Gadis bertopi merah itu kembali tertegun, menoleh kembali ke arah suara
di sebuah kamar terang di rumah sederhana di belakangnya duduk. Irama yang
dilantunkan suara di dalam kamar itu memecah memorinya, memaksanya merindukan
kehangatan yang kini tiada lagi dirasakannya. Suara itu
benar- benar menariknya ke masa yang lain. Masa yang dulu
pernah akrab dengannya, pernah ia sukai, pernah ia nikmati. Dalam tatapannya,
terpancar jelas siluet tubuh yang tengah duduk di belakang meja yang menghadap
ke arah jendela, tepat di belakang gadis bertopi merah tengah duduk. Lama ia
mencoba untuk keluar dari kegerahan hatinya yang
memaki-maki kesendiriannya saat ini,
sampai akhirnya tatapannya kembali tertuju pada benda yang tengah digenggamnya. Ia tersenyum kecut.
Masa lalu! Umpatnya.
Mata indahnya mulai berkunang-kunang, sudah tidak lagi mampu melihat dengan jelas, segala yang dilihatnya seolah-olah kembar siam. Sudah tiga hari ini ia tidak tidur. Bukan karena suatu penyakit susah tidur, bukan pula karena menunggui seseorang yang sakit. Lebih pada keadaan yang memaksanya. Mau tidur di mana? Bahkan untuk sekedar berteduh melepas lelah, ia harus berebut tempat dengan anak jalanan. Di guncangnya benda yang masih erat di genggamannya, masih tersisa sedikit, akhirnya, ia memutuskan untuk menegak habis minuman berakohol itu sebelum akhirnya badannya mulai melangkah terhuyung, meninggalkan rumah sederhana yang masih memperdengarkan suara kerinduannya.
Entah harus kemana lagi kakinya dilangkahkan, kemana saja, tetap sama menyakitkannya baginya. Penuh kenangan yang hanya akan menyesak relung jiwanya. Sampai pada kelelahan yang kesekian, ia berhenti di sebuah emperan toko, sudah banyak anak jalanan yang menggelar kardus untuk tidur di sana, tampak suasana tak beraturan, ada yang menggelar kardus memanjang, ada yang melebar, namun ada yang sekenanya menumpuk badan di atas sehelai koran dengan posisi tidak memanjang maupun melebar. Di ujung seberang jalan, jam besar di taman itu baru menunjukkan pukul 22.15, tetapi tempat tidur para anak jalanan itu sudah penuh. Mata indahnya yang tajam dikucek-kuceknya, sudah tidak tahan perih tiga hari tidak tidur. Matanya liar mencari-cari celah untuk sekedar melepas penat. Sampai didapatinya ruang kosong di sebelah lelaki kekar brewokan dan badan dipenuhi tato. Mungkin si abang tak kan marah bila berbagi tempat dengannya yang bertubuh mungil barang sebentar. Namun baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya, ada sebuah tangan hangat dari belakang memegang pundaknya, ia tak segera menoleh, masih menerka-nerka siapa pemilik tangan hangat itu di suasana malam yang dinginnya amat mencekam ini.
“Dera!” akhirnya suara itu. Gadis bertopi merah segera lari tanpa berani menoleh ke sipemilik tangan hangat. Tidak menyerah, pemilik tangan hangat itu pun mengejar gadis bertopi merah yang dipanggilnya Dera itu. Terjadilah adegan kejar-kejaran di sekitar taman kota yang dijejali lampu-lampu taman nan romantis. Dera terus berlari. Takut, marah, malu bercampur aduk dalam benaknya, yang ia inginkan sekarang hanya berlari dan terbebas dari masa lalunya itu. Meski dengan tenaga yang terkuras habis, ia berhasil melesat jauh dan sempat bersembunyi di pohon bonsai rindang yang dipotong berbentuk hati, amat cantik. Bunyi napasnya tersenggal-senggal. Sial! Kenapa harus bertemu dia di sini? Makinya dalam hati.
Mata indahnya mulai berkunang-kunang, sudah tidak lagi mampu melihat dengan jelas, segala yang dilihatnya seolah-olah kembar siam. Sudah tiga hari ini ia tidak tidur. Bukan karena suatu penyakit susah tidur, bukan pula karena menunggui seseorang yang sakit. Lebih pada keadaan yang memaksanya. Mau tidur di mana? Bahkan untuk sekedar berteduh melepas lelah, ia harus berebut tempat dengan anak jalanan. Di guncangnya benda yang masih erat di genggamannya, masih tersisa sedikit, akhirnya, ia memutuskan untuk menegak habis minuman berakohol itu sebelum akhirnya badannya mulai melangkah terhuyung, meninggalkan rumah sederhana yang masih memperdengarkan suara kerinduannya.
Entah harus kemana lagi kakinya dilangkahkan, kemana saja, tetap sama menyakitkannya baginya. Penuh kenangan yang hanya akan menyesak relung jiwanya. Sampai pada kelelahan yang kesekian, ia berhenti di sebuah emperan toko, sudah banyak anak jalanan yang menggelar kardus untuk tidur di sana, tampak suasana tak beraturan, ada yang menggelar kardus memanjang, ada yang melebar, namun ada yang sekenanya menumpuk badan di atas sehelai koran dengan posisi tidak memanjang maupun melebar. Di ujung seberang jalan, jam besar di taman itu baru menunjukkan pukul 22.15, tetapi tempat tidur para anak jalanan itu sudah penuh. Mata indahnya yang tajam dikucek-kuceknya, sudah tidak tahan perih tiga hari tidak tidur. Matanya liar mencari-cari celah untuk sekedar melepas penat. Sampai didapatinya ruang kosong di sebelah lelaki kekar brewokan dan badan dipenuhi tato. Mungkin si abang tak kan marah bila berbagi tempat dengannya yang bertubuh mungil barang sebentar. Namun baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya, ada sebuah tangan hangat dari belakang memegang pundaknya, ia tak segera menoleh, masih menerka-nerka siapa pemilik tangan hangat itu di suasana malam yang dinginnya amat mencekam ini.
“Dera!” akhirnya suara itu. Gadis bertopi merah segera lari tanpa berani menoleh ke sipemilik tangan hangat. Tidak menyerah, pemilik tangan hangat itu pun mengejar gadis bertopi merah yang dipanggilnya Dera itu. Terjadilah adegan kejar-kejaran di sekitar taman kota yang dijejali lampu-lampu taman nan romantis. Dera terus berlari. Takut, marah, malu bercampur aduk dalam benaknya, yang ia inginkan sekarang hanya berlari dan terbebas dari masa lalunya itu. Meski dengan tenaga yang terkuras habis, ia berhasil melesat jauh dan sempat bersembunyi di pohon bonsai rindang yang dipotong berbentuk hati, amat cantik. Bunyi napasnya tersenggal-senggal. Sial! Kenapa harus bertemu dia di sini? Makinya dalam hati.
(*... bersambung
0 komentar:
Posting Komentar