“Kenapa ya perempuan harus pake jilbab?” pertanyaannya tidak
kujawab. “Kak, gini….udah bener ?” tanya Nona lagi, adikku yang saat itu baru
saja masuk SMP.
Dia berdiri di depan cermin dalam
kamarku, bingung bagaimana caranya memakai jilbab yang rapi dan benar.Aku lantas
membantunya merapikan jilbab putih itu di kepalanya. Menyematkan peniti kecil
di bawah dagunya, di balik jilbab agar tidak terlihat dari luar. Dia tampak
heran bagaimana aku melakukannya dengan cepat dan hasilnya rapi. Sementara dia
kebingungan bila harus menyembunyikan peniti kecil di balik jilbab padahal
lipatan jilbab di sisi pipinya saja belum juga bisa rapi. Tersenyum aku melihat
di bingung.
Aku jadi sangat iri. Adikku ini
memutuskan sendiri akan memakai jilbab. Dulu aku tidak begitu.Masa SMP aku
habiskan di Surabaya, di sebuah sekolah islam berasrama. Tentu saja jilbab dan
baju serba panjang menjadi peraturan utama bagi murid-murid perempuan. Mau
tidak mau, dengan sangat terpaksa akupun memakai jilbab.
Bagiku saat itu, jilbab sangatlah
membelenggu gerak dan peran gadis kecil seumurku yang sangat aktif mengikuti
berbagai kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Aku masih ingat, ketika
mengikuti lomba paduan suara antar SMP se-Surabaya, tim kamilah satu-satunya
tim yang memakai jilbab. Atau ketika aku mengikuti lomba membaca cerita dalam
bahasa inggris yang diadakan sebuah universitas negeri, peserta SMP yang
berjilbab saat itu bisa dihitung dengan jari. Aku merasa malu dengan jilbabku
karena menjadikanku golongan minoritas.
Karena merasa kurang nyaman berjilbab,
selama SMP aku sering mencuri-curi kesempatan mencopot jilbabku. Setiap jumat
(hari libur kami bukan minggu seperti sekolah lain), aku dan teman-teman sering
menggunakan kesempatan ini untuk sekedar jalan-jalan (baca: mejeng khas anak SMP)
ke Tunjungan Plaza, Gramedia Basuki Rahmat, Plasa Surabaya dan lain-lain. Hanya
untuk jalan-jalan atau sekedar makan di Kentucky Fried Chicken karena uang saku
yang tidak berlimpah.
Saat-saat itulah kami merasa sangat
bebas, karena begitu berhasil keluar dari asrama, kami langsung membuka jilbab
agar merasa sama seperti anak-anak SMP lainnya.Tiga tahun di SMP bagiku
merupakan tahun-tahun hidup dalam belenggu jilbab. Maka ketika aku mulai masuk
SMA, aku ingin merasakan perubahan. Aku memilih sekolahku sendiri, karena pada
waktu SMP aku hanya menuruti perintah orang tua. Alhamdulillah nilaiku bagus,
sehingga langsung bisa diterima di SMU Negeri 2 Kediri.
Aku mendaftar sendiri, mengambil seragam
sendiri. Dan yang kuambil adalah paket seragam putri tidak berjilbab. Ketika
aku pulang, kuceritakan maksud dan keinginanku pada Ibu. Dengan bijaksana, ibu
membolehkan pilihanku meskipun tidak mendukungnya.Aku mulai tinggal di tempat
kost dekat sekolah. Hari itu merupakan awal dari rangkaian Penataran P4 dan masa
orientasi murid baru. Jalan kaki, aku berangkat ke sekolah yang hanya berjarak
kurang dari 300 meter.
Pukul 06.30 harus sudah di sekolah. Tapi
pukul 06.00 aku masih bingung menata rambutku. “Enaknya diapain ya?” pikirku.
Dikepang, dikuncir dua kanan-kiri, diikat ekor kuda, pake bando, pake jepit
atau dibiarkan terurai hingga tampak indah diterpa angin……Cepat-cepat dan agak
berlari kecil aku menuju sekolah baruku. Aku melihat ratusan murid baru yang
sama denganku. Berseragam putih abu-abu, rok span selutut. Sekejap aku merasa
sangat bangga karena kini tidak lagi berbeda, bukan lagi golongan minoritas.
Tapi semakin jauh aku melangkahkan kaki,
semakin aku merasa tidak nyaman. Tatanan rambutku rusak dan tidak rapi lagi.
Telingaku terasa dingin. Leherku geli digelitik angin. Tanganku panas disengat
matahari. Betisku juga terasa aneh karena terbuka. Kaki-kakiku jadi berat untuk
melangkah. Tiba-tiba aku merasa telanjang. Setiap ada orang yang menatap atau
sekedar melirik, aku sangat merasa bersalah seakan-akan aku sama sekali tidak
memakai pakaian.
Sepulang dari sekolah, aku segera
menelpon Ibu, mengatakan padanya bahwa aku ingin memakai jilbab lagi. Ibu
langsung datang dari Jombang membawakan baju-baju panjangku. Di kamar kostku,
sambil menjahit bet sekolah baruku pada seragam lengan panjang, ibu tiba-tiba
berkata “Karena kamu itu cantik,
dan kalau cantik itu harus disimpan. Gak boleh dipamer-pamerin ke orang-orang.
Sembunyikan dengan pake jilbab. Pasti aman”. ah, Ibu berkata
seperti ini mungkin hanya karena aku anaknya. setiap ibu kan merasa anaknya
cantik, sejelek apapun si anak. pasti yang tercantik bagi sang Ibu. tapi aku pikir...
Beruntung sekali aku punya Ibu seperti
itu, tidak marah ketika aku menanggalkan jilbab, dan tidak menggurui atau
menghujaniku dengan ribuan ceramah ketika aku salah langkah.Hari-hari
berikutnya aku tidak lagi merasa telanjang. Karena sejak itu, aku merasa baru
berpakaian jika telah memakai jilbab.. Aku merasa sangat bebas selama duduk di
dalam kelas karena teman-teman cowokku tidak mungkin bisa mengintip celana dalamku
seperti yang mereka lakukan pada teman-teman perempuan yang memakai rok pendek. Dan ternyata jilbab
berikut baju-baju panjang yang menyertainya, bukanlah belenggu bagi perempuan.
Aku juga merasa nyaman jika harus duduk
bersila di masjid sementara teman-temanku yang tidak berjilbab merasa repot
dengan rok spannya. Maklumlah, terlalu banyak gerak, roknya jadi semakin
terangkat ke atas. Begitupun jika sedang naik becak. Teman-temanku repot harus
menata duduknya, atau harus membawa selembar kain untuk menutupi paha dan
betisnya.Aku juga merasa sangat aman dari sengatan sinar matahari, angin dingin
atau debu-debu nakal yang suka menempel di rambut. Dan yang paling penting, Jilbab membuat kita semakin dihargai orang.
Seorang sahabatku, lelaki, yang duduk di
depanku saat kelas satu SMA mengatakan sesuatu yang membuatku merasa sangat
berharga. Ketika itu, ada teman sekelas yang membawa majalah prono bergambar
cewek cewek sexy tanpa busana. Dengan sangat sigap, seluruh penghuni kelas yang
berjenis kelamin lelaki berkumpul di pojok kelas menikmati setiap pose cewek
cewek sexy dalam majalah itu. Setelah puas, sahabatku itu kembali ke bangkunya.
dan dia berkata “Beruntung
banget Sa, Kamu mahal. gak kayak cewek-cewek di majalah itu. Cuman 5000 perak,
kita semua bisa lihat body nya. Kalo kamu, hhm….harus bayar mas kawin, plus
peningset dulu, harus ada komitmen dan tanggung jawab seumur hidup, harus janji
sama Tuhan dulu…baru bisa lihat bodymu! Mahal banget kan?”
“Hey kak Elsaaa!!!! Udah bener belom
nih???” teriak adikku membuyarkan lamunanku. “Ya…ya sudah bagus” “Trus kenapa tadi perempuan harus pake jilbab yaa?” tanyanya lagi.
“Karena kamu cantik dan mahal!” Adikku
terbengong-bengong mendengar jawabanku. Aku tertawa saja, meninggalkannya di
kamar, membereskan peniti dan beberapa jilbab yang dipakai untuk belajar
mengenakan jilbab.
0 komentar:
Posting Komentar