Kamis, 04 Oktober 2012

Curcol stek


This is my birthday!!! And I wanna tell you about my feeling.

Cerita ini tentunya tentang kegiatan PL (Praktik Lapangan) atau nama lainnya KKN (Kuliah Kerja Nyata).
Gue sengaja memilih sekolah PL di daerah gue sendiri, alasannya sederhana aja, pengen deket sama ortu, tapi alasan yang lebih logisnya, gue mau punya waktu lebih banyak untuk latihan, karena bentar lagi (Desember) mau porprov (porda).
Akhirnya pilihan jatuh di SMP 4, bukan kebetulan sih sebenernya, tapi emang keinginan gue disana, alasannya juga sederhana, karena sekolah itulah yang terdaftar di portal yang paling deket dari rumah gue (meski sebenernya jauh juga).
Nah... perjalanan ini berawal dari gue mengetahui siapa pamong (guru yang membimbing gue selama gue masa PL di sekolahnya) gue. Maaf aja ya, dari awal gue tahu siapa pamong gue perasaan ini emang udah ga enak aja. Gue yang notabene sedikit punya kemampuan menilai orang, menilai si ibu itu tidak sepenuhnya ikhlas dengan senyum terkembangnya. Entahlah, dari awal gue berusaha netral dan mencoba mengerjakan segala amanah, menuruti segala perintah ibu itu. Agar proses praktik yang gue jalani berjalan lancar.
Tetapi tetep aja, seberapa kerasnya gue berusaha netral dan nganggap all is well... telinga gue panas juga dengan apa yang tiap hari gue denger. Temen2 sesama PL di SMP itu hampir tiap ari bergunjing, yang tak lain topiknya pasti pamong gue itu.
Iya sih... gue tau pamong gue itu gimana, mmmm apa perlu gue deskripsiin dikit? Oke!
Ibu itu dari mukanya yang ‘keras’ keliatan banget tegas dan kerasnya. Dan di sekolah, guru yang masih make cara lama mendidik anak, ya ibu itu (cara lama: main fisik, alias pukul cubit, jewer) trus ngomongnya juga ‘agak’ kasar, padahal kan guru bahasa Indonesia. Dan lagi, kalo udah marah, ga di tempatnya juga. Pernah ada seorang siswa yang ditampar pundaknya di depan orang tua siswa itu. Pernah juga dimaki-maki, dimarahi abis-abisan di depan orang tuanya juga. Sebagai orang tua, wajarlah mukanya merah padam liat anaknya digituin!
Nah, gue, sebagai mahasiswa yang selalu masuk kelas bareng ibu itu, selalu ngeliat perlakuan ‘kasar’ itu di dalam kelas. Anak perempuan dijewer kupingnya hanya karena kesalahan kecil, anak lelaki yang kadang tidak salah tapi kupingnya juga dapet jeweran atau cubitan memutar, pokoknya kejam deh! Belum lagi makian kasarnya yang sering terlontar.
Oke, deskripsinya segitu aja, gue yakin udah pada ngerti dengan wataknya ibu itu. Nah, tiap ari selalu ibu itu yang jadi bahan pembicaraan temen-temen. Tapi gue masih tetap berusaha netral, dan terkesan membela ibu itu. Sampai-sampai gue disindir udah bela-belain orang yang salah sama temen-temen gue.
Udah berjalan dua minggu, mulai perlakuan tidak mengenakkan gue terima. Sedang asik-asiknya mengajar, tiba-tiba gue disetop! (disetop di tengah jalan itu bikin harga diri gue depan siswa sedikit jatoh). Meski sedikit jengkel dan kecewa, gue tetap berusaha diam and kasih yang terbaik aja.
Tapiiiii... ternyata sebulan gue di sekolah, (tepatnya hari ini, di hari jadi gue) ibuk itu bikin malu gue depan anak-anak! Sumpah! Sebagai seorang pendidik, gue –calon pendidik— menyayangkan sikap ibuk itu.
Rasanya harga diri gue tadi tu jatoh sejatoh jatohnya!!!
Matilah....
Ngga cuman itu, materi yang gue ajar sama yg diajar ibuk itu pasti selalu bertentangan! Entah gue yg emang ga bisa, atau gimana???
Bukan apa-apa sih, soalnya yang gue ajar tu klas 3! Kalo materinya kacau balau, ga ngerti, kasihan merekanya ntar UN gimana!
Huuuuf... yang jelas hari ini tu bener2 hari kesabaran terekstra yang musti gue hadapin! (sebenernya cerita yg sebenernya lebih lebay dari ini, cuman gue ngga mau terlalu ngepublish aja gimana-gimananya... ada bagian dari privasi juga laaaaah)

Continue reading

Selalu Salah


 
Awalnya terasa yakin akan pilihan ini,
Pasti terbaik.
Tapi coba katakan padaku,
Apakah itu keliru?
Dari awal saja penerimaannya
Seperti menadah air kencing,
Hati enggan, namun tangannya terbuka juga
Terasa beratnya itu ke raut muka keteknya
Tapi dengan hati luas ku masih mengulas senyum
Pertanda mencari belas kasihnya
Yang mungkin tersisa di pojokan hatinya

Mereka sudah meneriakkan tawa atas semua yang menimpaku.
Menakutiku dengan bom yang ia punya,
Yang sewaktu-waktu bisa meledak
Mereka menceritakan ketakutan dan kebenciannya
Mempengaruhi kenetralanku
Seolah menguji seberapa jauh mentalku bertahan diam padanya

Kukatakan, ini mungkin memang kekeliruanku
Memilih hanya karena jarak yang kurasa bisa kutempuh
Bukan menilai kualitas yang akan kudapat
Sampai kudapatkan segala yang mereka bilang petaka ini

Semua terjadi begitu cepat.
Selama waktu inilah, aku mulai merasa goresan darinya
Entah,
Setiap apa yang diinginkannya selalu kuturuti
Setiap perintah dan amanahnya selalu kujalankan
Tetapi ada saja salahnya
Tidak perfect memang,
Mana ada manusia yang sempurna? Umpatku
Tetapi masih saja tanya ini belum terjawab
Hal seperti apakah yang diinginkannya
sehingga kesalahanku bisa musnah di mata sucinya

betapa bodohnya diri ini menurutnya
betapa tidak pantasnya diri ini baginya
betapa diri ini selalu salah di matanya

kalian tahu bagaimana padamnya mukaku
melihat segala perlakuannya
pada mereka yang kukasihi?
Mereka yang seharusnya diayomi

Meski mereka tidak selalu menghargaiku
Tetapi hakikatnya tugasku mencerdaskan

Yah, apapun kataku
Apapun tindakanku
Kurasa masih selalu salah olehnya

Continue reading