Untuk kesekian kalinya kuseka keringat yang
menempel di keningku itu dengan lengan baju putih panjangku yang sudah mulai
menguning karena berkali-kali kusekakan ke kepalaku. Mataku masih saja liar
mengamati nama-nama yang terpampang di papan pengumuman jurusan itu. Tetap nihil!
Tak ada namaku di daftar nama mahasiswa yang akan ujian minggu depan itu. Huff! untuk kesekian pula napasku terasa
sesak. Kemudian aku melangkah menuju deretan bangku yang tersusun memanjang
sepanjang depan kantor jurusan, yang dikhususkan untuk tempat duduk mahasiswa.
“Gimana?” Tanya Cia temanku, mendekat sesampainya
ia di kampus.
“Cuma ada nama kamu, Nisa, Irfan, dan Amel. Namaku
belum keluar juga.”
“Aku keluar?” Amel yang berada di dekatku juga
terkaget. Ia, aku juga kaget. Bagaimana mungkin namanya sudah masuk daftar yang
mau ujian sementara ia mendaftar untuk ujian dua hari setelahku, yaitu tiga
hari lalu. Karena tidak percaya, ia segera bangkit dan berjalan menuju papan
pengumuman itu.
“Kamu yang sabar ya, mudah-mudahan di periode
ujian skripsi yang berikutnya nama kamu udah ada.” Cia menghiburku.
“Iya, tapi kapan? Kalau periode berikutnya itu
dua minggu lagi, aku bakal ga jadi bisa wisuda periode ini dong?” Cia hanya
diam. Mungkin ia kehabisan kata-kata untuk menghiburku. Dan aku maklum. Mungkin
kalau di posisinya, aku juga akan diam.
“Hai! Nes, Cia, udah keluar jadwal ujian
skripsinya?” Dini temanku yang sudah selesai ujian minggu lalu baru datang dan
ikut bergabung.
“Udah Din, tapi baru berempat yang keluar.”
“Lho? Kok Cuma empat? Bukannya ada lima orang
teman kita yang harusnya ujian ya?”
“Namaku nggak keluar.” Jawabku cepat dan
merubah air muka Dini.
“Kamu nggak nanyain sama orang di kantor
jurusan? Sama Pak Momon? Mungkin ada yang salah?” aku hanya menggeleng. Dini juga
terdiam, seperti Cia. Tak lama kemudian ia bangkit.
“Eh, aku masuk duluan ya, udah janji mau kasih
perbaikan sama Prof. Harris nih.” Aku dan Cia hanya tersenyum.
*
Aku juga heran, kenapa jatah wisuda untuk
periode ini bisa dibatasi? Entahlah… entah apapun itu alasannya, yang jelas aku
merasa ini tidak adil. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ruang kantor
jurusan, dan pergi menghadap pak Momon, dosen yang banyak dekat dengan
mahasiswa dan kebetulan juga sering ngurusin hal beginian.
“Pak, soal wisudawan yang dibatasi itu beneran?
Ga becandaan?” kulirik dengan was-was pria berkumis tebal itu.
“Ehm!” ia berdehem kuat, kemudian menatapku
lekat. “Iya, memangnya kenapa? Masih belum percaya?” aku tertunduk lemas
sebelum akhirnya duduk di sofa coklat di hadapan bapak itu.
“Pak, saya bukannya tidak percaya apa gimana,
tapi saya menghadap bapak mau curhat.”
“Hahaha” suara tawanya yang menggelegar
mengagetkanku, kesal juga. Aku yang tengah galau ditertawakannya.
“curhat apa?” aku memperbaiki sebentar posisi
dudukku, memperhatikan sekitar yang kebetulan sepi, lalu melanjutkan kalimatku.
“Gini, pak. Saya kebetulan anggota wisudawan
yang masuk daftar cadangan…”
“Cadangan berapa?” potongnya
“Cadangan tiga pak.” Ia manggut-manggut.
Kemudian kulanjutkan. “Nah, itu artinya alamat saya bakal ditunda wisudanya
semester depan dong pak. Karena secara logika mana ada yang mau mengundurkan
diri pak? Tiga orang lagi! Yang belum sidang aja pada ngebet pengen wisuda,
apalagi ini yang wisudanya udah di depan mata!” kulirik ia sebentar, hanya
terdiam mendengarkanku.
“Nah, pak… yang jadi pokok masalah saya di sini
adalah ibu saya pak. Beliau lagi sakit keras, apa-apa harus saya yang bantu.
Karena tinggal saya anaknya yang di rumah pak. Dan kalau saya sudah wisuda,
jelas saya bisa punya banyak waktu lagi buat beliau pak. Saya harus gimana pak?
Saya ingin membahagiakan beliau selama beliau masih bisa melihat saya berdiri
dengan toga dan memegeang ijazah saya pak” air mata pun sukses menetes di
pipiku. Segera kuusap karena takut ada yang melihatku.
“kelas kamu, yang wisuda periode ini ada berapa
orang?”
“Sepuluh pak” jawabku cepat.
“Panggil mereka ke sini segera.” Aku segera
berlari mencari teman-temanku yang sudah pasti diwisuda periode ini. Sambil dalam
hatiku bertanya-tanya kenapa Pak Momon mencari mereka. Apa hubungannya dengan curhatanku tadi? Entahlah…
Setelah semua temanku berkumpul di samping
ruang baca, Pak Momon segera menyusul dan berdiri di depan teman-teman
denganku. Aku serasa menjadi seorang anak baru pindahan dari kampus lain yang
harus memperkenalkan diri. Karena bahuku dipegang erat oleh beliau.
“Teman kalian butuh tiket wisuda itu, untuk
membahagiakan ibunya yang sedang sakit. Ada yang ingin memberikan tiket
wisudanya pada Anes?” semua terdiam, lama sekali, dan aku setia dengan muka
ditundukkan, dan air mata yang sudah mengalir.
Setelah mengulang kalimatnya untuk yang ketiga
kalinya dan tetap tak ada jawaban dari teman-temanku, Pak Momon melanjutkan.
“Baiklah. Anes, kamu panggil teman-teman
dekatmu ke sini sekarang!” aku melongo, 10 teman yang kupanggil inilah teman
terdekat dan keluargaku di kampus.
“Mereka pak.” Ujarku menunjuk sepuluh temanku
yang terpaku dengan air muka yang tak enak.
“Tapi mereka bukan teman dekatmu. Mereka bahkan
tak bisa merasakan bagaimana rasa sakit dan perihnya hatimu saat ini. Mereka
yang orang tuanya masih segar pasti tidak apa-apa kalau wisudanya diundur hanya
tiga bulan. Tapi ternyata mereka tidak mau mengalah satu pun. Apa iya, mereka
teman dekatmu?” aku terperanjat mendengarnya. Aku menggeleng cepat.
“Tidak pak! Jelas tidak ada yang mau mengganti
posisinya dengan saya. Sudahlah pak, saya tidak minta bapak untuk meminta
mereka mengganti tiketnya dengan saya, yang saya mohon bapak membantu saya
untuk memberi 3 tiket lagi. Itu saja.”
“Kenapa harus tiga? Kamu Cuma butuh satu!”
“Tapi saya kan cadangan ketiga pak. Tidak
mungkin saya melangkahi dua orang sebelum saya.”
Tiba-tiba Cia, mengangkat tangannya dengan pipi
sudah basah oleh air mata.
“Pak, saya tidak butuh tiket ini. Saya rela
diberikan sama Anes, pak.”
Aku menggeleng cepat.
“Nggak Cia!!!” tapi tangan pak Momon dengan
cepat mengambil tiket dari tangan Cia. Dan memindahkan ke tanganku. Kemudian
tersenyum.
“Sekarang masalahnya sudah beres. Terima kasih
Cia, kamu membuktikan masih ada pengorbanan pada saya. Kamu terma Anes, dan
kalian semua boleh bubar!” dengan santainya bapak itu meninggalkan kami yang
masih mematung di tempat berdiri masing-masing.
Kukejar pak Momon, dan segera menyerahkan
kembali tiket itu padanya.
“Maaf pak. Saya tidak bisa mengorbankan teman
saya yang juga butuh tiket ini.”
“Tapi kan dia sudah memberinya sama kamu. Udah
terima saja!” aku menggeleng cepat.
“Pak, bapak nggak liat tadi dia nangis? Artinya
dia sakit juga ngasihnya pak. Dan saya nggak mau!” Pak Momon terus berlalu dan
mengabaikan aku yang sudah memegang tiket wisuda Cia. Aku segera berlari menuju
teman-temanku yang ternyata masih berdiri di tempatnya tadi sambil menatap tak
percaya satu-sama-lain.
“Cia! Ini, ini bukan hak aku. Kamu ambil lagi.”
Sambil kuulurkan tiket itu ke arahnya. Cia hanya terdiam sambil menyeka air
matanya.
“Nggak Nes, itu buat kamu.”
“Nggak Cia!”
“Iya Cia, kenapa kamu mau ngasih Cuma-Cuma tiketmu
ke Anes?” Ujar Dini.
“Mamaku udah meninggal, dan aku sangat menyesal
belum sempat memberikan apa yang mama mau waktu itu. Dan aku menyesal sekali. Sekarang,
mama Anes lagi sakit dan Anes harus bisa membuat mamanya bangga dengan melihat
anaknya memakai toga dan memegang ijazah. Paling tidak dengan membuat Anes bisa
membahagiakan mamanya, aku bisa membayar sedikit perasaan bersalahku.” Aku dan
teman-teman yang mendengarnya benar-benar menangis. Rasa haru menghanyutkan
kami yang tak sempat menyadari kondisi kami tengah ditonton orang sekampus.
*
Pagi itu aku bergegas ke kampus, harus
mengambil toga dan registrasi terakhir untuk wisuda yang tinggal menghitung
minggu. Sudah terbayang bagaimana senyuman manis mama terkembang melihatku
diwisuda juga.
Setibanya di kampus, aku tidak langsung ke
kantor fakultas, tapi mampir dulu ke kantor jurusan, di sana aku bertemu dengan
Pak Momon yang langsung menyapaku.
“Anes, bagaimana? Sudah selesai regristrasi
wisudanya?”
“Belom pak, ini mau regristrasi terakhir
sekalian mau ambil toga.” Jawabku sambil tersenyum dan diiringi senyum juga
oleh Pak Momon.
“Oiya, kamu liat Cia? Kalau ada kalian berdua
menghadap Bapak, ya.” Aku mengangguk dan mohon izin pada bapak itu. Dalam hati
aku masih penasaran kenapa kami disuruh menghadap. Apa mungkin tiket wisudanya
akan dikembalikan pada Cia? Ahh, kalau memang, nggak mungkin bapak itu
menyuruhku segera menyelesaikan regristrasiku kan? Tapi kenapa? Setelah pusing-pusing
berbicara di dalam hati, aku berpapasan dengan Cia dan Irfan yang hendak turun
tangga.
“Dari mana?”
“Dari pustaka. Kamu mau regristrasi terakhir
ya?” Jawab Cia. aku mengangguk.
“Oiya, kita disuruh menghadap Pak Momon Cia.”
“Ada apa? Mau menghadap sekarang apa setelah
kamu regristrasi?”
“Entar aja deh regristrasinya. Aku penasaran
banget soalnya.”
“Boleh ikutan nggak ni?” Aku mengangguk saja
meski tidak yakin.
“Yaudah, yuk!” Cia menggandeng tanganku dan
kamu segera menuruni tangga menuju kantor jurusan.
Setibanya di depan kantor jurusan kami bertemu
Dini dan Amel, mereka mengikuti kamu yang segera menemui Pak Momon.
“Cia, ini. Kamu memang berhak mendapatkannya
kembali.”
Muka semuanya berubah cerah dan ada tanda
Tanya.
“Sebenarnya memang sudah ada tiket special yang
disediakan jurusan. Tapi masih belum ada pemiliknya sampai kemarin. Tapi
setelah berembuk. Semua dosen setuju diberikan pada Cia.”
Seluruhnya bertepuk tangan, riuh sekali. Aku
kembali menitikkan air mata, kulihat Cia juga. Dan kamipun berpelukan.
Alhamdulillah… terima kasih Tuhan, kau buktikan
kebesaranmu padaku, juga pada teman yang sudah dengan ikhlas berbagi.
selamat diwisuda buat teman-teman.
terima kasih untuk kebersamaan yang empat tahun kita bangun.
terima kasih suda menjadi inspirasi dari penulisan cerita ini.
selamat sukses teman :)
0 komentar:
Posting Komentar