Semangat pagi mewarnai langkah Arsya menyusuri
jalanan basah menuju kampus karena hujan semalam. Arsya masih tersenyum-senyum
sendiri meski sadar sekitarnya sudah melihatnya dengan tatapan aneh, Arsya
tetap melangkah mantap dan mempercepat langkahnya agar segera sampai ke kampus
dan memberitahukan berita gembira yang baru tadi pagi dibacanya di grup
komunitasnya.
“Assalamualaikum... Dera!!!” Arsya teriak
histeris menuju Dera yang sedang menulis di kelas.
“Ada apa sih Cha? Ngagetin aja tau nggak”
dengus Dera kesal.
“Eit, jangan kesal dulu non, makasih sama aku
dengan apa yang aku bilang nih”
“Emang apaan?” kejar Dera tidak sabar.
“Kita lulus dan resmi jadi member di ILMA!”
Arsya berteriak lagi, kali ini lebih keras dan mengundang tatapan marah
teman-teman kelasnya.
“Hehe, maaf teman-teman, lagi seneng soalnya,
lanjutkan aktivitasnya ya...” sambung Arsya menyadari kejengkelan teman-teman
sekelasnya.
“Irma udah dikasih tau belum?”
“Belum, dia belum datang ya?”
“Belum”
“Yaudah, nanti aja kita bilang sama dia
bareng-bareng.”
“Berarti nanti sore kita ke sekre donk? Asik,
ketemu sama bang Yogi!” Dera bersemangat. Arsya hanya tersenyum dan mencoba
menerawang, membayangkan sosok senior yang dikaguminya sejak awal mendaftar di
organisasi itu kini akan sering ditemuinya setiap hari.
“Senyum kenapa Cha?” serbu Dera
“Ah, nggak, ikut senang, akhirnya kamu akan
sering ketemu sama bang Yogi nanti di sekre kan?” Arsya tersenyum mencoba
menyembunyikan apa yang baru saja dipikirkannya.
*
“Ayolah Ma, cepetan dikit, udah nggak sabar
nih!” ujar Dera sambil terus membawa langkahnya cepat dan diiringi oleh langkah
semangat Arsya di sampingnya. Irma yang berbadan besar itu jadi keteteran
mengikuti kedua temannya yang sudah sangat jauh melesat di depannya.
“Sabar dikit kenapa sih? Kita bakal sampai
juga kok!”
“Sayangnya kita nggak bisa sabar” jawab Arsya
dan Dera berbarengan.
Sesampainya di sekre dengan sedikit terengah,
ketiganya segera masuk dan membaca mading ILMA. Berita kelulusan sudah
terpampang di sana. Ketiganya tersenyum histeris melihat namanya dinyatakan
lulus, dan ketiganya masuk 10 terbaik.
“Selamat ya adek-adek, udah lulus” ujar Kak
Riska yang kebetulan berada di sekre.
“Iya kakak, makasih, ini berkat bimbingan dari
kakak juga selama masa pelatihan.” Jawab Arsya. Betapa kagetnya dia setelah
berbicara demikian masuklah bang Yogi senior ganteng yang diidamkan Dera, Arsya
spontan menyikut Dera untuk memberi sinyal. Dera terperanjat dan langsung
menjaga sikap berubah manis. Bang Yogi yang memang cuek hanya diam saja dengan
ketiganya yang sempat menarik perhatian anak-anak sekre.
“Bang Yogi, kasih selamat dulu deh, sama
adik-adik kita yang udah lulus ini” ujar kak Riska seperti tau apa yang
dipikirkan oleh Arsya Dera dan Irma. Bang Yogi akhirnya berbalik dan berkata.
“Wah, selamat ya, sudah lulus. Berarti ada
pengalaman baru yang sudah menanti adik-adik di depan.” Bang Yogi menyertakan
senyum manisnya pada mereka.
“Makasih bang, Insya Allah siap dengan
pengalaman barunya.” Jawab Arsya mewakili teman-temannya.
*
Angin semilir menerbangkan butiran debu yang
halus menemani Arsya yang tengah duduk manis di bawah pohon rindang di taman
kampus, Arsya tampak sedang menunggu seseorang karena berkali-kali ia melirik
arlojinya.
“Ayam!” Dera datang dengan berusaha
mengagetkan Arsya yang biasa saja
“Nggak kaget, weee” Arsya mencibir dan Dera
manyun.
“Yah, nggak asik! Maaf ya telat, sakit perut
nih!” Ujar Dera sambil mengusap-usap perutnya.
“Ya, dimaafkan asalkan traktir minum” jawab
Arsya sambil pandangannya menuju kantin minuman di seberang jalan tempat mereka
duduk.
“Okedeh, sip Mbah Acha!” jawab Dera sambil
terkekeh!
“Mbah? Emangnya dukun?” Arsya berlari berusaha
mengejar Dera untuk mencubitnya.”
“Jadi gimana Cha, bener apa nggak?” sambil
terus memainkan sedotan Dera mendesak Arsya untuk menjawab.
“Pertanyaan itu lagi, males ah! Udah aku
bilang, itu nggak bener Ra!”
“Tapi kenapa jadi semangat banget ke sekre en
suka seneng kalo liat bang Yogi?” Dera mendesak lagi.
“Itu kan buat kamu Ra, lagian aneh banget.
Irma juga berekspresi sama setiap ngeliat bang Yogi di sekre tapi nggak pernah
ditanyain, kenapa akunya diiterogasi begini?” Arsya mulai sewot. Dera terdiam
cukup lama sebelum akhirnya buka suara.
“Kalo boleh jujur, sebenernya aku nggak
sengaja baca notes kamu Cha, yang isinya kamu suka sama senior di sekre, jadi
pastilah kupikir kamu suka juga sama bang Yogi, scara Cuma bang Yogi yang
sering bikin kamu seneng kalo di sekre. Arsya terdiam. Kemudian dengan sedikit
kesal dia berkata.
“Kamu nggak boleh seenaknya gitu baca-baca
notes aku Ra, seharusnya kamu izin dulu kalau mau baca! Itu kan bagian dari
privasi aku. Dan nggak semua juga yang bisa kamu tahu!”
“Ya, maaf deh, tapikan aku penasaran Cha, kamu
sih, jadi orang tertutup banget.” Dera membela diri.
“Udah, yang jelas yang aku sukai bukan bang
Yogimu itu, titik!” Arsya kemudian segera menghabiskan minumannya dan berlalu
meninggalkan Dera begitu saja. Dera hanya terdiam melihat langkah Arsya.
“Aku kan nggak marah kalau itu memang bang Yogi
Cha, kenapa kamu sewot?” Dera segera menghabiskan minumnya dan kemudian
membayar lalu berlalu kembali menuju kampus.
Arsya segera membuka-buka dan membalik-balik
halaman notesnya. Dibaca ulang yang pernah ditulisnya, memastikan apa yang
telah dibaca Dera. Ternyata di sana memang tidak tertuliskan nama seniornya
siapa. Baguslah, Dera tidak ada alasan yang kuat untuk menuduhnya lagi.
*
“Arsya, kamu masih di sini kan?” ujar bang Ganda,
yang sedang memberikan materi pada kelompok Arsya di organisasi. Arsya yang
memang sedang tidak fokus jadi malu sendiri ditegur bang Ganda. Kemudian ia
mohon diri untuk pamit sebentar. Namun tidak berani untuk kembali lagi ke dalam
lingkaran diskusi itu. Setelah acara diskusi selesai, bang Ganda yang melihat
Arsya di taman dekat sekre menghampirinya.
“Lagi ada masalah Cha?” tanya bang Ganda
ramah.
“Nggak bang, maaf ya tadi Cha nggak fokus sama
apa yang Abang sampein.” Jawab Arsya sambil terus menunduk dan tak mau menatap
wajah bang Ganda.
“Masih berantem sama Dera?” Arsya kaget dengan
pertanyaan itu, darimana bang Ganda tau?
“Abang tau dari mana?”
“Irma yang cerita kemarin, bener nggak?”
“Dasar Irma ember. Nggak kok bang, kita nggak
berantem, hanya kemarin sempat salah paham, tapi kami masih baik-baik aja,
tetap temenan. Irma itu suka melebih-lebihkan bang, jadi nggak usah didengerin
amat” ujar Arsya sambil tersenyum dan mulai kembali berani menatap wajah Ganda.
“Hm... syukurlah kalau emang nggak berantem,
saran abang, jagalah sebaik-baiknya hubungan dengan teman, karena sangat tidak
enak kehilangan teman itu loh Cha.” Bang Ganda kembali tersenyum.
“Yaudah, balik ke sekre yuk?” tambahnya lagi.
“Ng... nggak deh, abang aja yang balik, Cha
ada kuliah jam 3 ini, jadi mau langsung balik ke kampus lagi.” Jawabnya
“Oke, sampai besok ya” dan keduanya pun
berpisah.
*
Arsya masih asik dengan imajinasinya, bermain
liar dan bebas berteriak di alam fatamorgananya sebelum akhirnya Irma
mendekatinya.
“Cie...”
“Ada apa sih Ma, baru datang udah ngagetin en
ngomong nggak jelas gitu?” Dengus Arsya kesal.
“Lagi deket sama bang Ganda kan?”
“Ih, dasar sok tau, gosip darimana tu?”
“Ya, secara rumus, orang yang manggil Arsya
dengan Cha itu adalah orang-orang yang udah deket aja kan? Dan bang Ganda udah
manggil kamu dengan panggilan Cha, dan dia juga sering nyambung tiap aku ajakin
ngobrol tentang kamu” imbuh Irma sambil tersenyum licik.
“Nggak!” jawab Arsya singkat
“Udah, itung-itung memperjelas sanggahan kamu
sama Dera, bilang aja kalau senior yang kamu maksud itu bukan bang Yogi tapi
bang Ganda.”
“Ngapain namaku disebut-sebut?” Dera
menghampiri dan Arsya diam saja
“Ini, Arsya lagi deket sama bang Ganda, jadi
nggak usah cemburu lagi ya neng.” Irma menimpali. Dera tertawa.
“Haha... kenapa si Irma Cha? Demam? Siapa yang
cemburu en siapa yang berantem coba?” Dera mencoba menjelaskan dan Arsya masih
diam saja.
“Jadi aku udah ketinggalan berita ya? Hm...
kapan baikannya?” Dera mendorong kepala Irma gemes dan tertawa, Arsya hanya
tersenyum melihat kedua temannya.
*
“Cha, tadi Ganda nanyain kamu dan nitip buku
ini” kata ibu begitu Arsya sampai di tempat terapi.
“Lho? Trus bang Ganda mana bu? Bukannya hari
ini juga jadwalnya terapi?”
“Dia buru-buru aja tadi, katanya ada urusan
mendadak di kampungnya, jadi terapinya ditunda besok.” Arsya kemudian mengambil
buku dari tangan ibu. Buku yang tempo hari dipinjamnya pada bang Ganda. Kenapa dikasih juga? Kemarin kan nggak mau
minjamin?Arsya bertanya dalam hati. Dibuka-bukanya lembaran buku itu dan
terjatuhlah sebuah surat. Arsya tidak berani membukanya sampai ditemukan sebuah
tulisan di sudut amplop; “Untuk Acha”.
Air matanya mengalir seketika begitu pintu
kamarnya ditutup. Akhirnya air mata yang sedari tadi ditahannya keluar juga.
Arsya sangat terpukul dengan apa yang tadi dibacanya di tempat fisioterapi
tadi. Surat dari bang Ganda benar-benar menghancurkan harapannya. Sedih,
kecewa, dan menyesal bercampur aduk bergemuruh di dadanya.
Pertemuan pertamanya dengan bang Ganda di ILMA
berlanjut perkenalan lebih akrab begitu tahu bang Ganda mengidap penyakit yang
sama dengan ayah dan menjalani terapi di tempat fisioterapi yang sama. Hubungan
yang semakin akrab, Arsya seperti menemukan sosok kakak laki-laki, sahabat, dan
sekaligus motivatornya. Bang Ganda yang sangat baik dan suka menolong itu
menjadi satu-satunya orang yang bisa mengerti dengan apa yang Arsya rasakan,
memberi semangat dikala Arsya mulai sedih dengan keadaan ayah, menemani dikala
Arsya mulai merasa sendiri, memberi motivasi dan semangat pada ayah untuk
sama-sama berjuang melawan penyakitnya dan berjuang untuk sembuh demi
orang-orang yang disayang, namun sekarang Arsya harus rela kehilangan itu
semua. Bang Ganda sudah tidak akan ada lagi di sampingnya, bang Ganda menerima
permintaan ibunya untuk berobat ke Singapura, dan bang Ganda bilang tidak akan
bisa bertemu dengannya lagi.
Arsya mengaduk-aduk isi tasnya, mencari-cari
buku bang Ganda yang tadi diterimanya dari ibu. Inilah satu-satunya kenangan
yang dia punya dari Ganda, satu-satunya orang yang benar-benar bisa membuatnya
tersenyum bahkan tertawa di saat kegundahan mengelilingi hidupnya. Sosok pria
yang mulai disadarinya teramat dicintainya. Arsya menghapus air matanya, sambil
mendekap erat buku itu ia menatap ke arah langit kelabu dari kaca jendela,
sambil tersenyum ia memanjatkan doa;
“Ya Allah, jika memang ini jalan terbaik untuk
bang Ganda, akan kuikhlaskan jauh darinya, asalkan ia bisa sembuh dari penyakit
jahanam itu. Buatlah ia bahagia di sana meski tanpa aku, Aku tidak akan pernah
menyesal tidak pernah mengungkapkan rasa ini padanya, memilikinya sebagai
saudara dan memiliki rasa cinta ini saja sudah rasa syukur yang teramat dariku
Tuhan. Terima kasih aku telah kau pertemukan dengan seorang yang hebat seperti
bang Ganda. Biarlah dia bahagia Tuhan.”
Arsya tersenyum, dan air mata itu mengalir
lagi di sudut kelopak matanya. Tidak perlu menjadi orang yang spesial bagi
Ganda, cukup membiarkannya bahagia, sudah cukup baginya.
[inspirated by someone special :) thanks]
0 komentar:
Posting Komentar