Selasa, 23 Agustus 2016

Hujan dari Sudut Kamar

Aku masih duduk di titik sudut, tempat hanya dinginnya angin yang berani menyapaku. Tersungkur dalam ruang kosong penuh kehampaan bernama kenangan masa silam. Perlahan, kenangan mengutuk sukma dalam-dalam. Menghadirkan rasa yang telah lama ditinggalkan. Usang dalam balutan lawah kenangan.

Bahagia yang berada di masa yang telah ditinggalkan, memaksaku yang berada di masa ini kembali terenyuh akan kenangannya. Menyisakan bahwa kita pernah menggemakan tawa yang merdu bersama.

Ternyata bahagia serupa duduk di taman bunga, menunggui senja. Ternyata bahagia serupa sela-sela jemarimu yang dilengkapi hangat genggamannya.

Yang ada di sini, tidak ada lagi hangat dari sisa genggaman.

Yang ada langit yang begitu setia memuntahkan hujan. Membuat hari-hari basah oleh bulir-bulir yang menggenang. Dan aku, belum beranjak sama sekali dari sudut kamar, meminum secangkir kopi hitam panas untuk sekadar menghangatkan. Dengan kepala yang disesaki gumpalan kenangan yang belum juga lepas.

Continue reading

Rabu, 01 Juni 2016

ke Dadamu

Kita sama-sama berteduh. Berdiri bersisian. Sesekali menatap dalam lirikan, seakan segan ketahuan.
Menatap jalanan, menadah hujan turun perlahan, kemudian bergumam pelan,
“Hari ke sembilan pulang kerja harus kemalaman sebab terkurung hujan”.

Kutau kau tak tertarik, meski berkali-kali kulirik, kau tak berkutik.
Mungkin memangku yang tak menarik, apalagi cantik.
Atau haruskah ku mengeluarkan ponsel dan mengetik,
“Bisa menatapku beberapa detik?”

Namun itu tak mungkin.
Kau pasti kan tetap dingin, dan aku yang hanya kau anggap angin
Yang tak kau ingin.

Haaah… kupejam mata
Kutata kata-kata, merapal mantra, tuk ajakmu bicara.
Mengakui beberapa rasa yang mulai ada,
sejak sembilan hari bersama menanti hujan reda.

Akankah aku berani? Dan maukah kau mengerti?
Atau bahkan kau malah menutup hati?
Dengan hadirku di sini, berdiri di sisimu sebelah kiri.

Aku ingin kau tau,
Sudah ada rasa sesuatu, sejakku melihatmu, bertemu denganmu.
Di tempat ini bersamamu. Mengakui perasaanku, kesalahanku
Mencuri-curi waktu, sekedar melirikmu
Atau menciumi aroma khas tubuhmu.

“Aku jatuh cinta. Sejak pertemuan pertama.”
Semua mata menoleh ke arahku. Begitu juga denganmu
Kalian pasti menunggu, pada siapakah kalimat tadi kutuju.
Jari-jariku, akhirnya menunjuk ke dadamu. J


(* beberapa hari ini (ga sampai 9 hari sih) kotaku disapa hujan.
    Terinspirasi dari lirikan-lirikan para karyawan saat bersama-sama berteduh

     Kali aja memang ada yang saling naksir. Tapi itu bukan aku :p 

Continue reading

Sabtu, 28 Mei 2016

Part III


Senja Di Ujung Rindu


Tubuh yang dulu ketika berpisah dengannya adalah tubuh yang tegap dan kuat, kini terlihat pucat dan ringkih. Sangat kurus. Jo mendekat.
“Maafkan aku, Sandy…”
“Kenapa kamu tidak datang?”
“Aku… penyakit pelupaku. Aku keliru. Kupikir tanggal 29 kemarin adalah tanggal 22.”
“Jadi kamu, datang seminggu setelah kita janjian?”
“Iya, aku datang, dan aku juga kesal hari itu. Maafkan aku.” Sadar semua mata keluarga Sandy tengah menatap padanya…
“Maaf om, tante, kak. Saya baru datang.” Tidak ingin merusak suasana, ketiganya hanya mengangguk lemah.
“Tadi aku ke rumah, Buk Timah bilang kamu kritis.”
“Kabelnya lepas, padahal Sandy lagi tidur. Dia nggak apa-apa.”
“Syukurlah.”
“Jadi, kapan kamu sadarnya kalau kamu salah tanggal?”
“Hm… tadi kalender di kamarku jatuh, tiba-tiba kepikiran ‘jangan-jangan aku yang salah tanggal’ trus dikasih tau Je kalau hari ini tanggal satu. Aku langsung panik dan langsung ke rumahmu.”
Sandy tertawa sampai batuk. Darah terpercik dari mulutnya. Kemudian matanya menutup. Semua yang di ruangan tersebut panik. Dokter dan beberapa perawat kembali lagi, lengkap dengan peralatan yang sebelumnya juga telah dibawa masuk ruangan.
“Mohon menunggu di luar”
Semuanya menurut patuh. Tampak mama Sandy langsung menangis dan ditenangkan oleh suaminya. Jo mendekati kakak Sandy.
“Sejak kapan Sandy sakit, Kak?”
“Ketahuannya sejak hari minggu, ng… tanggal 29. Tapi kata dokter, Sandy sudah lama merasa sakit, setahun. Sandy merahasiakan dari semua.”
Jo terkesiap. Setahun?
“Apa itu kak?”
“Serviks stadium akhir.” Jo terdiam. Tidak nafsu untuk bertanya-tanya lagi. Ditatapnya ke luar jendela. Silau mentari senja yang hangat membawa hatinya remuk. Di penghujung rindunya yang ingin ia luapkan, Sandy malah terbaring lemah. Jo bersalah.
“Dia nunggu kamu, Jo” mata Jo mulai kabur, kepalanya yang menunduk dalam membuat air matanya tertahan di ujung pupil matanya menghalangi pandangannya.
Dokter keluar dari ruang rawat dengan membawa raut kusut.
“Kenapa dokter?”
“Sandy sudah pergi.”
Tangisan pecah saat itu juga. Dari mama, papa, kakak, juga Jo. Haruskah seperti ini akhirnya? Rindunya terbayarkan dengan duka mendalam di penghuung senja awal bulan Juni.
“Dia emang cuma nunggu kamu, agar bisa tenang pergi, Jo.”

Jo tidak peduli dengan jenis kelamin laki-lakinya. Tangisnya keras sampai tersedu-sedu. Meraung, menyesali perpisahan selama dua tahun, menyesali perjanjian bertemu yang terlambat karena keteledorannya. Jo bodoh! Kini Sandy memang telah pergi dengan tenang, karena sudah bisa menatap Jo di ujung usianya. Namun tidak dengan Jo. Ia menderita dalam duka yang dalam.
END

Selamat Jalan Sandy...
semoga kau bahagia dan tenang di sana

Continue reading

Part II

Senja Di Ujung Rindu


Elektrokardiograf mengeluarkan bunyi tuuut panjang. Ruangan rawat yang sepi itu seperti meminta perhatian perawat dan dokter jaga untuk segera datang. Tiada orang lain di ruangan selain pasien yang keliatannya sedang sekarat.

dokter dan suster berlarian menuju ruang rawat Ambun Pagi itu. Meja beroda yang berisi peralatan medis itu ikut didorong ke dalam ruangan.

"Siapkan defibrilator!" Perintah dokter dengan suara tegas.
*

Bingkai foto di atas meja tiba-tiba terjatuh. suara pecahnya memilukan. Jo yang baru saja keluar dari kamar mandi segera memungutnya. kenapa bisa terjatuh? 

Perasaan Jo mulai tidak enak. Apa ada sesuatu yang terjadi pada gadis yang tengah tersenyum di dalam foto itu? Jo berjongkok memungut satu per satu pecahannya. Kemudian berdiri hendak mencari kantong plastik, namun kepala Jo membentur meja sehingga kalender meja ikutan terjatuh.

diliriknya kalender tersebut. Tanggal berapa sih, hari ini?

"Ada apa?" Adik Jo datang demi mendengar suara pecahan dari luar.
"Tanggal berapa sih, sekarang?"
"Tanggal 1 Juni"
"Hah?" Diliriknya kalender yang masih di tangan kanannya. Jangan-jangan selama ini...
"Sial! gue telat seminggu!" diletakkan pecahan kaca di tangan kirinya di atas meja, kemudian menyambar jaket kulit di atas kasur, dan berlari ke luar.
"Mau ke mana?"
"Menjemput janji!"
*

Tok..tok..
Krek! pintu dibuka dari dalam, seorang wanita paruh baya dengan daster batik memasang wajah heran begitu melihat siapa yang datang.
"Sandy..."
"Sandy lagi sekarat, barusan semua pada ke rumah sakit gitu dapat telepon. kamu kok malah ke sini?" mata Jo membesar. Sandy sekarat? sejak kapan ia sakit? kenapa tidak memberitahunya?"
"Rumah sakit mana, Buk?"
"M. Djamil. Paviliun Ambun Pagi."
"Oke, makasih Buk." Jo segera melesat ke rumah sakit. Di perjalanan ia mengutuk dirinya sendiri. Kalau sampai terjad apa-apa dengan Sandy, ahh...
*

"Dok, kabelnya lepas." Seorang perawat menemukan kabel elektrokardiograf yang lepas. Sehingga, kepanikan itu terjadi. segera dipasangnya kembali kabel tersebut hingga grafik di layar monitornya berjalan normal kembali.

"Defibrilatornya tidak jadi, Dok?"
"Tidak." Semuanya lega. Pasien baik-baik saja. Kalau terjadi apa-apa dengan pasien, tentu keluarganya akan sangat menyayangkan pemberitahuannya tadi bahwa pasien dalam kondisi stabil dan boleh ditinggal.

"Sandy!" Orang tua dan kakak perempuan Sandy masuk ruangan dengan mata basah. Dokter menggaruk kepalanya yang tidak gatal,
"Anu, maaf Bu, Pak, atas kecerobohan kami. Sandy baik-baik saja. tadi kabelnya lepas."
"Ya Tuhan, syukurlah."
"Maaf, tadi saya yang menelepon, Bu. Maaf saya langsung panik menelepon tanpa mengecek terlebih dahulu."
Keluarga mengangguk maklum. Mendengar kenyataan Sandy baik-baik saja sudah menjadi tebusan atas kecerobohan perawat itu.

"Ma..." Sandy membuka mata. tidur panjangnya terganggu suara bising di ruangan tersebut.
"Baik, kami permisi." dokter dan para perawat meninggalkan ruang rawat Sandy.
"Katanya tadi pulang, kok balik lagi?"
"Nggak papa, nak." mama menggenggam tangan kurus tersebut. mencurahkan kekhawatirannya. nafas lega dihembuskannya.
"Sandy!" semua menoleh ke arah pintu.
Jo?
*

Continue reading