Gelap. Listrik padam lagi. Malam ini, adalah
malam ketiga kotaku dirundung kegelapan. Kali ini ada kemajuan, tidak hanya
gelap, tetapi angin pun bertiup lumayan kencang. Kotaku yang panas, berubah
agak sejuk, kerja kipas angin di kamar pun terbantu.
Kudongakkan kepala ke langit begitu tubuhku
sudah berada di teras kamar. Tiada bintang, hanya bulan redup dan samar yang
sinarnya seperti mendapatkan efek blur. Kusimpan kedua tanganku di kantong
celana, berjalan ke depan pekarangan kos. Di sana sudah ada beberapa teman kos
yang sedang duduk memamah camilan mereka. Aku memutuskan untuk bergabung,
sendirian di kamar membuatku bosan.
“Udah malam ketiga, nih.” Sahut salah satu dari
mereka begitu aku duduk. Mereka duduk melingkari pondok yang memang dibuat di
halaman kos kami dengan bantuan sebatang lilin besar di tengahnya. Aku tersenyum.
“Rasanya mulai terbiasa dengan kegelapan.”
“Iya, tadi ketika di kamar mencari lilin, aku
jadi merinding, membayangkan siapa saja di luar sana yang dari lahirnya hidup
dalam hitam kelam. Betapa malangnya mereka.”
“Dan karena itulah, kita harus bersyukur kan?”
kami pun tersenyum sambil mengangguk. Dalam hati ini, aku berucap alhamdulillah
berkali-kali, atas nikmat penglihatan yang sudah 20 tahun kudapat.
Mereka masih asyik mengunyah camilan sambil
membicarakan hal-hal ringan seputar kampus. Aku hanya diam mendengarkan. Karena
aku adalah satu-satunya dari penghuni di kosan ini yang tidak pernah mencicipi
bangku kuliah. Kutingkalkan orang tua dan kampung halamanku untuk mencari
pekerjaan di kota kecil ini, sama seperti mereka yang meninggalkan kampung
halaman dan keluarga untuk mencari ilmu dan mencari gelar sarjana.
Tiba-tiba aku ingin kembali mendongakkan
kepalaku ke langit, aku melihat satu, dua, kemudian disusul bintang-bintang
lainnya.
Kaukah
itu, bulan? Berbisik mesra pada sang awan untuk tak menyembunyikan bintang
malam ini?
Aku tersenyum menunjukkan bintang-bintang itu
pada teman-temanku. Mereka akhirnya berseru.
“Yes! Nggak jadi hujan malam ini.”
0 komentar:
Posting Komentar