Dingin. Tetes-tetes sisa hujan yang
menghuni serat dedaunan pohon raksasa itu menjentik kepalanya yang sudah basah
kuyup. Ujung-ujung rambutnya yang ikut meneteskan air menambah dingin tubuhnya.
Badannya menggigil, berkali-kali suara bersin terdengar, sesering ia
menghembuskan ingusnya. Badan yang ia dudukkan di atas batang pohon tumbang itu
dipeluk erat oleh kedua tangan mungilnya, sekedar berusaha menahan rasa
dinginnya. Bibirnya pucat, geliginya bergemeletuk, karena bersinggungan satu
sama lain. Matanya yang berair liar menatapi setiap orang yang lewat dengan
berlari kecil menutupi kepala dengan tangan. Ia terlihat tengah menunggu
seseorang, yang mungkin akan menjemputnya.
Sahut menyahut nyanyian petir
menggelegar membelah angkasa. Langit seakan rapuh dan menyerah untuk bertahan.
Namun tampaknya itu gemaan terakhirnya. Petang yang harusnya hangat itu tidak
lagi romantis oleh lukisan alam senja. Tidak tampak jingganya langit yang
biasanya menghias kepergian senja menjemput gelapnya malam. Hanya terbingkai
kelam dan berkabut.
Setapak kemudian, lelakinya datang
dengan tergesa. Tubuhnya lembab –tidak sampai basah– rambutnya yang panjang
terurai berlari kecil seirama langkah kakinya yang jenjang. Kharismanya masih
seperti pangeran dengan kedua tangannya membawa handuk dan sebuah botol,
sepertinya itu kopi hangat.
“Kamu nggak papa?” tangannya yang
memegang handuk sudah melingkari handuk ke tubuh perempuannya, tangan satu lagi
menyodorkan kopi hangat itu. Dan tangan yang terbebas mulai memegang dahi
perempuannya dengan lembut, penuh cinta, untuk memastikan tidak ada tanda-tanda
perempuannya akan demam.
“Kamu kenapa cemas banget sih, aku
nggak apa-apa kok. Ini baru basah karena hujan. Never mind.” Jawabnya dengan suara serak bergemetar sambil meminum
kopi hangatnya.
“Jelas saja aku cemas, setiap kali
turun hujan pasti dingin akan selalu melanda, dan setiap itu pula tubuhmu akan
menggigil kedinginan dan flumu pun akan kambuh.” Dirabanya kantong celana untuk
menemukan beberapa bungkus tisu yang juga telah ia siapkan.
“Biar aku saja.” Diambilnya cepat
tisu dari tangan lelakinya itu. Ia memang tidak ingin terlalu dimanja.
Lelakinya datang untuk membawakan ini semua saja sudah membuatnya merasa tidak
enak, karena diperlakukan seperti ratu. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran
macam-macam. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran kalau lelakinya adalah
budaknya.
“Kamu jangan keluar hujan-hujan
lagi, ya.” Tangannya kini mulai beralih memegang handuk dan mengusap-usap
lembut kepala perempuannya. Mengeringkan rambutnya yang basah. Tangan perempuan
itu meraih tangan lelakinya. Seketika pekerjaan tangan laki-laki itu terhenti.
“Aku nggak mungkin juga bakal
keluar kalau hujan. Tapi hujan kali ini kan mendadak banget datangnya. Aku aja
hampir nggak bisa nyariin tempat berteduh tadi. Kamu bisa liat, di sekitar sini
tempat yang paling bisa buat berteduh ya cuman di bawah pohon yang gede ini
doang.” Lelaki itu kembali menyuguhi perempuannya dengan senyuman.
“Iya, tapi andai aja tadi kamu mau
aku jemput lebih awal, kan nggak bakal gini juga kejadiannya sayang.” Perempuan
kemudian mengangkat wajahnya, mencoba melakukan pembelaan.
“Ya, udah terlanjur, mau digimanain
lagi coba? Kan kita sama-sama nggak tau kalau sore ini bakal turun hujan, orang
tadi siang panasnya terik banget.” lelaki itu hanya mengangguk maklum sambil
kembali tersenyum. Dilanjutkannya mengusap-usap rambut ikal perempuannya yang
melurus karena air hujan.
“Kamu nggak papa kan?” suara yang
mulai serak itu tampak ikut mengkhawatirkan sosok di hadapannya itu.
“Jelas aku nggak papa.” Senyum
keduanya beradu melalui pandangan mata penuh cinta.
“Tapi kamu kan juga basah.”
Tangannya spontan memegang ujung lengan baju lelaki tersebut.
“Basahnya aku nggak kuyup. Nggak
separah kamu. Lagian aku kan nggak papa kalau kena hujan. Nggak bakal
bersin-bersin kayak gini nih”. Lelakinya tertawa renyah begitu perempuannya
kembali bersin-bersin, tiada henti.
“Makasih, sayang. Untuk semuanya.
Aku sayang kamu.” Perempuan itu akhirnya mengalah dari perdebatan, bersin
berkali-kali seperti menguras tenaganya. Lelaki itu tersenyum sangat puas.
Mungkin kalimat itulah yang ingin didengarnya sedari tadi. Refleks, dipeluknya
perempuannya erat. Kepala yang rambutnya basah itu diciuminya berkali-kali.
“Aku juga sayang banget sama kamu.
Ini semua aku lakuin buat ngasih apapun yang bisa aku kasih.” Ia terdiam
sejenak mengatur napasnya yang mulai diburu emosi, kemudian melanjutkan.
“Mungkin aku emang nggak bakalan selalu bisa bikin kamu ketawa, tapi selagi aku
bisa, aku akan usahain akan selalu ada buat kamu. Aku nggak mau kehilangan
kamu, sayang.” Pelukan itu kembali erat. Segala rasa cinta membaur di dalamnya.
Jelas tampak dari kedua mata berseri itu, mereka sungguh bahagia. Seakan dunia
mereka berdua yang menghuninya.
Sedangkan, tidak jauh dari sana…
Kuambil tisuku yang terakhir. Aku
baru sadar, tisuku sudah habis untuk mengelap ingusku. Kutatap lagi lelakiku
yang dulu itu. Sungguh ia tak pernah tampak sekhawatir itu padaku dulu. Padahal
badanku juga akan gemetar, dan flu ku juga akan kambuh setiap kali hujan
menghujam.
Tidak ada yang kutunggu di sini.
Tidak ada juga yang akan datang menjemputku dan membawakan segelintir perhatian
padaku.
Kubuang tisu terakhirku, kemudian
perlahan mencoba bangkit dari tempat dudukku yang dingin. Sebelum benar-benar
beranjak, kuarahkan pandanganku ke sana, kupastikan sekali lagi. Lelakiku dulu
sangat bahagia dengan perempuannya yang sekarang. Jadi aku harus bisa yakinkan
diriku untuk tidak lagi berharap padanya, untuk tidak lagi diam-diam masih
menyimpan harapan dan cinta padanya.
Lagi galau ya hehee, seru juga baca baca nihhh artikel. salam kenal ya cantikk ^_^
BalasHapuswah.. engga galau kok :)
Hapusini cerita bukan dari pengalaman pribadi kok.
salam kenal juga mas ganteng ^_^