Minggu, 03 Juli 2011

ARTI SEBUAH NAMA


            Sensi. seperti namanya adalah tipikal orang yang sensitif dan peka terhadap lingkungan sekitarnya, teman-tamannya terutama. Apa-apa selalu dikomentarinya, termasuk nama teman-teman yang menurutnya tak pernah sejalan dengan kenyataannya. Seperti Ayu, seharusnya pemilik nama itu adalah orang yang ayu pula, tetapi Ayu teman sekelasnya itu adalah perempuan ceplas-ceplos yang tidak bisa berbicara lembut. Ada lagi, Anggun, kakak kelasnya yang tomboy itu seharusnya bisa seanggun namanya. Agus, singkatan dari Agak Gundul Sedikit, tetapi nyatanya Agus berambut panjang, tidak botak. Begitu pula Judi yang seharusnya bertingkah seperti penjudi malah seorang ikhwan yang alim. Bukan hanya arti nama, tetapi kesesuaian nama dengan fisik seseorang juga dikomentarinya. Kutaro Nassai misalnya, namanya yang kejepang-jepangan itu sangat tidak sesuai dengan kulitnya yang hitam dan mata besar seperti melotot.
“Padahal kan orang Jepang itu putih-putih dan bermata sipit, lha kamu?” Sensi lalu tertawa melihat Kutaro yang hanya garuk-garuk kepala mereaksi pernyataan Sensi itu. Bahkan, mantan pacarnya yang bernama Sakti tak luput dari komentarnya, konon, karena tak tahan selalu dikomentari Sensilah Sakti memutuskannya. Dan masih banyak lagi nama teman-teman yang dikomentarinya, bahkan hampir 80% teman-teman di sekolah pernah diberi pendapat tentang namanya oleh Sensi meskipun tidak pernah meminta. Sayangnya, hampir 90% komentarnya tidak ada yang bagus, selalu kritikan pedas.
            “Huh… seharusnya kalian itu terlahir seperti apa yang didoakan orang tua kalian! Bukankah orang tua kalian memberi nama kalian disertai doa dan harapan?” begitu Sensi selalu mempersoalkan nama teman-temannya itu terutama di saat suasana kelas sedang diam, ia memulai aksinya. Tak jarang, Boim yang usil sering menggodanya, mugkin tak tahan juga mendengar ocehan Sensi yang lama-lama menyebalkan itu.
            “Iya, kita memang tidak seperti kamu, yang namanya selalu sesuai selera, Sensi yang selalu SEN-SI-TIF! haha…” dan setelah itu, Sensi pasti berlarian mengejar Boim yang katanya adalah si Bocah Imut alias Itam mutlak dan kribo, demikian Sensi menjulukinya.
            Pagi itu, SMA Pesona dihebohkan karena berita ada anak baru pindahan dari SMA Karisma. Yang bikin heboh bukan karena SMA Karisma adalah sekolah favorit, melainkan siswa pindahan yang lagi-lagi memiliki nama unik yang bakal menjadi sasaran empuk komentar Sensi. Namanya Ilas atau nama lengkapnya Tulus Ikhlas.
            “Huh, pasti namanya diplesetin jadi Ilas karena dia adalah anak yang pelit, gak tulus dan ikhlas seperti doa orang tuanya, kasihan banget ya!” cerocos Sensi yang tidak dimintai pendapat itu. Komentarnya sempat membuat wali kelasnya geram, namun ditahannya amarahnya itu demi tetap menjaga wibawa di depan kelas, terutama si murid baru yang hanya tersenyum manis dikomentari demikian oleh Sensi.
            “Alasan saya pindah ke sini, karena sekolah yang lama jauh dari rumah, dan saya sering terlambat. Jadi, saya memilih sekolah di sekolah yang lebih dekat dengan rumah karena tidak enak setiap hari harus terlambat. Saya harap teman-teman bersedia membantu saya dan berkenan menjadi teman bahkan sahabat saya yang baru. Terima kasih” setelah itu Bu Prima yang selalu prima itu mempersilahkan Ilas duduk di bangku kosong tepat di sebelah Agus dan di belakang tempat duduk Sensi. Sensi terlihat tersenyum puas, sepertinya dia masih penasaran dan belum puas untuk mengomentari murid baru itu. Setelah Bu Prima meninggalkan kelas, Sensi langsung berbalik dan berbicara sok akrab pada murid baru itu.
            “Hei, tadi katanya kamu suka terlambat ya? Apa itu alibi aja? Hm… jangan-jangan kamu dikeluarin lagi? Ternyata nama kamu nipu banget ya.”
Ilas yang dikomentari tidak enak begitu hanya tersenyum sambil menjawab singkat.
            “Apalah arti sebuah nama” sontak membuat Sensi kaget dan kesal, jawaban yang singkat tetapi mengena. Awas kamu Ilas, akan kucari-cari sesuatu didirimu yang akan membuatmu malu. Omelnya dalam hati.
                                                *                      *                      *

               Siulan burung terdengar melengking sekali, sangat bersemangat unggas itu pagi ini, tidak seperti Sensi yang nampak kurang bersemangat, tak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh semangat dalam hari-harinya. Boim yang memang selalu bergairah bak seekor kucing melihat seekor ikan segar, bersiap-siap mendekati Sensi yang memancing keusilannya, tetapi langkahnya tertahan oleh kedatangan Ilas yang berjalan mendekati meja Sensi. Entah apa yang dikatakannya, sehingga Sensi terlihat berbalik, tidak lagi lesu seperti tadi.
            “Las… Las… tunggu!” Boim yang penasaran dengan apa yang dikatakan Ilas pada Sensi tadi tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya segera saat bel istirahat berbunyi.
            “Ada apa Im?” Tanya Ilas setelah membalikkan badannya. Boim mengerutkan keningnya, dari dulu, Boim memang tidak suka namanya disingkat menjadi Im. Katanya seperti nama pembantu. (Lho? Masih mempersoalkan nama?)
            “Kenapa malah berkerut gitu keningnya?” Ilas bertanya lagi karena tidak mendapatkan suara Boim, hanya kerutan yang didapatinya. Boim sadar kalau itu bukanlah waktu yang tepat untuk memperdebatkan soal namanya, ia segera menjawab.
            “Ah, ga papa Cuma mau tanya aja, lo tadi ngomong apa sih ke Sensi, sampai-sampai dia yang tadinya layu jadi seger kembali?” Ilas hanya tertawa kecil mendengarnya, sambil menjawab.
            “Ga ngomong apa-apa kok, Cuma bilang kalau dia nampak tembem pagi ini, ga seksi” setelah itu Ilas langsung berlalu dengan gaya khasnya yang cuek. Boim yang mendengarnya hanya terbengong-bengong. Biasanya Sensi pasti langsung marah mendengar orang-orang yang meledeknya. Boim masih dengan rasa penasarannya, kemudian mendatangi Sensi yang tengah tersenyum-senyum sendiri menatap ke lapangan basket yang kosong duduk di bawah pohon.
            “Nenek sihir yang ketawa-ketawa sendiri, tumben lo diem aja di sini? Ga ngebacot lagi?” Boim lalu tertawa.
“Plak!” sebuah tamparan sukses mendarat di pangkal lengan tangan kanannya. Tak menyangka Sensi bakal marah.
“Lo kenapa marah?”
“Biasanya juga gini kan?”
“Tapi, tadi, waktu Ilas ngeledekin lo, lo malah senyum, kenapa sekarang jadi lain? Jangan-jangan lo suka lagi ya sama dia?” Sensi langsung melotot dan angkat bicara.
“Eh, enak aja suka! Lagian ya, dia bukannya ngeledekin gua! Tapi muji gua tau!”
“Muji gimana coba? Dasar cewek aneh” ujar Boim sambil berlalu dengan membawa rasa kesalnya.
Pelajaran pagi itu berjalan lancar dan menyenangkan, karena Sensi yang biasanya heboh dengan celotehannya terlihat diam dan santai saja pagi itu. Entah hal positif apa yang telah membawanya menjadi normal begitu? Boim jadi semakin bertanya-tanya, apa yang telah terjadi? Apa sebenarnya yang dikatakan Ilas tadi sehingga Sensi jadi berubah kalem? Sebenarnya angin baik apa yang udah ditiupkan si wajah lugu Ilas kepada Sensi?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar