“Sang gadis kembali harus
menangis. Kerinduannya menguap mengawan hitam, dan turun bersama tetes-tetes
lembut air hujan yang berjalan perlahan mengikuti aliran sungai. Menunggunya
bermuara ke laut, mencari keluarga tercinta, dalam kesendirian.”
Mentari tak sanggup meneruskan kata-katanya. Matanya masih ringkih
untuk tidak menangis saat ini. Jadi untuk menghindarinya, ia tidak akan
melanjutkan kerinduannya. Namun Mentari merobek kertas bukunya dan mulai
menulis hal lain.
Kini langit yang jingga tak lagi
tampak, kelam telah menjemput. Ditemani anggunnya temaram cahaya bintang.
Meski, rintik hujan mencuri sinarnya kini. Semoga, kau bintangku tak redup jua.
Kalimat singkat itu ditulisnya dengan tulisan yang agak besar. Di akhir
tulisan, dibubuhkan tanda tangan yang berupa namanya. Dilipatnya kertas itu hingga
menyamai pesawat. Berharap pria idamannya lewat, dan ia bisa memberikan surat
itu padanya. Tak peduli dengan ketidakpedulian yang nanti akan didapatinya.
Yang jelas Mentari sangat ingin iseng mengganggu laki-laki itu malam ini.
Ternyata ia benar-benar lewat! Mentari segera menerbangkan pesawat
hatinya pada laki-laki itu. Namun ia tak dapat melihat untuk memastikan apakah
pesawatnya dapat dilihat dan diambil laki-laki itu entah tidak. Mentari hanya
bisa berharap.
...
0 komentar:
Posting Komentar