Tirta duduk melamun di depan jendela kamarnya. Bunyi
petir bernyanyi liar menggema di sudut ruangan, bulir-bulir tangis awan
membasahi bumi. Melalui tetes-tetes air yang jatuh dari atap rumah, Tirta
menembus jalanan yang basah, menerawang jauh menerobos padang yang basah oleh hujan, melewati
genangan-genangan air, merasakan betapa hangatnya suasana rumahnya saat itu. Hujan
deras yang mengguyur halaman rumah seolah-olah menggambarkan kegundahan hatinya.
Tirta rindu dengan keluarganya di Bekasi, terutama dengan ayah. Sudah sepuluh
bulan ia tidak melihat lagi wajah lelaki yang sekarang sudah mulai
sakit-sakitan karena ulahnya itu. Masih terngiang-ngiang pertanyaan inangnya
tadi pagi mengenai rencana lebarannya yang tinggal sepuluh hari lagi.
Sesungguhnya ia ingin sekali berlebaran di Bekasi, berkumpul dengan
keluarganya. Namun, ia masih takut-takut bertemu dengan ayah. Khawatir
kalau-kalau ayah masih murka padanya.
Tirta tersentak dari lamunannya ketika terdengar Inang
Mira memanggilnya dari luar.
“Tirta, ayo atuh
keluar udah mau berbuka!” Tirtapun langsung bangkit menutup jendela sebelum
menuju keluar.
“Wah… enak nih ada bubur kacang ijo” Tirta berusaha
menyembunyikan kegalauan hatinya, ia tak ingin inangnya tau apa yang menjadi
beban pikirannya saat ini.
Allahu akbar, Allahu akbar…
“Alhamdulillah… mari berbuka. Allahumma lakasumtu, …”
inang dan Tirta kemudian menyeruput teh manis hangat sebelum pada akhirnya
menyantap bubur kacang ijo dan sholat maghrib.
Di dalam sholatnya, Tirta berdoa panjang, berharap
mendapat petunjuk, pilihan mana yang akan diambilnya. Apakah ia akan tetap
berlebaran bersama inang, ataukah ia akan pulang ke Bekasi berlebaran bersama
keluarganya? Tirta memang masih sangat takut untuk pulang, semenjak kejadian
dirinya ketahuan pesta shabu-shabu di kamarnya oleh ayah, Tirta langsung
dititipkan ke rumah inang di kampung ayah, Sumedang, guna menghindari amarah
ayah yang kecewa anak kesayangannya telah merusak hidupnya dengan bubuk haram
itu, juga untuk menjalani proses masa pemulihan. Selama ini inanglah yang
dengan sabar merawatnya, sesabar menunggu suami yang tak kunjung pulang bertahun-tahun
dari perantauan.
“Bagaimana? Sudah diputuskan atuh mau lebaran di mana?”
ujar inang membuka pembicaraan mereka sepulang sholat tarwih. Belum sempat Tirta
menjawab, hapenya berdering, tanda ada pesan masuk, ternyata dari Mang Ujang
yang memintanya untuk segera pulang dan berlebaran di Bekasi, ayah kangen.
“Siapa Tir?”
“Ini teh sms dari Mang Ujang atuh Nang, abdi diminta
lebaran di Bekasi, ayah udah kangen katanya.” Ujarnya dengan penuh semangat.
Alhamdulillah… akhirnya aku bisa pulang juga.
“Baguslah kalau begitu, karena kamu tidak perlu
takut-takut lagi untuk pulang, karena ayahlah yang telah meminta sendiri.” Ucap
inang juga gembira.
* * *
Tirta sudah
bersiap-siap untuk pulang, meskipun keberangkatannya masih lama, tetapi ia
sudah tak sabar rasanya ingin memeluk ayah dan meminta maaf. Imajinasinya mulai
bermain, langsung merasakan betapa hangatnya dekapan ayah dan ibunya, juga kakak-kakaknya.
Hm… begitu nyaman dekapan ayah yang penuh cinta kasih.
“Tirta, kamu dengar
inang tidak?” suara inang mengagetkan Tirta dari lamunan indahnya.
“Eh, maaf atuh
nang, tadi inang ngomong apa?” ujarnya malu-malu. Inang hanya tersenyum melihat
tingkah Tirta.
“Tadi inang nitip
pesan buat ayah ibumu kalau sudah sampai Bekasi, juga kamunya hati-hati. Sudah,
cek lagi semua barang-barangnya, kita berangkat ke terminal sekarang.”
Tirta dengan semangat menata ulang barang-barangnya, mengecek agar
tak ada yang ketinggalan, tak lupa oleh-oleh dari Sumedang yang sudah
disiapkannya untuk keluarga di Bekasi.
Air hujan kembali
menari-nari riang mengiringi perjalanan Tirta sore itu, terminal sangat padat,
banyak yang baru datang dari Jakarta
untuk mudik lebaran. Suasana haru itu kembali memancing imajinasi Tirta untuk
merasakan suasana hangat yang tercipta di rumah setibanya ia nanti.
* * *
Tirta segera
berlari kecil ketika mulai menapaki halaman rumah yang teduh. Seteduh
wajah-wajah penghuni yang akan ditemuinya. Dekapan hangat dari ibulah yang
pertama kali dirasakannya karena memang perempuan yang penuh kelembutan itu
yang menyambutnya pertama kali di depan pintu. Kerinduannya benar-benar
terobati ketika tangan ayah, lelaki yang terduduk di kursi roda itu terbuka
lebar, bahagia sekali rasanya. Senyuman tulus dari Mang Ujang dan Teh Nia
begitu sempurna, sesempurna semangat hidup yang dirasakannya sejak terlepas
dari pengaruh buruk obat-obatan laknat itu. Dan kini, kebahagiaan menyeruak ke
permukaan, maaf dari ayah dan keluarga telah dikantonginya, dan kini ia juga
sudah kembali berkumpul dengan keluarganya.
Suasana Lebaran
yang khidmat, gema takbir berkumandang di mana-mana. Makanan enak dan unik
sudah mejeng di meja, menggugah selera. Kue lebaran berbaris rapi menunggu
untuk disantap. Pakaian rapi dan bersih ikut melambangkan hari kemenangan ini. Tirta
begitu bahagia, sudah hampir setahun rasanya tak pernah sebahagia ini. Ayah
juga sudah mulai sembuh, dan tidak selalu harus bergantung pada kursi rodanya.
Benar-benar rahmat yang tiada tara yang
diterimanya di hari penuh kemenangan ini.
* * *
Teeeer…teeeer…teeeer…
Getaran hapenya
mengagetkan Tirta hingga membangunkannya dari dunia fatamorgana. Ternyata cuma mimpi.
Kamu sudah di mana? Kalau sudah sampai
langsung ke rumah, jangan mampir-mampir dulu. Ayah *some text missing*
From: Mang Ujang Mobile
“Ayah apa? Kenapa terputus gini
sms nya? Hm… pasti ayah sudah tak sabar ingin bertemu, ya, pasti!” Ujarnya
dengan senyuman optimis, semakin tidak sabaran ingin cepat-cepat bertemu ayah.
Beberapa saat ia masih asyik memikirkan mimpi indah yang
barusan menemani perjalanannya, tiba-tiba bunyi decit rem disusul suara keras
seperti ada sesuatu yang terbanting keras. Setelah merasakan badannya sesak
karena terjepit, Tirta tidak tahu apa-apa lagi. Pingsan.
“Ayah!” suara Tirta begitu lemah, nyaris tak terdengar. Tirta
pelan-pelan membuka matanya, siuman setelah tak sadarkan diri selama 3 hari.
“Kamu gak papa?” suara Teh Ayu terdengar kuatir
“Teh Ayu? Ayah di mana? Tirta ingin ketemu ayah, Tirta
ingin minta… aah!” rasa ngilu di perutnya membuatnya menghentikan kata-katanya.
Sedang, Teh Ayu hanya mengangguk sambil senyum miris
“Sekarang sudah malam takbiran? Aku mau nelpon ayah, aku
mau minta maaf teh.” Teh Ayu hanya menggeleng lemah. Air matanya mengalir
pelan.
“Sekarang sudah hari kedua lebaran. Ayah meninggal
ketika malam takbiran.”
Hening.