Senin, 23 Desember 2013

Balada Teh

Siang itu panas begitu terik. Matahari yang ketika itu tepat berada di ubun-ubun memeras keringat bercucuran. Tampak dua anak sedang berjalan di bawah pancaran silaunya. Tetapi mereka tidak berjalan bersisian. Yang satu berjalan dengan langkah cepat, yang satu, kaki-kaki kecilnya berusaha untuk berlari.
Renata menatap kesal ke belakang, dilihatnya lelaki kecil itu tergopoh berusaha mengejar dan mengimbangi langkahnya. Renata berbalik dan kembali menata langkahnya, seolah tidak peduli dengan kesulitan bocah kecil yang mengejarnya dengan kesusahan di belakangnya. Renata tetap dengan muka ditekuk dan bibir manyunnya.
“Ayo cepetan, dasar lelet!” dengusnya kasar, sedangkan anak lelaki itu hanya diam menurut seraya berlari.
“Minta duit aja susahnya minta ampun, malah disuruh nemenin lu jajan dulu, capek tau. Dasar ibu pilih kasih.” Renata ngomel-ngomel
“Kakak nggak boleh gitu sama ibu, kan nanti mau dikasih duit.”
“Diem lu! Mau gue cubit, ha?” Renata mengacungkan tangannya hendak mencubiti adiknya itu.
“Ampun kaaaak” anak itu berlari ketakutan, Renata segera mengejarnya, takut kalau-kalau ia sampai di rumah langsung mengadu, pastilah ibu akan menghukumnya lagi baru akan memberikan uang yang dimintanya untuk membayar kerusakan sepeda teman yang dipinjamnya tempo hari. Jelas saja ia tak menginginkan itu. Renata sudah merasa tidak enak hati dengan ibu temannya. Karena sudah seminggu lebih ia belum juga membayarkan uangnya itu.
Kehidupan Renata memang berubah semenjak kepergian ayahnya dua tahun lalu, tepatnya ketika Renata masih berusia 9 tahun dan adiknya berusia 1 tahun. Ibunya yang seorang guru SD lumayan merasa kewalahan dengan beban hidup yang ditanggungnya. Renata menjadi harus prihatin dengan hidupnya. Kalau menginginkan sesuatu, ia pasti harus bekerja dulu untuk bisa mendapatkannya.
Renata tidak pernah menyukai adiknya, karena baginya semenjak adiknya lahir, kasih sayang yang didapat dari almarhum ayah dan ibunya menjadi terbagi. Mungkin karena Renata cemburu. Meski memang seharusnya adiknya yang kecil mendapat perhatian khusus untuk merawatnya, tetapi Renata tidak menyukai itu.
Setibanya di rumah.
“Ibu, Re udah tepatin janji bawa Ivan main, nemenin dia jajan, sekarang Re udah bisa dapetin uangnya? Ayolah bu, Re mau ganti uang perbaikan sepeda Venny yang Re rusakin. Ga enak lama-lama, bu.” Ibunya kemudian memberikan uang yang diminta Renata, ia bersorak kegirangan dan melambai-lambaikan uang itu ke hadapan adiknya tanpa peduli tatapan menghiba di wajah adiknya. Renata kemudian beranjak pergi, hendak menuju rumah temannya. Adiknya yang merasa kesepian dan masih ingin bermain dengan kakaknya hendak menyusul, Rena jelas tidak suka adiknya mengikutinya, langsung menghardiknya.
“Nggak boleh ikut! Tinggal aja di rumah! Nyebelin banget sih, lu!” Renata mendorong kasar adiknya seraya terus berjalan sampai ke rumah temannya, tanpa peduli wajah mengiba adiknya.
Setibanya di rumah Venny.
“Ini uangnya Ven, maaf ya rada telat ngasihnya, tadi disuruh ibu nemenin adekku yang resek dulu.”
“Oke, nggak apa kok Re. makasih, ya. Oiya, aku mau Tanya sesuatu deh, sama kamu.”
“Apa, Ven?”
“Gini, ngomong-ngomong, kok kamu benci banget sih sama adikmu itu? Padahal dia anaknya baik, nurut lagi, nggak bandel kayak adikku. Adikku yang bandel aja aku sayang banget sama dia. Karena kan emang harusnya gitu. Kita harus sayang sama adik kita sendiri.” Renata hanya diam, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Venny yang juga sering ditanyakan orang-orang kepadanya. Ujungnya Renata hanya tersenyum menjawab pertanyaan Venny tersebut.
Setibanya di rumah, Renata mendapati adiknya yang sedang tidur. Ditatapnya wajah polos itu, tidak terdapat raut menjengkelkan di sana, hanya wajah manis dan lucu yang ditangkapnya. Raut yang mirip dengan raut ayah ketika sedang tidur. Tetapi entah kenapa Renata masih saja enggan untuk sekedar berbaik hati padanya.
*
Keremangan cahaya lampu di ruang makan itu tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang terpancar dari keluarga kecil Renata. Perempuan yang teramat dicintainya sedang menyendokkan nasi ke piringnya. Raut wajah keibuannya mulai membentuk garis-garis halus, menandakan betapa kerasnya hidup yang telah ia lewati tanpa suami.
“Makasih, ya bu.” Renata tersenyum, ibunya juga ikut tersenyum. Kemudian Renata melanjutkan. “Makasih, ibu masih kuat sampai sekarang menjadi ibu terhebat yang pernah Re kenal. Ibu nggak pernah ngeluh, ibu nggak pernah berenti menebarkan cinta kasih ibu, demi anak ibu. Re sayaaaang banget sama ibu.” Air mata perempuan keibuan itu mengalir perlahan. Tangan siempunya beralih dari sendok nasi ke kepala anak sulungnya.
“Ibu juga sayang banget sama kamu, sama Ivan. Kalian lah sumber kekuatan ibu, nak.” Cepat tangannya menepis air mata itu.
“Ibu, nggak boleh cengeng, kan? Kakak nggak boleh bikin ibu nangis lagi, ya.” Dengan polos Ivan yang melihat air mata keluar dari sudut mata ibunya menegur kakaknya. Renata hanya diam. Agaknya ia tidak begitu berselera untuk merusak keharmonisan malam itu dengan keributan.
Dalam hati Renata sangat bersyukur. Meski ditinggal terlalu cepat oleh ayahnya, tetapi sama sekali tidak pernah ia kekurangan. Terutama kekurangan kasih sayang. Meski sering kesal dengan kehadiran Ivan di tengah ia dan orang tuanya, tetapi Renata tetap merasa dirinya beruntung ia diperbolehkan terlahir dari keluarga yang sederhana ini.
*
Kamar yang dengan ukuran tidak begitu besar itu tampak berantakan. Tas sekolah yang tergeletak di atas kasur menyembulkan beberapa buku, jelas ia seperti telah dilempar oleh pemiliknya. Di atas meja tergeletak jam tangan dan telepon genggam serta beberapa komik yang berserakan. Di bawah kaki kasur, setengah kayu kertas karton, penggaris, pensil, pensil warna, spidol, dan atlas bertebaran. Renata dengan serius menggaris-garis di atas kertas karton. Tak lama kemudian adiknya dengan mainan pesawat di tangan, muka sedikit cemong oleh coklat datang menghampiri dan bertanya.
“Kak Ena lagi apa?”
“Bikin peta!” jawabnya ketus. Ivan yang sedang memegang mainan sejenak asik memainkan mainannya. Kemudian, ia tiba-tiba bertanya kembali,
“Kaaak.” Tak ada jawaban. Kemudian ia mengulang, dengan nada suara yang lebih manja.
“Kakak, kaaaaak.”
“Ih, apaan sih?” Renata merasa terganggu dengan adiknya, mulai kesal dan meninggikan nada suaranya.
“Kak, kakak cayang nggak cama Ipan? Ipan cayang banget lo ama kakak” Renata menoleh heran.
“Kenapa sih lu?” kemudian Renata tidak ambil pusing pertanyaan Ivan dan kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya.
“Iya loh kak, walaupun kakak celing malah-malah, tapi Ipan tetep cayang Kak Ena.” Renata tetap diam, meskipun ia sedikit tersindir oleh perkataan polos adiknya itu. Ivan kembali asik dengan pesawat yang dipegangnya, menerbangkannya mengitari kamar Renata yang setengah berantakan, membalik-balik halam komik dengan asal. Kemudian ia kembali mendekati Renata.
“Kakak mau minum? Ipan ambilin yah?” Renata hanya menganggukkan sedikit kepalanya, nyaris tak terlihat.
“Terserah lu aja!” Kemudian Ivan keluar dari kamar Renata, berjalan ke dapur, dan kembali dengan membawakannya segelas teh manis, namun karena gelasnya yang besar, teh tersebut tumpah ke kertas karton yang hamper selesai digaris-garis oleh Renata.
“Aaaah! Ivan!”  Renata marah besar, dipukulnya adiknya itu dengan pukulan yang bertubi-tubi.
“Kurang ajar kamu! Selalu saja membuat orang susah, liat! Ini udah hampir selesai digaris tau! Ah… ngulang lagi deh, ngerepotin! itulah kenapa aku benci sama kamu!” Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ivan. Disaat mendengar jeritan yang menyayat hati, ibunya datang untuk melerai. Renata langsung didorongnya kuat dan memeluk anak lelakinya yang sudah menangis kesakitan. Matanya menatap tajam dan penuh amarah ke arah Renata, tidak menyangka Renata akan menyakiti adiknya yang masih kecil.
“Kenapa kamu Re? Mana perasaanmu? Adikmu masih kecil dan kamu menyiksanya begini? Apa salah dia sama kamu? Kenapa kamu begitu membenci adikmu sendiri? Ibu kecewa sama kamu, ibu nggak suka kamu kayak gini, Re.” Renata hanya terdiam terpojok. Kemudian ibunya pergi membawa adiknya yang masih menangis entah kemana.
Renata masih terduduk lesu, peristiwa itu terjadi dan berlalu begitu cepat. Tapi jantungnya masih belum normal berdetak. Perlahan Renata mencoba bangkit dan meraih kertas karton yang sudah basah, kini rasa sesal dan kesal bercampur aduk di benaknya. Dipaksanya tubuhnya untuk berdiri. Diambilnya kertas karton baru yang setengah kayu lagi dari atas kasur. Mencoba mengulang kembali menggar-garisi kertas kartonnya dengan meneteskan air mata.
*
Peta yang sudah jadi dan diberi tali itu dipampangnya di dinding kamar. Meski dibuat dengan suasana hati yang tengah tidak baik, tapi Renata cukup puas melihat hasilnya. Ia keluar dari kamar, rumah itu masih sepi.  Disusurinya setiap sudut rumah itu. Nihil. Kamar ibu juga kosong, dapur juga masih sama seperti keadaan tadi siang. Renata menatap jam dinding berkali-kali, sudah pukul 20.00 tetapi ibunya belum juga kembali, apakah ibu segitu marahnya padaku sampai ibu tega meninggalkanku? Lagi-lagi ini terasa tidak adil, mengapa hanya aku yang disalahkan, padahal dia yang memulai. Renata meratap, karena perasaannya semakin tidak enak, Renata berjalan ke luar rumah mencari jejak sosok ibu dan adiknya, tetapi nihil. Ia hanya bertemu dengan tetangga yang kemudian menegurnya.
“Rena, ibumu sudah pulang? Gimana Ivan?” Renata hanya mengerutkan dahinya, memangnya ibu kemana? Kenapa tante ini bertanya seperti itu? Batinnya.
Ng… Ibu belum pulang tante, memangnya tadi ibu bilang kemana?” jawabnya ragu-ragu. Ia khawatir dengan pemikiran tetangganya dengan ketidaktahuan dirinya.
“Lho, kamu gimana sih? Adikmu kan dilarikan ke rumah sakit tadi siang! Katanya adikmu sakit step” Renata langsung kaget tidak percaya, apakah sakit itu dikarenakan perbuatannya? Ya Tuhan. Maafkan aku, aku tidak berniat membuatnya sakit. Ivan, maafin kak Re, kakak sayang kok sama Ivan.  Renata membatin. Teringat pertanyaan Ivan tadi siang yang belum sempat dijawabnya. Kini ia menyadari, tangisnya yang meledak tadi siang itu bukan tangis kesal, melainkan tangis sesal. Dan ia baru menyadari betapa ia menyimpan sayang yang teramat besar kepada adiknya, ia bahkan takut kehilangan adiknya. Kini ia masih menunggu penuh harap kedatangan ibu dan adiknya ke rumah dengan membawa berita gembira dan memberikan maaf untuknya. Ia tulus dan benar-benar merasa bersalah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar