Kamis, 21 Agustus 2014

Oh... Dia!

Kelasku masih 20 menit lagi, di ruang B3 juga masih ada perkuliahan. Tidak ada pilihan lain bagiku selain menunggu di perpustakaan. Kebetulan, ada buku yang ingin kucari sebagai penambah referensi di kelas filsafat nanti. Rak-rak buku yang bersisian itu kutelusuri satu per satu, akhirnya kulihat buku yang kucari ada pada rak yang menjulang sampai ke atap itu, ia tepat berada di tingkat paling atasnya. Tubuhku yang sedang untuk ukuran tinggi seorang perempuan itu sudah melompat-lompat, tetapi nihil. Aku tidak bisa menjangkaunya.
Tiba-tiba ada tangan yang tegas dan panjang menjangkau ke atas rak yang sama dengan rak buku yang kuinginkan. Seketika aku ingin meminta pertolongannya, tetapi aku tertahan ketika melihat buku yang dipegangnnya adalah buku yang kumaksud. Terlebih, aku ternganga melihat sosok bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang itu tengah menatapku.
“Buku ini?” sepertinya ia memang bermaksud membantuku mengambilkan buku itu. Aku terperangah mengambil buku itu dari tangannya.
“Eh, terima kasih.” Ucapku sambil malu-malu
“Sama-sama.” Ucapnya sambil melayangkan senyum simpul yang sukses membuatku tersipu. Senyuman manis itu takkan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
lama terdiam, aku membalikkan tangan kiriku, arlojiku sudah menunjukkan pukul 09.33 itu artinya 7 menit lagi kelas filsafatku akan dimulai.
“Eh, aku ada kelas sebentar lagi. Duluan ya.” Ucapku buru-buru dengan diburu detak jantungku sendiri. Selama di perjalanan ke kelas, tak hentinya aku memikirkan tentang lelaki tadi.
Tiba-tiba saja suasana kelas yang tadinya gaduh berubah menjadi tenang setelah salah satu temanku mengisyaratkan ke seluruh isi kelas kalau dosen sudah datang. Buku yang kupegang masih tertutup rapi di hadapanku, sedangkan pikiranku masih tertuju kepada laki-laki di perpustakaan tadi. Niat ingin mengikuti perkuliahan dengan serius dan turut aktifku di hari itu gagal total. Jangankan untuk mengangkat tangan, mencatat isi perkuliahan saja aku tidak.
Pikiranku benar-benar terganggu dan tersita oleh sosok lelaki tadi. Siapa dia?Kenapa aku tak pernah melihatnya selama ini? Dan… kenapa perasaanku seperti ini setelah melihatnya? Pikiranku bertanya-tanya sendiri, pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan jawabnya, meski aku sudah sampai di kosanku.
Aku duduk termenung di depan jendela kamarku. Mengingat-ingat di mana wajah tegas dan teduh itu pernah kutemui. Menerawang dari balik jendela, menembus pepohonan yang mulai rindang menutupi kamarku, berjalan menuju lorong waktu di sekat-sekat memori yang tersisa di otakku, menuju masa lalu.
“Kamu tau, kenapa aku selalu betah bermain di sini?”
“Karena pemandangan dari sini sangat cantik sepertiku.”
“Hahaha… sebenarnya ada rahasia hidupku di sini?”
“Apa?”
“Dulu, ketika sudah tidak kuasa menahan rasa sakit dan ingin menghindar dari segala cacian anak orang-orang kaya itu, aku ingin mengakhiri hidupku di sini.”
“Maksudnya lompat ke situ?”
“Iya. Tapi, ketika kakiku sudah hampir terpeleset, tiba-tiba aku ingat kamu. Aku ingat janji kita. Aku takut kamu kecewa dan marah sama aku, aku takut kamu kesepian.”
Oh..Dia!
Ya… kini aku ingat siapa kamu. Kamu adalah laki-laki masa laluku, sahabatku satu-satunya di Panti Asuhan Muara Kasih. Kita terpisah sehari setelah percakapan sore itu di atas taman bunga. Ada keluarga kaya yang mengadopsimu, kita benar-benar kehilangan kontak. Seminggu sesudah kamu pergi aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku harus amnesia. Tidak ada yang aku ingat, bahkan ibu panti. Dari semua yang aku tak ingat, aku hanya melihat bayanganmu dalam setiap aku mencoba mengingat sesuatu. Lama aku mencarimu, dan tadi, aku bertemu denganmu untuk pertama kalinya setelah sekian lama penantianku.

Aku tersentak. Ya, aku harus menemuimu. Aku bergegas keluar untuk kembali ke kampusku, dengan berharap kamu masih ada di situ menungguku.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar