PENYEJUK HATI MAMA
Udara Jakarta yang biasanya panas, kali ini berbeda. Langit
gelap, angin bertiup agak kencang, dan suasana benar-benar sendu. Agaknya bumi
Jakarta ingin ikut merasakan kesedihan yang mendalam yang mendera kediaman
Bapak Yanto, yang sedang kemalangan. Ibu Vetti istrinya tadi subuh telah
melepaskan semua kesakitan yang selama ini menemani hidupnya yang penuh beban.
Setiap saat tak pernah berhenti merasakan sakit, setiap saat pula mulutnya
selalu mengucapkan doa yang tek henti-hentinya kepada Tuhan. Namun satu hal
yang selalu dilakukannya, Ibu Vetti tidak pernah mengeluhkan sakitnya. Sehingga
tidak ada yang benar-benar tahu persis bagaimana sakitnya itu menghukum
tubuhnya.
Nita, putri bungsu Ibu Vetti yang tahun ini baru mengecap
bangku perkuliahan terlihat sangat terpukul, tidak seperti dua kakaknya yang
terlihat lebih tegar dan kuat menerima kenyataan itu. Ia hanya duduk menekur di
sudut ruangan tak jauh dari jasad ibunya dibentangkan. Nita yang dikenal
pendiam itu memang paling dekat dengan ibunya. Selalu, kemana ibunya bepergian,
tak jarang Nita ada besertanya. Mungkin karena Nita anak bungsu, jadi Nita
memang sedikit lebih manja dibanding dua orang kakaknya. Banyak tamu, keluarga,
dan teman-teman mencoba berkomunikasi dengannya mencoba menghibur. Tetapi Nita
belum bisa membuka suara ketika itu. Nita lebih memilih diam seribu bahasa dan
selalu mengucapkan doanya pada Tuhan dalam diamnya.
Sebulan berlalu semenjak kematian
Ibu Vetti, masih sangat menorehkan luka di hati keluarga, terutama Nita. Nita
yang memang pendiam terlihat semakin menutup diri dan jadi mudah meneteskan air
mata tiap kali mengingat mamanya. Namun Nita tidak ingin selalu diam saja, Nita
juga harus memikirkan papa dan kakak-kakaknya. Nita tidak ingin menjadi beban
berikutnya di pundak orang-orang yang disayanginya. Terngiang-ngiang kata-kata
mamanya,
“Nitaku sayang, penyejuk hatiku,
kamu mama kasih nama Qurrata Ayuni semoga bisa menjadi penyejuk hati bagi
siapapun yang menyayangimu nak, nanti kalau mama sudah tidak ada, kamu harus
tetap menjadi penyejuk hati papa dan mbak-mbakmu ya sayang.” Kata-kata mama
selalu melekat dan terngiang-ngiang di telinga Nita setiap kali ia mengingat
almarhum mamanya. Dan buliran-buliran panas itu pasti langsung mengalir di
pipinya.
“Nita sayang mama, Nita janji akan
selalu jadi penyejuk hati papa, Mbak Vika, dan Mbak Reni ma.” Nita kembali
menangis dalam diam. Tiba-tiba Nita merasakan perutnya sakit, Nita baru ingat
kalau dirinya belum makan dari pagi. Nita membuka lemari, tidak ada lauk yang
bisa dimakan. Pasti Mbak Reni belum pulang, Nita kemudian memasak nasi goreng,
biar praktis untuk mengganjal perutnya yang terasa sangat perih.
Perlahan-lahan dari ufuk timur tampak
seberkas cahaya yang bersinar gemilang. Pagi sudah menjelang. Dingin subuh itu
memang mendukung rasa malas untuk segera bangkit dari tempat peraduan. Demikian
pula Nita, mungkin karena terlalu lelah, dan sulit memejamkan matanya semalaman
karena merasakan perih di perutnya, Nita masih saja menikmati istirahatnya.
Padahal hari itu ia akan berangkat kuliah.
Ada rasa hangat dan penuh kasih
sayang yang dirasakan Nita mengelus kepalanya lembut.
“Nita, ayo bangun. Shalat subuh dan
segeralah mandi. Sekarang kamu kuliah pagi kan?” Mbak Reni mengingatkan adiknya
dengan lembut. Perlahan-lahan Nita membuka mata. Ternyata hari sudah berganti.
Nita langsung bangkit dan berlalu menuju kamar mandi. Masih membawa sisa-sisa
kantuknya. Ketika mandi, Nita kembali merasakan perih di perutnya, ada apa ya? Pikirnya. Tiba-tiba Nita
teringat sesuatu. Mungkin sebentar lagi ia akan datang bulan. Tidak perlu
khawatir dan cemas, pikirnya. Memang selama ini kalau sudah datang bulan, Nita
selalu merasakan sakit di perutnya. Karena itu memang hal yang biasa.
Sudah dua puluh hari berlalu
semenjak Nita merasakan sakitnya, meski menstruasinya sudah selesai, tetapi
rasa sakit di perunya tidak kunjung hilang meski terkadang berkurang. Nita
mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan perutnya. Tetapi Nita takut
mengatakan kepada kakak-kakak dan papanya. Akhirnya Nita menunggu dulu, mana
tahu Nita hanya sakit magh. Karena semenjak kepargian mama, makan Nita memang
sudah tidak teratur lagi. Nita mencari obat magh di apotek sepulang kuliah.
Dipatut-patutnya obat itu sebelum meminumnya.
“Tolong bantu aku membuktikan kalau
sakit perutku memang hanya sakit magh biasa yang bisa sembuh dengan hanya
meminummu, tetapi, kalau dalam tiga hari aku meminummu belum juga sembuh, baru
akan kuberitahu keluargaku.” Hihi... Nita merasa geli sendiri dengan
tingkahnya, masa’ mau tawar menawar dengan obat? Ada-ada saja. Setelah itu Nita
langsung meminumnya.
Selesai meminum obatnya Nita tersenyum
lagi, teringat kata-katanya tadi. Gokil. Nita
lalu menghidupkan musik dari hapenya sambil menemaninya mengerjakan tugas, Nita
memilih lagu Bundanya teh Melli Guslaw. Nita kembali terhanyut dalam kenangan
bersama mama, sampai akhirnya Nita terlelap, mungkin efek setelah minum obat
Nita jadi mengantuk. Dalam tidurnya, Nita bermimpi bertemu mama di ruangan yang
serba hitam gelap. Mama memakai baju serba putih, begitu pula dengan Nita, mama
tidak bicara apapun kepada Nita, mama hanya membelai lembut perut Nita. Perut
yang tadinya sakit, sedikit-sedikit berangsur menjadi hilang. Nita tersenyum
kepada mama. Nita berdiri, mama seolah-olah mengajak Nita pergi, mama seperti
menjanjikan sakitnya akan hilang kalau Nita mau ikut dengan mama. Nita ingin
sekali ikut dengan mama, Nita tidak ingin berpisah lagi dengan mama. Namun,
sebelum sampai pada pintu yang silau dengan cahaya yang terang sekali itu, Nita
tersentak. Nita terbangun dan menoleh ke kiri kanan. Bayangan mama hilang
berganti kembali dengan suasana kamarnya yang hangat. Nita segera bangkit
menuju dapur, ada suara gaduh yang membuat Nita kaget dan terjaga dari
tidurnya. Ternyata di dapur ada papa yang sedang memungut pecahan gelas.
“Kenapa pa?”
“Tidak apa-apa sayang, tadi papa
hanya ingin membuat kopi, tapi gelasnya jatuh tadi tersenggol waktu papa ambil
gula”
“Papa kenapa nggak minta Nita yang
buatin?” Nita menyesali, karena selama ini papa tidak pernah buat kopi sendiri.
“Tadi papa lihat tidurmu nyenyak
sekali, jadi papa nggak bangunin” papa tersenyum sambil terus memunguti gelas
yang pecah.
“Sudah pa, biar Nita saja yang
beresin, sekalian Nita bikinin kopi buat papa, papa istirahat saja ya” setelah
itu Nita menyelesaikan membersihkan sisa pecahan kaca yang sudah dipungut papa
tadi. Kemudian membuatkan kopi untuk papa, meskipun Nita jarang membuatkan kopi
untuk papa, tetapi Nita berharap kopi buatannya sama enaknya dengan buatan
mama. Karena Nita juga membuatnya dengan penuh cinta kepada sang papa.
Hari ini Nita dengan ditemani Mbak Vika mendatangi dokter
gigi. Nita berencana hendak memasang behel, keinginan yang sudah lama tertunda
karena kepergian mama. Nita melakukan serentetan pemeriksaan, namun ternyata
gusi Nita ada yang bermasalah dan harus dilakukan operasi kecil. Untuk itu
dokter menyarankan Nita kembali lagi pada jam praktik yang sama besok atau lusa
ke rumah sakit tempat dokter itu praktik.
“Maaf Mbak Nita, setelah kita
melakukan pemeriksaan dan mengecek hasilnya, saya menemukan ada kejanggalan.
Karena saya tidak percaya, maka saya melakukan pemeriksaan tersebut sampai tiga
kali. Ternyata hasilnya sama” Ucap dokter dengan wajah yang sulit ditebak. Ada masalah apa ya? Batin Nita menjadi
gusar, sementara perutnya semakin terasa begah dan tidak nyaman.
“Ada kesalahan apa, Dok?” tanya Mbak
Vika hati-hati. Dokter lalu menghela napas kemudian berkata,
“Ternyata dari seluruh pemeriksaan
yang kita lakukan kemarin, hasilnya menemukan sebuah penyakit pada tubuh Mbak
Nita. Tetapi penyakitnya bukan pada gusi Nita lagi”
“Saya sakit apa, Dok?” Batin Nita
mulai tidak enak.
“Di dalam rahimnya Nita ada sebuah
penyakit, yaitu kista. Dan kita harus segera melakukan perawatan serta operasi
nantinya.” Dokter berkata mantap tetapi dengan hati yang tidak enak. Dan Nita
hanya tersandar lesu di tempat duduknya.
“Maafkan saya Mbak Nita, saya harus
mengatakan ini, tetapi jangan risau, penyakitnya pasti bisa disembuhkan kok.”
Dokter memberi semangat pada Nita. Sedangkan Mbak Vika terlihat berlinangan air
mata.
Nita benar-benar terpukul dan merasa
terpuruk sekali. Sepulang dari rumah sakit Nita langsung mengurung diri di
kamar. Sementara seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan persoalan ini di
ruang keluarga, di sana sudah ada Tante Ani, Mak tuo Ilen, dan Mak tuo Nini.
“Pokoknya apapun yang terjadi, Nita
harus berobat, dan kita harus selalu mendukungnya, saya tidak ingin melihat
Nita terpuruk lagi setelah kepergian mamanya.” Papa mulai angkat bicara.
“Ya, kamu tenang aja Yanto, kami
juga pasti akan menemani dan selalu mendukung Nita, semua keluarga besar juga
sudah pada dikasih tau, termasuk si Erwin yang di Padang juga sudah tau, tadi
dia bilang siap untuk membantu.”
“Tapi gimana caranya ngomong sama
Nita Pa, Mak tuo? Sementara dia benar-benar terpuruk di kamar sendiri.” Mbak
Reni mulai bicara
“Biarlah dulu dia menenangkan
dirinya, mencoba mencerna apa yang dikatakan dokter dan apa yang terbaik
untuknya. Biar semua tercurah dulu dalam doanya, nanti kita baru dekati dia dan
memberikan dorongan serta motivasi.” Tante Ani mulai bicara.
Sementara
di kamar Nita
“Mama, kenapa nasib Nita gini?
Kenapa mama ninggalin Nita begitu cepat? Padahal Nita masih butuh mama. Nita
takut ma, Nita benar-benar takut.” Nita masih tersedu-sedu sambil memandangi
fotonya beserta mama dan keluarga. Nita takut membayangkan bagaimana hidupnya
ke depan, sakit yang dialaminya akan membuatnya semakin menderita, sakit lahir
batin. Rasanya sudah tidak adil lagi buat hidupnya. Nita tidak mau tinggal di
rumah sakit, apalagi tanpa kehadiran mama, perempuan yang penuh cinta kasih itu
di sisinya.
“Ma, bantu Nita, tolong ma, Nita
takut sekali menghadapi semuanya, hari-hari Nita akan terasa sangat sulit untuk
dijalani ke depan dengan penyakit ini dan tanpa kehadiran mama.” Nita kembali
mengusap wajah mama di foto.
“Nita nggak mau Mbak, Tante, Nita
takut.” Nita memelas untuk tidak dipaksa ke rumah sakit.
“Sayang, tante tahu banget berat
rasanya buat kamu, tapi kamu harus segera sembuh Nit, ada tante, mbak-mbakmu,
papa, mak tuo, pak tuo, om dan tante kamu yang lain, semua selalu mendukung dan
ingin kamu sembuh, Nit. Kami ingin memberikan yang terbaik buat kamu, seperti
apa yang selalu dilakukan mama.” Tante Ani membelai kepala Nita sambil terus
membujuknya.
“Iya dek, Nita nggak boleh pesimis
gitu donk, kita obati dulu sakitnya, dokter kan juga bilang kalau bisa diobati
kan? Mama juga pasti sedih kalau kamu nggak mau diobati gini loh Nit.” Entah
kenapa Nita menjadi marah begitu Mbak Vika berbicara demikian.
“Mbak, Nita yang tau diri Nita,
Mbak! Mbak nggak pernah tau gimana rasa sakitnya kan? Mbak juga nggak tau
gimana perasaan Nita, kan? Nita takut mbak, apalagi mama udah nggak ada.
Semuanya terasa kian berat. Biarlah Nita perlahan-lahan nyusul mama dengan
penyakit ini! Nggak ada yang sayang sama Nita kecuali mama.” Nita mulai
menangis.
“Hus! Nit, nggak boleh gitu,
istigfar sayang. Kamu harus tau kami semua juga sangat sayang kamu, karena kami
nggak ingin kamu sakit makanya kami ingin kamu segera diobati. Mbak Vika nggak
ada niat bikin kamu marah kok, kita semua sayang sama kamu.” Nita hanya
menangis, Tante Ani tidak kehabisan bahan,
“Nita sayang nggak sama kita? Sama
papa? Lihat tuh papa, kasihan dari kemarin-kemari mikirin Nita terus, papa
ingin sekali kamu sembuh, kalau kamu nggak mau berobat gini, nggak kasian sama
papa, nak?” Tante Ani mulai menggunakan papa sebagai alasan, Tangis Nita mulai
sedikit reda.
“Yaudah, kamu pikirin dulu aja ya,
Nit. Yuk Vika, bantuin tante masak, sebentar lagi papamu pulang.” Tante dan
Mbak Vika keluar dari kamar Nita. Nita masih kepikiran perkataan tantenya
barusan. Nita lupa, kalau ada papa yang selalu memikirkannya. Tapi Nita masih
saja merasa enggan dan takut apalagi harus operasi nanti tanpa didampingi mama.
Nita segera iseng membuka facebook, Nita ingin mencurahkan isi
hatinya. Alangkah kagetnya Nita melihat begitu banyaknya pemberitahuan, setelah
dibuka ternyata ada banyak teman yang mengirimkan pesan di dinding facebooknya.
Nita segera membukanya dengan sedikit penasaran.
“Nita, cepar sembuh ya sayang, kita
selalu dukung kamu, kita semua sayang kamu. Kalau kamu juga sayang kita, kamu
harus sembuh!” Nita membaca pesan teratas dari sahabatnya. Air matanya segera
mengalir. Nita membaca kalimat-kalimat berikutnya, pesan yang sama dengan
kalimat yang pertama. Nita semakin terharu, sampai pada kiriman dari seseorang
yang membuat dada Nita berdegub kencang keluar dari irama. Bayu! Cowok yang
ditaksir Nita juga mengirimkan hal yang sama, dengan kalimat yang lebih
mengharukan,
“Hai, Nit. Kudoakan semoga kamu
segera sembuh dan bangkit. Tidak ada yang pernah mau kehilangan semangat dari
seorang seperti kamu. Kita tahu kamu tidak akan pernah mundur hanya karena
penyakit begituan. Aku kenal kamu adalah orang yang kuat, karena karena
kekuatan kamu aku selalu kagum. Sekarang, coba buktikan kalau aku tidak pernah
salah dengan kekaguman itu, Nit.” Hati Nita bergetar. Bayu, pria yang
disukainya itu benar-benar baik. Nita segera menghapus air matanya. Yakin
dengan dukungan semua teman dan keluarga yang begitu menaruh harapan besar
untuk kesembuhannya, Nita segera menghapus air matanya dan menenangkan dirinya.
Setelah itu melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu dan mencoba berkomunikasi
dengan Tuhan.
Selesai mengadu kepada Sang Khalik,
Nita segera memandangi foto mama, dan tersenyum getir, masa saja terasa sakit
di relung hatinya.
“Ma, Nita nggak boleh lemah ya? Tapi
Nita nggak kuat kalau nggak ada mama, ma! Ntar siapa yang temani Nita di rumah
sakit? Biasanya kan mama. Beda banget rasanya ditemani mbak atau Tante Ani sama
ada mama di sisi Nita, karena mama pasti lebih ngerti perasaan Nita dari
mereka. Mama, Nita kangen banget sama mama. Gimana caranya?” Nita berbisik
sambil terus mengusap air matanya.
Setelah berulang kali mencoba
berkomunikasi dengan mama dan Tuhan, akhirnya semalam mama mendatangi Nita di
mimpinya. Mama ingin nita segera bangkit dan melakukan apa yang diinginkan
keluarga. Karena itu hari ini Nita dengan ditemani seluruh keluarga termasuk
Tante Ani dan Mak Tuo Ilen berangkat ke rumah sakit. Dokter kaget begitu
melihat Nita datang, karena lebih dari seminggu Nita tidak pernah datang lagi
semenjak konsultasi terakhir.
“Dokter bangga pada Nita, memang
keputusan yang tepat Nita harus segera melakukan perawatan dan operasi.” Nita
hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan dokter.
Semenjak saat itu Nita dengan selalu
ditemani keluarga dan disertai dorongan dari sahabat dan teman-temannya juga
Bayu, patuh melakukan perawatan. Apapun yang diminta dokter diturutinya dengan
hati yang masih sakit dan susah untuk ikhlas. Sampai pada suatu malam sebelum
melakukan operasi, Nita merenung, menyadari betapa banyak dukungan dari
keluarga besar dan doa yang tak henti-hentinya serta motivasi yang Nita dapat,
tidak terkecuali sahabat-sahabat dan Bayu yang selalu memberikan semangat serta
mendukung Nita. Nita kemudian tersenyum. Menyadari betapa berharganya ia di
mata orang-orang yang disayanginya. Nita berjanji akan segera sembuh dan akan
selalu ingat pesan mama; menjadi Qurrata Ayuni alias penyejuk hati bagi
siapapun yang disayanginya.
“Alhamdulillah, Om. Operasinya
lancar dan sekarang Nita sudah dipindah ke ruang perawatan intensif.” Ucap Mbak
Reni mengabarkan pada keluarga. Nita hanya tersenyum mendengarnya. Betapa
bersyukurnya ia, ketakutan akan kesakitan yang selama ini menghantuinya entah
kenapa hilang begitu saja. Hanya ada
hati yang ikhlas menemati sayatan di perutnya demi melihat senyuman
orang-orang yang selalu mendukung dan menyemangatinya. Nita yakin, kalau mama
ada di sini, mama akan senang melihat Nita sudah bisa ikhlas dan kuat lagi. Terima kasih ya Allah. Bisik Nita.
Dokter masuk ruangan dan tersenyum
lebar sambil menyalami papa dan menyapa seluruh keluarga besar dan sahabatnya
yang sudah berkumpul di ruangan itu.
“Bagaimana Nita? Sudah sangat cerah
hari ini.” Nita tertawa kepada dokter yang berusaha menghiburnya.
“Alhamdulillah, terima kasih Nita
buat dokter, papa, Mbak Vika dan Mbak Reni, serta seluruh keluarga di sini.
Juga sahabatku tersayang. Nita udah dikasih dorongan selama ini, Nita tau kalau
semangat adalah obat mujarab untuk semua penyakit. Dan Nita mempunyai semua
semangat itu di ruangan ini sekarang.” Ucap Nita dengan suara yang sangat pelan
karena masih lemah.
“Iya, sama-sama Nita. Oh iya, Nita
sudah punya pacar?” tiba-tiba dokter bertanya
“Kenapa dokter bertanya demikian?”
Nita bingung sekaligus malu ditanya begitu
“Karena sel telur kamu yang harus
diangkat sebagian ketika operasi tadi, kamu harus menikah diusia muda dan subur
seperti sekarang agar bisa punya keturunan. Karena kalau kamu menikah diusia
tidak subur, di khawatirkan kamu tidak bisa hamil Nita.” Kaget. Nita
benar-benar berasa ingin pingsan saat itu juga. Baru saja senyum ikhlasnya
mengembang, ia sudah menerima kenyataan demikian. Oh Tuhan, segitu kuatkah hamba di mataMu sehingga Engkau memberikan
cobaan bertubi ini? Nita masih terus berusaha tersenyum menata hatinya yang
tercecer karena kenyataan pahit yang masih harus dijalaninya kedepan. Sambil
terus mengingatkan dirinya, kalau setiap akhir dari hujan akan selalu ada
pelangi yang indah menghiasi langit. Semoga Nita bisa kuat menjalani
hari-harinya meski tanpa mama.
0 komentar:
Posting Komentar