Minggu, 16 November 2014

Bapakku



Ni Eli datang lagi, tapi kali ini tidak dengan suara parau dan lelehan air mata. Ia lebih banyak diam dan sesekali batuk. Keras sekali. Kulihat bapak sesekali terkejut juga mendengarnya. Mungkin batuk yang sangat keras itulah yang menjadi senjatanya kali ini. Ah, bicara soal senjata Ni Eli yang kukira-kira sendiri itu, lebih baik tidak lagi kuberi tahu pada bapak. Karena beliau pasti akan langsung marah padaku begitu mendengarnya, seperti sangkaanku yang dahulu tentang Ni Eli yang terus-terusan menangis pada bapak.
“Jangan selalu menyangka yang buruk, Mai. Ni Eli memang sedang butuh bantuan. Dan sebagai sesama, kita harus membantu Ni Eli. Kau kalau sedang kesusahan juga pasti akan menangis, namanya saja perempuan, perasaannya halus.” Demikian ucapan bapak kala kubilang kalau tangisan merarau-rarau* Ni Eli beberapa waktu lalu itu adalah senjatanya agar dibantu oleh bapak. Aku diam saja, tidak sanggup lagi berdebat dengan bapak mengenai senjata Ni Eli. Karena bapak pasti akan lebih marah padaku kalau aku terlalu ikut campur urusan Ni Eli.
Setelah mendengar batuk terkeras Ni Eli, kulihat bapak melangkah masuk ke kamarnya, sementara Ni Eli yang masih kuperhatikan menunduk saja. Entah karena malu kuperhatikan terus, entah sengaja membuat dirinya terlihat baik dan kalem di depanku. Ah, betapapun kalemnya dia hari ini, kalau kuingat ilauannya* beberapa waktu lalu yang sampai membuat bayi tetangga terbangun itu, takkan aku termakan sikapnya sekarang. Kala itu Ni Eli menangis sejadi-jadinya, mengadu pada bapak kalau anak bungsunya sakit dan ia tak punya uang. Kali ini, ia merengek pada bapak minta pinjaman uang untuk membayar uang sekolah anaknya.
Aku heran dengan Ni Eli, padahal ia punya saudara yang kaya-kaya. Tetapi ia lebih suka mengadu pada bapakku yang bukan siapa-siapanya. Ya, kuakui bapak memang bisa dibilang adalah penasehat di kampung kami. Apa saja hal yang menimpa kampung kami, bapaklah orang pertama yang diberi tahu. Apakah itu Pak Marah bertengkar dengan istrinya, Pak Nasir yang rumahnya dilempari batu oleh anak-anak, sampai Tek Yet yang ribut dengan Wo Ilen gara-gara pohon pisang, sampai kasus seperti Ni Eli ini. Semuanya bapak tahu. Tetapi yang kuketahui, bapak hanya sebagai penasihat atau mediator orang-orang bermasalah saja, bukan sebagai jalan keluar seperti yang disangkakan Ni Eli –yang sudah kali ketiga datang untuk mengadu tidak punya uang pada bapak–.
Aku bukannya pelit atau ingin menghalang-halangi kebaikan bapak, tetapi kurasa Ni Eli masih bisa mengadukan masalah ekonominya pada keluarganya yang kaya-kaya itu. Bukan pada bapak yang sama sekali orang lain baginya. Ditambah lagi, aku sering tersinggung dengan perlakuan keluarga Ni Eli yang kaya-kaya itu. Mereka sangat sombong. Pernah dahulu, ketika bapak kecopetan di pasar dan terlanjur naik angkot, bapak turun angkot dan bertemu dengan Tek Ija di depan rumah untuk meminjam uangnya untuk pembayar angkot. Tapi mulutnya yang sangat berbisa itu tidak malu sama sekali dengan kata-katanya berbicara pada bapak yang adalah orang terhormat di kampung kami. Sejak saat itu aku sangat membenci keluarga Ni Eli itu. Tidak hanya Tek Ija, tapi Pak Darius juga sama kasarnya. Aku yang mengalaminya langsung. Ketika masih SD, aku berbelanja di kadai Da Ujang sepulang sekolah, teman-temanku semua membeli es miami yang harganya mahal untuk seusia anak SD kala itu, aku yang uang sakuku pas-pasan lebih memilih membeli es plastik yang hanya seratus rupiah. Aku malah dicemoohnya, disebut-sebutnya kondisi ekonomi orang tuaku. Naik pitam aku kala itu, tetapi aku tahu betul apa yang diajarkan orang tuaku selama ini, bagaimanapun, orang tua harus dihormati dan dihargai. Jadi kala itu aku diam saja. Tetapi karena tidak lepas amarahku kala itu, sampai sekarang aku masih sangat marah pada keluarga mereka.
Pernah juga aku protes pada bapak, mengapa bapak masih mau menolong Ni Eli sedangkan keluarganya saja masih ada yang kaya-kaya. Bapak bilang “Mungkin Tek Ija atau Pak Darius juga sedang susah, nak.” tetapi saat aku mengungkit-ungkit sakit hatiku pada keluarga itu, tersinggunglah bapak.
“Percuma selama ini bapak mengajarkanmu nilai akhlak, percuma bapak sekolahkan dan serahkan kau mengaji, pikiranmu masih picik juga. Apalah yang kau dapat dari sikap mendendammu itu, Mai?” aku malu mendengar pituah bapak kala itu. Bapak benar-benar orang yang baik dan bijaksana.
Malam itu, setelah Ni Eli pulang dengan sebelumnya mendapat uang dari bapak, datanglah Pak Darius ke rumah.
“Apa perihal, Pak? Si Eli adikmu baru dari sini tadi.” Ternyata Pak Darius sudah tahu kalau adik bungsunya itu baru saja meminta uang pada bapak. Aku was-was di balik lemari mendengar dan melihat gerik bibirnya, bersiap-siap mendengar apa yang akan diucapkannya.
“Iya, pak. Tau ambo. Kedatangan ambo ke sini juga ada maksud yang sama dengan si Eli. Ambo punya hutang dengan buk jorong, sudah jatuh tempo seminggu yang lalu. Dikasih kelonggaran sama buk jorong sampai besok. Tapi sudah ambo usahakan, tidak dapat uangnya sebanyak pembayar hutang itu pak.”
“Jadii…”
“Iya, jadi ambo ke sini mau meminjam uang pada bapak.” Aku terngaga! Tidakkah Pak Darius itu berpikir, berapalah hanya penghasilan bapak yang hanya seorang pedagang beras ini dan sudah mengeluarkan sejumlah uang pula untuk adiknya, ditambah lagi ini adalah tanggal tua.
Lama bapak kulihat terdiam. Kemudian, Tono adik bungsuku datang mendekat pada bapak dengan membawa buku gambar dan kotak pensilnya.
“Pak, buku tono sudah abis, kilirnya* juga sudah banyak yang ilang-ilang. Kapan bapak beliin yang baru, pak?”
….

*Mararau atau mailau = menangis sejadi-jadinya, menangis keras sekali

*Kilir = pensil warna dalam bahasa Minang

Continue reading