Ni Eli datang lagi, tapi kali ini tidak dengan suara parau dan lelehan
air mata. Ia lebih banyak diam dan sesekali batuk. Keras sekali. Kulihat bapak
sesekali terkejut juga mendengarnya. Mungkin batuk yang sangat keras itulah
yang menjadi senjatanya kali ini. Ah, bicara soal senjata Ni Eli yang
kukira-kira sendiri itu, lebih baik tidak lagi kuberi tahu pada bapak. Karena beliau
pasti akan langsung marah padaku begitu mendengarnya, seperti sangkaanku yang
dahulu tentang Ni Eli yang terus-terusan menangis pada bapak.
“Jangan selalu menyangka yang buruk, Mai. Ni Eli memang sedang butuh
bantuan. Dan sebagai sesama, kita harus membantu Ni Eli. Kau kalau sedang
kesusahan juga pasti akan menangis, namanya saja perempuan, perasaannya halus.”
Demikian ucapan bapak kala kubilang kalau tangisan merarau-rarau* Ni
Eli beberapa waktu lalu itu adalah senjatanya agar dibantu oleh bapak. Aku diam
saja, tidak sanggup lagi berdebat dengan bapak mengenai senjata Ni Eli. Karena bapak
pasti akan lebih marah padaku kalau aku terlalu ikut campur urusan Ni Eli.
Setelah mendengar batuk terkeras Ni Eli, kulihat bapak melangkah masuk
ke kamarnya, sementara Ni Eli yang masih kuperhatikan menunduk saja. Entah karena
malu kuperhatikan terus, entah sengaja membuat dirinya terlihat baik dan kalem di
depanku. Ah, betapapun kalemnya dia hari ini, kalau kuingat ilauannya*
beberapa waktu lalu yang sampai membuat bayi tetangga terbangun itu, takkan aku
termakan sikapnya sekarang. Kala itu Ni Eli menangis sejadi-jadinya, mengadu
pada bapak kalau anak bungsunya sakit dan ia tak punya uang. Kali ini, ia
merengek pada bapak minta pinjaman uang untuk membayar uang sekolah anaknya.
Aku heran dengan Ni Eli, padahal ia punya saudara yang kaya-kaya. Tetapi
ia lebih suka mengadu pada bapakku yang bukan siapa-siapanya. Ya, kuakui bapak
memang bisa dibilang adalah penasehat di kampung kami. Apa saja hal yang
menimpa kampung kami, bapaklah orang pertama yang diberi tahu. Apakah itu Pak
Marah bertengkar dengan istrinya, Pak Nasir yang rumahnya dilempari batu oleh anak-anak,
sampai Tek Yet yang ribut dengan Wo Ilen gara-gara pohon pisang, sampai kasus
seperti Ni Eli ini. Semuanya bapak tahu. Tetapi yang kuketahui, bapak hanya
sebagai penasihat atau mediator orang-orang bermasalah saja, bukan sebagai
jalan keluar seperti yang disangkakan Ni Eli –yang sudah kali ketiga datang
untuk mengadu tidak punya uang pada bapak–.
Aku bukannya pelit atau ingin menghalang-halangi kebaikan bapak, tetapi kurasa
Ni Eli masih bisa mengadukan masalah ekonominya pada keluarganya yang kaya-kaya
itu. Bukan pada bapak yang sama sekali orang lain baginya. Ditambah lagi, aku
sering tersinggung dengan perlakuan keluarga Ni Eli yang kaya-kaya itu. Mereka sangat
sombong. Pernah dahulu, ketika bapak kecopetan di pasar dan terlanjur naik
angkot, bapak turun angkot dan bertemu dengan Tek Ija di depan rumah untuk
meminjam uangnya untuk pembayar angkot. Tapi mulutnya yang sangat berbisa itu
tidak malu sama sekali dengan kata-katanya berbicara pada bapak yang adalah
orang terhormat di kampung kami. Sejak saat itu aku sangat membenci keluarga Ni
Eli itu. Tidak hanya Tek Ija, tapi Pak Darius juga sama kasarnya. Aku yang
mengalaminya langsung. Ketika masih SD, aku berbelanja di kadai Da Ujang
sepulang sekolah, teman-temanku semua membeli es miami yang harganya mahal
untuk seusia anak SD kala itu, aku yang uang sakuku pas-pasan lebih memilih membeli
es plastik yang hanya seratus rupiah. Aku malah dicemoohnya, disebut-sebutnya
kondisi ekonomi orang tuaku. Naik pitam aku kala itu, tetapi aku tahu betul apa
yang diajarkan orang tuaku selama ini, bagaimanapun, orang tua harus dihormati
dan dihargai. Jadi kala itu aku diam saja. Tetapi karena tidak lepas amarahku
kala itu, sampai sekarang aku masih sangat marah pada keluarga mereka.
Pernah juga aku protes pada bapak, mengapa bapak masih mau menolong Ni
Eli sedangkan keluarganya saja masih ada yang kaya-kaya. Bapak bilang “Mungkin
Tek Ija atau Pak Darius juga sedang susah, nak.” tetapi saat aku
mengungkit-ungkit sakit hatiku pada keluarga itu, tersinggunglah bapak.
“Percuma selama ini bapak mengajarkanmu nilai akhlak, percuma bapak
sekolahkan dan serahkan kau mengaji, pikiranmu masih picik juga. Apalah yang
kau dapat dari sikap mendendammu itu, Mai?” aku malu mendengar pituah bapak
kala itu. Bapak benar-benar orang yang baik dan bijaksana.
Malam itu, setelah Ni Eli pulang dengan sebelumnya mendapat uang dari
bapak, datanglah Pak Darius ke rumah.
“Apa perihal, Pak? Si Eli adikmu baru dari sini tadi.” Ternyata Pak
Darius sudah tahu kalau adik bungsunya itu baru saja meminta uang pada bapak. Aku
was-was di balik lemari mendengar dan melihat gerik bibirnya, bersiap-siap
mendengar apa yang akan diucapkannya.
“Iya, pak. Tau ambo. Kedatangan ambo ke sini juga ada maksud yang sama
dengan si Eli. Ambo punya hutang dengan buk jorong, sudah jatuh tempo seminggu
yang lalu. Dikasih kelonggaran sama buk jorong sampai besok. Tapi sudah ambo
usahakan, tidak dapat uangnya sebanyak pembayar hutang itu pak.”
“Jadii…”
“Iya, jadi ambo ke sini mau meminjam uang pada bapak.” Aku terngaga! Tidakkah
Pak Darius itu berpikir, berapalah hanya penghasilan bapak yang hanya seorang
pedagang beras ini dan sudah mengeluarkan sejumlah uang pula untuk adiknya,
ditambah lagi ini adalah tanggal tua.
Lama bapak kulihat terdiam. Kemudian, Tono adik bungsuku datang mendekat
pada bapak dengan membawa buku gambar dan kotak pensilnya.
“Pak, buku tono sudah abis, kilirnya* juga sudah banyak yang
ilang-ilang. Kapan bapak beliin yang baru, pak?”
….
*Mararau atau mailau = menangis sejadi-jadinya,
menangis keras sekali
*Kilir = pensil warna dalam bahasa Minang
terharu nid bacanya ciii
BalasHapusninggalin jejak boleh ya sis
BalasHapusbagus chii
BalasHapus