Aku tertegun lagi. Entah kenapa mata ini tak pernah
berniat lepas dari pemandangan sejuk yang beberapa hari belakang selalu nampak
semenjak kepindahanku ke kota ini. Gerobak sempit tempatku dan ibu mengadu
nasib di kota setelah berkali-kali digusur di desa, tempat kami istirahat,
tempat kami bercengkrama dan menghabiskan lebih dari setengah hari usiaku pada
setiap harinya, tepat berdiri di tempat yang strategis. Di persimpangan yang
sering dilewati si mata elang dan si badan atletis. Mungkin rumahnya salah satu
yang megah di dalam sana.
Gerimis senja itu, pertama kali mataku menangkap
sosoknya. Ia tengah berlari menghindari tetes-tetes air, sampai akhirnya
berteduh di tenda yang didirikan ibu, lebih tepatnya menumpang berteduh.
“Maaf, bu. Saya kehujanan. Saya numpang berteduh di
sini sebentar ya.” Ibu hanya tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian mendongak ke
dalam gerobak. Mungkin ia penasaran denganku. Aku balas mendongak ke atas,
kemudian hanya tertunduk karena dadaku berdesir dan kurasakan mukaku memerah.
Rasanya baru kali ini deguban aneh itu kurasakan ketika melihat sosok mahkhluk
bernama laki-laki.
“Maaf, bu. Bisa bikinkan saya kopi?” sepertinya ia
memang kedinginan. Ibu yang pengertian mengangguk sambil mengambil handuk dan
kain sarung lusuh untuk diberikan padanya. Ia tertawa. Tapi anehnya –tidak
seperti orang kaya lainnya– ia tak memperlihatkan ekspresi jijik sedikitpun.
Kemudian kudengar ia tengah berbicara dengan seseorang dengan telepon
genggamnya. Sepertinya ia minta dijemput.
Saat ibu menyuguhkan kopi pesanannya, ia kembali
bertanya,
“Ibu baru di sini ya? Sebelumnya saya nggak pernah
liat ada yang jualan di sini.” Ibu mengangguk ramah. Tidak puas, ia bertanya
lagi.
“Memangnya ibu dari mana?” ibu tampak bingung menjawabnya.
Kemudian mulai mengangkat tangan dan berbicara dengan bahasa tubuhnya. Lelaki
itu mengernyitkan dahinya. Ia sudah pasti tak paham dengan jawaban ibu.
Kemudian ia mendongak lagi ke dalam gerobak.
“Maaf, bisa tolong terjemahkan bahasa ibu ini pada
saya?” aku yang sedikit gugup dan malu-malu kemudian berdiri, setelah menarik
napas panjang, kujawab ia.
“Ibu-bilang- kami-dari-desa-terpencil.” Ujarku lebih
pelan, tentu saja juga dengan bahasa isyarat. Ia akhirnya paham kekuranganku
dan ibu. Kemudian ia meminta kertas dan menyuruhku menuliskannya. Aku
menggeleng cepat. Dari kecil aku tidak pernah bisa sekolah, aku tidak pandai
baca tulis. Aku meminta maaf melalui bahasa tubuhku, dan sepertinya ia
mengerti.
Tak lama kemudian datang seorang ibu-ibu berdaster
membawakan payung. Dari penampilannya sudah pasti itu bukan ibunya. Kemudian ia
berbicara pada ibu tersebut.
“Mbok, mereka pakai bahasa isyarat, aku nggak ngerti.
Terjemahin dong.”
“Waduh, den. Mbok juga nggak pandai bahasa isyarat.
Kan ndak pernah sekolah itu dulu.” Ia akhirnya menyerah dan membayar kopinya
lantas pamit pada ibu, dan tentu saja padaku. Aku senang dengan senyumannya.
Nampak ketulusan dari sana. Ia tak jijik kepada kami, juga tak risih kami ini
orang bisu.
Semenjak percakapan singkat di penghujung senja itu,
ia jadi sering mampir ke gerobak kecil yang kami jadikan kedai sekaligus tempat
tinggal itu. Dari pakaiannya, ia kuketahui tengah kuliah di kampus ternama di
kota ini. Ia pasti sangat pintar.
“Nama kamu siapa?” katanya suatu waktu.
“Ayana” jawabku dengan bahasaku. Ia mencoba menebak
berbagai nama tapi melesat jauh. Namanya juga aneh ditelingaku.
“Marcia? Grace? Jennifer? Siapa? Waduh… salah terus.”
Ia pun menyerah melakukan komunikasi yang payah ini. Tapi ia hanya menyerah di
hari itu saja. Esok harinya ia kembali datang dengan membawa temannya. Kupikir
temannya bisa berbahasa isyarat. Ternyata lebih kacau.
“Suminem? Rohanah? Surtini? Minah? Aaah…” kudengar
mereka beradu argumen.
“Lu sih, jelas-jelas mereka ini orang kampung. Pasti
namanya udik.” Jawab temannya. Kurasa ia menerka kalau aku ini juga tuli.
Padahal aku bisa mendengar semuanya dengan jelas. Tapi tak apa. Memang benar
adanya.
*
Selalu saja, dia takkan bisa mengerti perasaan ini.
Kediamanku jelas tak bisa mengungkapkan rasaku padanya. Apalagi ia sama sekali
tak mengerti bahasaku. Apalagi mengerti hatiku? Pernah kucoba berkomunikasi
dengan bahasa isyarat termudah yang kurasa ia akan bisa memahaminya. Namun
sulit.
Pernah suatu ketika, ia mampir ke warung kami. Ia
memandangiku sebentar, tatapan matanya seperti hendak bertanya. Tetapi dia
sudah tentu tau. Meski aku mengerti dan ingin menjawab, ia takkan bisa menerka
apa yang kubicarakan.
Ibu, bagaimana cara aku bisa
berkomunikasi dengan orang yang tidak bisa mengerti bahasa isyarat? Pernah suatu ketika kutanyakan itu pada ibu. Ibu tersenyum. Lama
kemudian baru menjawabku.
Karena kamu tidak bisa baca tulis, kamu
butuh orang lain yang bisa menjadi perantara, nak. Aku terdiam. Sudah tentu itu susah. Di tempat baruku mencari sesuap
nasi dengan ibu ini, belum pernah sekalipun kutemukan orang yang bisa mengerti
bahasaku. Mereka yang sangat sibuk itu justru lari meninggalkanku karena
baginya hanya akan membuang waktu bila berlama-lama menerka maksudku tetapi
tidak berhasil juga.
*
Sudah tiga hari ia tak pernah terlihat melewati
persimpangan tempatku dan ibu “mangkal”. Hatiku gelisah. Takut ada sesuatu yang
terjadi padanya. Tapi ketidakmampuanku menghukum keinginanku untuk tahu. Ahh…
kekurangan memang sebatas kekurangan. Kebisuan ini memberi dinding pembatas
bagiku dan ibu untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti saat kemarin, aku
bertemu mbok yang waktu itu. Kutanyakan keberadaan si mata elang. Tapi dia
malah bergosip denganku. Menjadikanku pendengar setianya selama 2 jam.
Kemurunganku bertambah dalam, kala tiga hari itu tlah
bertambah menjadi seminggu. Entah berapa besarnya rasa rinduku padanya. Tiap
detik, pikiranku tak pernah terlepas darinya. Pertanyaan dan terkaan-terkaan
selalu menghuni benakku. Ketakutan terparahku, dia telah pindah. Sebelum aku
sempat memberitahunya perasaanku. Ya. Meski aku tak yakin bila berada di
hadapannya aku akan bisa mengungkapkan rasa yang dalam ini.
*
Gerimis senja. Membuatku yang hendak jalan-jalan sore
itu mengurungkan niatku. Sambil manyun memangku sebakul gorengan, kuperhatikan
setiap jengkal kaki yang lalu-lalang di depanku. Dan, mataku membulat bening
melihat seorang yang teramat kurindukan belakangan ini duduk di belakang kemudi
mobil mewah, di sampingnya ada sosok gadis berambut panjang. Cantik.
Ketika mobilnya melewatiku, aku langsung menunduk dan
memalingkan muka. Entah kenapa aku ingin marah melihatnya dengan perempuan
lain. Tapi tiba-tiba…
“Hei, udah lama ya, nggak ketemu. Manyun aja nih.
Mentang-mentang ujan.” Aku kaget. Kenapa ia –tanpa perempuan itu– bisa
tiba-tiba ada di belakangku.
“tapi, ngomong-ngomong kamu cantik banget sore ini.
Hehe” cengirnya sambil menggaruk kepala. Dan kepalaku tentu saja langsung
menunduk tanpa komando. Mukaku terasa panas. Pasti ia sudah memerah sekarang.
Ia mendongakkan kepalanya ke dalam gerobak. Mungkin ia mencari ibu.
“Ibu tidak ada.” Ia mengangguk dan tersenyum, kemudian
tangannya terangkat. Mengusap-usap lembut kepalaku. Mata elangnya yang begitu
tajam menghunus ulu hatiku. Ia menatapku lama, tanpa berkedip.
“Aku mau pamit sama kamu, mungkin kita nggak akan
ketemu lagi setelah ini. Senang bisa kenal dengan gadis cantik sepertimu, yang
suka menolong dan murah senyum. Meski tidak bisa disuarakan, aku tau apa yang
hendak kamu katakan.” Sekali lagi, ia mengusap-usap rambutku sebelum akhirnya
menjauh. Aku hanya bisa mematung. Ada
apa? Apa dia harus pindah? Kenapa mendadak sekali?
Namun ia malah berjalan ke arah jalan raya, semakin
menjauhi mobilnya. Aku masih ingat, ia berjalan sambil terus memperhatikan
hapenya. Sampai kudengar bunyi roda mencicit menekan aspal.
“Brakkk!”
Benturan itu. Aku melihatnya dengan jelas. Aku pun
merasakan rasa sakit yang teramat. Andai aku bisa bersuara, teriakanku akan
membelah angkasa yang kejam ini. Kulempar gorengan yang kupangku tadi.
Kuberlari sekuat tenaga untuk lebih mendekat dan memastikan apa yang kulihat.
Untuk memastikan ia masih ada untuk mengetahui perasaanku.
Aku ikut ke rumah sakit. Kulihat tatapan aneh
orang-orang padaku. Kenapa si bisu ini
ada di sini? Tentu mereka berpikiran begitu. Begitu juga dengan gadis manis
yang tadi bersamanya. Air matanya seperti tinta, berwarna hitam. Mungkin itu
riasannya yang luntur. Tetapi aku tidak peduli. Selama ini, aku telah menahan
semua gejolak yang memburu di jantungku, dan hari ini rasanya ia akan meledak.
Aku akan menunggu. Menunggu sampai ia sadar. Menunggu ada kesempatan untukku
membesuknya ke dalam kamar rawat. Menunggu ia bisa mengerti bahasa tangan yang
baru kutau, orang kota paham kalau artinya “aku mencintaimu”.
0 komentar:
Posting Komentar