Jingga hanya sebuah lukisan. Jingga yang menyuguhkan
kombinasi lengkap antara keindahan dan kehangatan itu mulai terlihat ringkih.
Keanggunan dan ketegaran yang ditampilkan selama bertahun-tahun lamanya itu
mulai terabaikan, tak terawat, bahkan hampir dilupakan.
Gyuuut!
Awan membuka pintu tua yang suaranya masih tetap manja
itu. Nampaknya ada yang benar-benar ingin dicarinya, makanya ia memasuki
ruangan yang lebih pantas disebut gudang itu.
C’tak!
Setelah menyalakan lampu neon tua yang ternyata
sinarnya masih garang itu, Awan melangkah pasti menuju sudut ruangan tempat
sebuah lemari tua berdiri bungkuk. Langkah kakinya melewati begitu saja lukisan
Jingga. Setelah agak lama berjongkok mengacak-acak isi lemari, ia tersenyum
mengeluarkan sebuah kotak, lebih mirip kotak kalung. Awan pun berdiri dan
berjalan lagi menuju pintu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di depan
lukisan Jingga. Lalu berbalik ke arah lemari. Ternyata ia lupa menutup
pintunya, langsung merapatkan pintu lemari, kemudian bergegas keluar dan menutup
kembali pintu tua.
“Halo, nanti akan saya perlihatkan contoh barangnya,
sekitar sepuluh menit lagi saya sampai di sana. Harap menunggu sebentar.”
Kemudian telepon itu ditutupnya. Awan menyambar jaket kulit kusam yang
bertengger di sandaran kursi, mengantongi kotak tadi, kemudian bergegas keluar
setelah mengenakan helmnya.
“Wah, mas. Kotak ini keluaran lama, ya? Ukirannya aja
unik gini. Belinya di mana sih dulu? Kalau yang beginian mah, bisa lama
selesainya mas. Selain nyari kayu yang benar-benar bagus, ukirannya juga
lumayan rumit. Saya harus cari tau dulu ini jenis ukiran apa.” Awan tidak
berkata apa-apa untuk menjawab pertanyaan si tukang kayu itu. Jelas ia tak bisa
menjawab. Kotak itu adalah pemberian Jingga padanya dahulu, ketika Jingga jadi
relawan bencana di Kota Angin, ia memberikannya sebagai oleh-oleh untuk Awan.
“Hm… nanti saya kembali lagi. Kotaknya saya bawa dulu,
mas.”
“Eh…eh… mas! Mas! Tunggu dulu… jangan cari tukang kayu
yang lain dong!”
“Nggak usah khawatir! Nanti saya balik lagi dengan
informasi yang mas tanyakan tadi!” Awan memasang helemnya dan melajukan
motornya kebut. Tukang kayu itu masih berbicara sendiri. Sudah lama ia tidak
dapat pelanggan. Sekalinya dapat, pesanannya rumit. Ia takut kalau-kalau Awan
merasa tidak cocok dan mencari tukang kayu lain.
Di perjalanan, Awan selalu memikirkan bagaimana
caranya ia bisa tahu itu kayu dari mana dan ukirannya jenis apa. Untuk bertanya
pada Jingga tentu itu mustahil. Lama ia memikirkan Kota Angin yang diceritakan
Jingga dulu tepatnya berada di mana. Aah, andai ia masih bisa bertanya pada
Jingga saat ini. Tentu ia takkan menunggu lebih lama lagi memberikan kado
kepada gadis yang kini tengah mengusik perhatiannya.
Namun sayang, apa yang ditakutkan si tukang kayu benar
adanya. Karena terlalu fokus memikirkan Jingga, Awan tak awas dengan jalanan
sehingga mengakibatkan benturan terjadi.
.....
0 komentar:
Posting Komentar