Kelasku masih
20 menit lagi, di ruang B3 juga masih ada perkuliahan. Tidak ada pilihan lain
bagiku selain menunggu di perpustakaan. Kebetulan, ada buku yang ingin kucari
sebagai penambah referensi di kelas filsafat nanti. Rak-rak buku yang bersisian
itu kutelusuri satu per satu, akhirnya kulihat buku yang kucari ada pada rak
yang menjulang sampai ke atap itu, ia tepat berada di tingkat paling atasnya. Tubuhku
yang sedang untuk ukuran tinggi seorang perempuan itu sudah melompat-lompat,
tetapi nihil. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Tiba-tiba ada
tangan yang tegas dan panjang menjangkau ke atas rak yang sama dengan rak buku
yang kuinginkan. Seketika aku ingin meminta pertolongannya, tetapi aku tertahan
ketika melihat buku yang dipegangnnya adalah buku yang kumaksud. Terlebih, aku
ternganga melihat sosok bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang itu tengah
menatapku.
“Buku ini?”
sepertinya ia memang bermaksud membantuku mengambilkan buku itu. Aku terperangah
mengambil buku itu dari tangannya.
“Eh, terima
kasih.” Ucapku sambil malu-malu
“Sama-sama.” Ucapnya
sambil melayangkan senyum simpul yang sukses membuatku tersipu. Senyuman manis itu
takkan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
lama terdiam,
aku membalikkan tangan kiriku, arlojiku sudah menunjukkan pukul 09.33 itu
artinya 7 menit lagi kelas filsafatku akan dimulai.
“Eh, aku ada
kelas sebentar lagi. Duluan ya.” Ucapku buru-buru dengan diburu detak jantungku
sendiri. Selama di perjalanan ke kelas, tak hentinya aku memikirkan tentang
lelaki tadi.
Tiba-tiba saja
suasana kelas yang tadinya gaduh berubah menjadi tenang setelah salah satu
temanku mengisyaratkan ke seluruh isi kelas kalau dosen sudah datang. Buku yang
kupegang masih tertutup rapi di hadapanku, sedangkan pikiranku masih tertuju
kepada laki-laki di perpustakaan tadi. Niat ingin mengikuti perkuliahan dengan
serius dan turut aktifku di hari itu gagal total. Jangankan untuk mengangkat
tangan, mencatat isi perkuliahan saja aku tidak.
Pikiranku benar-benar
terganggu dan tersita oleh sosok lelaki tadi. Siapa dia?Kenapa aku tak pernah melihatnya selama ini? Dan… kenapa
perasaanku seperti ini setelah melihatnya? Pikiranku bertanya-tanya sendiri,
pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan jawabnya, meski aku sudah sampai di
kosanku.
Aku duduk
termenung di depan jendela kamarku. Mengingat-ingat di mana wajah tegas dan
teduh itu pernah kutemui. Menerawang dari balik jendela, menembus pepohonan
yang mulai rindang menutupi kamarku, berjalan menuju lorong waktu di
sekat-sekat memori yang tersisa di otakku, menuju masa lalu.
…
“Kamu tau,
kenapa aku selalu betah bermain di sini?”
“Karena pemandangan
dari sini sangat cantik sepertiku.”
“Hahaha…
sebenarnya ada rahasia hidupku di sini?”
“Apa?”
“Dulu, ketika
sudah tidak kuasa menahan rasa sakit dan ingin menghindar dari segala cacian
anak orang-orang kaya itu, aku ingin mengakhiri hidupku di sini.”
“Maksudnya
lompat ke situ?”
“Iya. Tapi,
ketika kakiku sudah hampir terpeleset, tiba-tiba aku ingat kamu. Aku ingat
janji kita. Aku takut kamu kecewa dan marah sama aku, aku takut kamu kesepian.”
…
Oh..Dia!
Ya… kini aku
ingat siapa kamu. Kamu adalah laki-laki masa laluku, sahabatku satu-satunya di Panti
Asuhan Muara Kasih. Kita terpisah sehari setelah percakapan sore itu di atas taman
bunga. Ada keluarga kaya yang mengadopsimu, kita benar-benar kehilangan kontak.
Seminggu sesudah kamu pergi aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku
harus amnesia. Tidak ada yang aku ingat, bahkan ibu panti. Dari semua yang aku
tak ingat, aku hanya melihat bayanganmu dalam setiap aku mencoba mengingat
sesuatu. Lama aku mencarimu, dan tadi, aku bertemu denganmu untuk pertama
kalinya setelah sekian lama penantianku.
Aku tersentak.
Ya, aku harus menemuimu. Aku bergegas keluar untuk kembali ke kampusku, dengan
berharap kamu masih ada di situ menungguku.
0 komentar:
Posting Komentar