Sabtu, 07 April 2012

true story


PENYEJUK HATI MAMA

Udara Jakarta yang biasanya panas, kali ini berbeda. Langit gelap, angin bertiup agak kencang, dan suasana benar-benar sendu. Agaknya bumi Jakarta ingin ikut merasakan kesedihan yang mendalam yang mendera kediaman Bapak Yanto, yang sedang kemalangan. Ibu Vetti istrinya tadi subuh telah melepaskan semua kesakitan yang selama ini menemani hidupnya yang penuh beban. Setiap saat tak pernah berhenti merasakan sakit, setiap saat pula mulutnya selalu mengucapkan doa yang tek henti-hentinya kepada Tuhan. Namun satu hal yang selalu dilakukannya, Ibu Vetti tidak pernah mengeluhkan sakitnya. Sehingga tidak ada yang benar-benar tahu persis bagaimana sakitnya itu menghukum tubuhnya.
Nita, putri bungsu Ibu Vetti yang tahun ini baru mengecap bangku perkuliahan terlihat sangat terpukul, tidak seperti dua kakaknya yang terlihat lebih tegar dan kuat menerima kenyataan itu. Ia hanya duduk menekur di sudut ruangan tak jauh dari jasad ibunya dibentangkan. Nita yang dikenal pendiam itu memang paling dekat dengan ibunya. Selalu, kemana ibunya bepergian, tak jarang Nita ada besertanya. Mungkin karena Nita anak bungsu, jadi Nita memang sedikit lebih manja dibanding dua orang kakaknya. Banyak tamu, keluarga, dan teman-teman mencoba berkomunikasi dengannya mencoba menghibur. Tetapi Nita belum bisa membuka suara ketika itu. Nita lebih memilih diam seribu bahasa dan selalu mengucapkan doanya pada Tuhan dalam diamnya.
            Sebulan berlalu semenjak kematian Ibu Vetti, masih sangat menorehkan luka di hati keluarga, terutama Nita. Nita yang memang pendiam terlihat semakin menutup diri dan jadi mudah meneteskan air mata tiap kali mengingat mamanya. Namun Nita tidak ingin selalu diam saja, Nita juga harus memikirkan papa dan kakak-kakaknya. Nita tidak ingin menjadi beban berikutnya di pundak orang-orang yang disayanginya. Terngiang-ngiang kata-kata mamanya,
            “Nitaku sayang, penyejuk hatiku, kamu mama kasih nama Qurrata Ayuni semoga bisa menjadi penyejuk hati bagi siapapun yang menyayangimu nak, nanti kalau mama sudah tidak ada, kamu harus tetap menjadi penyejuk hati papa dan mbak-mbakmu ya sayang.” Kata-kata mama selalu melekat dan terngiang-ngiang di telinga Nita setiap kali ia mengingat almarhum mamanya. Dan buliran-buliran panas itu pasti langsung mengalir di pipinya.
            “Nita sayang mama, Nita janji akan selalu jadi penyejuk hati papa, Mbak Vika, dan Mbak Reni ma.” Nita kembali menangis dalam diam. Tiba-tiba Nita merasakan perutnya sakit, Nita baru ingat kalau dirinya belum makan dari pagi. Nita membuka lemari, tidak ada lauk yang bisa dimakan. Pasti Mbak Reni belum pulang, Nita kemudian memasak nasi goreng, biar praktis untuk mengganjal perutnya yang terasa sangat perih.
            Perlahan-lahan dari ufuk timur tampak seberkas cahaya yang bersinar gemilang. Pagi sudah menjelang. Dingin subuh itu memang mendukung rasa malas untuk segera bangkit dari tempat peraduan. Demikian pula Nita, mungkin karena terlalu lelah, dan sulit memejamkan matanya semalaman karena merasakan perih di perutnya, Nita masih saja menikmati istirahatnya. Padahal hari itu ia akan berangkat kuliah.
            Ada rasa hangat dan penuh kasih sayang yang dirasakan Nita mengelus kepalanya lembut.
            “Nita, ayo bangun. Shalat subuh dan segeralah mandi. Sekarang kamu kuliah pagi kan?” Mbak Reni mengingatkan adiknya dengan lembut. Perlahan-lahan Nita membuka mata. Ternyata hari sudah berganti. Nita langsung bangkit dan berlalu menuju kamar mandi. Masih membawa sisa-sisa kantuknya. Ketika mandi, Nita kembali merasakan perih di perutnya, ada apa ya? Pikirnya. Tiba-tiba Nita teringat sesuatu. Mungkin sebentar lagi ia akan datang bulan. Tidak perlu khawatir dan cemas, pikirnya. Memang selama ini kalau sudah datang bulan, Nita selalu merasakan sakit di perutnya. Karena itu memang hal yang biasa.
            Sudah dua puluh hari berlalu semenjak Nita merasakan sakitnya, meski menstruasinya sudah selesai, tetapi rasa sakit di perunya tidak kunjung hilang meski terkadang berkurang. Nita mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan perutnya. Tetapi Nita takut mengatakan kepada kakak-kakak dan papanya. Akhirnya Nita menunggu dulu, mana tahu Nita hanya sakit magh. Karena semenjak kepargian mama, makan Nita memang sudah tidak teratur lagi. Nita mencari obat magh di apotek sepulang kuliah. Dipatut-patutnya obat itu sebelum meminumnya.
            “Tolong bantu aku membuktikan kalau sakit perutku memang hanya sakit magh biasa yang bisa sembuh dengan hanya meminummu, tetapi, kalau dalam tiga hari aku meminummu belum juga sembuh, baru akan kuberitahu keluargaku.” Hihi... Nita merasa geli sendiri dengan tingkahnya, masa’ mau tawar menawar dengan obat? Ada-ada saja. Setelah itu Nita langsung meminumnya.
            Selesai meminum obatnya Nita tersenyum lagi, teringat kata-katanya tadi. Gokil. Nita lalu menghidupkan musik dari hapenya sambil menemaninya mengerjakan tugas, Nita memilih lagu Bundanya teh Melli Guslaw. Nita kembali terhanyut dalam kenangan bersama mama, sampai akhirnya Nita terlelap, mungkin efek setelah minum obat Nita jadi mengantuk. Dalam tidurnya, Nita bermimpi bertemu mama di ruangan yang serba hitam gelap. Mama memakai baju serba putih, begitu pula dengan Nita, mama tidak bicara apapun kepada Nita, mama hanya membelai lembut perut Nita. Perut yang tadinya sakit, sedikit-sedikit berangsur menjadi hilang. Nita tersenyum kepada mama. Nita berdiri, mama seolah-olah mengajak Nita pergi, mama seperti menjanjikan sakitnya akan hilang kalau Nita mau ikut dengan mama. Nita ingin sekali ikut dengan mama, Nita tidak ingin berpisah lagi dengan mama. Namun, sebelum sampai pada pintu yang silau dengan cahaya yang terang sekali itu, Nita tersentak. Nita terbangun dan menoleh ke kiri kanan. Bayangan mama hilang berganti kembali dengan suasana kamarnya yang hangat. Nita segera bangkit menuju dapur, ada suara gaduh yang membuat Nita kaget dan terjaga dari tidurnya. Ternyata di dapur ada papa yang sedang memungut pecahan gelas.
            “Kenapa pa?”
            “Tidak apa-apa sayang, tadi papa hanya ingin membuat kopi, tapi gelasnya jatuh tadi tersenggol waktu papa ambil gula”
            “Papa kenapa nggak minta Nita yang buatin?” Nita menyesali, karena selama ini papa tidak pernah buat kopi sendiri.
            “Tadi papa lihat tidurmu nyenyak sekali, jadi papa nggak bangunin” papa tersenyum sambil terus memunguti gelas yang pecah.
            “Sudah pa, biar Nita saja yang beresin, sekalian Nita bikinin kopi buat papa, papa istirahat saja ya” setelah itu Nita menyelesaikan membersihkan sisa pecahan kaca yang sudah dipungut papa tadi. Kemudian membuatkan kopi untuk papa, meskipun Nita jarang membuatkan kopi untuk papa, tetapi Nita berharap kopi buatannya sama enaknya dengan buatan mama. Karena Nita juga membuatnya dengan penuh cinta kepada sang papa.
   Hari ini Nita dengan ditemani Mbak Vika mendatangi dokter gigi. Nita berencana hendak memasang behel, keinginan yang sudah lama tertunda karena kepergian mama. Nita melakukan serentetan pemeriksaan, namun ternyata gusi Nita ada yang bermasalah dan harus dilakukan operasi kecil. Untuk itu dokter menyarankan Nita kembali lagi pada jam praktik yang sama besok atau lusa ke rumah sakit tempat dokter itu praktik.
            “Maaf Mbak Nita, setelah kita melakukan pemeriksaan dan mengecek hasilnya, saya menemukan ada kejanggalan. Karena saya tidak percaya, maka saya melakukan pemeriksaan tersebut sampai tiga kali. Ternyata hasilnya sama” Ucap dokter dengan wajah yang sulit ditebak. Ada masalah apa ya? Batin Nita menjadi gusar, sementara perutnya semakin terasa begah dan tidak nyaman.
            “Ada kesalahan apa, Dok?” tanya Mbak Vika hati-hati. Dokter lalu menghela napas kemudian berkata,
            “Ternyata dari seluruh pemeriksaan yang kita lakukan kemarin, hasilnya menemukan sebuah penyakit pada tubuh Mbak Nita. Tetapi penyakitnya bukan pada gusi Nita lagi”
            “Saya sakit apa, Dok?” Batin Nita mulai tidak enak.
            “Di dalam rahimnya Nita ada sebuah penyakit, yaitu kista. Dan kita harus segera melakukan perawatan serta operasi nantinya.” Dokter berkata mantap tetapi dengan hati yang tidak enak. Dan Nita hanya tersandar lesu di tempat duduknya.
            “Maafkan saya Mbak Nita, saya harus mengatakan ini, tetapi jangan risau, penyakitnya pasti bisa disembuhkan kok.” Dokter memberi semangat pada Nita. Sedangkan Mbak Vika terlihat berlinangan air mata.
            Nita benar-benar terpukul dan merasa terpuruk sekali. Sepulang dari rumah sakit Nita langsung mengurung diri di kamar. Sementara seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan persoalan ini di ruang keluarga, di sana sudah ada Tante Ani, Mak tuo Ilen, dan Mak tuo Nini.
            “Pokoknya apapun yang terjadi, Nita harus berobat, dan kita harus selalu mendukungnya, saya tidak ingin melihat Nita terpuruk lagi setelah kepergian mamanya.” Papa mulai angkat bicara.
            “Ya, kamu tenang aja Yanto, kami juga pasti akan menemani dan selalu mendukung Nita, semua keluarga besar juga sudah pada dikasih tau, termasuk si Erwin yang di Padang juga sudah tau, tadi dia bilang siap untuk membantu.”
            “Tapi gimana caranya ngomong sama Nita Pa, Mak tuo? Sementara dia benar-benar terpuruk di kamar sendiri.” Mbak Reni mulai bicara
            “Biarlah dulu dia menenangkan dirinya, mencoba mencerna apa yang dikatakan dokter dan apa yang terbaik untuknya. Biar semua tercurah dulu dalam doanya, nanti kita baru dekati dia dan memberikan dorongan serta motivasi.” Tante Ani mulai bicara.
Sementara di kamar Nita
            “Mama, kenapa nasib Nita gini? Kenapa mama ninggalin Nita begitu cepat? Padahal Nita masih butuh mama. Nita takut ma, Nita benar-benar takut.” Nita masih tersedu-sedu sambil memandangi fotonya beserta mama dan keluarga. Nita takut membayangkan bagaimana hidupnya ke depan, sakit yang dialaminya akan membuatnya semakin menderita, sakit lahir batin. Rasanya sudah tidak adil lagi buat hidupnya. Nita tidak mau tinggal di rumah sakit, apalagi tanpa kehadiran mama, perempuan yang penuh cinta kasih itu di sisinya.
            “Ma, bantu Nita, tolong ma, Nita takut sekali menghadapi semuanya, hari-hari Nita akan terasa sangat sulit untuk dijalani ke depan dengan penyakit ini dan tanpa kehadiran mama.” Nita kembali mengusap wajah mama di foto.
            “Nita nggak mau Mbak, Tante, Nita takut.” Nita memelas untuk tidak dipaksa ke rumah sakit.
            “Sayang, tante tahu banget berat rasanya buat kamu, tapi kamu harus segera sembuh Nit, ada tante, mbak-mbakmu, papa, mak tuo, pak tuo, om dan tante kamu yang lain, semua selalu mendukung dan ingin kamu sembuh, Nit. Kami ingin memberikan yang terbaik buat kamu, seperti apa yang selalu dilakukan mama.” Tante Ani membelai kepala Nita sambil terus membujuknya.
            “Iya dek, Nita nggak boleh pesimis gitu donk, kita obati dulu sakitnya, dokter kan juga bilang kalau bisa diobati kan? Mama juga pasti sedih kalau kamu nggak mau diobati gini loh Nit.” Entah kenapa Nita menjadi marah begitu Mbak Vika berbicara demikian.
            “Mbak, Nita yang tau diri Nita, Mbak! Mbak nggak pernah tau gimana rasa sakitnya kan? Mbak juga nggak tau gimana perasaan Nita, kan? Nita takut mbak, apalagi mama udah nggak ada. Semuanya terasa kian berat. Biarlah Nita perlahan-lahan nyusul mama dengan penyakit ini! Nggak ada yang sayang sama Nita kecuali mama.” Nita mulai menangis.
            “Hus! Nit, nggak boleh gitu, istigfar sayang. Kamu harus tau kami semua juga sangat sayang kamu, karena kami nggak ingin kamu sakit makanya kami ingin kamu segera diobati. Mbak Vika nggak ada niat bikin kamu marah kok, kita semua sayang sama kamu.” Nita hanya menangis, Tante Ani tidak kehabisan bahan,
            “Nita sayang nggak sama kita? Sama papa? Lihat tuh papa, kasihan dari kemarin-kemari mikirin Nita terus, papa ingin sekali kamu sembuh, kalau kamu nggak mau berobat gini, nggak kasian sama papa, nak?” Tante Ani mulai menggunakan papa sebagai alasan, Tangis Nita mulai sedikit reda.
            “Yaudah, kamu pikirin dulu aja ya, Nit. Yuk Vika, bantuin tante masak, sebentar lagi papamu pulang.” Tante dan Mbak Vika keluar dari kamar Nita. Nita masih kepikiran perkataan tantenya barusan. Nita lupa, kalau ada papa yang selalu memikirkannya. Tapi Nita masih saja merasa enggan dan takut apalagi harus operasi nanti tanpa didampingi mama.
            Nita segera iseng membuka facebook, Nita ingin mencurahkan isi hatinya. Alangkah kagetnya Nita melihat begitu banyaknya pemberitahuan, setelah dibuka ternyata ada banyak teman yang mengirimkan pesan di dinding facebooknya. Nita segera membukanya dengan sedikit penasaran.
            “Nita, cepar sembuh ya sayang, kita selalu dukung kamu, kita semua sayang kamu. Kalau kamu juga sayang kita, kamu harus sembuh!” Nita membaca pesan teratas dari sahabatnya. Air matanya segera mengalir. Nita membaca kalimat-kalimat berikutnya, pesan yang sama dengan kalimat yang pertama. Nita semakin terharu, sampai pada kiriman dari seseorang yang membuat dada Nita berdegub kencang keluar dari irama. Bayu! Cowok yang ditaksir Nita juga mengirimkan hal yang sama, dengan kalimat yang lebih mengharukan,
            “Hai, Nit. Kudoakan semoga kamu segera sembuh dan bangkit. Tidak ada yang pernah mau kehilangan semangat dari seorang seperti kamu. Kita tahu kamu tidak akan pernah mundur hanya karena penyakit begituan. Aku kenal kamu adalah orang yang kuat, karena karena kekuatan kamu aku selalu kagum. Sekarang, coba buktikan kalau aku tidak pernah salah dengan kekaguman itu, Nit.” Hati Nita bergetar. Bayu, pria yang disukainya itu benar-benar baik. Nita segera menghapus air matanya. Yakin dengan dukungan semua teman dan keluarga yang begitu menaruh harapan besar untuk kesembuhannya, Nita segera menghapus air matanya dan menenangkan dirinya. Setelah itu melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu dan mencoba berkomunikasi dengan Tuhan.
            Selesai mengadu kepada Sang Khalik, Nita segera memandangi foto mama, dan tersenyum getir, masa saja terasa sakit di relung hatinya.
            “Ma, Nita nggak boleh lemah ya? Tapi Nita nggak kuat kalau nggak ada mama, ma! Ntar siapa yang temani Nita di rumah sakit? Biasanya kan mama. Beda banget rasanya ditemani mbak atau Tante Ani sama ada mama di sisi Nita, karena mama pasti lebih ngerti perasaan Nita dari mereka. Mama, Nita kangen banget sama mama. Gimana caranya?” Nita berbisik sambil terus mengusap air matanya.
            Setelah berulang kali mencoba berkomunikasi dengan mama dan Tuhan, akhirnya semalam mama mendatangi Nita di mimpinya. Mama ingin nita segera bangkit dan melakukan apa yang diinginkan keluarga. Karena itu hari ini Nita dengan ditemani seluruh keluarga termasuk Tante Ani dan Mak Tuo Ilen berangkat ke rumah sakit. Dokter kaget begitu melihat Nita datang, karena lebih dari seminggu Nita tidak pernah datang lagi semenjak konsultasi terakhir.
            “Dokter bangga pada Nita, memang keputusan yang tepat Nita harus segera melakukan perawatan dan operasi.” Nita hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan dokter.
            Semenjak saat itu Nita dengan selalu ditemani keluarga dan disertai dorongan dari sahabat dan teman-temannya juga Bayu, patuh melakukan perawatan. Apapun yang diminta dokter diturutinya dengan hati yang masih sakit dan susah untuk ikhlas. Sampai pada suatu malam sebelum melakukan operasi, Nita merenung, menyadari betapa banyak dukungan dari keluarga besar dan doa yang tak henti-hentinya serta motivasi yang Nita dapat, tidak terkecuali sahabat-sahabat dan Bayu yang selalu memberikan semangat serta mendukung Nita. Nita kemudian tersenyum. Menyadari betapa berharganya ia di mata orang-orang yang disayanginya. Nita berjanji akan segera sembuh dan akan selalu ingat pesan mama; menjadi Qurrata Ayuni alias penyejuk hati bagi siapapun yang disayanginya.
            “Alhamdulillah, Om. Operasinya lancar dan sekarang Nita sudah dipindah ke ruang perawatan intensif.” Ucap Mbak Reni mengabarkan pada keluarga. Nita hanya tersenyum mendengarnya. Betapa bersyukurnya ia, ketakutan akan kesakitan yang selama ini menghantuinya entah kenapa hilang begitu saja. Hanya ada  hati yang ikhlas menemati sayatan di perutnya demi melihat senyuman orang-orang yang selalu mendukung dan menyemangatinya. Nita yakin, kalau mama ada di sini, mama akan senang melihat Nita sudah bisa ikhlas dan kuat lagi. Terima kasih ya Allah. Bisik Nita.
            Dokter masuk ruangan dan tersenyum lebar sambil menyalami papa dan menyapa seluruh keluarga besar dan sahabatnya yang sudah berkumpul di ruangan itu.
            “Bagaimana Nita? Sudah sangat cerah hari ini.” Nita tertawa kepada dokter yang berusaha menghiburnya.
            “Alhamdulillah, terima kasih Nita buat dokter, papa, Mbak Vika dan Mbak Reni, serta seluruh keluarga di sini. Juga sahabatku tersayang. Nita udah dikasih dorongan selama ini, Nita tau kalau semangat adalah obat mujarab untuk semua penyakit. Dan Nita mempunyai semua semangat itu di ruangan ini sekarang.” Ucap Nita dengan suara yang sangat pelan karena masih lemah.
            “Iya, sama-sama Nita. Oh iya, Nita sudah punya pacar?” tiba-tiba dokter bertanya
            “Kenapa dokter bertanya demikian?” Nita bingung sekaligus malu ditanya begitu
            “Karena sel telur kamu yang harus diangkat sebagian ketika operasi tadi, kamu harus menikah diusia muda dan subur seperti sekarang agar bisa punya keturunan. Karena kalau kamu menikah diusia tidak subur, di khawatirkan kamu tidak bisa hamil Nita.” Kaget. Nita benar-benar berasa ingin pingsan saat itu juga. Baru saja senyum ikhlasnya mengembang, ia sudah menerima kenyataan demikian. Oh Tuhan, segitu kuatkah hamba di mataMu sehingga Engkau memberikan cobaan bertubi ini? Nita masih terus berusaha tersenyum menata hatinya yang tercecer karena kenyataan pahit yang masih harus dijalaninya kedepan. Sambil terus mengingatkan dirinya, kalau setiap akhir dari hujan akan selalu ada pelangi yang indah menghiasi langit. Semoga Nita bisa kuat menjalani hari-harinya meski tanpa mama.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar