Awalnya terasa yakin akan pilihan ini,
Pasti terbaik.
Tapi coba katakan padaku,
Apakah itu keliru?
Dari awal saja penerimaannya
Seperti menadah air kencing,
Hati enggan, namun tangannya terbuka juga
Terasa beratnya itu ke raut muka keteknya
Tapi dengan hati luas ku masih mengulas senyum
Pertanda mencari belas kasihnya
Yang mungkin tersisa di pojokan hatinya
Mereka sudah meneriakkan tawa atas semua yang menimpaku.
Menakutiku dengan bom yang ia punya,
Yang sewaktu-waktu bisa meledak
Mereka menceritakan ketakutan dan kebenciannya
Mempengaruhi kenetralanku
Seolah menguji seberapa jauh mentalku bertahan diam padanya
Kukatakan, ini mungkin memang kekeliruanku
Memilih hanya karena jarak yang kurasa bisa kutempuh
Bukan menilai kualitas yang akan kudapat
Sampai kudapatkan segala yang mereka bilang petaka ini
Semua terjadi begitu cepat.
Selama waktu inilah, aku mulai merasa goresan darinya
Entah,
Setiap apa yang diinginkannya selalu kuturuti
Setiap perintah dan amanahnya selalu kujalankan
Tetapi ada saja salahnya
Tidak perfect memang,
Mana ada manusia yang sempurna? Umpatku
Tetapi masih saja tanya ini belum terjawab
Hal seperti apakah yang diinginkannya
sehingga kesalahanku bisa musnah di mata sucinya
betapa bodohnya diri ini menurutnya
betapa tidak pantasnya diri ini baginya
betapa diri ini selalu salah di matanya
kalian tahu bagaimana padamnya mukaku
melihat segala perlakuannya
pada mereka yang kukasihi?
Mereka yang seharusnya diayomi
Meski mereka tidak selalu menghargaiku
Tetapi hakikatnya tugasku mencerdaskan
Yah, apapun kataku
Apapun tindakanku
Kurasa masih selalu salah olehnya
0 komentar:
Posting Komentar