Suasana hangat di rumah asri nan sederhana itu
sudah nampak sibuk sepagi ini. Seluruh penghuninya asik sendiri dengan kegiatan
rutin paginya. Di ruang kerja yang terletak agak menjorok di belakang, seorang
pria kebapakan dengan wajah kusut masih mengetik-ngetik, sementara di atas meja
besar di hadapannya itu berserakan dan tak beraturan kertas-kertas, buku-buku,
map-map, dan handphone tak mengganggunya.
Beralih ke meja makan yang terletak di depan
sebelah kanan pintu masuk ruangan kerja itu. Secambung nasi goreng yang
mengepulkan asap sudah tertata rapi dengan beberapa telur dadar yang di iris
tipis di samping cambungnya, beberapa potong ketimun dan tomat di sisi lain
cambung, dan beberapa piring kosong yang tertelungkup mengitari meja bulat
berukuran kecil itu, lengkap dengan gelas-gelas yang berisi susu putihnya,
benar-benar menggugah selera.
Dhira, yang saat itu sedang menyisir curly hairnya menatap tubuhnya yang
dibalut seragam putih abu-abu yang masih cerah. Seragam baru itu
bergoyang-goyang mengikuti gerakan Dhira yang memutar-mutar tubuhnya di cermin.
Bibirnya melebar karena senyumnya terus mengembang.
Di kamar yang bernuansa ungu itu, ranjang yang
bersepreikan logo klub bola favoritnya, Barcelona, yang sudah dirapikan,
teronggok mini ransel cantik bermerk, berwarna ungu-hitam yang masih baru, di
samping kaki ranjangnya, tergeletak sepatu kets dengan nuansa warna yang
seirama dengan tasnya. Dentuman musik pop dari grup band idolanya mengajak
semangatnya semakin berkobar. Ini hari pertama Dhira menjadi murid baru di SMA,
mengenakan rok yang tidak lagi berwarna biru.
“Dhira… sarapannya udah siap nih, yaaah, ayo
sarapan dulu, ntar keburu dingin”. Suara perempuan cantik mengenakan daster
merah tua itu mengalahkan suara serak sang vokalis band. Dhira tersenyum
sendiri mendengar bundanya berteriak-teriak, padahal di rumahnya yang tidak
besar itu, dengan berbicara dengan volume biasa saja, ia sudah bisa mendengar
bunda memanggil.
“Iya bun, lagi ikat rambut!” jawabnya kemudian.
Sementara ayahnya yang masih ingin mengetik, terlihat enggan dan terpaksa
bangkit dari kursi nyamannya demi untuk memenuhi panggilan istri tercintanya.
“Aya cuci muka dulu”. Ujarnya singkat setelah baru datang di meja makan.
Bunda hanya menggeleng-geleng sambil terus tersenyum melihat muka kusut
suaminya yang gila kerja itu. Sementara Dhira yang sudah menyandang tas dan
menenteng sepatu barunya keluar dari kamar sambil tersenyum, seperti pamer
penampilan barunya pada bunda.
“Wah, cantik sekali bidadari ayah pake rok
abu-abunya.” Bunda yang mengerti dengan gelagat Dhira yang seperti orang
meminta dipuji itupun menyambut kedatangan putri bungsunya dengan senyuman.
“Hehe… iya dong bun! Ayaaah, cepetan, nasi
gorengnya menggoda banget nih!” ayahnya datang dengan muka yang lembab dan
rambut bagian depan yang basah bekas cuci muka.
“Kamu lebih menggoda sepertinya Dari!” ujar
ayah sambil mencubit gemas pipi tembem Dhira. Ayahnya memang selalu memanggil
Dhira dengan Dari –singkatan Bidadari, panggilan ayah untuk Dhira sejak kecil.
Dan, keluarga bahagia itu pun menikmati sarapan pagi mereka.
*
Setelah memarkir sepeda motornya, Dhira
meliarkan pandangan matanya ke seluruh lingkungan sekolah, mencari-cari wajah
yang familiar di matanya. Namun, Dhira tak juga menemukan sosok teman
satu-satunya yang ia kenal itu. Mungkin
Maya memang belum datang, gumamnya. Dhira kemudian berjalan menuju kelas
barunya, kelas Xf yang berada di deretan paling ujung kanan depan
lapangan basket itu. Setiap kelas yang dilewatinya, dari kelas Xa
sampai Xe diliriknya, tetapi memang tidak ada wajah yang benar-benar di
kenalnya dengan baik selain teman-teman satu gugus ketika Masa Orientasi Siswa
(MOS) tempo hari. Selebihnya, hanya wajah-wajah baru yang dingin menatapnya.
Dhira mengedarkan pandangannya ke seluruh
ruangan kelas yang sudah mulai banyak penghuninya itu, ada satu orang yang
dikenalnya, yaitu Lona, teman satu gugus ketika MOS dulu, tengah duduk
sendirian di bangku deretan nomor dua di barisan dekat pintu masuk sedang asik
memainkan hapenya.
“Hai Lona!” Lona menegakkan kepalanya dan
tersenyum.
“Dhira? Kita sekelas? Wah… mau duduk di mana?”
“Belum tau” jawabnya sambil mengangkat bahu.
“Sebangku aku aja, aku juga belum ada
temannya.” Jawab Lona senang. Dhira mengangguk dan berjalan mendekati sambil
meletakkan tasnya di atas meja samping Lona. Loma melirik tas bermerk itu.
“Wah, tas mu bagus banget Ra!”
“Hehe… makasih Lon, dibeliin ayah waktu dinas
luar kemarin.”
“Pasti beli di luar negeri ya?” Tanya Lona
antusias. Dhira berpikir sejenak, mencari-cari kata apa yang tepat untuk
menjawab pertanyaan Lona agar tak terdengar pamer.
“Eeee, waktu itu ayahku dinas ke Singapur.”
“Wow! Pantesan, kamu anak orang kaya ya?”
secepatnya Dhira membantah.
“Bukan, bukan, kebetulan aja waktu itu ayah
emang lagi ada duit lebih buat beli ini.” Lona hanya mangut-mangut sambil
matanya terus memandangi tas milik Dhira. Tiba-tiba hape Dhira bergetar, ada
satu pesan masuk, ternyata dari Maya, teman SMPnya.
From: Maya Syarah
Dmn Ra?
Kulihat motormu udah parkir d depan. Tp orangnya ga keliatan.
Dhira segera berdiri, hendak menyusul Maya,
temannya.
“Maaf Lon, aku keluar bentar ya, temanku
nyariin nih.” Tanpa perlu mendapat persetujuan Lona, Dhira segera berlalu dari
kelas dan menyusul Maya yang berada di kelas Xa, kelas unggul.
“May!” Maya yang baru berjalan dari tempat
duduk paling belakang deretan bangku selurusan meja guru itu tersenyum.
“Kok duduk di belakang?”
“Ternyata anak-anak unggul di sini datengnya
pada cepetan Ra, beda ama kita dulu, jadinya aku Cuma kebagain duduk di
belakang deh. Hehe”
“Udah ada kenalan di dalem?” Tanya Dhira, Maya
hanya menggeleng.
“Belum Ra, anak-anak unggul di sini pada
pendiam, beda kita-kita dulu.” Lagi-lagi Maya membedakan kelasnya yang baru
sekarang dengan ketika masih SMP dulu yang juga kelas unggul.
“Yee… namanya juga baru ketemu, ntar kalo kenal
belum tentu sependiam ini.”
“Kamu sendiri? Udah dapet temen? Duduk sama
siapa?”
“Udah, ada temen satu gugusku waktu MOS, duduk
sama dia juga.” Maya mengangguk-angguk.
“Duduk di mana?”
“Deretan nomor dua barisan dekat pintu masuk.”
Jawabnya sambil matanya terus melihat-lihat penghuni sekolah barunya yang
melewati mereka.
“Dekat jendela dong?”
“Hehe, iya… kayak waktu kelas kita dulu!”
jawabnya sambil tertawa, kemudian menambahkan.
“Tapi yang ini kebetulan dapetnya di sana,
bukan disengaja kayak waktu SMP dulu kok.” Maya tersenyum, dan ketika itu juga
Dhira sedikit membulatkan matanya yang sipit demi melihat seorang yang
dikenalnya melewati ia dan Maya berjalan santai. Dhira terus mengekori jalan
anak itu untuk mengetahui di kelas mana ia ditempatkan. Ternyata, ia berhenti
di depan kelas X3 dan berbincang dengan Dion, teman SD Dhira juga. Sedetik
kemudian Dhira segera memalingkan mukanya secepat yang ia bisa. Karena anak itu
dan Dion –yang tadi diperhatikannya– tiba-tiba menoleh serentak ke arahnya,
mungkin sadar tengah ada sepasang mata yang memperhatikan mereka.
NB: ini requesan seorang sahabat untuk di posting, tapi karena masih rahasia, jadi sepenggal aja duluu :)
Welcome. Ending? Cariin penerbit dulu. :p
BalasHapus