Minggu, 21 September 2014

Potret


Tempat ini, semilir anginnya yang selalu menyejukkan, udaranya yang selalu menyegarkan, dan pemandangannya yang selalu memberikan keindahan. Sama. Iya, semuanya persis masih sama. Masih seperti tahun lalu kita jadikan ini tempat yang wajib kita kunjungi setiap hari. Lantas apa yang kini berbeda? Jelas itu adalah aku. Suasana hatiku yang tidak bisa lagi sebahagia dulu, kala bersamamu. Meski bunga-bunga rampai itu kini tengah mekar dan asik bersenda gurau dengan puluhan kupu-kupu, bibirku terkatup rapat, tanpa senyum.
Memang, bagaimanapun tempat ini dan makhluknya mencoba menghiburku, semua tampak semakin menyakitkan dan mengundang air mataku. Kebahagiaan yang ditawarkannya adalah duka bagiku. Karena semuanya akan mengingatkanku pada bahagia yang dulu kita lewati bersama sehingga terpintal apik menjadi bingkaian cerita, meski sekarang kutahu cerita kita berakhir dengan sad ending.
Aku bangkit dari tempat nyamanku, sudah hampir tiga jam aku hanya duduk bertemankan termos kopi yang sudah kosong. Teringat aku ada janji dengan temanku malam nanti. Kalau arlojiku tidak memberitahu bahwa sekarang sudah hampir senja, mungkin aku akan terhanyut di sini. Apalagi kalau senja sudah datang dan menyuguhkan lukisan Tuhan, aku bisa mati hanyut dalam duka di sini.
Langkah kakiku yang berat meninggalkan tempat ini kuangkat sekuat tenagaku, sudah setahun aku melawan rasa berat ini, tetapi kakiku ternyata masih rapuh dan belum kuat untuk melawan rasa, meskipun sudah dilatih demikian lamanya. Di perjalanan, aku kembali termenung, sopir opelet yang kutumpangi memutar lagu itu! Lagu yang jadi himne kita dulu. Ah… aku benar-benar benci hari ini. Ke mana aku pergi, selalu mengingatkan aku padamu. Rasanya seisi hari ini mencoba mengundang air mataku dengan memutar potret kenangan dan nada masa lalu kita.

*sory belum setragis yang sebenarnya... semoga bisa segera move up ya (teruntuk sahabat yang tengah dilanda kegalauan)

Continue reading

Jumat, 05 September 2014

#JikaAkuMenjadi Part 2

#JikaAkuMenjadi

Pagi sekali, aku dibangunkan oleh bunyi getar di atas meja belajarku. Alarm yang sengaja ku stel di pukul 4 telah menjalankan amanahnya. Aku bangkit dan terdiam duduk di pinggir tempat tidurku, entah kenapa bayang-bayang tugas mata kuliah profesor ** yang harus kuselesaikan dalam waktu dua minggu ini terasa berat dan membebankan. Iya sih, tugasnya adalah tugas untuk kami sekelas (aku hanya perwakilan teman kelas), tetapi bagiku, membuat instrumen itu nggak gampang lah yaa, makanya sampai-sampai bikin tidur kurang enaknya.
Teringat pula perbincanganku dengan ketiga temanku di kelas waktu itu, mereka mengeluhkan susahnya mereka harus membagi waktu untuk kuliah, dan mereka menanyakan aku.
“Kamu, kok keliatannya nyantai saja sih? Eh.. taunya tugas udah selesai aja”. (haduh, padahal nggak nyantai juga kali)
“Ya, kan aku udah punya waktu full untuk kuliah, karena merasa aku harus fokus di kuliah makanya aku resign dari bimbel. Ya… ingat kata-kata profesor ** ketika tes wawancara sih, aku Cuma dikasih jatah 3 semester untuk kuliah. Ya… meskipun nggak ada peraturan mahasiswa nggak boleh kuliah lebih dari 3 semester, tapi aku mau wujudkan keinginan itu. Kenapa prof bilang gitu, kan karena prof percaya sama aku.”
“Ya deh… yang mantan mahasiswanya profesor **. Eh… btw kamu nyambung kuliah supaya apa?”
“Ya, kalau bisa sih, aku pengen banget jadi dosen.”
“Itu cita-cita kamu?”
“Jujur sih nggak, dulu nggak sempat terfikirkan untuk jadi dosen sih, cuma sejak aku kuliah, ngeliat dosen itu keren banget ya, ngajarnya orang-orang yang udah gede, orang-orang yang berasa sok dewasa, kayak kita, hehe… jadi ya… jadi kepengen deh jadi dosen.”
“Jangan-jangan terinspirasi dari profesor ** lagi ya, kamu?”
“Hehe.. iya.”
Iya, memang! Mungkin ketika aku kuliah strata 1 dulu, tidak semua teman-teman yang suka sama profesor A******I, entahlah setiap orang memang memiliki alasan sendiri kenapa ia menyukai dan tidak menyukai seseorang, termasuk aku. Tetapi bagiku prof ** itu adalah inspirasi. Gimana nggak, masih muda udah jadi profesor (aku nggak tau sih, kapan bapak itu jadi profesor, tapi yang aku tau, ketika awal kuliah dulu (tahun 2009) bapak itu udah jadi profesor, dan terlihat sangat muda (seperti masih umur 40 tahun) meski sekarang aku udah tau kalau beliau kelahiran tahun 1959 (berarti bukan umur 40) tetapi beliau tetap keren lah. Terus, profesor ** itu pintar banget, buku yang ditulisnya jangan ditanya, wawasannya juga luas banget, jadi ngiriiiii…. Kepengen sepintar itu jugaaaa…

Nah, #JikaAkuMenjadi Dosen nanti, aku ingin jadi dosen yang seperti profesor A******I, pintar, wawasan luas, rapi, awet muda pula, hehe. Tapi aku tambahin, aku juga bakal jadi dosen yang memahasiswa (kalau pemimpin kan merakyat) maksudnya dekat gitu, sama mahasiswa, dosen yang mau membantu –tidak mempersulit– mahasiswa, dosen yang tidak pelit nilai, dosen pembimbing (tugas akhir: skripsi/tesis) yang mudah dicari (nggak susah dicari, bahkan suka keluar kota atau negara), dan yang jelas, aku mau jadi dosen yang menginspirasi mahasiswanya, seperti profesor ** yang telah menginspirasiku.

Continue reading

Kamis, 04 September 2014

#JikaAkuMenjadi Part 1

#JikaAkuMenjadi

Hari ini kami ke perpustakaan lumayan pagi sih.. yaa, gegara ada tugas mencari judul penelitian buat kuliah perdana kami, jadilah kami berbondong-bondong ke perpustakaan kampus. Aku datang lumayan pagi sih, karena ketika mengisi daftar pengunjung, namaku ada pada urutan nomor dua (teman-temanku pada belum datang). Nah.. kebetulan sepi, aku dengan leluasa mencari-cari tesis di rak tesis jurusanku (kalau udah ramai, biasanya tesis yang aku cari suka nggak ketemu, karena udah ada yang ngambil duluan, hiks..)
Alhasil, aku masih asik dengan bacaan tesisku, datang salah seorang temanku
“Hai.. udah lama?”
“Hai.. udah, lumayan lah kak.”
“Iya, tadi kakak liat namamu di urutan nomor 2 daftar pengunjung.” Aku tersenyum saja menanggapinya, kemudian melanjutkan bacaanku, tanpa peduli lagi dengan lingkungan. Tidak lama kemudian, teman-teman kelasku semakin banyak yang datang.
“Serius amat sih” aku hanya tersenyum mendengar kalimat ‘gangguan’ itu. Sungguh, bukannya aku sok rajin atau ingin terlihat demikian, tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk kuliah nanti. Gilak! Ini profesor ** lhooo… yakinnya, profesor yang sangat perfeksionis (di mataku) itu pasti bakal nanya2 soal judulku. Mulai dari kenapa milih itu, gimana dengan metodenya, gimana gambarannya pelaksanaannya, and bla bla bla. Aah, jelas aku tak ingin terlihat bodoh. Makanya aku ingin serius mempersiapkan diri.
Tiba-tiba…
“Eh, itu, yang berempat itu! Hape udah ditinggal? Hape, hape?” aku mendengar suara yang lumayan tidak mengenakkan di telingaku. Aku menoleh kepada perempuan yang sudah mulai menua itu, ia berkacak pinggang sambil menunjuk empat orang anak yang terlihat kebingungan.
“Hape, hape, jangan di bawa ke dalam”. Aku menoleh ke perempuan tua itu, kemudian beralih melihat ke arah empat anak tadi, mereka masih tetap dengan wajah kebingungannya.
“Kalau mau masuk, baca dulu lah! Itu ada di dinding, nggak boleh bawa hape ke dalam!” sepertinya ia geram, karena empat anak tadi masih terdiam melongo, tapi aku mendengar salah satu dari keempat tadi berkata pelan kepada temannya.
“Hape aku dalam tas lo” temannya menyahut “Aku juga, aku ninggalin hapeku dalam tas kok”
“Kami nggak bawa hape kok buk.” Kemudian salah seorang yang terlihat paling kecil di antara keempat anak tadi berkata agak keras.
“Gimana sih? Bingung2 begok semua, nggak denger apa?” kemudian omelan panjang dan tidak mengenakkan itu mulai memuakkan di telingaku.
Ketika baru beberapa saat mulai membaca, aku mendengar sebuah nada hape berbunyi, mirip sih dengan nada hapeku, tetapi karena nada itu adalah nada yang umum untuk merk hape yang kupakai, ditambah lagi aku malas bangkit, aku acuh saja. Tetapi ternyata hape itu terus berdering. Aku mulai terganggu dan merasa tidak enak. Aku berdiri dan mengambil hapeku di tempat penitipan hape, tepat di depan si ibu tadi duduk.
“Hape kamu? Kok dibiarin aja mengganggu orang? ini perpus, bukan pasar.”
Deg… jantungku berdetak cepat, ia terpacu begitu mendengar kalimat pedas itu. Tidak hanya kalimatnya, intonasi suara dan mimik wajah yang tidak mengenakkan itulah yang membuat jantungku berontak.
“Maaf, Bu.” Hanya itu yang kuucapkan.
Terpikir olehku, obrolan dengan seorang temaku beberapa hari lalu, mengenai petugas perpustakaan, bagaimana pengalaman masing-masing dengan petugas perpustakaan, bagaimana pendapat kami tentang petugas perpustakaan, dan bagaimana keinginan kami terhadap mereka.
#JikaAkuMenjadi Petugas Perpustakaan, maka aku akan mencintai pekerjaanku itu seperti aku mencintai buku-buku (karena emang seharusnya petugas perpustakaan mencintai buku, kan?), melayani dengan hati, memberi bantuan dengan sebisa yang aku mampu, memberi senyuman, dan bekerja dengan seikhlasnya. Karena, ya… (ga usah berbicara pahala atau etika) minimal, mereka dapat uang kan dari pekerjaan sebagai petugas perpustakaan, sudah sepantasnya bekerjalah sewajarnya dan semaksimal yang dimampui.



Continue reading