Kembali, hanya kembali kepada
kesibukan yang bisa kulakukan sekarang untuk melawan dan mengusir rasa sepi dan
kegundahan. Segala kenangan yang baru saja tersangkut di benakku menumpuk,
penuh, benar-benar mengganggu dan mengurangi gairahku saat ini juga. Jadi
memutuskan untuk kembali berkutat dengan laptop dan mengetik naskah adalah
jawabannya saat ini.
Kenangan yang baru saja terlintas itu adalah hal kedua yang bisa
membuatku ingin menangis setelah mengingat mama. Ya, hal kedua itu adalah
teringat papa. Entah untuk keberapa kalinya aku teringat sosok penuh wibawa dan
tegas itu, pria yang berbadan tegap dan tampan yang sejak 20 tahun lalu
kupanggil papa itu selalu saja melintas di benakku. Mungkinkah ia tengah sakit?
Mungkinkah ia tengah merindukanku? Entahlah... yang jelas, aku ragu, apakah
iya, lelaki yang kupanggil papa itu masih menyimpan rasa rindu kepadaku? Atau
bahkan aku ragu, apakah ia masih ingat denganku, anaknya?
Kualihkan kembali pandangan mataku ke layar laptop dengan
mencoba berkonsentrasi pada setiap kalimat yang diketik jariku, mencoba
membangkitkan semangat untuk segera menyelesaikan kembali naskah yang sudah
seminggu ini kuacuhkan karena sedang dalam kesibukan ujian tengah semester.
Sudah bertambah setengah halaman ketikan jariku, setelah kubaca lagi, ternyata
kalimatnya ngawur, tidak nyambung dan asal-asalan. Huh! Gumamku kesal. Kuarahkan kursor dan memblok semua yang sudah
kuketik tadi, kemudian kutekan delet, semua kembali terhapus.
Kucoba membaca ulang naskah yang sudah selesai 12 halaman yang
kuselesaikan beberapa waktu lalu itu, setelah membacanya, kucoba untuk berkonsentrasi mengetik kembali dan
tanganku pun mulai lancar menari-nari di atas keyboard. Sedang asiknya menikmati konsentrasi bekerjaku, hapeku
berdering, ada telepon dari rumah.
“Assalamualaikum, ya ma?”
“Walaikum salam. Aya, kamu lagi ngapain? Mama ganggu nggak?”
“Lagi nulis naskah nih ma, ngelanjutin yang kemarin sempat
keputus karena UTS.”
“Masih nulis juga?”
“Iyalah ma, ini deadlinenya udah deket, kalo telat, matilah aku,
kontraknya bakalan batal dan kesempatan buat nulis naskah film itu bakalan
hangus seketika.”
“Ya, mama tau mimpi kamu, tapi jangan sampai lupa makan dan
istirahat ya?”
“Ya ma,” Aku hanya menjawab singkat
“Yasudah, kamu lanjutin dulu sana kerjanya, nanti nggak
kelar-kelar pula.”
“Iya ma” dan akhirnya pembicaraan singkat dengan mama terputus.
Dan kembali semua ide yang tadi sudah mulai datang harus berusaha kukumpulkan. Menulis
memang butuh konsentrasi, kalau tidak akan kacau seperti ini.
Sayup-sayup nyanyian kodok dan jangkrik di sebelah kamar
memaksaku membuka mata. Ternyata siang yang tadi kutinggalkan tidur telah pergi
berganti senja. Aku segera bangkit menutup jendela kamar dan beranjak ke kamar
mandi, sebentar lagi panggilan shalat akan datang.
“Udah selesai shalat Ay? Temenin kakak bentar yuk?” suara Kak
Dini di luar kamar memaksaku bangkit.
“Udah kak, mau kemana memangnya?”
“Eh, lagi tidur ya? Enggak, mau nyari makan, tadi nggak sempat
masak.”
“Lagi berbaring aja kak selesai shalat tadi agak pusing. Okedeh,
Aya ambil jilbab dulu kak.” Aku masuk ke kamar dan kembali setelah memakai
kerudung, kami pun berangkat.
“Gimana naskahmu Ay? Udah rampung berapa persen?” Kak Dini tiba-tiba
bertanya
“Ya, masih jauh lah kak, nggak tau Aya, apa masih bisa dikejar
waktunya?”
“Kamu bisa kok Ay, Cuma butuh lebih ekstra semangat dan
keyakinan aja. Kakak aja percaya sama kamu.”
“Hm... iya kak, nanti akan Aya coba lanjutin lagi.” kami terus
berjalan sampai tiba di rumah makan. Di jalan pulang ke wisma, Kak Dini
bertanya lagi.
“Jadi besok mau bolos kuliah Ay?”
“Terpaksa kak, Aya mau
ngabisin waktu seharian di kamar buat ngangsur naskah, paling nggak mencapai
70% lah, biar nanti nggak kucar-kacir ngejar ketinggalan. Hehe” jawabku.
“Yasudah, pilihanmu nggak bisa kakak larang, tapi saran kakak
jangan terlalu sering ninggalin kuliah, meski kamu kerja, kuliah tetap nomor
satu kan?”
“Iya kak, makasih” jawabku pendek sambil terus memaknai maksud
Kak Dini barusan. Setidaknya sebelum ini
aku belum pernah absen kuliah. Batinku.
“Oh ya, sudah minta izin sama mama belum Ay?” aku yang sedang
merenung, dibuat kaget olehnya.
“Eh? Maksudnya kak?”
“Haha... makanya jangan banyak melamun Ay, maksudnya... sudah
bilang mama belum kalau besok mau bolos? Kasian mama di kampung susah payah
kerja buat biayain kuliahmu, tapi kamunya malah bolos cuma gara-gara naskah.”
Aku sedikit tersinggung tetapi membenarkan ucapan Kak Dini yang memang sering
blak-blakkan itu.
“Iya kak, ntar Aya pikirin lagi cara ngomong sama mama.” Setelah
berbicara demikian kami pun sampai di pintu wisma, dan aku langsung masuk ke
kamarku yang memang terletak paling depan dan meninggalkan Kak Dini yang juga
langsung melaju ke kamarnya.
Kembali bermenung, apa
segitu berdosanya aku meninggalkan kuliah untuk kerja yang juga untuk masa
depanku ini? Ah... kutepis semua perasaan negatif itu, besok hanya diskusi
biasa, dan aku sudah selesai tampil diskusi, jadi tidak perlu khawatir. Mama
juga pasti akan mengerti, toh aku memakai waktu kuliah untuk bekerja bukan
untuk bermalas-malasan.
*
Waktu tak pernah menunggu kita untuk benar-benar siap
mengarunginya, waktu akan terus setia pada tuannya untuk terus bekerja sampai
masanya ia harus berhenti, jadi aku memang harus melakukannya sekarang. Tidak
mesti menunda pekerjaan berharga ini hanya untuk tidur, tidur akan bisa
kulakukan sepuasnya setelah naskah ini rampung setidaknya 70%.
Masih setengah adegan yang rampung, dan hari sudah beranjak
subuh, mendengar suara azan yang mendayu-dayu aku langsung tersadar untuk
bangkit melangkah menuju kamar mandi untuk kemudian menghadap Sang Khalik.
Mudah-mudahan aku dibukakan jalanNya, agar naskahku selesai secepatnya.
Di luar sudah terdengar kesibukan mewarnai rumah mungil wismaku
tinggal, semua penghuni sudah sibuk melakukan aktivitas rutinnya. Hanya aku
yang bersisakan kantuk masih saja berkutat dengan kelenaan naskah yang tak
kunjung beranjak rampung. Sampai akhirnya ketukan pintu kamarku akhirnya
membuatku terhenti sejenak.
“Aya, mau berangkat bareng nggak?” kubuka pintu,
“Aku nggak kuliah Wen, jadi duluan aja.” Jawabku lesu.
“Lho, kenapa? Dosennya nggak masuk? Atau kamu sakit?” Tanya
Wenda sambil memegang kepalaku.
“Enggak Wen, hanya lagi kerja aja, sudah izin kok tadi sama
dosennya.”
“Oh, yaudah, aku duluan deh ya... Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, hati-hati” sambungku dan disambut oleh senyum
dan anggukan dari Wenda. Sebelum aku kembali menutup pintu kamar, aku mendengar
ada suara rame
dari kamar sebelah yang membuatku tertarik untuk melihatnya. Ada apa ya? Batinku penasaran.
“Ada apa nih?” tanyaku begitu sampai di kamar Diana.
“Ini, si Diana pagi-pagi udah dapat paket Ay, sini, liat dulu.” Jawab
Tisa teman sekamar Diana. Aku kemudian mendekat dan duduk di samping Diana,
kulihat sebuah ponsel model terbaru masih lengkap dengan segelnya bertengger
cantik di atas kasur.
“Wah, hape baru, siapa pengirimnya?” kataku antusias.
“Haha... Papi yang ngirim Ay, udah lama kuidam-idamkan nih”
jawab Diana, dan aku hanya tersenyum simpul.
“Nah, tinggal kamu nih Ay, yang masih berhape tipe rendahan.
Kapan papamu beliin hape juga?” Tisa menambahkan. Aku hanya terdiam
mendengarnya, bukan karena hapeku yang dibilang rendahan, tetapi papa. Ah...
lagi-lagi aku teringat sosoknya.
“E, malah bengong. Gimana sih Ay?” Diana menimpali. Aku hanya
tertawa dan kembali ke kamar sambil berkata,
“Besok deh, kubeli sendiri dengan uang kerjaku. Makanya doain
naskahku cepat selesai dan diterima sama sutradara ya.” Aku pun berlalu ke
kamar.
Setibanya di kamar, kulihat hapeku yang sudah soak itu di atas
meja. Benar-benar menyedihkan dan kuno sekali, tetapi aku masih bisa memakainya
hanya untuk sekedar berkomunikasi, menurutku itu tidak apa-apa, daripada harus
menambah-nambah beban mama dengan meminta membelikan hape yang baru. Sungguh
tidak mungkin. Untuk membelikanku laptop saja mama harus ngutang sana-sini. Meminta
pada papa? Aku tidak yakin.
*
Bertemankan semangat luar biasa, aku melanjutkan pekerjaanku.
Meski malam sudah dari tadi datang, tetapi aku masih enggan beranjak dari meja
belajarku, perut lapar tetap kutahan, aku harus maksimal dan tidak boleh sampai
terputus lagi. Namun niatku masih saja ada gangguan dari luar, hapeku bergetar,
ada pesan masuk.
Uni, kpn pulang? Pinjam
adek laptop utk buat tgs, kalo k rental mahal ni.
Pesan dari Arfan, adikku yang kecil. Aku tak langsung
membalasnya, aku masih berpikir, kapan aku akan pulang? Sedangkan kerjaku masih
banyak dan deadline tinggal seminggu lagi.
Tugas apa dek? Bisa uni aja
yg bikinkan dsini?
sms balasan dariku terkirim, namun lama sekali adikku baru membalasnya.
Hanya ngetik ni, banyak
bgt, jd adek butuh secepatnya. Tugasnya utk seminggu lg.
Besok uni plg. jawabku singkat dan tak
ada balasan lagi dari adikku. Aneh, anak kelas satu SD sudah dikasih tugas
mengetik? Mengetik apaan? Kembali aku berfantasi ke alam bebas, menerawang
menembus malam menuju rumah sederhana mama di Solok sana, pasti nyaman sekali
keadaan di sana. Aku rindu rumahku, sudah lebih dari 3 bulan aku sudah tidak
pernah pulang lagi, padahal biasanya aku selalu menyempatkan diri untuk pulang
selalu setiap minggu. Namun semenjak mendapat pekerjaan dan tantangan baru dari
sutradara ini, aku terpaksa untuk tetap di Padang. Tidak terasa, rasa dendam
dan ingin keluar dari lingkar hitam kelam kehidupan yang bertahun-tahun kualami
telah menjadi penyemangatku untuk tetap bekerja keras mencapai kesuksesan. Ya,
dengan cara menulis, mengembangkan bakat mengalirkan mutiara-mutiara keringat
yang sangat berharga di setiap gerakan lincah jemariku menari-nari hanya untuk
menghasilkan sebuah tulisan berkualitas yang bisa menghasilkan sedikit uang.
Meski belum banyak, tetapi aku tetap bersyukur bisa menghasilkan. Ternyata
untuk mencari sekedar lima ratus rupiah itu sulitnya luar biasa. Aku jadi teringat
perkataanku tempo hari pada seorang teman; “Kitalah yang membuat diri kita
istimewa dan spesial, bukan orang lain! Jadi, apa-apa yang bisa membuat diri
kita ‘berharga’ di mata orang lain, lakukanlah. And DO IT NOW” insya Allah itu
akan kejadian sebentar lagi padaku.
*
“Mamaaaa... Uni Aya sudah pulang” si bungsu Arfan berteriak
sesudah menjawab salamku. Buru-buru mama membuka pintu rumah yang sudah tua
dimakan rayap itu.
“Assalamualaikum ma,” Ucapku sambil mencium tangan tuanya dan
memeluk tubuh ringkihnya. Mama menangis, entah karena apa.
“Ayo masuk dulu uni, pasti capek kan?” ujar Aska yang kini
tengah duduk di kelas delapan sambil menenteng tasku ke dalam rumah.
Kulihat keadaan di sekelilingku masih sama, tidak ada yang
berubah selama tiga bulan tak kulihat. Masih ada foto-foto yang sama di dinding
rumah, dan aroma pandannya yang berasal dari tanaman pandan yang rimbung di
sekeliling rumah
pun masih sama.
“Kamu kapan balik lagi Ay? Agak lama lah main di sini dulu,
nggak kepingin kumpul-kumpul sama kita dulu?” kata mama datar. Aku hanya
tersenyum, mencoba menata kalimatku agar tidak terdengar melawan.
“Aya selesaikan dulu lah kerjaan Aya ma, baru Aya pulang dan
agak lama di rumah, soalnya besok Aya harus balik lagi ke Padang. Kalau di
rumah Aya nggak bakalan konsen nulis ma.” Mama hanya diam mendengarnya,
sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakannya padaku.
“Yaudah, yuk dek, katanya mau ngetik?” aku mencoba mengalihkan.
Adikku langsung asik berkutat dengan laptop, dan aku berlalu ke dapur membantu
mama di sana.
“Ada apa ma?” tanyaku hati-hati
“Nggak apa-apa, mama Cuma butuh teman bicara aja Ay, tapi kamu
sibuk banget ya?” aku terdiam, merasa berada dalam dua pilihan yang teramat
sulit, apa aku harus meninggalkan cita-citaku menjadi seorang penulis
profesional dengan tetap di sini? Atau aku melanjutkan balik ke Padang
sedangkan hati mama harus terluka? Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
“Mama kenapa? Aya kan masih di sini sampai besok ma, mama bisa
cerita selama Aya masih di sini kan?” aku mencoba untuk menghibur mama. Mama
hanya tersenyum, kehidupan berat apakah yang telah dilalui perempuan tua ini
selama tiga bulan aku tidak berada di sisinya sehingga ia terlihat sangat
ringkih saat ini? Aku langsung berlari ke kamar kecil dengan alasan tidak tahan
ingin buang air, sementara dadaku yang sesak sudah sangat mendesak untuk
diluapkan dalam wujud air mata.
*
“Ma, katanya papa mau balik lagi? Mana? Sampai sekarang belum
juga balik” Arfan yang masih berumur enam tahun mengejutkanku. Papa datang?
Inikah yang membelenggu mama sampai raut wajahnya tidak pernah cerah semenjak
kedatanganku tadi siang?
“Iya, papa pasti masih sibuk sekarang sayang, kamu tunggu saja
ya?” jawab mama sambil mengusap lembut rambut adikku itu. Aska menatapku, dan
seolah mengerti dengan yang kupikirkan, dia berkata.
“Iya uni, papa datang tiga hari yang lalu. Papa janji mau
belikan Adek sama Abang mainan.” Kepolosan Aska memaksaku untuk tertawa, entah
karena apa, dan entah seperti apa wujud tawa yang kelepasan tidak karuan itu.
“Syukurlah, kan nanti abang sama adek dapat mainan baru kan ya?”
ujarku yang masih dengan wajah tertawa. Keduanya mengangguk dan sangat
antusias. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka kalau seandaianya
papa tidak jadi datang atau tidak membelikan apa-apa, pastilah raut wajah
bahagia yang kini tampak akan berubah kekecewaan yang mendalam. Mengingat itu
aku jadi semangat untuk menyelesaikan kerjaanku, semoga berbuah uang dan aku
bisa memberikan sedikit untuk mama dan adik-adikku.
“Papa ngapain ke sini ma?” Ujarku ketika malam sudah beranjak
jauh menyongsong pagi. Sambil membalikkan badannya mama menjawab.
“Nggak ngapa-ngapain selain ngajak main adik-adikmu, papa juga nanyain
kamu kenapa jarang pulang”. Mama hanya menjawab dengan wajah yang datar.
“Papa nanyain aku ma?”
“Iya, kenapa kamu heran?”
“Ah, nggak apa-apa”. Jawabku singkat, apa mungkin, kerinduan
yang kurasakan saat beberapa hari lalu itu juga dirasakan oleh papa?
“yasudah ma, tidur yuk! Besok kan mama mesti ngajar dan aku juga
harus balik lagi ke Padang.” Ujarku kemudian. Tak lama wajah lelah itu terlelap
juga, kupandangi ia dalam keremangan, membawa ingatanku berjalan menyusuri masa
lalu yang sama pahitnya dengan hari ini, hari yang sangat melelahkan bagi mama,
di saat pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar tidak lagi mencukupi kebutuhan
keluarga, mama harus rela bekerja lebih keras lagi, bangun tengah malam dan
memasak gorengan untuk dijual esok paginya, bahkan mama bisa tidak tidur, tidak
pernah istirahat, hebatnya, mama tidak pernah terlihat lelah. Meski uang yang
didapat dari hasil jerih payahnya seharian tidak sepadan dengan apa yang telah
mama korbankan. Mama selalu bilang, melihat canda tawa kami dan melihat kami
yang selalu akur dan penuh kasih sayang adalah penawar kantuk dan lelah paling
mujarab bagi setiap orang tua yang merasa lelah.
Aku tersenyum pahit, meneteskan buliran air mata seketika
mengingat kejadian terpahit yang menimpa mama dan kami ketiga anaknya. Harus
rela mengakui nasib yang tak berpihak pada kami, mengikhlaskan dengan terpaksa
membagi papa dengan orang lain. Berbagi tidak hanya nafkah, tetapi berbagi
kasih sayang. Perih.
*
Sayup-sayup azan subuh mulai terdengar mengajakku bangkit dari peraduan,
alunan merdunya menyapa pagiku, memberikan kesejukkan di sela udara dingin yang
kian menusuk tulang, namun untuk menarik selimut bukanlah solusi yang tepat,
karena melawan kantuk dan menerima panggilanNya adalah yang terbaik. Aku
menatap sampingku, hanya tinggal bantal, pasti mama sudah bangun dari dini hari
tadi, menyiapkan segala keperluan kami ketiga anaknya, mama memang selalu
memberikan yang terbaik. Aku bangga memilkinya. Aku memang sangat mencintainya,
tidak kutahu apakah begitu juga untuk papa, tapi, yang kusadari sebutan papa
yang kusematkan padanya saja yang tetap melekat di hatiku. Apakah antara kami
masih ada kasih sayang? Aku juga masih ragu.
Semua ini bukan salahku, memang bukan salahku, jika saja papa
tidak datang di hujan bahagia sore itu, di mana kami semua sedang merayakan
kelulusanku yang mendapat 10 besar tingkat Kabupaten itu. Seharusnya papa
datang dengan menyalamiku, mencium keningku dan memberiku hadiah berupa kalimat
nasihat yang sangat kurindukan. Tetapi bahagia sore itu harus ternodai olehnya,
dengan kabar berita yang lebih menakutkan dari petir sore itu, permintaan yang
tak harus kami jawab.
“Papa mau menikah lagi” kalimat singkat dan amat kubenci itu
diucapkannya dengan ekspresi wajah yang sangat sulit kutebak. Entah apa yang
bersarang dibenaknya saat itu? Tidak bersyukurkah ia hidup dengan istri seorang
guru sedangkan dirinya hanya seorang supir truk? Tidak bahagiakah hidupnya
dengan dikaruniai tiga orang anak yang sangat menghormatinya? Seharusnya papa
bangga dan bersyukur mama mau menerimanya dengan status sosial mama yang lebih
tinggi. Seharusnya papa bahagia dengan menjalani hidup bersama kami, ketiga
anaknya yang tidak pernah malu dengan pekerjaannya bahkan selalu menghargainya.
Entah apa pula yang dipikirkan mama, saat itu mama tidak marah
sama sekali, mama hanya tersenyum pada papa. Aku? Aku langsung berlari
sekencang-kencangnya menembus hujan, menapaki tanah basah, menyusuri jalanan
panjang, ditemani hujan yang telah bercampur dengan air mataku. Mencoba
mengerti tetapi hanya bisa membenci. Iya, aku benci padanya yang kupanggil
papa.
*
“Kalau nanti semua kerjamu sudah selesai, cepat balik ya nak”
Mama kembali mencium keningku, tanpa air mata nyata tetapi sangat banyak air
mata di batinnya dan aku tau itu. Aku tersenyum
“Iya, ma. Aya akan segera pulang, tidak tahan juga lama-lama
berpisah dengan adik-adik manis dan menggemaskan ini” kataku sambil
mengusap-usap kepala kedua adikku, mereka kemudian merajuk manja.
“Iya uni, Apan juga nggak tahan lama-lama nggak ada uni di sini,
ada yang kurang rasanya”
“Benar uni, biasanya Aska selalu ditemani sama uni kalau belajar
kan?” Oh Tuhan, ucapan kedua adikku ini sangat menyentuh, kepolosan keduanya
hampir saja meruntuhkan ketegaranku untuk tidak meneteskan air mata.
“Iya sayang, doakan uni bisa segera menyelesaikan kerjaan uni
ya? Abis itu uni akan sering-sering pulang lagi kayak dulu” hiburku.
“Yasudah, mobilnya udah datang, uni berangkat dulu, rajin-rajin
belajar dan selalu bantu mama ya adik-adik uni yang pintar? Assalamualaikum.”
Dan aku pun berlalu, meninggalkan keluarga yang teramat kusayang, harapan
hidupku.
Perjalanan ini menjadi awal dari tekad bulatku, tekad yang mulai
kuat dan kokoh dengan perekat yang dibaluri oleh harapan oleh adik-adikku juga
mama, tekad untuk segera menyelesaikan pekerjaanku dengan usaha yang maksimal
dan perjuangan pantang menyerah menghadang segala prahara. Aku yakin, menulis
itu butuh keyakinan. Dan aku Alhamdulillah sudah mulai yakin kembali akan bisa
menyelesaikan naskah ini kurang dari seminggu.
*
Nyanyian burung terasa kian merdu, merasuki nuraniku. Jantungku
berayun-ayun mengikuti irama nyanyian burung yang kian memicu adrenalinku,
semangat yang kian membara bersama tekad yang kuat membawa jemariku untuk lebih
ngebut lagi menari-nari dan menekan tuts-tuts mungil yang berjejeran.
Subhanallah ciptaan Allah, jemariku tidak pernah lelah atau cedera, bahkan ia
akan semakin kuat dan cepat dengan terus kuasah begini. Terima kasih Tuhan,
ciptaanmu sangat membantuku hari ini sudah 300 dialog yang selesai diketik oleh
jemariku itu, artinya, tinggal 10% dialog lagi dan editan terakhir, naskah ini
akan siap untuk dikirim. Berkali-kali senyumku mengembang, menyadari nikmatNya
sambil menatap pada sang burung yang masih asik bernyanyi menemaniku bekerja di
luar jendela.
Naskah yang kuciptakan bertemakan kisah perjuangan remaja
laki-laki dan perempuan yang sama-sama berjuang melawan penyakit mereka di
tengah keadaan keluarga yang sama-sama serba kekurangan. Tema yang ditentukan
oleh bapak sutradara ini awalnya sangat susah untuk kutentukan alur ceritanya,
selalu, setelah mengetik sekitar 50-an dialog, aku pasti menghapus lagi, feelnya selalu berbeda-beda sampai
akhirnya Tuhan menunjukkan jalanNya padaku, memberitahu rahasia di balik
rahasia yang kutemukan setelah membaca naskah-naskah dari penulis terkenal. Tidak
mudah memang menulis itu, tetapi asalkan memiliki kemauan yang kuat dan
keyakinan terhadap diri insya Allah akan bisa menyelesaikan tulisan dan
melewati rintangan yang dihadapi penulis pada umumnya. Namun yang terpenting,
memang harus sering membaca! Membaca karya orang lain, menemukan inspirasi dan
membuat inovasi baru, baru setelah itu kita harus rajin berlatih.
“Aya... Aya...” panggilan dari luar pagar mengagetkanku yang
sedang melayang berfatamorgana. Kutengok keluar jendela, ternyata Taya teman
sekelasku yang datang.
“Masuk aja Tay, pagarnya emang sengaja dirapatkan tetapi nggak
dikunci kok” ujarku dan kemudian Taya masuk.
“Assalamualaikum. Kupikir dikunci Ay, soalnya ga pernah
dirapatkan gitu sih kalau siang-siang gini.”
“Waalaikumsalam. Iya Tay, lagi antisipasi, kemarin anak kos
sebelah kemalingan. Di siang bolong bahkan! Jadi semenjak itu wisma kami
dirapatin aja pagarnya meski siang-siang.”
“Kemalingan? Wah... apa yang hilang Ay?”
“Katanya laptop dua sama hape tiga.”
“Hm... iyasih, lagi musimnya maling berkelana sekarang ya, deket
kosku juga ada, laptop sama hape juga incarannya.” Taya kemudian berjalan
menuju meja belajarku dan membaca-baca sebagian naskah yang sudah ku print.
“Wah, naskah apa ini Ay? Bagus keliatannya, boleh kubaca?” Taya
terlihat sangat antusias.
“Hehe, boleh Tay, tapi kamu baca yang ini aja ya, yang itu udah
yang siap kuedit, nanti kotor atau kelipat-lipat pula jadi jelek.” Ujarku
sambil menyodorkan map kuning yang berisi naskah-naskah yang banyak terdapat
coretan koreksiku sendiri. Taya mengambilnya kemudian menuju kasurku sambil
berbaring ia mulai asik membaca. Aku hanya tersenyum melihatnya, kemudian
kuteruskan mengedit-edit naskahku. Sedang asik melakukan editing, tiba-tiba
Taya terperanjat dan mengagetkanku.
“Astaga, Lupa aku Ay!” suaranya yang lengking itu benar-benar
mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi.
“Astaghfirullah... ngagetin aja deh! Lupa apanya sih Tay?”
jawabku sedikit ketus karena dikagetkan oleh Taya.
“Hehe maaf, aku lupa tujuan awalku kemari gara-gara ini loh”
ujarnya melambai-lambaikan naskahku.
“Tadinya aku ke sini mau kasih tau tentang open recruitment di
PPIPM say, udah dibuka tuh! Katanya kamu mau gabung ke sana?”
“Wah... beneran? Tau dari mana kamu?”
“Makanya say, jangan asik sama naskah-naskah mulu, baca tuh
dinding di kampus, banyak kok ditempelin di dinding-dinding.”
“Hehe.. iya, naskah ini mengalihkan duniaku Tay, besok temani
aku ke sekre PPIPM itu ya? Atau kamu mau ikut daftar juga?”
“Hm... agak-agak kurang tertarik sama ilmiah sih akunya, liat
besok ajadeh Ay, kalo mood aku
ikutan, kalo nggak ya nggak. Hehe...”
“Oh.. yaudah, ada lagi tujuan lain ke sini selain tujuan utama
tadi nggak?”
“Maksudnya?”
“Iya, kalo nggak ada, aku mau ngelanjutin ngedit, dan kamu
terusinlah baca naskahnya.”
“Oooo, intinya ‘Jangan ganggu aku’ kan? Haha... sip deh, aku
baca dulu. Sok dilanjutin say.” Ujar Taya tersenyum-senyum dengan ucapanku
barusan.
*
“Hayatul Husna, BP 2009, Jurusan Bahasa Sastra Indonesia.
Benar?” ujar panitia itu mengulang dataku sembari menyerahkan kwitansi bukti
uang pendaftaran yang sudah kusetor. Aku mengiyakan dengan mengangguk. Setelah
itu aku kemudian berbalik dan menyusul Taya yang sudah menungguku di luar.
“Udah Ay? Segitu aja?”
“Iya Tay, Cuma daftar aja, sama ninggalin nomer hape, nanti
dihubungi lagi sama panitia.” Uajrku sambil terus mengiringi langkah Taya
menuju kampus FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) di selatan. Jejak kaki kamu terus berderak
melaju dan menyonsong gedung megah yang mulai tampak puncaknya, sekilas aku
tersenyum memandangi si raja angkuh itu, tempat aku selalu mencari dan belajar.
Tidak terbayangkan, gedung yang biasanya selalu kuharapkan ketika menatap layar
televisi itu kini berada tepat di hadapanku. Tidak sekedar harapan lagi
sekarang, tetapi aku sudah memilikinya bahkan. Di sanalah kudapatkan sebagian
yang kucari. Ilmu menulis dan berbahasa. Ya, hobi menulisku yang sudah semenjak
SD itu kini berlabuh di sini, dan ilmu yang kubutuhkan untuk memperkaya
kemampuanku juga kudapat di sini. Aku tahu bagaimana cara menulis fiksi yang
baik, dan aku dapat perbendaharaan kata baru juga di sini. Hm... kuhirup
udaranya yang sejuk sekali lagi, sangat menyegarkan. Taya yang melihatkku
memejamkan mata jadi heran sendiri.
“Kenapa kamu Ay? Tau-tau sepulang dari PPIPM udah gini aja,
ketemu siapa tadi di sana?”
“Emang kenapa? Biasa aja deh perasaan!”
“Biasa apanya? Jelas-jelas kamu jadi aneh gini! Mejamin mata,
senyum-senyum, itu apa?”
“Ahh, aku hanya menikmati udara segar ini aja. Ayuk ah,
dipercepat lagi jalannya, ntar kita nggak kebagian duduk di depan lagi”
kupercepat langkahku menaiki tangga demi tangga. Meneriaki kekampunganku yang
selalu senang ketika bisa mencapai tangga teratas terlebih dahulu dari Taya
yang sudah ngos-ngosan.
Perkuliahan keredaksian selalu mengasikkan. Bukan hanya dosennya
yang sangat kusenangi, tetapi lebih dari itu, aku sangat suka pelajarannya.
Menjadi wartawan cilik, penulis, redaktur, editor, dan layouter. Semua
dipelajari di sini. Memang tidak semua temanku yang menyukainya, tetapi aku
merasa ini adalah duniaku. Di sini kita banyak menulis dan ke lapangan untuk
mencari data dari narasumber, sungguh terasa sangat mengasikkan.
“Baiklah, karena kelompok sudah dibagi, silakan duduk dengan
kelompok masing-masing dan diskusikanlah jabatan masing-masing” instruksi dari
dosen itu segera kami patuhi. Kelompokku yang terdiri dari 6 orang perempuan
dan satu laki-laki itu sangat ideal menurutku. Tiga orang temanku sangat bisa
diandalkan untuk bekerja sama, berarti empat orang dari kelompok yang kami beri
nama Kariesma itu bisa bekerja membantu menutupi kekurangan tiga anggota
kelompok lainnya. Aku yang ditunjuk sebagai pemimpin redaksi mulai membagi-bagi
tugas dan mulai mengagendakan kapan kami akan bergerak mencari berita dan
menentukan narasumber.
“Si Aya ini terlalu bersemangat, santai ajalah Ay, jadwal
pengumpulan majalah kita masih tiga bulan lagi kok.” Aku langsung kesal dengan
kalimat yang seperti itu.
“Tiga bulan itu sebentar Dev, apalagi kita juga ada tugas akhir
semester dari mata kuliah lainnya, ini tugas akhir yang lumayan berat, kita
membuat dan menerbitkan majalah. Ini nggak main-main loh!” beberapa temanku
mengiyakan, akhirnya dengan kesepakatan kami akan mulai bergerak mencari berita
minggu depan, selama seminggu ini kami akan menyelesaikan tugas pribadi yang
sudah kubagi tadi. Sungguh, aku sangat bersemangat dan antusias sekali dengan
tugas akhir majalah ini.
*
“Para peserta PAB (Penerimaan Anggota Baru) dipersilahkan untuk
masuk ruangan, karena acara akan segera dimulai” aku yang masih berada di jalan
mempercepat langkahku begitu mendengar sayup-sayup suara himbauan dari panitia.
Setibanya di ruangan itu aku dan para peserta lainnya diperkenalkan dengan apa
itu PPIPM (Pusat Pengembangan Ilmiah dan Penelituan Mahasiswa) UNP (Universitas
Negeri Padang), kami juga diperkenalkan dengan pengurus-pengurus di PPIPM,
serta prestasinya, dan diberikan serangkaian materi yang berkenaan dengan tugas
yang akan kami kerjakan selama masa PAB yang berjalan sekitar kurang lebih dua
bulan itu. Salah satu tugasnya adalah mengisi buku daily ta’aruf, alias buku
perkenalan dengan senior, kami disuruh meminta senior-senior di PPIPM untuk
mengisinya, tentu tidak mudah, karena belum tentu senior-senior itu mau
memberikan datanya begitu saja, mungkin kita akan disuruh untuk menjawab
beberapa pertanyaan konyol terlebih dahulu, atau mengerjakan apa yang diminta
terlebih dahulu, baru tanda tangan akan didapat.
“Tugas esainya jangan lupa untuk dikerjakan dan akan dikumpulkan
minggu depan” demikian pengumuman terakhir yang kudengar ketika sedang
beres-beres untuk segera pulang. Saat itu ada seorang teman yang mencolekku
dari belakang, aku langsung menoleh ke belakang.
“Maaf, tadi katanya kita disuruh menyiapkan buku daily ta’aruf,
itu seperti apa ya?”
“Oh... itu, buku yang kita sediain yang nantinya akan kita
gunakan untuk meminta data-data senior biar kita bisa kenal ama mereka dan
disuruh penuhin juga, hm... dinilai lho!”
“Oke, makasih ya, by the way nama aku Lian, jurusan Teknik
Elektronika, kamu?”
“Aku Aya, Bahasa Indonesia, salam kenal ya” Lian hanya tersenyum
dan berlalu sambil melambaikan tangannya ke arahku yang juga hendak berjalan
pulang. Sebelum balik ke kos, aku menyempatkan mampir di tempat foto kopi untuk
membeli buku daily taaruf dan membeli sampul buku berwarna coklat sebagai
syaratnya juga.
Kutata dan kuhiasi dengan rapi sampul coklat itu agar terlihat
keren, sambil tersenyum-senyum sendiri, kak Dini yang kebetulan lewat
kamarku dan melihatnya
langsung menegurku.
“Kenapa kamu Ay? Senyum-senyum sendiri aja?”
“Eh, kak Dini! Ini kak, lagi nyampul buku buat minta tanda
tangan senior di PPIPM, sebagai syarat juga!”
“Iya, kakak tau, tapi kenapa senyum-senyum segala?”
“Ah, nggak apa-apa kok, kita kan harus selalu ceria dan
tersenyum untuk melakukan suatu pekerjaan biar hasilnya juga baik.”
“Alah, pinter-pinter kamu ngejawab, dasar anak bahasa. Pasti
tadi ketemu senior ganteng ya?”
“Ih... kakak ada-ada aja deh, nggak ada kok, beneran!”
“Huu, yaudah, lanjutin deh, kakak mau ke warung dulu, mau nitip
nggak?”
“Nggak deh kak, lagi bokek nih!” kak Dini pun berlalu dari
kamarku yang memang terletak paling depan, di samping pintu masuk yang memang
selalu menjadi tempat persinggahan penghuni wisma kalau hendak masuk atau
keluar. Aku kembali asik dengan pekerjaanku yang sudah mau beres, kemudian aku
masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dan menyegarkan badan.
Setelah shalat magrib, aku menghampiri meja belajar yang di
atasnya sudah kubungkus rapi sebuah nashkah lengkap dengan CD yang berisi soft copynya. Besok naskah itu akan
kukirim, berharap semoga saja naskah yang sudah kubuat dengan jerih payah dan
usaha yang maksimal itu layak di mata bapak sutradara. Mataku kemudian beralih
ke hape yang berada tidak jauh dari amplop naskah, saatnya menghubungi rumah
untuk minta restu dari mama.
“Assalamualaikum Ay”
“Waalaikum salam, ma. Udah shalat?”
“Udah sayang, kamu udah?”
“Udah ma, lagi apa ma?”
“Lagi siap-siap untuk makan malam, ada apa Ay?”
“Ini ma, aku besok mau ngirim naskah ini. Doain ya ma, naskahku
bisa diterima untuk difilmkan.”
“Oh, iya, pasti nak. Mama selalu doakan kamu dengan cita-citamu
itu.”
“Adik-adik mana ma?”
“Ini ada, mama loudspeaker ya.”
“Hallo, dek, uni besok mau kirim naskah yang udah uni bikin
kemarin, doakan diterima ya sayang.” Adikku serempak menjawab
“Iya uni, insyaAllah pasti diterima kok, soalnya tulisan uni kan
bagus banget.” Aku hanya tertawa mendengarnya, kedua adikku itu memang selalu
tau bagaimana caranya membuatku senang.
“Yasudah ya, mama, abang, adek, uni mau belajar dulu, kalian
juga belajar yang rajin ya, juga selalu bantuin mama. Oke?”
“Sip uni...”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam” telepon pun terputus. Aku mulai membuka amplop
coklat itu, mengecek dan memastikan apakah isinya tidak tertukar dan masih
lengkap dengan CD di sana. Bismillahirrahmanirrahiim,
mudah-mudahan kerja kerasku selama ini berbuah manis dengan disertai munajat
yang setiap hari dilantunkan mulutku, serta doa dan restu yang kukantongi dari
orang-orang tercinta.
*
Kurasa banyak yang menertawakan muka masamku yang ditekuk.
Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku yang tergolong orang yang susah
bersosialisasi ini mendapat kesusahan ketika senior-senior di PPIPM seperti
menguji-ujiku. Aduh, habislah aku di
sini. Batinku bergumam. Sampai ketika seorang senior masuk ke dalam sekre
dan lumayan menarik perhatianku. Kuberanikan diri mendekatinya dan meminta
biodatanya untuk diisi di buku daily ta’arufku
“Assalamualaikum, bang, maaf ganggu, Aya minta tanda tangannya
boleh?” ujarku sambil menyodorkan buku daily ta’arufku. Dia menoleh padaku,
kemudian meraih buku tersebut, membaca halaman pertama yang berisi biodataku.
“Panggilannya Aya ya?”
“Iya bang”
“Saya boleh request? Coba cantumin hobinya di biodatanya ya”
kemudian kusambut buku itu dari tangannya dan mulai menuliskan hobiku, tentu saja
menulis. Setelah itu kukembalikan padanya.
“Hobinya menulis?” aku mengangguk dan tersenyum, senang ada yang
berminat dengan hobiku.
“Apa saja yang sudah kamu tulis dan berapa banyak?”
“Aku suka nulis puisi dan cerpen, tapi lebih ke cerpen sih bang. Kalau banyaknya…
kira-kira sudah 11 cerpen yang bersih deh yang siap”
“Kalau gitu aku mau bukti, boleh liat cerpennya?”
“Wah, kebetulan Aya nggak bawa sekarang bang, boleh besok?”
“Oke deh, kalau besok, berarti besok aja saya isi bukunya ya?”
aku hanya tersenyum dan mengangguk. Terserah dia saja, yang jelas dia akan
mengisi buku daily ta’arufku juga. Kembali aku mencari-cari senior sebagai
targetku meminta atau lebih tepatnya mengemis biodata mereka. Bukuku baru
terisi 7 orang dan aku harus lebih giat lagi, kulihat kiri dan kananku, sudah
pada dapat 20an tanda tangan.
Kuusahakan membongkar pasang muka masamku dengan senyuman dan
sedikit kalimat rayuan pada setiap senior, dan ternyata lumayan berhasil, aku
mendapat lima tambahan biodata senior. Senangnya. Hari itu aku bisa pulang
dengan tenang.
Aya, bsk sore jemput
paket k terminal y, papa kirim paket.
Mataku terbelalak, tidak percaya dengan yang kubaca. Dari papa?
Papa kirim paket? Wow! Tidak pernah meminta tetapi datang sendiri? Lalu kubalas
smsnya itu.
Y pa, bsk Aya jmput
pulang kul. Paket apa pa? Lama sekali, kutunggu-tunggu tak ada balasan. Yasudah lah,
akhirnya kuketik lagi sms
Makasih y pa. Aku masih penasaran,
namun papa tidak membalas lagi sms dariku, mungkin
hanya beras, bathinku, tidak berani berharap terlalu banyak.
Selesai mandi aku berjalan ke meja belajarku yang menghadap ke
arah jendela, sekilas kulirik ke luar yang sedikit mendung, kuedarkan pandangan
ke seluruh kamar kecil berukuran 3x4 itu, ternyata sepi juga tinggal sendiri
meski di kamar yang kecil ini. Tetapi memang dari awal akulah yang memilih
untuk di kamar sendiri karena kesulitanku untuk berinteraksi dengan orang baru.
Kulirik kasur beralaskan warna biru yang terletak menghadap ke meja belajar
itu, sudah sangat lusuh. Aku tersenyum. Kembali menghadap meja belajarku dan
membuka novel yang baru kupinjam dari perpustakaan tadi pagi. Aku semakin
terhanyut masuk ke dalam cerita yang sedang kunikmati.
*
Kupastikan sekali lagi senyum di wajahnya dan anggukannya itu
bukanlah sebuah cemoohan, aku benar-benar berharap dia menyukai cerpenku.
“Bagaimana Yan?” kuberanikan bertanya pada seniorku yang
ternyata seumuran denganku itu. Dia tersenyum.
“Bagus! Ceritanya ringan, aku suka tulisanmu Aya.”
“Makasih Yan,” jawabku singkat sambil membalas senyumannya.
”Tulisan yang lainnya masih boleh kubaca nggak? Ya, berhubung
aku sangat suka baca, jadi boleh dong jadi pembaca setia tulisanmu? Hehe”
“Wah, boleh-boleh, Yan. Dengan senang hati” bangga sekali
rasanya ada yang bersedia membaca tulisanku, dan berkat hobi kami yang sangat
berhubungan ini, obrolan kami semakin nyambung. Aku beruntung, bisa dekat
dengan senior di PPIPM ini dengan caraku sendiri, bukan karena ada temanku yang
menjadi senior di sini seperti kebanyakan calon anggota baru lainnya. Dan kuberharap aku
memang bisa menjadi teman dekat alias sahabat Ryan, semoga.
Matahari semakin membakar kulitku, mataku liar menatap kian
kemari, sampai kutatap arloji hitam di pergelangan kiriku, tidak kutemukan juga
sosok yang kucari selama 30 menit itu. Wajahku memerah dibakar mentari, semakin
memerah karena kesal. Papa mana sih?
Jangan-jangan lupa lagi! Gerutuku.
“Aya!” sebuah suara mengagetkanku, segera kulayangkan pandanganku
ke sumber suara. Dan perlahan berjalan sambil memasang muka masam khasku.
“Aya tu udah nunggu dari tadi tau nggak, panas-panas, capek tau pa!” papa hanya
tersenyum.
“Kamu masih sama ya Ay.”
“Iyalah pa, emangnya aku harus berubah gimana lagi?”
“Maksud papa, meski sekarang sudah jadi mahasiswa dan sudah
tahun-tahun akhir, tetap aja sikap berantakanmu itu dipelihara.” Aku hanya
diam, mengangkat sudut bibir kiriku tanda aku tak suka dengan kata-katanya.
“Papa mau ngasih apa sih? Tumben banget!” masih tetap dengan
nada jutek.
“Ini, kamu bawalah pulang, papa lagi buru-buru jadi nggak bisa
nganter ke wismamu. Bisa bawa sendiri kan?” kuterima kardus berukuran sedang itu, lumayan berat,
mungkin memang hanya beras.
“Ya, makasih pa” hanya singkat jawabanku, kemudian aku melangkah
menuju pinggir jalan untuk naik angkot.
Sesampainya di wisma, segera kubuka kardus itu, saking
penasarannya aku bahkan belum sempat membuka kerudungku. Ternyata dugaanku
sedikit meleset. Isinya memang beras, tetapi hanya sedikit. Selebihnya ada
beberapa lembar baju dan sepasang sepatu kets. Aku tersenyum, sekaligus heran.
Ada angin apa papa memberiku bingkisan ini? Di tengah-tengah kebingunganku,
hapeku bergetar tanda sms masuk, ternyata dari papa.
Gmn Ay, udh dibuka
paketnya? Suka? Papa sngaja kasih kamu baju krna papa liat bajumu udah lama gk
diganti-ganti, sepatumu jg udah lusuh.
Aku tertegun membacanya, kok papa tau aku tidak pernah lagi
memiliki baju baru, padahal bertemu saja bisa dibilang tidak pernah selama dua
tahun ini. Entahlah. Kemudian kubalas sms itu.
Ya pa, makasih. Tp jgn
lupa papa jg punya hutang sm adek2 mw belikan mreka mainan. Kemudian kukirim sms itu
dan kemudian kutelpon mama.
“Assalamualaikum Ya,”
“Waalaikum salam. Mama lagi ngapain?”
“Lagi beres-beres tadi abis masak, ada apa sayang?”
“Ma, tadi papa kasih Aya paket, isinya beras, baju, ama sepatu.”
“Ohya? Kapan kamu minta?”
“Minta ma? Mana pernah Aya minta-minta sama dia, apalagi yang
begituan. Nggaklah, itu inisiatifnya papa sendiri, tau deh, kok bisa.”
“Bagus kalau gitu Ay, kan papa emang sayang sama kamu”
“Ah, mama ngada-ngada. Oya, mainan yang dijanjiin buat adek-adek
udah dikasih belom ma?”
“Belum, mungkin bentar lagi.”
“Adek-adek mana ma?”
“Mereka masih main”
“Lho, masih di luar? Padahal kan udah mau magrib ma,”
“Iya nanti sebentar lagi pasti pulang.”
“Hm... yaudah deh ma, Aya mau siap-siap magriban dulu.
Assalamualikum.”
“Waalaikum salam” telepon pun terputus, kemudian kubereskan
potongan-potongan kardus yang berserakan tadi, kardus yang terbuka kugeser ke
sudut dekat lemari pakaianku tanpa mengeluarkan isinya. Kemudian kerudungku
kubuka, dan mulai mengganti pakaian, menutup jendela, menghidupkan lampu kamar
dan lampu teras, lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudu’.
Sambil membuka lembaran ke tiga puluh enam novel yang tengah kubaca, aku menoleh ke
belakang, mataku tertuju ke kardus di sebelah lemariku. Kembali menerawang
dengan apa yang terjadi tadi sore. Sudah lama rasanya aku tidak melihat wajah
papa. Aku pun beranjak menuju kardus itu, mengambil sehelai bajunya yang
berwarna merah, aku jadi teringat masa kanak-kanakku dulu, setiap kali mama atau papa membelikanku
baju, pasti selalu warna merah. Kata mama sih,
dengan warna merah semua terlihat cantik dan cerah. Aku jadi tersenyum sendiri
mengingat masa kecilku, belaian kasih sayang mama dan papa, nasihat-nasihat ringan yang kadang
kuabaikan –yang kini kurindukan–, gelak tawa di saat makan bersama, atau
keharuan di saat makan malam yang cuma bisa bersantap ikan asin. Begitu indah masa itu,
entah kenapa rasanya semua sudah sangat tidak mungkin lagi kumiliki. Untuk
bermanjaan dan merengek pada papa. Seperti bertemu tadi saja, papa tidak punya
banyak waktu untukku, bahkan untuk sekedar bertanya bagaimana kuliahku saja
tidak, aku rindu. Semenjak papa memiliki istri lagi, aku memang sudah sangat
membencinya dan papa tahu itu, aku tidak pernah mau bertemu wajah ketika tiap
kali papa datang ke rumah, tidak pernah mau menjawab pertanyaan yang kerap
diajukannya dari balik pintu kamar. Inilah yang kurasa membuat hubunganku
dengan papa menjadi sangat kaku dan canggung. Kuraih hapeku dari atas kasur,
setelah menelpon mama tadi aku belum lagi memegangnya, jadi tidak tahu apakah
papa membalas sms terakhirku entah tidak.
Iya Aya, bsk papa mau
pulang dn kasih hadiah
buat Arfan sm Aska jg. Kamu jaga diri baik-baik y Aya. Aku tidak tahu harus
membalas apa, apakah akan membalas singkat seperti biasa atau sedikit melunak?
Ya pa, mudah2an adek2
suka sm hadiahny, sm sperti Aya. Makasih pa. Hanya itu yang bisa kubalas. Menurutku papa
sudah senang dengan balasan smsku. Setidaknya mencoba membuat papa senang, aku
jadi tidak merasa bersalah lagi dengan apa yang telah diberikannya padaku.
*
Kedekatanku dengan Ryan semakin beranjak akrab. Kami banyak
bertukar pikiran tentang apa saja, terutama dunia menulis. Dia banyak belajar
dariku tentang dunia menulis fiksi, sedangkan aku lebih banyak belajar menulis
ilmiah darinya yang memang senior. Dan, entah kenapa pada hari itu, saat
perjalanan studi kasus kami ke Pariaman, aku beranikan diri bercerita mengenai
masalah terberatku padanya yang kebetulan menjadi senior pembimbing kelompokku
dalam perjalanan studi kasus ini, yaitu masalah keluarga. Dan lagi-lagi obrolan
kami nyambung dan aku merasa begitu nyaman bercerita padanya, aku percaya saja
menceritakan masalahku dan papa padanya.
“Jadi udah dua tahun tidak pernah
bertemu dengan papamu Ay?” aku mengangguk sambil terus mencatat hasil
observasi.
“Trus, hubungan dengan papa sebenernya
gimana?” aku menoleh dan mengernyitkan dahi, mencoba menganalisa maksud dari
kata-katanya.
“Maksud hubungan?”
“Iya, hubunganmu dengan papa masih tetep
baik kan?” aku terdiam lagi, bingung harus menjawab apa.
“Nggak tau lah Yan, yang jelas aku nggak
suka dengan keputusannya menikah lagi. Dan semenjak itu memang aku tidak lagi
mau bertemu dengannya, meski papa masih sering datang ke rumah. Tapi tetep aja rasanya
ketemu itu males banget. Ya, bentuk dari protes akulah sama dia.” Ryan Cuma
mengangguk-angguk, kemudian kulanjutkan.
“Menurutmu aku salah nggak sih Yan?”
Ryan tampak agak kaget dengan pertanyaanku.
“Hm… gimana ya, Ay, aku juga bingung.
Soalnya aku nggak ngalamin langsung apa yang kamu ngalamin, tapi mudah-mudahan
nggak ya. Hehe” aku hanya tersenyum dengan jawabannya, kemudian aku kembali
berbincang dan berdiskusi dengan rekan kelompokku tentang hasil observasi hari
ini dan membicarakan bagaimana penulisan laporan ke dalam bentuk PKM nanti.
Kubiarkan Ryan dengan pikirannya tentang cerita tadi. Kuharap, iya yang
sekarang ini tengah menjadi sahabat curhatku bisa mengerti dengan keadaanku,
mengapa aku seperti itu terhadap papa. Sembari terus berbincang dengan
teman-teman kelompokku, sesekali kulayangkan pandanganku pada Ryan yang tengah
berbincang dengan Kak Niken seniorku juga, Ryan ternyata sesekali juga suka
mencuri-curi pandang ke arahku. Aku jadi ingin tertawa, lucu saja melihatnya.
[Bersambung]
sastra abis,,,
BalasHapussemangat berkarya...
#blogwalking siang
terima kasih BPI.. :))
Hapus