Senin, 03 Februari 2014

Kita

Kita menulis…
Aku menulis, kamu menulis, kita sama-sama menulis.
Kamu menulis di sana, aku menulis di sini. Kita menulis di bumi yang sama, kita menulis di waktu yang sama.
Tetapi entah kenapa setidaknya tulisan kita bisa disatukan menjadi buku antologi kemudian bisa diterbitkan bersama? Kenapa semenjak ujung perasan kita tidak bisa disatukan, lantas kita juga tidak bisa menjalani sesuatu bersama?
Layaknya mentari dan jingga…
Keanggunan dan kepongahan…
Keduanya bahkan layaknya musuh yang enggan untuk berdampingan.
Kala jingga datang, menggenang di bayang air laut, mentari mengalah. Seolah enggan mengganggu kebahagiaan jingga menyaksikan ribuan anak manusia yang penuh kehangatan bersuka cita menyambutnya.
Namun, jingga sering selalu lebih cepat berlalu. Seolah sedih ditinggalkan mentari. Ia lantas perlahan juga masuk ke perut bumi, tidur dalam waktu lama, sampai mentari kembali mengalah untuknya.

… pada jiwa-jiwa yang sulit untuk bersatu.
Memang sulit memahami mengapa Tuhan meniadakan restu bagi hubungan yang tertata rapi disusun.
Sulit mengerti mengapa yang sudah lama berjalan dengan kedua pasang kaki mereka akhirnya lumpuh.
Dan, setidaknya kita butuh secuil alasan yang masuk akal atas penolakan dari keinginan-keinginan besar yang kita bangun lamanya.
Tapi, bisakah kita berpikir?
Kita banyak melewati hal-hal sepele yang bisa kita jadikan teladan. Meski itu hanyalah peristiwa alam. Dan. Ohya, mungkin dari situlah pepatah Minang lahir: “Alam Takambang Jadi Guru”

Kita tidak hanya berguru kepada profesor, doktor, master, atau sarjana. Bahkan kepada alam yang sering kita lupakan, yang sering kita tindas, ia bahkan banyak mengajari kita. Ia bahkan sering menegur kita.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar