Aku tak berani keluar dari kamar,
aku takut harus bertengkar lagi dengannya, tetapi semakin aku menahan diri di
kamar, semakin amarahku memuncak dan rasanya ingin menendangnya saat itu juga
dari rumah. Tetapi, sekali lagi aku takut, dan hanya bisa meneriakkan kaliamat
pilu
“Sudahlah, mendingan kakak pergi
saja, jangan sakiti lagi hati emak!” setelah itu kudengar ada langkah mendekati
kamarnya yang berada di sebelah kamarku, membuka pintu lemari, mengobrak-abrik
isinya dengan kasar dan terakhir membanting pintunya kuat-kuat, bahkan sangat
kuat, bisa-bisa membuat lemari reot itu rubuh. Setelah itu kudengar langkah
menjauh ke luar rumah, dan ada suara ribut-ribut di luar, ada suara bantingan
pula. Setelah itu aku hanya mendengar helaan nafas emak. Aku tahu, emak pasti
sakit sekali. Tetapi aku tak berani keluar untuk menenangkannya, kurasa aku
biarkan saja emak sendirian menenangkan dirinya dulu.
Emak benar-benar terpukul dengan
kejadian semalam. Terutama terpukul dengan kepergian Anton. Aku hanya bisa
bilang sabar kepada emak. Terbayanglah bagaimana nasibku nantinya, kuliahku?
Karena selama ini dialah yang membiayai semua kebutuhan dan hidupku di Bandung.
Tetapi aku tidak boleh egois, saat ini, perasaan emaklah yang paling penting.
Demi untuk menghibur emak, aku bawa emak jalan-jalan ke Bandung. Tetap berada di Sumedang hanya
akan membuat perasaan emak sedih saja. Lagian sebentar lagi kuliah semester
ganjilku akan segera dimulai. Sekalian aku bawa emak jalan-jalan ke kampusku.
* * *
“Kampusmu
sangat megah ya nak, sayang jika kamu harus meninggalkannya.” Kudengar suara
emak sangat lirih. Aku hanya tersenyum. Dan emak berkata lagi
“Kamu
masih ingin melanjutkan kuliahmu kan?” aku kaget! Tak menyangka emak akan
bertanya demikian, aku merasa tak enak hati bagaimana harus menjawabnya
ternyata emak memikirkan nasib kuliahku. Memang selama ini Antonlah yang selalu
membiayai kuliahku, seluruh kebutuhanku, dan biaya hidupku, semua terlalu
kugantungkan padanya. Dan sekarang, setelah semua kejadian buruk ini, aku harus
bergantung kepada siapa lagi? Aku tak mungkin membebani emak yang sudah tua dan
sudah begitu banyak beban yang dipikulnya.
“Iya
mak, sayang, kan beberapa semester lagi aku akan diwisuda. Tapi mungkin aku
cuti dulu lah, barang satu-dua semester ini.”
“Kenapa
kamu harus cuti Ti? Katanya tadi sayang dengan kulahmu?” emak menyanggahku
“Aku
mau kumpul uang buat kuliah mak.” Emak terdiam
“Biarlah
emak yang meneruskan biaya kuliahmu Ti, emak masih sanggup membiayaimu. Meski
tanpa Anton.” Ada petir menyambar di dalam palung hatiku, mendengar kalimat
emak dan bahasa yang terkesan sangat dipaksakan itu benar-benar sakit
kurasakan. Luka hati yang emak rasakan jelas masih terasa. Begitu juga dengan
aku, ada rasa yang tak terkalimatkan! Tetapi satu hal yang kutahu, itu adalah
suatu rasa yang teramat menyakitkan.
“Ya
sudahlah mak, sekarang kita tidak perlu mikirin biaya kuliahku dulu, aku kan
baru saja mendapat beasiswa dari kampus, dan itu dapat menutupi kebutuhan
kuliahku yang tinggal beberapa hari lagi, nanti bagaimananya aku yakin akan
dapat pertolongan dari Tuhan.” Aku berusaha menegarkan emak dengan tidak mau
membebaninya dengan persoalan kuliahku. Aku ingin emak bersenang-senang saja
dulu dan sedikit-sedikit mengobati sembilu di hatinya.
* * *
Matahari
mulai bersembunyi di balik onggokan tanah dan bebatuan, sepertinya ia sudah
bersiap berganti tugas dengan bulan yang samar-samar mulai tersenyum. Aku baru
selesai mandi, dan emak sedang di kamar mandi melepaskan kepenatan dan
menyegarkan badan. Kutatap langit yang menjingga dari balik jendela kamar
kosku. Pikiranku melayang kemana-mana, aku jadi teringat masa-masa masih
bersama Anton dulu. Rasanya, dengan lahir dari rahim dan darah yang sama,
kami menjadi lebih dekat. Kadang ku tunggu kepulangannya hanya untuk
bertengkar. Itu caraku untuk mengetahui apa yang sedang dia pikirkan, seberapa
sayang dan pedulinya dia padaku. Ya! Kami selalu bertengkar, aku yang cari
gara-gara. Tapi sungguh, dengan cara itu aku sebenarnya ingin dia tau aku
sayang padanya, tak ingin melihat dia tertekan, bahkan dimarahi. Namun, cara
itu tak mempan lagi. Usia dan jarak yang tercipta antara kami mulai membuat
semuanya jadi kaku. Dia seperti orang lain. Aku rindu, rindu saat kami
bertengkar saling berebut perhatian emak. Aneh memang, saat perlahan-lahan aku
sadar telah kehilangan sosok teman dan kakak laki-laki lucuku. Tetapi, aku terima
sebagai sebuah keharusan.
Kurasa, dengan kemampuan mencari
uang secepat kilat, dia mulai pongah, jarang pulang, dan sering tak kutahu
dimana keberadaaannya. Mungkin karena telah terbiasa bepergian dan dia mulai
tak sempat dan jarang minta izin pada emak. Dia seakan punya kehidupan sendiri.
Kami mulai kesulitan untuk sekadar berkumpul bertiga. Sungguh, kuakui aku
sangat merindukannya. Tetapi ku sembunyikan air mataku, kutahan rindu yang
mungkin ada jika aku tak melihatnya lagi. aku sayang padanya. Tetapi hubunganku
dengannya berjalan kaku. Kaku! Aku bahkan tak bisa membicarakan sekolahku
padanya. Dalam benakku penuh tanda tanya. Namun aku memilih diam. Aku kaku
untuk bertanya. Takut lancang dan melukai hatinya.
Aku sangat
menyesali kenyataan bahwa aku merasa sangat jauh dengannya, sejauh bumi tak
mengenali pluto, sejauh dasar lautan tak mengenal indahnya langit, dan sejauh
mata tak dapat melihat pundak. Aku benar-benar mengutuk ini. Mengapa aku tak
bisa mengenali kakakku sendiri??? Dan rasa apa yang pantas kurasakan untuk ini?
Menyesalkah? Rasa bersalahkah? Aku tak tahu.
Sudah lama aku
ditinggal ayah, dari aku kelas 2 SD, semenjak itu aku hanya diasuh emak.
Dulunya aku pikir dan berharap bisa mendapatkan kasih sayang yang berupa sosok
seorang ayah pada diri Anton. Tetapi sekali lagi, aku merasa ada jarak di
antara kami, aku tak mengenal baik kakakku itu. Bagaimana mungkin aku bisa
merasakan kasih sayang seorang ayah dari orang yang aku tak kenal hatinya?
* * *
Sampai sekarang,
sudah hampir dua minggu pasca kejadian ribut-ribut di rumah, Anton belum juga
berusaha untuk menghubungi emak dan meminta maaf pada emak. Sampai ketika tadi
pagi Emak mendapatkan telfon dari Makcik di Sumedang yang mengabarkan kalau
Anton hendak menikah dengan perempuan itu dalam waktu dekat ini. Emak bilang
kalau besok beliau pulang saja ke Sumedang, emak mau bertemu langsung dengan
Makcik dan membicarakan masalah ini.
“Ti,
kamu doakan saja urusan emak segera selesai di kampung ya, kamu selesaikan saja
kewajibanmu menuntut ilmu sebagai calon kuli negara nantinya, mudah-mudahan
semua ada jalannya. Tuhan tidak pernah tidur” Suara emak terdengar tegar
sekali. Kuharap, emak memang benar-benar sudah sangat tegar menghadapi semua permasalahan
ini.
“Iya
mak, Iti akan serius kuliah dan akan segera menamatkan kuliah dengan
secepatnya, dan aku pasti akan mendoakan yang terbaik untuk kita semua.” Emak
hanya tersenyum. Dalam hati aku menangis dan berharap hati Anton akan segera
luluh.
* * *
Malam ini aku
tersentak dari tidurku, aku baru ingat kalau pagi ini kuliah pertama akan
dimulai. Segera kucuci muka untuk menghilangkan kantukku. Setelah itu aku
mempersiapkan perlengkapan kuliahku, mulai dari baju yang belum di setrika,
sampai buku-buku yang mesti aku bawa untuk perkuliahan nanti. Di saat aku
mengambil buku dari lemari, terjatuh sebuah foto yang tersalip di antara
buku-buku, kupungut foto yang dengan posisi terbalik itu, ketika kubalik,
ternyata itu foto aku bersama ayah, emak, dan juga Anton. Kuingat foto itu
diambil sehari sebelum kepergian ayah. Aku menangis, namun tanpa air mata.
Sakit sekali rasanya, merenungkan apa yang kurasakan, tak dapat kugambarkan
dalam kata, apalagi kalimat. Kalian tak akan pernah mengerti dengan perasaanku,
perasaan seorang yang terasing, karena apa? Karena kalian tidak pernah
mengalami apa yang selalu kurasakan. Kalian tak akan pernah bisa memahami dan
menyelami ke bagian dalam hatiku. Sungguh, aku merasa menjadi orang paling
hina.
* * *
Semalam sudah kupikirkan, akhirnya
aku memutuskan untuk memberitahu Anton apa isi hatiku yang sebenarnya. Akan
kuluapkan apa yang selama ini selalu kusimpan dan kusembunyikan darinya.
Kuharap dia mau mengerti. Setelah dia benar-benar tahu, terserah dia akan
bagaimana. Apakah dia akan meninggalkanku? Atau akan benar-benar bisa menjadi
kakak terbaikku.
Teruntuk kakakku, Anton
Sebelumnya aku
mendoakan semoga kakak selalu berada di jalan yang di ridhoi-Nya dan bisa lebih
mendewasakan sikap dan fikiranmu. Aku
tahu, kamu tidak suka dengan basa basi. Jadi aku langsung saja.
Kak, Aku ingin
tahu apakah kakak sadar kalau kakak memiliki seorang adik perempuan? Kuakui, aku memang cemburu dengan
perempuan-perempuan yang selalu hadir di hidupmu, dia bisa lebih kenal dan
lebih memilikimu dibanding aku, adik kandungmu sendiri yang terlahir dari rahim
hangat penuhcintanya emak. Aku telah kehilangan sosok ayah, tak kutahu bagaimana rasanya berayah. Tapi
aku senang mimiliki sosok kakak laki-laki. Namun,,, aku juga kehilangannya. Dari
dulu, tak kutemukan sosok ayah maupun kakak di dirimu. Kamu orang asing. Aku hanya berharap, kau menganggapku
sebagai adikmu, Aku berharap kau memperlakukanku
layaknya saudara. Aku menyayangimu. Aku
ingin kau tahu, aku bangga memiliki kakak sepertimu, aku bangga jadi adikmu.
walau kita jauh berbeda. Tolong sebut aku
seperti aku menyebutmu. Tolong, banggalah padaku.. Tolong sayang aku.
Wassalam
Adikmu, Ranti
Kupastikan
sekali lagi suratku itu bisa dimengerti oleh kakakku apa maksudnya. Setelah itu
kumasukkan ke dalam amplop berwarna biru, warna kesukaannya. Kusimpan di bawah
bantal, untuk besoknya aku titipkan kepada temannya yang sudah janji padaku
akan menjemput surat itu besok ke kampus. Aku tertidur malam itu dengan
tersenyum, aku memang menaruh harapan pada isi surat yang kutulis itu, aku
berharap bisa segera memperbaiki hubunganku dengan kakakku itu. Juga,
kuberharap, kami bisa kembali berkumpul bertiga. Sebuah memori panjang mengerumuni
otakku.Menyelami dinding tua Rumah ...
Terima
kasih untuk sahabatku (TA) yang telah memberi inovasi dalam penulisan cerpen
ini. Terima kasih untuk ceritanya yang sudah aku daur ulang. Semoga suka :)
0 komentar:
Posting Komentar