Kita menulis…
Aku menulis, kamu
menulis, kita sama-sama menulis.
Kamu menulis di
sana, aku menulis di sini. Kita menulis di bumi yang sama, kita menulis di
waktu yang sama.
Tetapi entah
kenapa setidaknya tulisan kita bisa disatukan menjadi buku antologi kemudian bisa
diterbitkan bersama? Kenapa semenjak ujung perasan kita tidak bisa disatukan,
lantas kita juga tidak bisa menjalani sesuatu bersama?
Layaknya mentari
dan jingga…
Keanggunan dan
kepongahan…
Keduanya bahkan
layaknya musuh yang enggan untuk berdampingan.
Kala jingga
datang, menggenang di bayang air laut, mentari mengalah. Seolah enggan
mengganggu kebahagiaan jingga menyaksikan ribuan anak manusia yang penuh
kehangatan bersuka cita menyambutnya.
Namun, jingga
sering selalu lebih cepat berlalu. Seolah sedih ditinggalkan mentari. Ia lantas
perlahan juga masuk ke perut bumi, tidur dalam waktu lama, sampai mentari
kembali mengalah untuknya.
… pada jiwa-jiwa
yang sulit untuk bersatu.
Memang sulit
memahami mengapa Tuhan meniadakan restu bagi hubungan yang tertata rapi
disusun.
Sulit mengerti
mengapa yang sudah lama berjalan dengan kedua pasang kaki mereka akhirnya
lumpuh.
Dan, setidaknya
kita butuh secuil alasan yang masuk akal atas penolakan dari keinginan-keinginan
besar yang kita bangun lamanya.
Tapi, bisakah kita
berpikir?
Kita banyak
melewati hal-hal sepele yang bisa kita jadikan teladan. Meski itu hanyalah
peristiwa alam. Dan. Ohya, mungkin dari situlah pepatah Minang lahir: “Alam
Takambang Jadi Guru”
Kita tidak hanya
berguru kepada profesor, doktor, master, atau sarjana. Bahkan kepada alam yang
sering kita lupakan, yang sering kita tindas, ia bahkan banyak mengajari kita. Ia
bahkan sering menegur kita.
0 komentar:
Posting Komentar