Andai bulan
malam ini tak redup, pastilah mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana
memerahnya wajahku begitu mendengar olok-olokan para seniorku. Aku yang masih
berdiri di depan barisan mahasiswa baru itu hanya bisa mematung. Badanku
seluruhnya kaku, bahkan untuk mengerjapkan mata saja begitu beratnya.
“Sudah, kamu
boleh kembali ke barisan.” Kak Angel, senior yang juga adalah kakak di kosanku
membongkah situasi yang sangat tidak nyaman ini. Mungkin memang hanya Kak Angel
yang kenal denganku di sini, dan hanya dia yang kurasa menjadi malaikat
penolongku di malam puncak penutupan ospek ini.
Aku kembali
berjalan ke barisan sambil terus menunduk. Sungguh! Aku tidak berani menatap
pada lelaki ‘partnerku’ yang menjadi bahan tertawaan para senior. Meski kutau
lelaki itu hanya santai saja menanggapi, tetapi aku sangat malu malam ini.
Sekitar sejam
setelah ‘pembantaianku’ di depan barisan para mahasiswa baru, akhirnya acara
penutupan itu pun berakhir. Meski besok malamnya masih ada acara lagi, tetapi
paling tidak aku bisa sedikit lega hari ini akan berlalu.
Kulirik jam
tangan karetku. Sudah pukul dua belas lewat. Pulang sendiri ke kos di jam rawan
begini lumayan menggegerkanku. Tapi aku tidak punya teman di sini. Kak Angel
sudah bilang kalau ia akan menginap di kampus dengan teman-temannya. Meskipun
kosku letaknya dekat dari kampus, tapi tetap saja, aku takut.
Kulangkahkan
pelan kakiku menuju gerbang yang masih ramai oleh mahasiswa baru yang akan
pulang. Rata-rata mereka berteman dan mengendarai motor. Ada juga yang dijemput.
Sambil terus berjalan pulang aku terus memutar otak, apakah aku harus
berpura-pura sakit agar ada yang mengantarku pulang? Ah… meski menyukai drama,
tetapi aku meragukan kemampuan actingku kali ini. Kakiku terhenti sekitar 10
meter dari gerbang. Aku benar-benar putus asa. Rasanya seperti ingin menangis.
“Hei.”
Tiba-tiba ada suara dari belakang mengagetkanku.
“Ya?” badanku
kembali kaku. Dia? Kenapa dia memanggilku.
“Bingung aja
keliatannya dari tadi. Takut yaaa?” dengan santai ia masih bisa menggodaku.
“Ng…”
“Pasti mau
bilang, ‘kok tau’ kan? Dari tadi kamu tu mencolok banget sih… Cuma kamu yang
kaya orang kebingungan.” Aku terdiam, Dia
merhatiin aku?
“Ng…”
“Kosan di
mana?”
“Jalan Gajah
V”
“Oh.. di arah
belakang, pantes ketakutan.” Aku mengernyitkan dahiku. Memangnya kenapa?
“Maksudnya?”
“Haha…
sepanjang jalan Gajah, dari Gajah I-VII itu kan angkerrrr!” aku cemberut
protes. Bukan karena dia berhasil menakutiku, tetapi dengan keisengannya.
“Yaudah, biar
kuantar. Tapi jalan kaki!”
Deg! Jantungku berhenti. Apa aku tidak salah dengar? Laki-laki ini mau
mengantarkanku pulang? Aku memasang wajah tak percaya menatap ke arahnya. Ia tetap
dengan ekspresi santainya.
“Kenapa? Tawaran
Cuma sekali ya…” aku masih terdiam kaku. Benar-benar tidak tahu akan bagaimana.
“Yaudah, kalau
nggak mau!” karena tak kunjung mendapatkan jawaban dariku, ia melangkah
menjauhiku yang masih berdiri diam mematung. Ia menoleh ke belakang, dan
agaknya ia berubah pikiran.
“Yaudah, yuk! Udah
semakin malam.” Ia menarik tanganku. Bagaikan mendapatkan aliran kehidupan,
tubuhku pun kembali bisa bergerak. Meski mulutku tetap tertutup rapat, kakiku
bergerak mengikuti jalannya, dan, dengan tangan yang masih dalam genggamannya.
Kira-kira
berjalan sudah sepuluh meter, kuberanikan diri berbicara dengannya.
“Mm.. maaf” ia
menoleh padaku, “Tanganku, berapa lama lagi akan kamu pegang?” ia rileks
mencampakkan tanganku, sepertinya ia baru sadar kalau dari tadi tangannya
tengah menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum menertawainya, sementara ia membuang
muka dariku, mungkin mukanya memerah.
“Udah, nggak
usah malingin muka kamu, ini udah tengah malam dan cahaya bulan redup, aku
nggak bakalan liat kalau mukamu memerah.” Ledekku. Aku heran kenapa kalimat
ledekan itu dengan lancar kuucapkan.
Setelah kami hampir
memasuki kawasan jalan Gajah, ia terhenti, aku ikut berhenti. Aku sudah mulai
mengambil ancang-ancang kalau-kalau ia mulai iseng menakut-nakutiku. Tapi agaknya
aku salah, mukanya yang sedari awal nampak santai, kini terlihat serius sekali.
Ia menoleh ke arah langit lalu kembali menatap wajahku.
“Ia, kamu
benar, warna mukaku takkan terlihat olehmu, tapi aku yakin, ekspresi wajahku dapat
terlihat jelas olehmu. Di redupnya bulan, aku ingin mengutarakannya sebelum
terlambat. Aku menyukaimu, dari awal kita bertemu di acara perkenalan kampus
mahasiswa baru. Mungkin kamu tidak menyadari sedari awal aku sudah
memperhatikanmu. Makanya aku santai, bahkan senang ketika tadi senior
mengolok-olok kita berdua. Aku sungguh menyukaimu, wahai perempuan unik. Di redupnya
bulan, biar ia menjadi saksi hatiku. Hatiku yang menginginkanmu.” Kutatap lekat
wajahnya, entah kenapa lama-kelamaan ia semakin mirip Lee Min Ho, artis idolaku
yang tengah naik daun.
…
Redupnya bulan
berganti silaunya cahaya matahari. Kuperhatikan sekelilingku. Aku berada di
rumah orang tuaku, di kampung. bukan di kosan. Lantas, yang kurasakan bertemu dengan Lee Min Ho
itu? Ahh…
(* teruntuk sahabat yang sangat menggilai artis korea ^_^
0 komentar:
Posting Komentar