Rabu, 28 September 2011

Ayah, Maafkan aku!


Tirta duduk melamun di depan jendela kamarnya. Bunyi petir bernyanyi liar menggema di sudut ruangan, bulir-bulir tangis awan membasahi bumi. Melalui tetes-tetes air yang jatuh dari atap rumah, Tirta menembus jalanan yang basah, menerawang jauh menerobos padang yang basah oleh hujan, melewati genangan-genangan air, merasakan betapa hangatnya suasana rumahnya saat itu. Hujan deras yang mengguyur halaman rumah seolah-olah menggambarkan kegundahan hatinya. Tirta rindu dengan keluarganya di Bekasi, terutama dengan ayah. Sudah sepuluh bulan ia tidak melihat lagi wajah lelaki yang sekarang sudah mulai sakit-sakitan karena ulahnya itu. Masih terngiang-ngiang pertanyaan inangnya tadi pagi mengenai rencana lebarannya yang tinggal sepuluh hari lagi. Sesungguhnya ia ingin sekali berlebaran di Bekasi, berkumpul dengan keluarganya. Namun, ia masih takut-takut bertemu dengan ayah. Khawatir kalau-kalau ayah masih murka padanya.
Tirta tersentak dari lamunannya ketika terdengar Inang Mira memanggilnya dari luar.
“Tirta, ayo atuh keluar udah mau berbuka!” Tirtapun langsung bangkit menutup jendela sebelum menuju keluar.
“Wah… enak nih ada bubur kacang ijo” Tirta berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya, ia tak ingin inangnya tau apa yang menjadi beban pikirannya saat ini.
Allahu akbar, Allahu akbar…
“Alhamdulillah… mari berbuka. Allahumma lakasumtu, …” inang dan Tirta kemudian menyeruput teh manis hangat sebelum pada akhirnya menyantap bubur kacang ijo dan sholat maghrib.
Di dalam sholatnya, Tirta berdoa panjang, berharap mendapat petunjuk, pilihan mana yang akan diambilnya. Apakah ia akan tetap berlebaran bersama inang, ataukah ia akan pulang ke Bekasi berlebaran bersama keluarganya? Tirta memang masih sangat takut untuk pulang, semenjak kejadian dirinya ketahuan pesta shabu-shabu di kamarnya oleh ayah, Tirta langsung dititipkan ke rumah inang di kampung ayah, Sumedang, guna menghindari amarah ayah yang kecewa anak kesayangannya telah merusak hidupnya dengan bubuk haram itu, juga untuk menjalani proses masa pemulihan. Selama ini inanglah yang dengan sabar merawatnya, sesabar menunggu suami yang tak kunjung pulang bertahun-tahun dari perantauan.
“Bagaimana? Sudah diputuskan atuh mau lebaran di mana?” ujar inang membuka pembicaraan mereka sepulang sholat tarwih. Belum sempat Tirta menjawab, hapenya berdering, tanda ada pesan masuk, ternyata dari Mang Ujang yang memintanya untuk segera pulang dan berlebaran di Bekasi, ayah kangen.
“Siapa Tir?”
“Ini teh sms dari Mang Ujang atuh Nang, abdi diminta lebaran di Bekasi, ayah udah kangen katanya.” Ujarnya dengan penuh semangat. Alhamdulillah… akhirnya aku bisa pulang juga.
“Baguslah kalau begitu, karena kamu tidak perlu takut-takut lagi untuk pulang, karena ayahlah yang telah meminta sendiri.” Ucap inang juga gembira.
                                                *                      *                      *

            Tirta sudah bersiap-siap untuk pulang, meskipun keberangkatannya masih lama, tetapi ia sudah tak sabar rasanya ingin memeluk ayah dan meminta maaf. Imajinasinya mulai bermain, langsung merasakan betapa hangatnya dekapan ayah dan ibunya, juga kakak-kakaknya. Hm… begitu nyaman dekapan ayah yang penuh cinta kasih.
            “Tirta, kamu dengar inang tidak?” suara inang mengagetkan Tirta dari lamunan indahnya.
            “Eh, maaf atuh nang, tadi inang ngomong apa?” ujarnya malu-malu. Inang hanya tersenyum melihat tingkah Tirta.
            “Tadi inang nitip pesan buat ayah ibumu kalau sudah sampai Bekasi, juga kamunya hati-hati. Sudah, cek lagi semua barang-barangnya, kita berangkat ke terminal sekarang.”
Tirta dengan semangat menata ulang barang-barangnya, mengecek agar tak ada yang ketinggalan, tak lupa oleh-oleh dari Sumedang yang sudah disiapkannya untuk keluarga di Bekasi.
            Air hujan kembali menari-nari riang mengiringi perjalanan Tirta sore itu, terminal sangat padat, banyak yang baru datang dari Jakarta untuk mudik lebaran. Suasana haru itu kembali memancing imajinasi Tirta untuk merasakan suasana hangat yang tercipta di rumah setibanya ia nanti.
                                                *                      *                      *

            Tirta segera berlari kecil ketika mulai menapaki halaman rumah yang teduh. Seteduh wajah-wajah penghuni yang akan ditemuinya. Dekapan hangat dari ibulah yang pertama kali dirasakannya karena memang perempuan yang penuh kelembutan itu yang menyambutnya pertama kali di depan pintu. Kerinduannya benar-benar terobati ketika tangan ayah, lelaki yang terduduk di kursi roda itu terbuka lebar, bahagia sekali rasanya. Senyuman tulus dari Mang Ujang dan Teh Nia begitu sempurna, sesempurna semangat hidup yang dirasakannya sejak terlepas dari pengaruh buruk obat-obatan laknat itu. Dan kini, kebahagiaan menyeruak ke permukaan, maaf dari ayah dan keluarga telah dikantonginya, dan kini ia juga sudah kembali berkumpul dengan keluarganya.
            Suasana Lebaran yang khidmat, gema takbir berkumandang di mana-mana. Makanan enak dan unik sudah mejeng di meja, menggugah selera. Kue lebaran berbaris rapi menunggu untuk disantap. Pakaian rapi dan bersih ikut melambangkan hari kemenangan ini. Tirta begitu bahagia, sudah hampir setahun rasanya tak pernah sebahagia ini. Ayah juga sudah mulai sembuh, dan tidak selalu harus bergantung pada kursi rodanya. Benar-benar rahmat yang tiada tara yang diterimanya di hari penuh kemenangan ini.
                                                *                      *                      *

            Teeeer…teeeer…teeeer…
            Getaran hapenya mengagetkan Tirta hingga membangunkannya dari dunia fatamorgana. Ternyata cuma mimpi.
            Kamu sudah di mana? Kalau sudah sampai langsung ke rumah, jangan mampir-mampir dulu. Ayah *some text missing*
            From: Mang Ujang Mobile
            “Ayah apa? Kenapa terputus gini sms nya? Hm… pasti ayah sudah tak sabar ingin bertemu, ya, pasti!” Ujarnya dengan senyuman optimis, semakin tidak sabaran ingin cepat-cepat bertemu ayah.
Beberapa saat ia masih asyik memikirkan mimpi indah yang barusan menemani perjalanannya, tiba-tiba bunyi decit rem disusul suara keras seperti ada sesuatu yang terbanting keras. Setelah merasakan badannya sesak karena terjepit, Tirta tidak tahu apa-apa lagi. Pingsan.
“Ayah!” suara Tirta begitu lemah, nyaris tak terdengar. Tirta pelan-pelan membuka matanya, siuman setelah tak sadarkan diri selama 3 hari.
“Kamu gak papa?” suara Teh Ayu terdengar kuatir
“Teh Ayu? Ayah di mana? Tirta ingin ketemu ayah, Tirta ingin minta… aah!” rasa ngilu di perutnya membuatnya menghentikan kata-katanya. Sedang, Teh Ayu hanya mengangguk sambil senyum miris
“Sekarang sudah malam takbiran? Aku mau nelpon ayah, aku mau minta maaf teh.” Teh Ayu hanya menggeleng lemah. Air matanya mengalir pelan.
“Sekarang sudah hari kedua lebaran. Ayah meninggal ketika malam takbiran.”
Hening.

Continue reading

Senin, 19 September 2011

SEBINGKAI SURAT UNTUK KAKAK

            Kutahan amarah kala itu, sebelum subuh menjelang ia memecahkan keheningan gubuk terindahku. Merinding bulu romaku, naik nafsu amarahku, memanas telingaku. Benar-benar memuakkan kalimat kasarnya itu  terdengar. Aku benar-benar tak mengerti mengapa seorang Anton begitu tega berkata-kata kasar kepada ibunya sendiri hanya gara-gara seorang perempuan yang baru dua tahun ini dikenalnya.
            Aku tak berani keluar dari kamar, aku takut harus bertengkar lagi dengannya, tetapi semakin aku menahan diri di kamar, semakin amarahku memuncak dan rasanya ingin menendangnya saat itu juga dari rumah. Tetapi, sekali lagi aku takut, dan hanya bisa meneriakkan kaliamat pilu
            “Sudahlah, mendingan kakak pergi saja, jangan sakiti lagi hati emak!” setelah itu kudengar ada langkah mendekati kamarnya yang berada di sebelah kamarku, membuka pintu lemari, mengobrak-abrik isinya dengan kasar dan terakhir membanting pintunya kuat-kuat, bahkan sangat kuat, bisa-bisa membuat lemari reot itu rubuh. Setelah itu kudengar langkah menjauh ke luar rumah, dan ada suara ribut-ribut di luar, ada suara bantingan pula. Setelah itu aku hanya mendengar helaan nafas emak. Aku tahu, emak pasti sakit sekali. Tetapi aku tak berani keluar untuk menenangkannya, kurasa aku biarkan saja emak sendirian menenangkan dirinya dulu.
            Emak benar-benar terpukul dengan kejadian semalam. Terutama terpukul dengan kepergian Anton. Aku hanya bisa bilang sabar kepada emak. Terbayanglah bagaimana nasibku nantinya, kuliahku? Karena selama ini dialah yang membiayai semua kebutuhan dan hidupku di Bandung. Tetapi aku tidak boleh egois, saat ini, perasaan emaklah yang paling penting. Demi untuk menghibur emak, aku bawa emak jalan-jalan  ke Bandung. Tetap berada di Sumedang hanya akan membuat perasaan emak sedih saja. Lagian sebentar lagi kuliah semester ganjilku akan segera dimulai. Sekalian aku bawa emak jalan-jalan ke kampusku.
*                      *                      *

            “Kampusmu sangat megah ya nak, sayang jika kamu harus meninggalkannya.” Kudengar suara emak sangat lirih. Aku hanya tersenyum. Dan emak berkata lagi
            “Kamu masih ingin melanjutkan kuliahmu kan?” aku kaget! Tak menyangka emak akan bertanya demikian, aku merasa tak enak hati bagaimana harus menjawabnya ternyata emak memikirkan nasib kuliahku. Memang selama ini Antonlah yang selalu membiayai kuliahku, seluruh kebutuhanku, dan biaya hidupku, semua terlalu kugantungkan padanya. Dan sekarang, setelah semua kejadian buruk ini, aku harus bergantung kepada siapa lagi? Aku tak mungkin membebani emak yang sudah tua dan sudah begitu banyak beban yang dipikulnya.
            “Iya mak, sayang, kan beberapa semester lagi aku akan diwisuda. Tapi mungkin aku cuti dulu lah, barang satu-dua semester ini.”
            “Kenapa kamu harus cuti Ti? Katanya tadi sayang dengan kulahmu?” emak menyanggahku
            “Aku mau kumpul uang buat kuliah mak.” Emak terdiam
            “Biarlah emak yang meneruskan biaya kuliahmu Ti, emak masih sanggup membiayaimu. Meski tanpa Anton.” Ada petir menyambar di dalam palung hatiku, mendengar kalimat emak dan bahasa yang terkesan sangat dipaksakan itu benar-benar sakit kurasakan. Luka hati yang emak rasakan jelas masih terasa. Begitu juga dengan aku, ada rasa yang tak terkalimatkan! Tetapi satu hal yang kutahu, itu adalah suatu rasa yang teramat menyakitkan.
            “Ya sudahlah mak, sekarang kita tidak perlu mikirin biaya kuliahku dulu, aku kan baru saja mendapat beasiswa dari kampus, dan itu dapat menutupi kebutuhan kuliahku yang tinggal beberapa hari lagi, nanti bagaimananya aku yakin akan dapat pertolongan dari Tuhan.” Aku berusaha menegarkan emak dengan tidak mau membebaninya dengan persoalan kuliahku. Aku ingin emak bersenang-senang saja dulu dan sedikit-sedikit mengobati sembilu di hatinya.
*                      *                      *

            Matahari mulai bersembunyi di balik onggokan tanah dan bebatuan, sepertinya ia sudah bersiap berganti tugas dengan bulan yang samar-samar mulai tersenyum. Aku baru selesai mandi, dan emak sedang di kamar mandi melepaskan kepenatan dan menyegarkan badan. Kutatap langit yang menjingga dari balik jendela kamar kosku. Pikiranku melayang kemana-mana, aku jadi teringat masa-masa masih bersama Anton dulu. Rasanya, dengan lahir dari rahim dan darah yang sama, kami menjadi lebih dekat. Kadang ku tunggu kepulangannya hanya untuk bertengkar. Itu caraku untuk mengetahui apa yang sedang dia pikirkan, seberapa sayang dan pedulinya dia padaku. Ya! Kami selalu bertengkar, aku yang cari gara-gara. Tapi sungguh, dengan cara itu aku sebenarnya ingin dia tau aku sayang padanya, tak ingin melihat dia tertekan, bahkan dimarahi. Namun, cara itu tak mempan lagi. Usia dan jarak yang tercipta antara kami mulai membuat semuanya jadi kaku. Dia seperti orang lain. Aku rindu, rindu saat kami bertengkar saling berebut perhatian emak. Aneh memang, saat perlahan-lahan aku sadar telah kehilangan sosok teman dan kakak laki-laki lucuku. Tetapi, aku terima sebagai sebuah keharusan.
Kurasa, dengan kemampuan mencari uang secepat kilat, dia mulai pongah, jarang pulang, dan sering tak kutahu dimana keberadaaannya. Mungkin karena telah terbiasa bepergian dan dia mulai tak sempat dan jarang minta izin pada emak. Dia seakan punya kehidupan sendiri. Kami mulai kesulitan untuk sekadar berkumpul bertiga. Sungguh, kuakui aku sangat merindukannya. Tetapi ku sembunyikan air mataku, kutahan rindu yang mungkin ada jika aku tak melihatnya lagi. aku sayang padanya. Tetapi hubunganku dengannya berjalan kaku. Kaku! Aku bahkan tak bisa membicarakan sekolahku padanya. Dalam benakku penuh tanda tanya. Namun aku memilih diam. Aku kaku untuk bertanya. Takut lancang dan melukai hatinya.
Aku sangat menyesali kenyataan bahwa aku merasa sangat jauh dengannya, sejauh bumi tak mengenali pluto, sejauh dasar lautan tak mengenal indahnya langit, dan sejauh mata tak dapat melihat pundak. Aku benar-benar mengutuk ini. Mengapa aku tak bisa mengenali kakakku sendiri??? Dan rasa apa yang pantas kurasakan untuk ini? Menyesalkah? Rasa bersalahkah? Aku tak tahu.
Sudah lama aku ditinggal ayah, dari aku kelas 2 SD, semenjak itu aku hanya diasuh emak. Dulunya aku pikir dan berharap bisa mendapatkan kasih sayang yang berupa sosok seorang ayah pada diri Anton. Tetapi sekali lagi, aku merasa ada jarak di antara kami, aku tak mengenal baik kakakku itu. Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kasih sayang seorang ayah dari orang yang aku tak kenal hatinya?
*                      *                      *

Sampai sekarang, sudah hampir dua minggu pasca kejadian ribut-ribut di rumah, Anton belum juga berusaha untuk menghubungi emak dan meminta maaf pada emak. Sampai ketika tadi pagi Emak mendapatkan telfon dari Makcik di Sumedang yang mengabarkan kalau Anton hendak menikah dengan perempuan itu dalam waktu dekat ini. Emak bilang kalau besok beliau pulang saja ke Sumedang, emak mau bertemu langsung dengan Makcik dan membicarakan masalah ini.
            “Ti, kamu doakan saja urusan emak segera selesai di kampung ya, kamu selesaikan saja kewajibanmu menuntut ilmu sebagai calon kuli negara nantinya, mudah-mudahan semua ada jalannya. Tuhan tidak pernah tidur” Suara emak terdengar tegar sekali. Kuharap, emak memang benar-benar sudah sangat tegar menghadapi semua permasalahan ini.
            “Iya mak, Iti akan serius kuliah dan akan segera menamatkan kuliah dengan secepatnya, dan aku pasti akan mendoakan yang terbaik untuk kita semua.” Emak hanya tersenyum. Dalam hati aku menangis dan berharap hati Anton akan segera luluh.
*                      *                      *

Malam ini aku tersentak dari tidurku, aku baru ingat kalau pagi ini kuliah pertama akan dimulai. Segera kucuci muka untuk menghilangkan kantukku. Setelah itu aku mempersiapkan perlengkapan kuliahku, mulai dari baju yang belum di setrika, sampai buku-buku yang mesti aku bawa untuk perkuliahan nanti. Di saat aku mengambil buku dari lemari, terjatuh sebuah foto yang tersalip di antara buku-buku, kupungut foto yang dengan posisi terbalik itu, ketika kubalik, ternyata itu foto aku bersama ayah, emak, dan juga Anton. Kuingat foto itu diambil sehari sebelum kepergian ayah. Aku menangis, namun tanpa air mata. Sakit sekali rasanya, merenungkan apa yang kurasakan, tak dapat kugambarkan dalam kata, apalagi kalimat. Kalian tak akan pernah mengerti dengan perasaanku, perasaan seorang yang terasing, karena apa? Karena kalian tidak pernah mengalami apa yang selalu kurasakan. Kalian tak akan pernah bisa memahami dan menyelami ke bagian dalam hatiku. Sungguh, aku merasa menjadi orang paling hina.
*                      *                      *

            Semalam sudah kupikirkan, akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Anton apa isi hatiku yang sebenarnya. Akan kuluapkan apa yang selama ini selalu kusimpan dan kusembunyikan darinya. Kuharap dia mau mengerti. Setelah dia benar-benar tahu, terserah dia akan bagaimana. Apakah dia akan meninggalkanku? Atau akan benar-benar bisa menjadi kakak terbaikku.



Teruntuk kakakku, Anton
Sebelumnya aku mendoakan semoga kakak selalu berada di jalan yang di ridhoi-Nya dan bisa lebih mendewasakan sikap dan  fikiranmu. Aku tahu, kamu tidak suka dengan basa basi. Jadi aku langsung saja.
 Kak, Aku ingin tahu apakah kakak sadar kalau kakak memiliki seorang adik perempuan? Kuakui, aku memang cemburu dengan perempuan-perempuan yang selalu hadir di hidupmu, dia bisa lebih kenal dan lebih memilikimu dibanding aku, adik kandungmu sendiri yang terlahir dari rahim hangat penuhcintanya emak.  Aku telah kehilangan sosok ayah, tak kutahu bagaimana rasanya berayah. Tapi aku senang mimiliki sosok kakak laki-laki. Namun,,, aku juga kehilangannya. Dari dulu, tak kutemukan sosok ayah maupun kakak di dirimu. Kamu  orang asing. Aku hanya berharap, kau menganggapku sebagai adikmu, Aku berharap kau  memperlakukanku layaknya saudara. Aku menyayangimu.  Aku ingin kau tahu, aku bangga memiliki kakak sepertimu, aku bangga jadi adikmu. walau kita  jauh berbeda. Tolong sebut aku seperti aku menyebutmu. Tolong, banggalah padaku.. Tolong sayang aku.
                        
Wassalam

Adikmu, Ranti                                          
Kupastikan sekali lagi suratku itu bisa dimengerti oleh kakakku apa maksudnya. Setelah itu kumasukkan ke dalam amplop berwarna biru, warna kesukaannya. Kusimpan di bawah bantal, untuk besoknya aku titipkan kepada temannya yang sudah janji padaku akan menjemput surat itu besok ke kampus. Aku tertidur malam itu dengan tersenyum, aku memang menaruh harapan pada isi surat yang kutulis itu, aku berharap bisa segera memperbaiki hubunganku dengan kakakku itu. Juga, kuberharap, kami bisa kembali berkumpul bertiga. Sebuah memori panjang mengerumuni otakku.Menyelami dinding tua Rumah ... 



Terima kasih untuk sahabatku (TA) yang telah memberi inovasi dalam penulisan cerpen ini. Terima kasih untuk ceritanya yang sudah aku daur ulang. Semoga suka :)


Continue reading