aku tak pernah mau bilang tentang perasaan ini padamu. Karena kutau kamu
sudah mulai menyukainya. Cinta tak pernah salah Ca, kitalah yang salah
menyikapinya. Dan ini udah keputusanku, aku nggak sanggup bila terus lama-lama
di sini. Karena kamu juga udah mulai membanciku kan? If you still love me,
please dont cry when you remember about us dear. Aku akan kangen banget sama
kamu, kalo jodoh, kita ketemu lagi ya....
Oya,
cepet sembuh. :)
Alan kembali melipat rapi surat
dari Anggra. Kemudian menatap sendu ke arah Salsa yang masih terlihat manis
meski sekarang dalam kondisi kejiwaan yang terganggu dan badan yang kurang
terurus, tetapi inner beautynya tetap
terpancar. Tidak mau berlama-lama larut dalam keharuan, Lian mengingatkan bahwa
mereka harus berangkat sekarang.