Kamis, 14 Juni 2012

INI BUKAN SINETRON

INI BUKAN SINETRON
Kembali ia menarik nafas panjangnya ketika kutatap dalam-dalam matanya yang abu-abu. Memang seperti ada sesuatu yang berat yang sedang dipikulnya, aku hanya mencoba menunggu, apakah ia akan bersedia menceritakan kesukaran hidupnya padaku, orang yang selalu dibantu dan didengar curahan hatinya olehnya. Hubungan pertemanan yang cukup muda ini memang terasa tidak adil, hanya aku yang selalu bercerita padanya, dia sudah tau siapa aku, orang tuaku, bagaimana hidupku, hampir semua dia tau dan dia adalah sahabat yang paling mengerti aku. Tetapi, aku tidak banyak tau soal dia selain namanya. Bahkan di mana dia bekerja saja aku tidak tahu. Memang kuakui kecuekanku yang didukung oleh kependiamannyalah yang membuat aku tidak tau siapa dia. Hubungan ini dimulai juga karena dia yang mengaku pembaca setia tulisanku, agresif ingin dekat dan mengenalku lebih baik.
“Setiap orang selalu iri denganku, hidupku yang terlihat sempurna selalu diidamkan siapapun. Tetapi tidak sesempurna itu hidupku yang sesungguhnya.” Ia menarik napas sebentar kemudian melanjutkan.
“Aku terlahir dari seorang ibu berdarah Makasar dan ayah berdarah Arab. Aku lahir pada tahun 1988 dan disambut dengan suka cita oleh kedua orang tuaku. Lima tahun kemudian tepatnya pada 1993 adikku Marissa lahir, saat itulah masalah mulai muncul. Aku yang ketika itu bolos TK karena masih ingin bermain dengan Mari melihat  ayah untuk pertama kalinya menampar ibuku. Aku langsung berteriak dan mendorongnya, hingga ia hendak memukulku balik, namun dicegah oleh suara teriakan ibu. Tujuh tahun rumah tangga itu bisa bertahan semenjak mendapat masalah hingga akhirnya orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Mari yang masih kelas dua SD selalu bungkam bersembunyi di bawah meja dan tidak mau makan kalau ayah tidak datang, aku akhirnya berlari kencang untuk mencarinya dan memohon padanya untuk datang. Ia memang datang, tetapi hanya untuk bertemu dan bermain dengan Mari, tanpa pernah mau membelai rambutku, menciumku, dan memelukku. Saat itu juga, ketika aku kelas 1 SMP aku sudah tidak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku mencoba untuk mengerti. Ya, aku memang dituntut untuk lebih cepat dewasa.” Air mataku mulai berlinang, tidak sampai menetes. Kemudian ia melanjutkan lagi ceritanya setelah jeda sejenak.
“Aku mulai memiliki seorang pacar ketika duduk di bangku kelas dua SMA. Itu juga karena ibu yang memintaku, ibu ingin melihat aku punya pacar, katanya. Sebelumnya, belum pernah ada seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta sampai akhirnya aku menemukan dia.” Matanya menerawang, sepertinya dia merindukan mantan kekasihnya itu. Aku masih dengan posisi duduk yang sama tidak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
“Setahun kami menjalani hubungan, sampai akhirnya, sebelum Ujian Akhir Nasional (UAN) hubungan itu harus berakhir karena dia ternyata sudah menjalani hubungan satu bulan dengan SAHABATKU SENDIRI” dia menekan suaranya, raut mukanya berubah menjadi marah.
“Aku sangat kecewa, dan sampai sekarang, kurang lebih enam tahun aku tidak pernah lagi punya pacar. Hidupku sekarang hanya untuk ibu dan Mari.” Aku mengangguk, mencoba mengerti psikologisnya. Ternyata sangat berat hidup yang telah dijalaninya di balik ketegaran fisiknya.
“Kamu tak pernah bertemu dengan ayahmu lagi?”
“Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya, terakhir sekitar lima bulan yang lalu, saat aku makan malam sendirian di sebuah restoran keluarga. Saat itu aku sedang menikmati makananku dan dia dengan keluarga barunya yang baru datang langsung melihat ke arahku yang langsung memalingkan muka saat itu juga. Dia menghampiriku dan bertanya kabar, kamu tahu aku jawab apa?”
“Apa” ujarku datar
“Aku hanya menjawab ’Kami semua baik-baik saja. Sepertinya keluarga kecil ayah sangat bahagia.’ Dan setelah itu aku pergi meninggalkannya.”
“Kenapa kamu begitu? Bagaimanapun juga, dia ayah kandungmu lho.” Aku mencoba membuatnya menerima ayahnya.
“Sulit memang, tetapi asal kamu tahu, aku ini orangnya pendendam. Dengan apa yang sudah dia lakukan, apa iya aku bisa menerima dan memaafkannya begitu saja?” Aku terdiam, menerima alasannya.
“Maaf Fan, aku memang tidak tahu jalan hidupmu yang ternyata sangat sulit. Andai saja kamu tidak setegar itu menceritakannya, aku mungkin sudah menangis” ujarku, dia tertawa.
“Haha... aku sudah melihat dari tadi matamu berkaca-kaca. Tetapi ini bukan sinetron, ini cerita dari kisah nyataku.” Aku hanya tersenyum dengan perkataannya. Kemudian ia menambahkan.
“Entah kenapa, semenjak kisah cintaku berakhir dengan tidak baik kala itu, aku sudah tidak pernah lagi percaya dengan yang namanya sahabat dan perempuan.” Aku terperanjat. Apa maksudnya? Kemudian aku dia anggap apa? Aku perempuan dan aku adalah sahabatnya saat ini.
“Kenapa?” tanyanya lagi
“Kamu tidak salah? Bukannya aku seorang perempuan dan aku adalah sahabatmu?” dia tertawa, melepaskan suaranya, sampai akhirnya setelah puas ia terdiam sejenak.
“Kamu tidak tahu kenapa?” aku hanya mengernyitkan dahi mendengarnya.
“Semua yang kubilang tadi itu sebelum aku bertemu dan kenal kamu Livy, tetapi semenjak aku dekat denganmu semua berubah.”
*
“Sampai nanti ya!” setelah menutup telepon, kubereskan semua barang-barangku untuk bersiap-siap pulang. Tidak sabar untuk bertemu dengannya. Seperti tidak sabar menunggu hari kemerdekaan bagi bangsa yang masih dijajah. Setelah sekian hari kesibukannya bekerja memaksa kami harus berpisah beberapa hari.
Aku sudah siap, dan udah nungguin kamu di depan. Sms terkirim, dan aku sudah duduk di beranda menunggu jemputannya.
Lima belas menit kemudian Mercy silver itu sudah parkir di lapangan sekolahku, pria yang kucintai itu, yang duduk di belakang kemudinya terlihat sangat tampan dengan senyum manis berhias behelnya begitu melihat aku menghampirinya.
“Selamat datang lagi di Jakarta Bii” ucapku sambil menyalaminya setelah masuk ke dalam mobil.
“Hehe, iya. Kita berangkat sekarang?”
“Oke” kataku antusias. Selama perjalanan tak hentinya aku menatapnya. Begitu beruntung aku dipilih olehnya. Di antara begitu banyak perempuan cantik yang mengaguminya, tetapi dia malah memilih aku yang hanya seorang gadis sederhana.
“Kenapa dari tadi menatap ke sini terus?”
“Ada magnet soalnya. hehe”
“Paling bisa kamu ya, kita makan di mana nih? Oishii Resto lagi?” aku mengangguk dan tersenyum.
“Jadi lusa udah berangkat lagi? Ke Singapura?” aku langsung lesu, mengaduk-aduk mangkok mie ramen yang masih penuh, tidak lagi ada selera untuk menghabiskannya.
“Iya Liv, kita udah nyiapin konser ini jauh-jauh hari, kan kamu juga udah tau, jadi nggak usah cemberut donk.”
“Iya, tapi kan kamu baru sampai Bii?”
“Biasanya juga kita kan jarang ketemu meski sama-sama di Jakarta, tapi kamu fine-fine aja, kenapa sekarang cemberut?” aku hanya diam dan kembali fokus pada mie ramenku. Pikiranku melayang, dia harus meninggalkanku lagi. Berat memang memiliki kekasih yang berprofesi sebagai seorang entertainer, selalu sibuk dan sering ke luar kota bahkan ke luar negeri.
Hubungan ini masih belum jelas arahnya, Bisma, memang telah memilihku sebagai calon pendampingnya kelak, dia telah menjanjikannya. Tetapi, toh hubungan kami sekarang tidak bisa dipastikan apa statusnya, pacaran tidak, tunangan juga bukan, sekedar teman? Lebih dari itu. Yang membuatku tak mengerti, dia masih saja dekat dan berhubungan dengan Nada mantan pacarnya. Aku cemburu, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, takut kehilangan dialah yang membuatku diam dan tak berani protes.
Kutatap lagi pria di depanku untuk kesekian kalinya, masih tetap sama, perasaanku masih sangat mencintainya. Tapi sungguh, aku yakin, tidak ada sedikitpun cinta darinya untukku. Tetapi kenapa dia memilihku sebagai calon istrinya? Entahlah kutak tahu apa yang bersarang dibenaknya.
“Kenapa nggak dimakan? Mau diliat-liat gitu aja? Emang kenyang?” pertanyaannya mengagetkanku. Aku hanya tersenyum dan berkata,
“Iya Bii, tiba-tiba kenyang aja liat kamu makannya lahap banget! Hihi” Bisma hanya geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan makannya tanpa sedikitpun curiga dengan pikiranku.
*
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang barusan kudengar! Kucoba mengulang kalimatnya yang sangat menohok di hatiku. Sepertinya dia tahu kalau aku belum percaya, maka diulangnya lagi kalimatnya.
“Iya Livy, kamu kan hanya dijadiin Bisma pelampiasan saja, dia tidak pernah serius sama kamu, kenapa kamu masih saja mempertahankan perasaanmu padanya? Sementara ada aku di sini yang sangat tulus menyayangimu Livy.” Fandi sangat ngotot, sedangkan aku masih bingung dengan situasi ini harus berkata apa.


[...Bersambung]

Share:

0 komentar:

Posting Komentar