Selasa, 14 Januari 2014

JINGGA

Jingga hanya sebuah lukisan. Jingga yang menyuguhkan kombinasi lengkap antara keindahan dan kehangatan itu mulai terlihat ringkih. Keanggunan dan ketegaran yang ditampilkan selama bertahun-tahun lamanya itu mulai terabaikan, tak terawat, bahkan hampir dilupakan.
Gyuuut!
Awan membuka pintu tua yang suaranya masih tetap manja itu. Nampaknya ada yang benar-benar ingin dicarinya, makanya ia memasuki ruangan yang lebih pantas disebut gudang itu.
C’tak!
Setelah menyalakan lampu neon tua yang ternyata sinarnya masih garang itu, Awan melangkah pasti menuju sudut ruangan tempat sebuah lemari tua berdiri bungkuk. Langkah kakinya melewati begitu saja lukisan Jingga. Setelah agak lama berjongkok mengacak-acak isi lemari, ia tersenyum mengeluarkan sebuah kotak, lebih mirip kotak kalung. Awan pun berdiri dan berjalan lagi menuju pintu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di depan lukisan Jingga. Lalu berbalik ke arah lemari. Ternyata ia lupa menutup pintunya, langsung merapatkan pintu lemari, kemudian bergegas keluar dan menutup kembali pintu tua.
“Halo, nanti akan saya perlihatkan contoh barangnya, sekitar sepuluh menit lagi saya sampai di sana. Harap menunggu sebentar.” Kemudian telepon itu ditutupnya. Awan menyambar jaket kulit kusam yang bertengger di sandaran kursi, mengantongi kotak tadi, kemudian bergegas keluar setelah mengenakan helmnya.
“Wah, mas. Kotak ini keluaran lama, ya? Ukirannya aja unik gini. Belinya di mana sih dulu? Kalau yang beginian mah, bisa lama selesainya mas. Selain nyari kayu yang benar-benar bagus, ukirannya juga lumayan rumit. Saya harus cari tau dulu ini jenis ukiran apa.” Awan tidak berkata apa-apa untuk menjawab pertanyaan si tukang kayu itu. Jelas ia tak bisa menjawab. Kotak itu adalah pemberian Jingga padanya dahulu, ketika Jingga jadi relawan bencana di Kota Angin, ia memberikannya sebagai oleh-oleh untuk Awan.
“Hm… nanti saya kembali lagi. Kotaknya saya bawa dulu, mas.”
“Eh…eh… mas! Mas! Tunggu dulu… jangan cari tukang kayu yang lain dong!”
“Nggak usah khawatir! Nanti saya balik lagi dengan informasi yang mas tanyakan tadi!” Awan memasang helemnya dan melajukan motornya kebut. Tukang kayu itu masih berbicara sendiri. Sudah lama ia tidak dapat pelanggan. Sekalinya dapat, pesanannya rumit. Ia takut kalau-kalau Awan merasa tidak cocok dan mencari tukang kayu lain.
Di perjalanan, Awan selalu memikirkan bagaimana caranya ia bisa tahu itu kayu dari mana dan ukirannya jenis apa. Untuk bertanya pada Jingga tentu itu mustahil. Lama ia memikirkan Kota Angin yang diceritakan Jingga dulu tepatnya berada di mana. Aah, andai ia masih bisa bertanya pada Jingga saat ini. Tentu ia takkan menunggu lebih lama lagi memberikan kado kepada gadis yang kini tengah mengusik perhatiannya.

Namun sayang, apa yang ditakutkan si tukang kayu benar adanya. Karena terlalu fokus memikirkan Jingga, Awan tak awas dengan jalanan sehingga mengakibatkan benturan terjadi.

.....bersambung :)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar