Senin, 30 Desember 2013

Dalam Kebisuan


Aku tertegun lagi. Entah kenapa mata ini tak pernah berniat lepas dari pemandangan sejuk yang beberapa hari belakang selalu nampak semenjak kepindahanku ke kota ini. Gerobak sempit tempatku dan ibu mengadu nasib di kota setelah berkali-kali digusur di desa, tempat kami istirahat, tempat kami bercengkrama dan menghabiskan lebih dari setengah hari usiaku pada setiap harinya, tepat berdiri di tempat yang strategis. Di persimpangan yang sering dilewati si mata elang dan si badan atletis. Mungkin rumahnya salah satu yang megah di dalam sana.
Gerimis senja itu, pertama kali mataku menangkap sosoknya. Ia tengah berlari menghindari tetes-tetes air, sampai akhirnya berteduh di tenda yang didirikan ibu, lebih tepatnya menumpang berteduh.
“Maaf, bu. Saya kehujanan. Saya numpang berteduh di sini sebentar ya.” Ibu hanya tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian mendongak ke dalam gerobak. Mungkin ia penasaran denganku. Aku balas mendongak ke atas, kemudian hanya tertunduk karena dadaku berdesir dan kurasakan mukaku memerah. Rasanya baru kali ini deguban aneh itu kurasakan ketika melihat sosok mahkhluk bernama laki-laki.
“Maaf, bu. Bisa bikinkan saya kopi?” sepertinya ia memang kedinginan. Ibu yang pengertian mengangguk sambil mengambil handuk dan kain sarung lusuh untuk diberikan padanya. Ia tertawa. Tapi anehnya –tidak seperti orang kaya lainnya– ia tak memperlihatkan ekspresi jijik sedikitpun. Kemudian kudengar ia tengah berbicara dengan seseorang dengan telepon genggamnya. Sepertinya ia minta dijemput.
Saat ibu menyuguhkan kopi pesanannya, ia kembali bertanya,
“Ibu baru di sini ya? Sebelumnya saya nggak pernah liat ada yang jualan di sini.” Ibu mengangguk ramah. Tidak puas, ia bertanya lagi.
“Memangnya ibu dari mana?” ibu tampak bingung menjawabnya. Kemudian mulai mengangkat tangan dan berbicara dengan bahasa tubuhnya. Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Ia sudah pasti tak paham dengan jawaban ibu. Kemudian ia mendongak lagi ke dalam gerobak.
“Maaf, bisa tolong terjemahkan bahasa ibu ini pada saya?” aku yang sedikit gugup dan malu-malu kemudian berdiri, setelah menarik napas panjang, kujawab ia.
“Ibu-bilang- kami-dari-desa-terpencil.” Ujarku lebih pelan, tentu saja juga dengan bahasa isyarat. Ia akhirnya paham kekuranganku dan ibu. Kemudian ia meminta kertas dan menyuruhku menuliskannya. Aku menggeleng cepat. Dari kecil aku tidak pernah bisa sekolah, aku tidak pandai baca tulis. Aku meminta maaf melalui bahasa tubuhku, dan sepertinya ia mengerti.
Tak lama kemudian datang seorang ibu-ibu berdaster membawakan payung. Dari penampilannya sudah pasti itu bukan ibunya. Kemudian ia berbicara pada ibu tersebut.
“Mbok, mereka pakai bahasa isyarat, aku nggak ngerti. Terjemahin dong.”
“Waduh, den. Mbok juga nggak pandai bahasa isyarat. Kan ndak pernah sekolah itu dulu.” Ia akhirnya menyerah dan membayar kopinya lantas pamit pada ibu, dan tentu saja padaku. Aku senang dengan senyumannya. Nampak ketulusan dari sana. Ia tak jijik kepada kami, juga tak risih kami ini orang bisu.
Semenjak percakapan singkat di penghujung senja itu, ia jadi sering mampir ke gerobak kecil yang kami jadikan kedai sekaligus tempat tinggal itu. Dari pakaiannya, ia kuketahui tengah kuliah di kampus ternama di kota ini. Ia pasti sangat pintar.
“Nama kamu siapa?” katanya suatu waktu.
“Ayana” jawabku dengan bahasaku. Ia mencoba menebak berbagai nama tapi melesat jauh. Namanya juga aneh ditelingaku.
“Marcia? Grace? Jennifer? Siapa? Waduh… salah terus.” Ia pun menyerah melakukan komunikasi yang payah ini. Tapi ia hanya menyerah di hari itu saja. Esok harinya ia kembali datang dengan membawa temannya. Kupikir temannya bisa berbahasa isyarat. Ternyata lebih kacau.
“Suminem? Rohanah? Surtini? Minah? Aaah…” kudengar mereka beradu argumen.
“Lu sih, jelas-jelas mereka ini orang kampung. Pasti namanya udik.” Jawab temannya. Kurasa ia menerka kalau aku ini juga tuli. Padahal aku bisa mendengar semuanya dengan jelas. Tapi tak apa. Memang benar adanya.
*
Selalu saja, dia takkan bisa mengerti perasaan ini. Kediamanku jelas tak bisa mengungkapkan rasaku padanya. Apalagi ia sama sekali tak mengerti bahasaku. Apalagi mengerti hatiku? Pernah kucoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat termudah yang kurasa ia akan bisa memahaminya. Namun sulit.
Pernah suatu ketika, ia mampir ke warung kami. Ia memandangiku sebentar, tatapan matanya seperti hendak bertanya. Tetapi dia sudah tentu tau. Meski aku mengerti dan ingin menjawab, ia takkan bisa menerka apa yang kubicarakan.
Ibu, bagaimana cara aku bisa berkomunikasi dengan orang yang tidak bisa mengerti bahasa isyarat? Pernah suatu ketika kutanyakan itu pada ibu. Ibu tersenyum. Lama kemudian baru menjawabku.
Karena kamu tidak bisa baca tulis, kamu butuh orang lain yang bisa menjadi perantara, nak. Aku terdiam. Sudah tentu itu susah. Di tempat baruku mencari sesuap nasi dengan ibu ini, belum pernah sekalipun kutemukan orang yang bisa mengerti bahasaku. Mereka yang sangat sibuk itu justru lari meninggalkanku karena baginya hanya akan membuang waktu bila berlama-lama menerka maksudku tetapi tidak berhasil juga.
*
Sudah tiga hari ia tak pernah terlihat melewati persimpangan tempatku dan ibu “mangkal”. Hatiku gelisah. Takut ada sesuatu yang terjadi padanya. Tapi ketidakmampuanku menghukum keinginanku untuk tahu. Ahh… kekurangan memang sebatas kekurangan. Kebisuan ini memberi dinding pembatas bagiku dan ibu untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti saat kemarin, aku bertemu mbok yang waktu itu. Kutanyakan keberadaan si mata elang. Tapi dia malah bergosip denganku. Menjadikanku pendengar setianya selama 2 jam.
Kemurunganku bertambah dalam, kala tiga hari itu tlah bertambah menjadi seminggu. Entah berapa besarnya rasa rinduku padanya. Tiap detik, pikiranku tak pernah terlepas darinya. Pertanyaan dan terkaan-terkaan selalu menghuni benakku. Ketakutan terparahku, dia telah pindah. Sebelum aku sempat memberitahunya perasaanku. Ya. Meski aku tak yakin bila berada di hadapannya aku akan bisa mengungkapkan rasa yang dalam ini.
*
Gerimis senja. Membuatku yang hendak jalan-jalan sore itu mengurungkan niatku. Sambil manyun memangku sebakul gorengan, kuperhatikan setiap jengkal kaki yang lalu-lalang di depanku. Dan, mataku membulat bening melihat seorang yang teramat kurindukan belakangan ini duduk di belakang kemudi mobil mewah, di sampingnya ada sosok gadis berambut panjang. Cantik.
Ketika mobilnya melewatiku, aku langsung menunduk dan memalingkan muka. Entah kenapa aku ingin marah melihatnya dengan perempuan lain. Tapi tiba-tiba…
“Hei, udah lama ya, nggak ketemu. Manyun aja nih. Mentang-mentang ujan.” Aku kaget. Kenapa ia –tanpa perempuan itu– bisa tiba-tiba ada di belakangku.
“tapi, ngomong-ngomong kamu cantik banget sore ini. Hehe” cengirnya sambil menggaruk kepala. Dan kepalaku tentu saja langsung menunduk tanpa komando. Mukaku terasa panas. Pasti ia sudah memerah sekarang. Ia mendongakkan kepalanya ke dalam gerobak. Mungkin ia mencari ibu.
“Ibu tidak ada.” Ia mengangguk dan tersenyum, kemudian tangannya terangkat. Mengusap-usap lembut kepalaku. Mata elangnya yang begitu tajam menghunus ulu hatiku. Ia menatapku lama, tanpa berkedip.
“Aku mau pamit sama kamu, mungkin kita nggak akan ketemu lagi setelah ini. Senang bisa kenal dengan gadis cantik sepertimu, yang suka menolong dan murah senyum. Meski tidak bisa disuarakan, aku tau apa yang hendak kamu katakan.” Sekali lagi, ia mengusap-usap rambutku sebelum akhirnya menjauh. Aku hanya bisa mematung. Ada apa? Apa dia harus pindah? Kenapa mendadak sekali?
Namun ia malah berjalan ke arah jalan raya, semakin menjauhi mobilnya. Aku masih ingat, ia berjalan sambil terus memperhatikan hapenya. Sampai kudengar bunyi roda mencicit menekan aspal.
“Brakkk!”
Benturan itu. Aku melihatnya dengan jelas. Aku pun merasakan rasa sakit yang teramat. Andai aku bisa bersuara, teriakanku akan membelah angkasa yang kejam ini. Kulempar gorengan yang kupangku tadi. Kuberlari sekuat tenaga untuk lebih mendekat dan memastikan apa yang kulihat. Untuk memastikan ia masih ada untuk mengetahui perasaanku.
Aku ikut ke rumah sakit. Kulihat tatapan aneh orang-orang padaku. Kenapa si bisu ini ada di sini? Tentu mereka berpikiran begitu. Begitu juga dengan gadis manis yang tadi bersamanya. Air matanya seperti tinta, berwarna hitam. Mungkin itu riasannya yang luntur. Tetapi aku tidak peduli. Selama ini, aku telah menahan semua gejolak yang memburu di jantungku, dan hari ini rasanya ia akan meledak. Aku akan menunggu. Menunggu sampai ia sadar. Menunggu ada kesempatan untukku membesuknya ke dalam kamar rawat. Menunggu ia bisa mengerti bahasa tangan yang baru kutau, orang kota paham kalau artinya “aku mencintaimu”.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar