INI BUKAN SINETRON
Kembali
ia menarik nafas panjangnya ketika kutatap dalam-dalam matanya yang abu-abu.
Memang seperti ada sesuatu yang berat yang sedang dipikulnya, aku hanya mencoba
menunggu, apakah ia akan bersedia menceritakan kesukaran hidupnya padaku, orang
yang selalu dibantu dan didengar curahan hatinya olehnya. Hubungan pertemanan
yang cukup muda ini memang terasa tidak adil, hanya aku yang selalu bercerita
padanya, dia sudah tau siapa aku, orang tuaku, bagaimana hidupku, hampir semua
dia tau dan dia adalah sahabat yang paling mengerti aku. Tetapi, aku tidak
banyak tau soal dia selain namanya. Bahkan di mana dia bekerja saja aku tidak
tahu. Memang kuakui kecuekanku yang didukung oleh kependiamannyalah yang
membuat aku tidak tau siapa dia. Hubungan ini dimulai juga karena dia yang
mengaku pembaca setia tulisanku, agresif ingin dekat dan mengenalku lebih baik.
“Setiap
orang selalu iri denganku, hidupku yang terlihat sempurna selalu diidamkan
siapapun. Tetapi tidak sesempurna itu hidupku yang sesungguhnya.” Ia menarik
napas sebentar kemudian melanjutkan.
“Aku
terlahir dari seorang ibu berdarah Makasar dan ayah berdarah Arab. Aku lahir
pada tahun 1988 dan disambut dengan suka cita oleh kedua orang tuaku. Lima
tahun kemudian tepatnya pada 1993 adikku Marissa lahir, saat itulah masalah
mulai muncul. Aku yang ketika itu bolos TK karena masih ingin bermain dengan
Mari melihat ayah untuk pertama kalinya
menampar ibuku. Aku langsung berteriak dan mendorongnya, hingga ia hendak
memukulku balik, namun dicegah oleh suara teriakan ibu. Tujuh tahun rumah
tangga itu bisa bertahan semenjak mendapat masalah hingga akhirnya orang tuaku
memutuskan untuk berpisah. Mari yang masih kelas dua SD selalu bungkam
bersembunyi di bawah meja dan tidak mau makan kalau ayah tidak datang, aku
akhirnya berlari kencang untuk mencarinya dan memohon padanya untuk datang. Ia
memang datang, tetapi hanya untuk bertemu dan bermain dengan Mari, tanpa pernah
mau membelai rambutku, menciumku, dan memelukku. Saat itu juga, ketika aku
kelas 1 SMP aku sudah tidak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ayah.
Aku mencoba untuk mengerti. Ya, aku memang dituntut untuk lebih cepat dewasa.”
Air mataku mulai berlinang, tidak sampai menetes. Kemudian ia melanjutkan lagi
ceritanya setelah jeda sejenak.
“Aku
mulai memiliki seorang pacar ketika duduk di bangku kelas dua SMA. Itu
juga karena ibu yang memintaku, ibu ingin melihat aku punya pacar, katanya.
Sebelumnya, belum pernah ada seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta sampai
akhirnya aku menemukan dia.” Matanya menerawang, sepertinya dia merindukan
mantan kekasihnya itu. Aku masih dengan posisi duduk yang sama tidak sabar
menunggu kelanjutan ceritanya.
“Setahun
kami menjalani hubungan, sampai akhirnya, sebelum Ujian Akhir Nasional (UAN) hubungan
itu harus berakhir karena dia ternyata sudah menjalani hubungan satu bulan
dengan SAHABATKU SENDIRI” dia menekan suaranya, raut mukanya berubah menjadi
marah.
“Aku
sangat kecewa, dan sampai sekarang, kurang lebih enam tahun aku tidak pernah
lagi punya pacar. Hidupku sekarang hanya untuk ibu dan Mari.” Aku mengangguk,
mencoba mengerti psikologisnya. Ternyata sangat berat hidup yang telah
dijalaninya di balik ketegaran fisiknya.
“Kamu
tak pernah bertemu dengan ayahmu lagi?”
“Aku
pernah beberapa kali bertemu dengannya, terakhir sekitar lima bulan yang lalu,
saat aku makan malam sendirian di sebuah restoran keluarga. Saat itu aku sedang
menikmati makananku dan dia dengan keluarga barunya yang baru datang langsung
melihat ke arahku yang langsung memalingkan muka saat itu juga. Dia
menghampiriku dan bertanya kabar, kamu tahu aku jawab apa?”
“Apa”
ujarku datar
“Aku
hanya menjawab ’Kami semua baik-baik saja. Sepertinya keluarga kecil ayah
sangat bahagia.’ Dan setelah itu aku pergi meninggalkannya.”
“Kenapa
kamu begitu? Bagaimanapun juga, dia ayah kandungmu lho.” Aku mencoba membuatnya
menerima ayahnya.
“Sulit
memang, tetapi asal kamu tahu, aku ini orangnya pendendam. Dengan apa yang
sudah dia lakukan, apa iya aku bisa menerima dan memaafkannya begitu saja?” Aku
terdiam, menerima alasannya.
“Maaf
Fan, aku memang tidak tahu jalan hidupmu yang ternyata sangat sulit. Andai saja
kamu tidak setegar itu menceritakannya, aku mungkin sudah menangis” ujarku, dia
tertawa.
“Haha...
aku sudah melihat dari tadi matamu berkaca-kaca. Tetapi ini bukan sinetron, ini
cerita dari kisah nyataku.” Aku hanya tersenyum dengan perkataannya. Kemudian
ia menambahkan.
“Entah
kenapa, semenjak kisah cintaku berakhir dengan tidak baik kala itu, aku sudah
tidak pernah lagi percaya dengan yang namanya sahabat dan perempuan.” Aku
terperanjat. Apa maksudnya? Kemudian aku dia anggap apa? Aku perempuan dan aku
adalah sahabatnya saat ini.
“Kenapa?”
tanyanya lagi
“Kamu
tidak salah? Bukannya aku seorang perempuan dan aku adalah sahabatmu?” dia
tertawa, melepaskan suaranya, sampai akhirnya setelah puas ia terdiam sejenak.
“Kamu
tidak tahu kenapa?” aku hanya mengernyitkan dahi mendengarnya.
“Semua
yang kubilang tadi itu sebelum aku bertemu dan kenal kamu Livy, tetapi semenjak
aku dekat denganmu semua berubah.”
*
“Sampai
nanti ya!” setelah menutup telepon, kubereskan semua barang-barangku untuk
bersiap-siap pulang. Tidak sabar untuk bertemu dengannya. Seperti tidak sabar
menunggu hari kemerdekaan bagi bangsa yang masih dijajah. Setelah sekian hari
kesibukannya bekerja memaksa kami harus berpisah beberapa hari.
Aku sudah siap, dan udah nungguin kamu di depan. Sms terkirim, dan aku sudah duduk di beranda menunggu
jemputannya.
Lima
belas menit kemudian Mercy silver itu sudah parkir di lapangan sekolahku, pria yang kucintai itu, yang duduk di belakang kemudinya terlihat sangat tampan dengan senyum
manis berhias behelnya begitu melihat aku menghampirinya.
“Selamat
datang lagi di Jakarta Bii” ucapku sambil menyalaminya setelah masuk ke dalam
mobil.
“Hehe,
iya. Kita berangkat sekarang?”
“Oke”
kataku antusias. Selama perjalanan tak hentinya aku menatapnya. Begitu
beruntung aku dipilih olehnya. Di antara begitu banyak perempuan cantik yang
mengaguminya, tetapi dia malah memilih aku yang hanya seorang gadis sederhana.
“Kenapa
dari tadi menatap ke sini terus?”
“Ada
magnet soalnya. hehe”
“Paling
bisa kamu ya, kita makan di mana nih? Oishii Resto lagi?” aku mengangguk dan
tersenyum.
“Jadi
lusa udah berangkat lagi? Ke Singapura?” aku langsung lesu, mengaduk-aduk mangkok
mie ramen yang masih penuh, tidak lagi ada selera untuk menghabiskannya.
“Iya Liv, kita udah nyiapin konser ini jauh-jauh hari, kan kamu juga udah tau, jadi
nggak usah cemberut donk.”
“Iya,
tapi kan kamu baru sampai Bii?”
“Biasanya
juga kita kan jarang ketemu meski sama-sama di Jakarta, tapi kamu fine-fine
aja, kenapa sekarang cemberut?” aku hanya diam dan kembali fokus pada mie
ramenku. Pikiranku melayang, dia harus meninggalkanku lagi. Berat memang
memiliki kekasih yang berprofesi sebagai seorang entertainer, selalu sibuk dan sering
ke luar kota bahkan ke luar negeri.
Hubungan
ini masih belum jelas arahnya, Bisma, memang telah memilihku sebagai calon
pendampingnya kelak, dia telah menjanjikannya. Tetapi, toh hubungan kami
sekarang tidak bisa dipastikan apa statusnya, pacaran tidak, tunangan juga
bukan, sekedar teman? Lebih dari itu. Yang membuatku tak mengerti, dia masih
saja dekat dan berhubungan dengan Nada mantan pacarnya. Aku cemburu, tetapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa, takut kehilangan dialah yang membuatku diam dan tak berani protes.
Kutatap
lagi pria di depanku untuk kesekian kalinya, masih tetap sama, perasaanku masih
sangat mencintainya. Tapi sungguh, aku yakin, tidak ada sedikitpun cinta
darinya untukku. Tetapi kenapa dia memilihku sebagai calon istrinya? Entahlah kutak tahu apa yang
bersarang dibenaknya.
“Kenapa
nggak dimakan? Mau diliat-liat gitu aja? Emang kenyang?” pertanyaannya
mengagetkanku. Aku hanya tersenyum dan berkata,
“Iya
Bii, tiba-tiba kenyang aja liat kamu makannya lahap banget! Hihi” Bisma hanya
geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan makannya tanpa sedikitpun curiga dengan pikiranku.
*
Sungguh
aku tak percaya dengan apa yang barusan kudengar! Kucoba mengulang kalimatnya
yang sangat menohok di hatiku. Sepertinya dia tahu kalau aku belum percaya,
maka diulangnya lagi kalimatnya.
“Iya
Livy, kamu kan hanya dijadiin Bisma pelampiasan saja, dia tidak pernah serius
sama kamu, kenapa kamu masih saja mempertahankan perasaanmu padanya? Sementara
ada aku di sini yang sangat tulus menyayangimu Livy.” Fandi sangat ngotot,
sedangkan aku masih bingung dengan situasi ini harus berkata apa.
[...Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar