Aku merasa beruntung. Beruntung memiliki orang
tua yang keduanya memiliki jiwa sportivitas yang tinggi karena keduanya adalah
olahragawan. Aku terlahir dari rahim seorang atlet voli dan ayahku adalah atlet
multi tallent. Semuanya papaku bisa. Tenis meja, catur, bola, voli, bulu
tangkis, tenis, dan banyak olah raga lainnya. Mungkin karena aku keturunan
orang-orang yang berkecimpung di dunia olah raga itulah, dalam diriku terdapat
kecintaan terhadap olah raga.
Tenis meja khususnya. Aku dilatih papaku
sendiri semenjak kelas 2 SD. Waktu itu aku ingat, dari kecil aku selalu melihat
kakak-kakakku bermain di rumah dan aku meminta papa juga melatihku. Papa
melatihku dari nol. Papa memapah tanganku, sampai aku mulai bisa memukul bola
sendiri. Banyak hal yang aku dapat semenjak aku mulai berlatih tenis meja,
temanku sudah pasti banyak, karena anak didik papaku sangat banyak. Selain itu,
aku juga senang karena aku jarang sakit, tidak pernah sakit malahan. Kata papa
itu karena berlolah raga, membuat tubuh kita sehat.
Aku mulai bertanding tingkat kabupaten ketika
kelas 4 SD. Kenapa 2 tahun aku tidak bisa? Karena ada anak didik papa yang
usianya setahun di atasku yang memiliki prestasi lebih baik dariku dan selalu
mewakili kabupaten untuk ke tingkat provinsi. Aku tidak sedih, karena kata
papa, aku pasti punya kesempatan nantinya ketika kakak itu sudah tamat SD dan
aku juga harus giat lagi latihan. Aku menurut saja, karena perkataan papa tidak
pernah salah. Ketika mulai bertanding mewakili kabupatenku ke provinsi, aku
mendapat kesempatan 3 kali berturut- turut. Tapi sayang, aku hanya bisa juara
dua. Aku selalu kalah sama atlet dari Padang. Aku masih ingat ketika pertandingan
Usia Dini SD terakhirku waktu itu, aku kalah lagi dan aku menangis, karena
kesempatan untuk ke tingkat nasionalku sudah habis. Tapi papa sang pelatih yang
hebat itu lagi-lagi menenangkanku dengan berjanji kalau aku akan mendapatkannya
kelak.
Ketika aku beranjak SMP, aku mengikuti POPDA,
kesempatan ke tingkat nasional lebih besar karena diambil 4 orang. Tetapi
saingannya sangat banyak, dan aku peserta terkecil. Mana mungkin? pikirku. Semua pikiranku itu benar, aku tidak bisa
mendapatkannya. Lagi-lagi aku harus melihat kesedihan di wajah papa yang
berusaha disembunyikannya.
Kelas dua SMP, aktivitasku olah ragaku harus
terhenti selama 6 bulan, sedih sekali rasanya. Padahal banyak even pertandingan
yang berlangsung tetapi aku terpaksa tidak bisa mengikutinya. Karena sakit
waktu itu. Ya sakit. Sakit perut yang awalnya kuanggap main-main itu
mengantarkanku ke rumah sakit dan harus dioperasi dua kali dalam waktu 3 bulan.
Mal praktik? Aku juga tidak mengerti.
Awalnya aku dirawat di Solok. Tetapi karena penyakitku
sudah sangat parah, aku dirujuk ke Padang. Sebulan awal aku selalu menangis,
tidak tahan sakitnya sangat menyiksa. Perutku begah. Memang untuk anak seusia
SMP itu terasa sangat berat cobaan-Nya. Aku sudah patah semangat dengan
penyakitku. Apalagi pasca-operasi, bekas jahitanku menganga selama sebulan
lebih. Selama sakit entah kenapa aku selalu kepikiran untuk mati saja. Rasanya
aku tidak sanggup untuk terus-terusan di rumah sakit seperti ini. Melihat mama
yang terpaksa tidak masuk sekolah hanya demi merawatku, papa yang harus
bolak-balik Padang-Solok setiap hari untuk bekerja. Aku tidak pernah tega
dengan keadaan ini. Ditambah lagi, tidak ada sahabat bagiku. Huh! Melankolis
sekali aku. Tapi memang saat itu aku drop sekali. Meninggalkan sekolahku yang
sedang dalam masa ujian semester ganjil juga sangat mengesalkan rasanya.
Sempat pulang memang. Tapi tetap dalam keadaan
bekas jahitan di perutku yang menganga. Sempat pula aku masuk sekolah, tetapi
selalu merepotkan karena tiap sebentar harus diantar ke UKS. Namun seminggu
saja aku bisa bertahan, kondisiku sudah drop lagi. Seperti meregang nyawa. Aku
tidak bisa bernafas, kepalaku sangat pusing, dan aku tidak lagi bisa makan. Kulihat
saat itu orang tua dan saudaraku sudah pasrah dan merelakan kepergianku, mereka
mencoba memberikan yang terbaik sebelum aku benar-benar pergi. Aku dibawa lagi
ke Padang, semua alat-alat medis yang aneh dan tidak kumengerti gunanya itu
dipasangkan ke tubuhku. Anehnya, betapa sakitnya saat itu aku tidak lagi mau menangis.
Ketika kondisiku mulai membaik, aku dikembalikan
ke ruang perawatan, tempat seluruh keluargaku berkumpul. Ketika itu, aku tidak
menyangka apa yang kudengar. Papa, mama, dan saudara-saudaraku meminta maaf
padaku, dan berbicara mereka sudah ikhlas. “Apakah aku akan mati?”
kupertanyakan kalimat itu, dan mereka bilang sudah pasrah. Terbayang bagaimana
perasaanku saat itu? Hatiku hancur sekali. Bahkan keluargaku saja sudah pasrah
dan berhenti untuk memberikan motivasi padaku agar bisa sembuh.
Akhirnya operasi keduaku dilaksanakan. Bekas
jahitan yang menganga itu dijahit kembali, dan dibedah lagi di tempat yang
baru. ketika operasi aku seolah bertemu malaikat. Aku dibisikkan kalau aku
harus semangat untuk sembuh. Setelah itu dia pergi. Entah kenapa semenjakaku
didatangi itu, aku selalu semangat untuk sembuh. Hidupku tidak akan berhenti di
sini, aku harus bangkit dan bisa melawan penyakit ini.
Tidak sampai sebulan setelah operasi keduaku,
aku dinyatakan sembuh dan bisa pulang. Alangkah senangnya hatiku, akhirnya bisa
bebas dari rumah yang serasa penjara itu. Banyak tetangga, teman, dan kerabat
lain yang datang ke rumah untuk meminta maaf, awalnya aku tidak mengerti dengan
pembicaraan mereka dengan orang tuaku. Tapi setelah kakakku menjelaskan,
ternyata selama ini orang-orang itu memprediksikan kalau aku akan dibawa
jenazahnya saja ketika pulang nanti. Aku jadi geli sendiri ketika mereka
berpendapat “Mungkin Lusi memiliki nafas berlebih”. Ada-ada saja.
Namun
jelas saja pasca melakukan operasi berat aku harus “manja”. Tidak bisa bekerja,
tidak bisa olah raga. Ini yang paling menyebalkan! Aku tidak bisa berlatih
sementara di rumahku begitu ramai dengan orang-orang yang latihan. Aku hanya
bisa menonton. Tapi, aku tidak hanya sekedar menonton saja, tapi aku juga
belajar. Kata papa, melihat orang bermain dengan memperhatikan mainnya, kita
juga sama dengan berlatih.
Tiga bulan pasca-operasi. Ada surat undangan
pertandingan ke PTM kami, PORSENI tingkat SMP. aku yang satu-satunya anak didik
perempuan papa yang memenuhi syarat untuk bisa diturunkan bermain, dengan satu
teman laki-lakiku yang juga seusiaku. Aku memohon pada papa untuk diikutkan.
Papa mengizinkan, tapi mama dan keluarga besar mama melarang keras. Aku terus
merengek dan memaksa papa membelaku. Akhirnya aku harus pergi bertanding dengan
diam-diam bersama papa dan temanku itu ke Padang.
Sudah 6 bulan lebih vakum, kondisi yang belum
bisa bergerak banyak, membuatku yang “ditakuti” lawan menjadi sangat kaku
gerakannya. Aku tidak bisa menjangkau bola-bola yang jatuh di ujung mejaku.
Awalnya kucoba gesit, tapi perutku langsung sakit. Jadi akhirnya kubiarkan
saja. Saat pertandingan itu, aku yang awalnya diprediksi akan juara 1 dan
mewakili Sumbar ke tingkat nasional, hanya mendapat juara tiga. Yasudah, aku
tidak kecewa. Paling tidak aku masih bisa menyumbang medali untuk daerahku.
Tidak peduli lagi dengan sakitku, aku berpikir
kalau aku tetap diam dan memanjakan diri, hidupku tidak akan pernah berubah dan
aku tidak akan maju. Jadi kuputuskan untuk mulai lagi berlatih keras, dan
selalu berbohong setiap kali mama dan papa menanyakan apa perutku tidak sakit
kalau dipaksakan? Aku sedang bersemangat, jadi tidak ada yang bisa menahanku.
Terbukti, dua tahun berturut-turut aku berhasil juara
Sumbar, dan aku untuk pertama kalinya kelas 1 SMA mewakili Sumbar ke tingkat
Nasional, kemudian setahun setelahnya aku juga menjadi wakil Sumbar. Benar kata
papa, aku pasti suatu saat akan mendapatkan juga. Dengan semangat untuk terus
bangkit, akhirnya mimpiku kudapatkan juga. Tidak mudah memang, tetapi kuncinya
hanya memimpikan prestasi, dan membuat mimpi itu menjadi kenyataan dengan
berusaha. Mungkin memang benar kata orang-orang waktu itu, Tuhan memberikan “Nafas
berlebih” padaku untuk memberiku kesempatan mewujudkan mimpiku menghadiahkan
kemenangan pada papa. Nb. ini adalah salah satu artikelku di majalah kampus di semester 6 lalu.
*ini salah satu halamannya
Semoga terus semanggat meraih cita2 ;-) selalu ada jalan diaetiap mimpi
BalasHapusiyaa...
Hapusmakasiih :)
*semangat!!!
pasti bakatnya menurun dari kedua orang tua....
BalasHapusiya...
Hapusmenurun dari orang tua, dan orang tua berperan penting mengasah (baca: melatih) bakat tersebut :)
sama, aku juga dilahirkan dari keluarga atlit juga..
BalasHapusCuma mau kasih saran mungkin font tulisan nya bisa digedein,biar lebih enak ngelihatnya,kasihan kan kalo yang baca matanya minus,but nice kok :)
#BloggerPadang
wow... salam kenal atlet... hahaah
Hapusoh, iya... makasih masukannya.
#BloggerPadang juga :D