Minggu, 26 Mei 2013

cuplikan novel First Love


Suasana hangat di rumah asri nan sederhana itu sudah nampak sibuk sepagi ini. Seluruh penghuninya asik sendiri dengan kegiatan rutin paginya. Di ruang kerja yang terletak agak menjorok di belakang, seorang pria kebapakan dengan wajah kusut masih mengetik-ngetik, sementara di atas meja besar di hadapannya itu berserakan dan tak beraturan kertas-kertas, buku-buku, map-map, dan handphone tak mengganggunya.
Beralih ke meja makan yang terletak di depan sebelah kanan pintu masuk ruangan kerja itu. Secambung nasi goreng yang mengepulkan asap sudah tertata rapi dengan beberapa telur dadar yang di iris tipis di samping cambungnya, beberapa potong ketimun dan tomat di sisi lain cambung, dan beberapa piring kosong yang tertelungkup mengitari meja bulat berukuran kecil itu, lengkap dengan gelas-gelas yang berisi susu putihnya, benar-benar menggugah selera.
Dhira, yang saat itu sedang menyisir curly hairnya menatap tubuhnya yang dibalut seragam putih abu-abu yang masih cerah. Seragam baru itu bergoyang-goyang mengikuti gerakan Dhira yang memutar-mutar tubuhnya di cermin. Bibirnya melebar karena senyumnya terus mengembang.
Di kamar yang bernuansa ungu itu, ranjang yang bersepreikan logo klub bola favoritnya, Barcelona, yang sudah dirapikan, teronggok mini ransel cantik bermerk, berwarna ungu-hitam yang masih baru, di samping kaki ranjangnya, tergeletak sepatu kets dengan nuansa warna yang seirama dengan tasnya. Dentuman musik pop dari grup band idolanya mengajak semangatnya semakin berkobar. Ini hari pertama Dhira menjadi murid baru di SMA, mengenakan rok yang tidak lagi berwarna biru.
“Dhira… sarapannya udah siap nih, yaaah, ayo sarapan dulu, ntar keburu dingin”. Suara perempuan cantik mengenakan daster merah tua itu mengalahkan suara serak sang vokalis band. Dhira tersenyum sendiri mendengar bundanya berteriak-teriak, padahal di rumahnya yang tidak besar itu, dengan berbicara dengan volume biasa saja, ia sudah bisa mendengar bunda memanggil.
“Iya bun, lagi ikat rambut!” jawabnya kemudian. Sementara ayahnya yang masih ingin mengetik, terlihat enggan dan terpaksa bangkit dari kursi nyamannya demi untuk memenuhi panggilan istri tercintanya.
“Aya cuci muka dulu”. Ujarnya singkat setelah baru datang di meja makan. Bunda hanya menggeleng-geleng sambil terus tersenyum melihat muka kusut suaminya yang gila kerja itu. Sementara Dhira yang sudah menyandang tas dan menenteng sepatu barunya keluar dari kamar sambil tersenyum, seperti pamer penampilan barunya pada bunda.
“Wah, cantik sekali bidadari ayah pake rok abu-abunya.” Bunda yang mengerti dengan gelagat Dhira yang seperti orang meminta dipuji itupun menyambut kedatangan putri bungsunya dengan senyuman.
“Hehe… iya dong bun! Ayaaah, cepetan, nasi gorengnya menggoda banget nih!” ayahnya datang dengan muka yang lembab dan rambut bagian depan yang basah bekas cuci muka.
“Kamu lebih menggoda sepertinya Dari!” ujar ayah sambil mencubit gemas pipi tembem Dhira. Ayahnya memang selalu memanggil Dhira dengan Dari –singkatan Bidadari, panggilan ayah untuk Dhira sejak kecil. Dan, keluarga bahagia itu pun menikmati sarapan pagi mereka.
*
Setelah memarkir sepeda motornya, Dhira meliarkan pandangan matanya ke seluruh lingkungan sekolah, mencari-cari wajah yang familiar di matanya. Namun, Dhira tak juga menemukan sosok teman satu-satunya yang ia kenal itu. Mungkin Maya memang belum datang, gumamnya. Dhira kemudian berjalan menuju kelas barunya, kelas Xf yang berada di deretan paling ujung kanan depan lapangan basket itu. Setiap kelas yang dilewatinya, dari kelas Xa sampai Xe diliriknya, tetapi memang tidak ada wajah yang benar-benar di kenalnya dengan baik selain teman-teman satu gugus ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) tempo hari. Selebihnya, hanya wajah-wajah baru yang dingin menatapnya.
Dhira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kelas yang sudah mulai banyak penghuninya itu, ada satu orang yang dikenalnya, yaitu Lona, teman satu gugus ketika MOS dulu, tengah duduk sendirian di bangku deretan nomor dua di barisan dekat pintu masuk sedang asik memainkan hapenya.
“Hai Lona!” Lona menegakkan kepalanya dan tersenyum.
“Dhira? Kita sekelas? Wah… mau duduk di mana?”
“Belum tau” jawabnya sambil mengangkat bahu.
“Sebangku aku aja, aku juga belum ada temannya.” Jawab Lona senang. Dhira mengangguk dan berjalan mendekati sambil meletakkan tasnya di atas meja samping Lona. Loma melirik tas bermerk itu.
“Wah, tas mu bagus banget Ra!”
“Hehe… makasih Lon, dibeliin ayah waktu dinas luar kemarin.”
“Pasti beli di luar negeri ya?” Tanya Lona antusias. Dhira berpikir sejenak, mencari-cari kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Lona agar tak terdengar pamer.
“Eeee, waktu itu ayahku dinas ke Singapur.”
“Wow! Pantesan, kamu anak orang kaya ya?” secepatnya Dhira membantah.
“Bukan, bukan, kebetulan aja waktu itu ayah emang lagi ada duit lebih buat beli ini.” Lona hanya mangut-mangut sambil matanya terus memandangi tas milik Dhira. Tiba-tiba hape Dhira bergetar, ada satu pesan masuk, ternyata dari Maya, teman SMPnya.

From: Maya Syarah
Dmn Ra? Kulihat motormu udah parkir d depan. Tp orangnya ga keliatan.

Dhira segera berdiri, hendak menyusul Maya, temannya.
“Maaf Lon, aku keluar bentar ya, temanku nyariin nih.” Tanpa perlu mendapat persetujuan Lona, Dhira segera berlalu dari kelas dan menyusul Maya yang berada di kelas X, kelas unggul.
“May!” Maya yang baru berjalan dari tempat duduk paling belakang deretan bangku selurusan meja guru itu tersenyum.
“Kok duduk di belakang?”
“Ternyata anak-anak unggul di sini datengnya pada cepetan Ra, beda ama kita dulu, jadinya aku Cuma kebagain duduk di belakang deh. Hehe”
“Udah ada kenalan di dalem?” Tanya Dhira, Maya hanya menggeleng.
“Belum Ra, anak-anak unggul di sini pada pendiam, beda kita-kita dulu.” Lagi-lagi Maya membedakan kelasnya yang baru sekarang dengan ketika masih SMP dulu yang juga kelas unggul.
“Yee… namanya juga baru ketemu, ntar kalo kenal belum tentu sependiam ini.”
“Kamu sendiri? Udah dapet temen? Duduk sama siapa?”
“Udah, ada temen satu gugusku waktu MOS, duduk sama dia juga.” Maya mengangguk-angguk.
“Duduk di mana?”
“Deretan nomor dua barisan dekat pintu masuk.” Jawabnya sambil matanya terus melihat-lihat penghuni sekolah barunya yang melewati mereka.
“Dekat jendela dong?”
“Hehe, iya… kayak waktu kelas kita dulu!” jawabnya sambil tertawa, kemudian menambahkan.
“Tapi yang ini kebetulan dapetnya di sana, bukan disengaja kayak waktu SMP dulu kok.” Maya tersenyum, dan ketika itu juga Dhira sedikit membulatkan matanya yang sipit demi melihat seorang yang dikenalnya melewati ia dan Maya berjalan santai. Dhira terus mengekori jalan anak itu untuk mengetahui di kelas mana ia ditempatkan. Ternyata, ia berhenti di depan kelas X3 dan berbincang dengan Dion, teman SD Dhira juga. Sedetik kemudian Dhira segera memalingkan mukanya secepat yang ia bisa. Karena anak itu dan Dion –yang tadi diperhatikannya– tiba-tiba menoleh serentak ke arahnya, mungkin sadar tengah ada sepasang mata yang memperhatikan mereka.


NB: ini requesan seorang sahabat untuk di posting, tapi karena masih rahasia, jadi sepenggal aja duluu :) 
Share:

1 komentar: