Kamis, 26 Mei 2016

Adin

Aku menemukan sebuah tempat yang membuatku mulai mengerti dengan kata ‘nyaman’ yang sering kudengar dari ucapan orang-orang dewasa. Di tempat ini, entah mengapa keringat rasanya ciut untuk keluar, geligi tak mau absen melihat dunia sekitar, dan lesung pipiku yang dalam selalu ingin pamer pada alam. Sejuk, senang, tenang, dan nyaman. Tak ada suara bising, tak ada tawa lepas yang entah apa lelucon yang baru saja pecah, tidak ada suara kenalpot motor yang seperti ingin terbang. Tidak ada manusia yang diam-diam memerhatikanku.
Bertemankan pensil dan kertas-kertas yang kujepit di papan mika, aku mulai asyik dengan duniaku sendiri. Menulis dan menggambar. Kata orang tuaku, semenjak aku sudah bisa memegang pensil, aku selalu meminta kertas, buku, atau apa saja yang bisa kucoreti. Semenjak kelas 4 SD, aku mulai menyukai kegiatan menggambar, kelas 6 SD aku mulai belajar menulis cerita.
Kubalik kertas keempat yang sudah penuh berisi cerita dan gambar-gambarku, tiba-tiba ponselku bergetar. Di tempat sesunyi ini, aku bisa mendengar getaran ponselku dari dalam tas. Setelah diperiksa, kakak sulungku memanggil, dengan ogah-ogahan aku mengangkatnya.
“Din! Kamu di mana?”
“Masih sibuk, kak.”
“Kamu cepetan pulang, gih! Ada teman kakak mau datang, bantuin beres-beres rumah.” Kemudian telepon terputus. Itu artinya, aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan kakakku.
Di perjalanan pulang, aku bertemu dengan abang penjual es tebu yang mengayuh pelan sepedanya. Jakunku naik turun, rasanya haus sekali, tetapi dari wajahnya, abang es tebu sedang tidak ingin didekati, ia mungkin lelah dari tadi menolak permintaan anak-anak yang ingin membeli es tebunya. Es tebunya sudah laku terjual. Sial.
Wangi apel menyambutku ketika kubuka pintu rumah. Lantai licin itu memantulkan bayangan setiap perabotan di dalam rumah. Sepertinya kakakku sudah selesai membereskan rumah sendirian. Aku agak kesal, tau gini, kenapa aku harus pulang? Kan kakak bisa menyelesaikan sendirian!
“Kamu lama banget sih! Udah selesai beres-beres rumahnya baru sampai. Pinter banget mengatur momen.”
“Ih, kakak kalau bisa ngerjain semua sendiri, kenapa nyuruh aku cepat pulang? Aku masih nanggung tau!” kakakku mencibir kemudian menarik tanganku masuk ke dapur.
“Nih, kamu kupas-kupasin buahnya, cuci, lalu blender, sepuluh menit lagi tamunya sampai.” Kuletakkan tasku di kursi, kemudian mencuci tangan, dan mulai nurut sama tugas dari kakakku.
Benar saja, saat blender masih terputar, aku mendengar suaa ketukan pintu di depan. Cepat-cepat kuambil gelas dan mengolesi dengan susu cokelat. Kuintip ke ruang tamu sebentar untuk memastikan berapa gelas aku harus menyiapkan jus. Tiga dengan kakakku.
“Wah, repot-repot segala.” Kata seorang tamu yang bertubuh paling besar. Aku hanya tersenyum sebentar, kemudian mengedarkan pandanganku ke arah wajah dua tamu kakakku itu. Wajahku langsung berubah heran, kenapa bisa kakakku yang pendiam berteman dengan orang-orang seperti mereka?
“Sillahkan diminum, bang.” Ujarku singkat berbasa-basi.
“Iya terima kasih. Eh, kamu di sini aja ikutan ngobrol” ujar yang berbadan besar itu lagi. Aku menurut duduk di samping kakakku.
“Jadi, kamu yang namanya Adin?” aku melirik kakakku, kenapa temannya kenal denganku? Kemudian aku mengangguk.
“Wah, kami pikir kamu ini badannya kecil dan imut seperti kakakmu, tapi beda banget, ya?” kakakku tertawa.
“Yang mirip sama aku si Alvin, si Adin mah beda sendiri.” Aku semakin penasaran dengan dua orang ini. Kenapa sampai-sampai dengan adik-adik kakakku mereka seolah sudah tau?
“Jadi, kamu benar, mau jadi penulis komik? Boleh kami lihat karya kamu?” ku menoleh lagi ke arah kak Alya yang masih tersenyum. Kemudian memberikan anggukan sebagai kode agar aku mengikuti permintaan temannya yang berambut gondrong itu.
“Sebentar” jawabku, kemudian melesat ke dapur untuk mengambil tasku tadi.
“Ini, baru empat halaman yang kubuat sekitar sejam tadi.”
“Baru buat?” aku mengangguk. Kemudian keduanya bergantian membaca kertas-kertas itu. Aku kembali menatap kak Alya yang masih tetap tersenyum.
“Oke, kami tertarik dengan ilustrasi gambar dan bahasa dalam cerita kamu, berarti ini genre kamu?” aku menggeleng cepat.
“Aku bisa buat cerita cinta, dongeng, juga action.” (selain cerita humor yang baru saja membuat mereka tertawa membacanya).
“Wah… kita tekan kontrak aja sekarang gimana?”
“Ha? Kontrak apa?”
“Kontrak penerbitan.” Aku ternganga. Bagaimana mungkin, mereka baru membaca empat halaman ceritaku sudah yakin untuk melakukan kontrak penerbitan denganku? Ah… ini pasti kerjaannya Kak Alya yang memang suka mencuri-curi komikku untuk dibawanya ke kantor dan menyuruh rekan-rekan kerjanya membaca komikku.
Kak Alya mengambil alih situasi, “Kami bicarakan juga dulu dengan orang tua kami, besok atau lusa, kita bisa ketemu lagi untuk membcarakan kontraknya, gimana?” Kak Alya mengedipkan matanya, dan keduanya mengangguk setuju. Setelah menyeruput jus terakhirnya, keduanya berpamitan pulang.
“Adin, jus buatanmu enak.” Kata si abang berbada besar di depan pintu.
“Dan, kupikir kamu itu cewek, ternyata kamu sebangsa kami.” Ujar si rambut gondrong yang membuat kami berempat tertawa.
“Jadi, mereka itu siapa, Kak?”
“Mereka rekan bisnis kantor, dan kemarin siang ketika jam istirahat, mereka gabung sama kami di cafe dan tertarik sama komik kamu yang kakak bawa kemarin. Langsung deh, nawarin kerjasama.” Aku tersenyum. Ternyata ini maksud Kak Alya menyuruhku segera pulang.

“Jadi, mulai sekarang, kamu harus percaya sama apa yang dikatakan lingkunganmu soal karya-karya kamu. Jangan minder lagi, dan jangan judge orang tua dan saudara kamu memberikan pujian hanya karena kita adalah keluarga. Setuju?” Kak Alya mengedipkan matanya dan mengangkat tangannya. Aku hanya tertawa. Kemudian kubuka topi dan wig tebal yang menutupi kepala botakku. Kanker hepatoma telah merenggut rambut-rambutku, yang membuatku terkesan seperti seorang anak laki-laki.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar