Aku menemukan sebuah tempat yang membuatku
mulai mengerti dengan kata ‘nyaman’ yang sering kudengar dari ucapan orang-orang
dewasa. Di tempat ini, entah mengapa keringat rasanya ciut untuk keluar, geligi
tak mau absen melihat dunia sekitar, dan lesung pipiku yang dalam selalu ingin
pamer pada alam. Sejuk, senang, tenang, dan nyaman. Tak ada suara bising, tak
ada tawa lepas yang entah apa lelucon yang baru saja pecah, tidak ada suara
kenalpot motor yang seperti ingin terbang. Tidak ada manusia yang diam-diam
memerhatikanku.
Bertemankan pensil dan kertas-kertas yang
kujepit di papan mika, aku mulai asyik dengan duniaku sendiri. Menulis dan
menggambar. Kata orang tuaku, semenjak aku sudah bisa memegang pensil, aku
selalu meminta kertas, buku, atau apa saja yang bisa kucoreti. Semenjak kelas 4
SD, aku mulai menyukai kegiatan menggambar, kelas 6 SD aku mulai belajar
menulis cerita.
Kubalik kertas keempat yang sudah penuh berisi
cerita dan gambar-gambarku, tiba-tiba ponselku bergetar. Di tempat sesunyi ini,
aku bisa mendengar getaran ponselku dari dalam tas. Setelah diperiksa, kakak sulungku
memanggil, dengan ogah-ogahan aku mengangkatnya.
“Din! Kamu di mana?”
“Masih sibuk, kak.”
“Kamu cepetan pulang, gih! Ada teman kakak mau
datang, bantuin beres-beres rumah.” Kemudian telepon terputus. Itu artinya, aku
tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan kakakku.
Di perjalanan pulang, aku bertemu dengan abang
penjual es tebu yang mengayuh pelan sepedanya. Jakunku naik turun, rasanya haus
sekali, tetapi dari wajahnya, abang es tebu sedang tidak ingin didekati, ia
mungkin lelah dari tadi menolak permintaan anak-anak yang ingin membeli es
tebunya. Es tebunya sudah laku terjual. Sial.
Wangi apel menyambutku ketika kubuka pintu
rumah. Lantai licin itu memantulkan bayangan setiap perabotan di dalam rumah. Sepertinya
kakakku sudah selesai membereskan rumah sendirian. Aku agak kesal, tau gini, kenapa aku harus pulang? Kan kakak
bisa menyelesaikan sendirian!
“Kamu lama banget sih! Udah selesai beres-beres
rumahnya baru sampai. Pinter banget mengatur momen.”
“Ih, kakak kalau bisa ngerjain semua sendiri,
kenapa nyuruh aku cepat pulang? Aku masih nanggung tau!” kakakku mencibir
kemudian menarik tanganku masuk ke dapur.
“Nih, kamu kupas-kupasin buahnya, cuci, lalu
blender, sepuluh menit lagi tamunya sampai.” Kuletakkan tasku di kursi,
kemudian mencuci tangan, dan mulai nurut
sama tugas dari kakakku.
Benar saja, saat blender masih terputar, aku
mendengar suaa ketukan pintu di depan. Cepat-cepat kuambil gelas dan mengolesi
dengan susu cokelat. Kuintip ke ruang tamu sebentar untuk memastikan berapa
gelas aku harus menyiapkan jus. Tiga dengan kakakku.
“Wah, repot-repot segala.” Kata seorang tamu
yang bertubuh paling besar. Aku hanya tersenyum sebentar, kemudian mengedarkan
pandanganku ke arah wajah dua tamu kakakku itu. Wajahku langsung berubah heran,
kenapa bisa kakakku yang pendiam berteman
dengan orang-orang seperti mereka?
“Sillahkan diminum, bang.” Ujarku singkat
berbasa-basi.
“Iya terima kasih. Eh, kamu di sini aja ikutan
ngobrol” ujar yang berbadan besar itu lagi. Aku menurut duduk di samping
kakakku.
“Jadi, kamu yang namanya Adin?” aku melirik
kakakku, kenapa temannya kenal denganku? Kemudian aku mengangguk.
“Wah, kami pikir kamu ini badannya kecil dan
imut seperti kakakmu, tapi beda banget, ya?” kakakku tertawa.
“Yang mirip sama aku si Alvin, si Adin mah beda
sendiri.” Aku semakin penasaran dengan dua orang ini. Kenapa sampai-sampai
dengan adik-adik kakakku mereka seolah sudah tau?
“Jadi, kamu benar, mau jadi penulis komik? Boleh
kami lihat karya kamu?” ku menoleh lagi ke arah kak Alya yang masih tersenyum. Kemudian
memberikan anggukan sebagai kode agar aku mengikuti permintaan temannya yang
berambut gondrong itu.
“Sebentar” jawabku, kemudian melesat ke dapur
untuk mengambil tasku tadi.
“Ini, baru empat halaman yang kubuat sekitar
sejam tadi.”
“Baru buat?” aku mengangguk. Kemudian keduanya
bergantian membaca kertas-kertas itu. Aku kembali menatap kak Alya yang masih
tetap tersenyum.
“Oke, kami tertarik dengan ilustrasi gambar dan
bahasa dalam cerita kamu, berarti ini genre kamu?” aku menggeleng cepat.
“Aku bisa buat cerita cinta, dongeng, juga
action.” (selain cerita humor yang baru saja membuat mereka tertawa
membacanya).
“Wah… kita tekan kontrak aja sekarang gimana?”
“Ha? Kontrak apa?”
“Kontrak penerbitan.” Aku ternganga. Bagaimana mungkin,
mereka baru membaca empat halaman ceritaku sudah yakin untuk melakukan kontrak
penerbitan denganku? Ah… ini pasti kerjaannya Kak Alya yang memang suka
mencuri-curi komikku untuk dibawanya ke kantor dan menyuruh rekan-rekan
kerjanya membaca komikku.
Kak Alya mengambil alih situasi, “Kami
bicarakan juga dulu dengan orang tua kami, besok atau lusa, kita bisa ketemu
lagi untuk membcarakan kontraknya, gimana?” Kak Alya mengedipkan matanya, dan
keduanya mengangguk setuju. Setelah menyeruput jus terakhirnya, keduanya
berpamitan pulang.
“Adin, jus buatanmu enak.” Kata si abang
berbada besar di depan pintu.
“Dan, kupikir kamu itu cewek, ternyata kamu
sebangsa kami.” Ujar si rambut gondrong yang membuat kami berempat tertawa.
“Jadi, mereka itu siapa, Kak?”
“Mereka rekan bisnis kantor, dan kemarin siang
ketika jam istirahat, mereka gabung sama kami di cafe dan tertarik sama komik
kamu yang kakak bawa kemarin. Langsung deh, nawarin kerjasama.” Aku tersenyum. Ternyata
ini maksud Kak Alya menyuruhku segera pulang.
“Jadi, mulai sekarang, kamu harus percaya sama
apa yang dikatakan lingkunganmu soal karya-karya kamu. Jangan minder lagi, dan
jangan judge orang tua dan saudara kamu
memberikan pujian hanya karena kita adalah keluarga. Setuju?” Kak Alya
mengedipkan matanya dan mengangkat tangannya. Aku hanya tertawa. Kemudian kubuka
topi dan wig tebal yang menutupi kepala botakku. Kanker hepatoma telah
merenggut rambut-rambutku, yang membuatku terkesan seperti seorang anak
laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar